• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

IMPLEMENTASI

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 17 TAHUN

2011 TENTANG RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN

MINUMAN BERALKOHOL

PENELITIAN MANDIRI

TIM PENELITI

1.

I Nengah Suantra, S.H., M.H.

2.

I Ketut Sudiarta, S.H., M.H.

3.

I Made Budi Arsika, S.H., LLM

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKULTAS HUKUM

(2)

ii

(3)

iii

ABSTRAK

Perda No. 11 Tahun 2011 belum dapat berlaku efektif karena beberapa ketentuan harus diimplementasikan dengan Peraturan Walikota, yang belum terbentuk hingga saat ini. Sementara itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 melegalkan penjualan Minuman Beralkohol golongan A di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Sebaliknya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 membatasi tempat-tempat penjualan minuman beralkohol. Pembentukan Perwali sangat urgensi dan relevansi disebabkan adanya pendelegasian kewenangan dari Perda No 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, dan perubahan isue-isue hukum berkaitan dengan diterbitkannya Perpres 74/2013, Permendagri 6/2015, Peraturan Dirjendag No. 04/PDN/PER/4/2015, Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012, dan Perwali 22/2013.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat Nya laporan penelitian Implementasi Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bagaimana pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol di Kota Denpasar. Sebab Perda No. 11 Tahun 2011 belum dapat berlaku efektif karena beberapa ketentuan harus diimplementasikan dengan Peraturan Walikota, yang belum terbentuk hingga saat ini. Sementara itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 melegalkan penjualan Minuman Beralkohol golongan A di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Sebaliknya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 membatasi tempat-tempat penjualan minuman beralkohol.

Penelitian didahului dengan melakukan penelusuran kebijakan-kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah berkaitan dengan penjualan minuman beralkohol. Kemudian disusun instrumen penelitian, pengumpulan bahan, identifikasi, tabulasi dan analisis data. Tahap berikutnya adalah pembahasan dan menyimpulkan hasil penelitian serta melaporkan pelaksanaan kegiatan penelitian.

Dengan selesainya laporan ini, sudah sepatutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H. M.H., Dekan F H UNUD dan para pembantu dekan yang memfasilitisi penelitian ini.

2. Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini.

3. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan di FH UNUD yang telah berpartisipasi dalam persiapan dan penyelesaian proses administrasi penelitian ini.

4. Para penulis yang karya tulisnya diacu sebagai referensi dalam menyusun laporan penelitian. 5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah berkontribusi dalam

pelaksanaan dan pelaporan penelitian ini.

Terima kasih atas segala konstribusi dan perhatian yang telah diberikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat karuniaNya.

Akhirnya, mohon maaf atas kekurangan dan kelemahan laporan penelitian ini. Segala masukan yang konstruktif sangat diperlukan untuk perbaikan laporan penelitian ini, terima kasih.

Denpasar, 12 Februari 2016

(5)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Identifikasi Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Kegunaan ... 3

1.4. Metode ... 3

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS... 7

2.1. Kajian Teoritis ... 7

2.1.1 Retribusi Daerah. ... 7

2.1.2 Izin Penjualan... 10

2.1.3 Minuman Beralkohol dan Minuman Keras. ... 11

2.1.4 Peraturan Walikota... 14

2.2. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat... 15

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ... 19

3.1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ... 19

3.2. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Permendagri 1/2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah ... 20

3.3. UU No. 9 Tahun 2015 ... 21

3.4. Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 ... 22

3.5. Permendag 20/M-Dag/Per/4/2014 ... 23

3.6. Permendag 06/2015 ... 24

3.7. Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 25 3.8. Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012 ... 26

3.9. Perda Kota Denpasar No. 17 Tahun 2011 ... 26

3.10. Perwali 22/2013 ... 27

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS ... 28

4.1. Ketentuan Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 ... 28

4.2. Perspektif Pakar ... 28

4.3. Model Formulasi Konsiderasi Perwali... 30

BAB V JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH ... 32

(6)

vi

5.2. Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Perwali Tentang Pelaksanaan Perda No. 17

Tahun 2011 ... 33

BAB VI PENUTUP ... 35

5.1. Simpulan ... 35

5.2. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi dibagi atas daerah-daerah-daerah-daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah. Setiap daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya demi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dengan prinsip otonomi luas, riil dan bertanggungjawab yang digulirkan sejak era reformasi memberikan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing, termasuk menetapkan regulasi yang memuat kebijakan daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 9 Tahun 2015) memberikan kewenangan kepada daerah untuk membentuk peraturan daerah (Perda) guna menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Penyusunan Rancangan Perda (Ranperda) dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau kepala daerah. Dalam kaitan itu, Kota Denpasar membentuk Peraturan Daerah No 17 tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol (Perda No. 11 Tahun 2011). Perda No. 11 Tahun 2011 dibentuk berdasarkan delegasi kewenangan yang ditentukan dalam Pasal Pasal 141 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009). UU No. 28 Tahun 2009 memberikan wewenang kepada Daerah untuk memungut Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol sebagai salah satu jenis Retribusi Perizinan Tertentu.

(8)

2

Minuman Beralkohol pada tanggal 6 Desember 2013 melegalkan penjualan Minuman Beralkohol golongan A di toko pengecer dalam bentuk kemasan, tetapi tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan toko pengecer.

Sementara itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Permendag 06/2015) membatasi tempat-tempat penjualan minuman beralkohol. Minuman Beralkohol golongan A hanya dapat dijual di Toko Bebas Bea (TBB), tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Walikota, supermarket, dan hypermarket. Sedangkan toko Pengecer, seperti minimarket, Circle K, dan lain-lain. Karena itu, beberapa Circle K di Denpasar tidak lagi menerima stok bir, kulkas penjualan bir ditutupi sarung1.

Namun demikian, larangan tersebut tidak berlaku mutlak di Denpasar. Sebab, sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A (Juknis No. 04/PDN/PER/4/2015), sebagai tindak lanjut Permendag 06/2015 memperkenankan pengecer menjual sebatas di pantai Sanur. Selain itu, Walikota dapat menetapkan tempat-tempat tertentu serbagai tempat penjualan Minuman Beralkohol untuk diminum langsung di tempat dengan memperhatikan karakteristik daerah dan budaya lokal. Karena itulah urgen dan relevan untuk ditetapkan Peraturan Walikota Denpasar (Perwali) sebagai pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011 sehingga terdapat kepastian hukum mengenai tempat-tempat yang diperkenankan menjual minuman beralkohol, tarif, tata cara pemungutan, pembayaran dan tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran, penagihan dan penghapusan piutang retribusi izin tempat penujualan minuman beralkohol.

1.2. Identifikasi Masalah

Kajian hukum atas suatu pengaturan pada umumnya berkaitan dengan penormaan materi muatan dan prosedur pembentukan. Namun, penelitian ini merupakan upaya penyusunan naskah akademik rancangan Perwali sebagai pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011. Oleh karena itu

1

(9)

3

penelitian terfokus pada penormaan materi muatan perda yang didelegasikan pengaturannya dengan Perwali, sehingga masalah yang teridentifikasi untuk dinormakan, sebagai berikut:

1 Penetapan Tarif Retribusi.

2 Tatacara pelaksanaan pemungutan retribusi.

3 Tata cara pembayaran, penetapan tempat pembayaran, anggsuran, dan penundaan pembayaran retribusi.

4 Tata cara penagihan pemungutan retribusi. 5 Tata cara penghapusan piutang retribusi.

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun Naskah Akademik sebagai landasan ilmiah penyusunan Rancangan Perwali tentang Pelaksanaan Perda 17/2011. Selain itu, juga untuk merumuskan cakupan ruang lingkup materi bagi penyusunan Peraturan Walikota Kota Denpasar tentang Pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai pedoman dan rujukan bagi penyusun Rancangan Perwali agar sesuai dengan ruang lingkup materi muatan yang dikehendaki oleh Perda 17/ 2011. Hasil penelitian ini juga berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan masukan dalam penyusunan Perwali Pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011 sehingga merepresentasikan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan tempat penjualan minuman beralkohol.

1.4. Metode

Jenis Penelitian dalam Penyusunan Naskah Akademik.

Dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 tahun 2011) mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik dijelaskan bahwa penyusunan Naskah akademik merupakan suatu kegiatan penelitian yang berbasis penelitian hukum atau penelitian lain. Apabila Naskah Akademik disusun berdasarkan penelitian hukum, maka metode yang dapat digunakan adalah metode yuridis normatif atau metode yuridis empiris yang dikenal pula dengan sebutan metode penelitian sosiolegal.

(10)

4

hukum yang menggunakan metode sosiolegal didahului dengan melakukan penelitian hukum normatif atau penelaahan peraturan perundang-undangan, kemudian dilanjutkan dengan observasi mendalam dan penyebaran kuesioner untuk mendapatkan data nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap produk hukum yang diteliti. Naskah Akademik ini disusun menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan hasil focus group discussion (FGD) perwakilan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait dan penjual minuman beralkohol di Kota Denpasar.

Pendekatan dalam Penelitian.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach).2 Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan denga retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, antara lain:

1 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2 UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

3 Perpres 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.

4 Permendag 06/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

5 Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.

6 Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol. 7 Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan

Perizinan (Perwali 21/2013).

Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah pendapat para ahli mengenai terMBogi, definisi dan konsep-konsep yang berkaitan dengan retribusi, izin, tempat penjualan dan minuman beralkohol. Pendekatan analitis (analytical approach ) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menguraikan aturan hukum yang diteliti untuk

2

(11)

5

menemukan persamaan dan perbedaan, kesesuaian dan ketidaksesuaian, sinkron atau harmonis dan konfliknya norma peraturan perundang-undangan secara horizontal dan vertikal sehingga diketemukan unsur-unsur yang dapat diformulasikan ke dalam Perwali yang akan disusun. Pendekat filsafat (philosophical approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas prinsip-prinsip yang terkandung dan/atau melandasi kaidah hukum dalam pengaturan retribusi izin tempat penujualan minuman beralkohol dengan Perwali.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder3 serta didukung dengan bahan hukum informatif. Bahan hukum primer terdiri dari produk hukumn yang diteliti, antara lain sebanyak 7 (tujuh) produk hukum sepert disebutkan pada bagian pendekatan di atas. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang relevan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder dapat berupa bahan-bahan yang terdapat pada kepustakaan atau pada website.

Bahan hukum informatif berupa informasi dari informan ialah pihak otoritas atau pejabat dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun para pihak yang membidangi tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol. Selain itu, informasi juga dapat diperoleh dari pihak penjul minuma beralkohol. Bahan ini digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara yang sesuai dengan jenis bahan hukum tersebut, sebagai berikut:

1 Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui tudi dokumentasi dan kepustakaan.

2 Bahan hukum informatif dikumpulkan dengan studi lapangan yaitu melalui wawancara dan FGD dengan pihak-pihak yang terkait retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol.

Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum.

Bahan-bahan hukum yang terkumpul diklasifikasi dan disistematisasi. Kemudian diurai, yang sama dikumpulkan; yang berbeda dikeluarkan untuk diurai kembali. Selanjutnya dilakukan

3

(12)

6

interpretasi secara hermeneutikal yakni memberikan pendapat atau pandangan teoritis secara gramatikal, historikal, teleologikal, sistematikal, sosiologikal, dan filosofikal terhadap bahan-bahan hukum yang berhasil dikumpulkan4. Pemahaman secara gramatikal dilakukan berdasarkan pada makna kata dalam konteks kalimatnya, sehingga suatu ketentuan hukum dipahami arti dan maknanya. Pemahaman aturan hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks historisnya, yakni latar belakang sejarah pembentukannya dalam kaitannya dengan tujuan yang hendak diwujudkannya (teleologikal). Konteks historis yang berlatar sosio-kultural dan politis menentukan isi hukum positif itu (untuk menemukan ratio legis-nya). Pemahaman produk hukum harus pula dilakukan dalam konteks hubungannya dengan aturan hukum positif yang lainnya, secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi, dengan mengacu pandangan hidup, serta nilai-nilai kultural dan kemanusiaan fundamental dalam proyeksi ke masa depan. Analisis bahan-bahan hukum dengan cara interpretasi secara hermeneutical tersebut diharapkan akan mampu mengahsilkan Perwali yang sesuai dengan harapan masyarakat dan pemangku kepentingan, mengakomodasi nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi serta sinkron dengan aturan hukum positif lainnya.

(13)

7

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

2.1.

Kajian Teoritis

2.1.1 Retribusi Daerah.

Retribusi Daerah merupakan salah satu junis pendapatan asli daerah (PAD), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 285 UU No. 9 Tahun 2015 bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari PAD, pendapatan transfer dan pendapatan lain Daerah yang sah. PAD terdiri dari pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah. Pasal 286 menentukan bahwa retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda. Hal itu berarti bahwa pembentuk UU No. 9 Tahun 2015 menghendaki pengaturan Retribusi Daerah dilakukan dengan undang-undang tersendiri, dan pelaksanaan di daerah ditetapkan dengan Perda. Undang-undang yang mengatur mengenai Retribusi Daerah adalah UU No. 29 Tahun 2009.

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton tanpa memformulasikan definisi, menulis unsur-unsur retribusi yaitu5:

1. Pungutan harus berdasarkan undang-undang. 2. Sifat pungutannya dapat dipaksakan.

3. Pemungutan dilakukan oleh negara.

4. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum.

5. Kontra prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi.

Sedangkan Wahyudi Kumorotomo menekankan pada unsur kontra prestasi dari retribusi untuk membedakan dengan pajak bahwa, Retribusi dipungut dengan kompensasi layanan tertentu sedangkan Pajak dipungut tanpa kompensasi layanan.6 Pada retribusi daerah terdapat suatu

tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.7 Sesungguhnya, pada Retribusi (daerah) maupun pada Pajak (daerah) sama-sama terdapat unsur kontra prestasi.

5

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2008, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, hlm. 8. 6

Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta: Kencana, hlm. 125

7

(14)

8

Tetapi, perbedaanya adalah kontra prestasi pada Retribusi bersifat individual – langsung diberikan kepada pembayar, sedangkan kontra prestasi pada Pajak tidak bersifat individual. Artinya bahwa pengembalian jasa atas pembayaran pajak tersebut tidak langsung dapat dinikmati oleh si pembayar, melainkan dikembalikan kepada masyarakat umum. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung inilah yang merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah.8 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayar tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat untuk itu.9 Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah retribusi.

Adanya unsur imbalan jasa secara langsung tersebut tampak dengan jelas dalam pengertian Retribusi yang dikemukakan oleh Munawir bahwa, Retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan mendapatkan jasa balik secara langsung yang dapat ditunjuk. Paksaan yang dimaksud ini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran.10 Namun demikian, pengertian Retribusi tersebut dari aspek Ilmu Ekonomi, bukan dari aspek Ilmu Hukum. Pengertian Retribusi secara hukum adalah pungutan oleh pejabat retribusi kepada wajib retribusi yang bersifat memaksa dengan tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan penagihan retribusi dapat berupa sanksi ekonomi maupun sanksi pidana.

Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2009 menentukan bahwa Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan

8

Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Jakarta: Yellow Printing, hlm. 56. 9

Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, Yogyakarta: UII Press, hlm. 35

10Ali, “Pembahasan Mengenai Pengertian Pajak dan Pengertian Retribusi”,

(15)

9

orang pribadi atau Badan (lihat Nomor 64). Dalam pengertian tersebut terkandung adanya unsur-unsur bahwa Retribusi:

1. merupakan salah satu jenis pungutan daerah;

2. pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah; dan

3. pembayaran dilakukan oleh orang pribadi atau Badan yang menikmati pelayanan jasa atau mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.

Unsur-unsur tersebut menunjukkan adanya obyek, subyek dan wajib retribusi. Obyek Retribusi yaitu pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah. Subyek Retribusi ialah orang pribadi atau Badan, sedangkan wajib Retribusi ialah orang pribadi atau Badan yang menikmati pelayanan jasa atau mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.

Obyek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai obyek retribusi.11 Pasal 108 UU No. 28 Tahun 2009 menentukan adanya tiga kelompok jasa tertentu, yaitu: Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu.

Obyeknya retribusi perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu untuk daerah Kota ditetapkan sesuai dengan kewenangan masing-masing daerah.

Pasal 141 UU No. 28 Tahun 2009 menentukan jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Jadi, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol termasuk ke dalam golongan Retribusi Perizinan Tertentu.

11Anonim, “Definisi dan Pengertian Retribusi (Subjek Retribusi)”,

(16)

10

Pasal 143 UU No. 28 Tahun 2009 menentukan Objek Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu. Subyek dan wajib Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol merujuk pada ketentuan Pasal 147 UU No. 28 Tahun 2009 adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin penjualan minuman beralkohol dari Pemerintah Daerah. Subyek ini dapat merupakan wajib retribusi apabila menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi.

2.1.2 Izin Penjualan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia12 diterangkan bahwa, Izin adalah pernyataan mengabulkan (tiada melarang dsb); persetujuan membolehkan. E. Utrecht berpendapat bahwa bila mana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan dengan cara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). I Made Arya Utama menyatakan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu instrumen hukum dari pemerintah untuk mengendalikan kehidupan masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku serta membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain. Perizinan lebih merupakan instrumen pencegahan atau berkarakter sebagai preventif instrumental13.

Dengan demikian, perizinan berfungsi sebagai fungsi penertib dan pengatur. Penetapan perizinan dimaksudkan agar setiap bentuk kegiatan masyarakat tidak bertentangan satu dengan yang lainnya, sehingga ketertiban dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat. Izin merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berbentuk ketetapan – keputusan yang berwenang. Izin merupakan ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu. Perizinan diadakan untuk pengendalian dan pengawasan pemerintah terhadap aktivitas dalam hal-hal tertentu yang ketentuannya berisi

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 391.

13Damang, “Pengertian Perizinan”,

(17)

11

pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang.

Kata “Penjualan” memiliki arti sebagai “proses, perbuatan, cara menjual”; dan “tempat menjual”14. Dengan demikian dalam kata “penjualan” sudah terkandung makna proses dan tempat menjual, sehingga tidak salah apabila kata penjualan tidak didahului dengan kata “tempat”. Frasa penjualan minuman beralkohol sudah menunjukkan adanya proses menjual minuman beralkohol dan tempat penjualan minuman beralkohol. Pada frasa tempat penjualan minuman beralkohol dapat terjadi proses menjual menuiman beralkohol.

Karena itu, frasa “Izin Penjualan” minuman beralkohol berarti izin dari pemerintah (daerah) yang diperlukan oleh seseorang atau suatu Badan untuk menjual minuman beralkohol. Dalam hal itu, pemerintah menyatakan membolehkan atau mengabulkan kepada orang pribadi atau badan untuk melakukan penjualan minimal beralkohol sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Penetapan pemberian izin merupakan jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada yang berhak mendapatkan, sehingga beralasan apabila pemerintah memungut retribusi atas izin tersebut.

2.1.3 Minuman Beralkohol dan Minuman Keras.

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia15 dijelaskan bahwa Minuman beralkohol (MB) adalah minuman yang mengandung etanol yaitu bahan psikoaktif dan jika dikonsumsi menyebabkan penurunan kesadaran. Bila dikonsumsi berlebihan, menimbulkan efek samping berupa ganggguan mental organik (GMO); gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berprilaku. Hal itu disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat.

Alkohol adalah cairan tidak berwarna yang mudah menguap, mudah terbakar, dipakai di industry dan pengobatan, merupakan unsur ramuan yang memabukkan di kebanyakan minuman keras; C2H3OH; etanol; atau senyawa organik dengan gugus OH pada atom karbon jenuh.16 Karena sifat adiktif alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran atau dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk. Konsumen yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan

14

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., hlm. 419. 15

Wikipedia bahasa Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Minuman_ beralkohol, Sabtu 7 Nopember 2015, hlm. 1.

16

(18)

12

tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami misalnya mudah tersinggung, bicara ngawur, atau kehilangan konsentrasi. Efek samping terlalu banyak menknsumsi MB juga melemahkan sistem kekebalan tubuh. Alkoholik kronis membuat jauh lebih rentan terhadap virus termasuk HIV. Mereka yang sudah ketagihan biasanya mengalami

sindrom putus alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum MB. Mereka akan sering gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan banyak berhalusinasi. Contoh MB terutama yang paling digemari di dunia yakni: Beer, Rum & Coke, Vodka & Orange, Tequila, Margarita, White Russian, Sex on the Beach, Wine, Jager, Absinth.17

Pasal 1 Perpres 74/2013 menentukan bahwa, MB adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. MB terdiri atas yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor, yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan sebagai berikut:

a. Golongan A, mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5%.

b. Golongan B, kadar etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% sampai dengan 20%.

c. Golongan C, mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 20% sampai dengan 55%.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan terMBogi minuman keras, yang berarti “minuman yang memabukkan seperti bir, anggur, arak, tuak”.18

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia19 diterangkan bahwa minunam keras (Miras), yang disebut juga sebagai minuman suling atau spirit adalah MB yang mengandung etanol yang dihasilkan dari penyulingan (yaitu,

17Anonim, “10 Jenis Minuman Beralkohol Paling Digemari di Dunia”, http://www.lensaterkini.web.id/2014/10/10-minuman-keras-beralkohol-tinggi-yang.html, Sabtu 7 Nopember 2015, hlm. 1-2.

18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., hlm 657. 19

(19)

13

berkonsentrasi lewat distilasi) ethanol, diproduksi dengan cara fermentasi biji-bijian, buah, atau sayuran. Contoh Miras antara lain: arak, vodka, gin baijiu, tequila, rum, wiski, brendi, dan soju.

Di masyarakat, pengertian Miras dan MB membingungkan dan cenderung dianggap barang yang sama sehingga penyebutan Miras juga meliputi minuman fermentasi yang tidak disuling seperti bir, tuak, anggur, dan cider. Contoh dalam RUU Anti Miras yang telah dibuat sejak tahun 2013. Istilah "hard liquor" (juga berarti MB) digunakan di Amerika Utara dan India untuk membedakan minuman suling dengan yang tidak disuling, yang kadar kandungan alkoholnya jauh lebih rendah.20

Miras merujuk pada minuman suling yang tidak mengandung tambahan gula dan memiliki setidaknya 20% alkohol. Miras yang populer antara lain arak, brendi, brendi buah juga dikenal sebagai eau-de-vie atau schnapps), gin, rum, tequila, vodka, dan wiski. Dalam perundang-undangan di Indonesia, MB dengan kadar di atas 20 persen masuk ke dalam minuman beralkohol golongan C. Namun tidak disebutkan secara gamblang bahwa MB golongan C adalah Miras. Semua MB selain bir dan anggur umumnya disebut sebagai Miras. Bir dan anggur, yang bukanlah minuman suling, mempunyai batas kandungan alkohol maksimum sekitar 20% alcohol berdasarkan volume (ABV), karena kebanyakan ragi tidak dapat bereproduksi ketika konsentrasi alkohol ada di atas tingkat ini, akibatnya, proses fermentasi berhenti pada saat itu.

Istilah "spirit" (dari bahasa latin spiritus yang berarti "nafas") yang merujuk ke Miras berasal dari alkimia Timur Tengah. Alkemis-alkemis tersebut lebih peduli dengan kesehatan obat mujarab dibandingkan dengan transmutasi timah menjadi emas. Uap yang dilepaskan dan dikumpulkan selama proses alkimia (seperti dengan distilasi alkohol) disebut sebagai spirit ("sukma") dari cairan aslinya. Etimologi istilah bahasa Inggris minuman keras, yaitu "liquor" dan kerabat dekatnya "liquid" adalah kata kerja Latin liquere, yang berarti "untuk menjadi cairan". Menurut Oxford English Dictionary (OED), penggunaan awal dari kata ini dalam bahasa Inggris, yang berarti hanya "cairan", bisa dirunut ke tahun 1225. Penggunaan pertama OED menyebutkan arti "liquor" adalah "cairan untuk minum" terjadi pada abad ke-14. Penggunaannya sebagai istilah untuk "minuman beralkohol memabukkan" muncul pada abad ke-16.21

20Wikipedia, “Minuman Keras”,

Ibid.

21Wikipedia, “Minuman Keras”,

(20)

14 2.1.4 Peraturan Walikota.

Pasal 1 nomor 26 dan Pasal 59 ayat (1) UU No 9 tahun 2015 menentukan adanya Perwali sebagai peraturan kepala daerah kota. Selanjutnya dalam Pasal 65 ayat (2) ditentukan bahwa wali kota sebagai kepala daerah kota, dalam menjalankan tugasnya berwenang untuk menetapkan peraturan wali kota dan keputusan wali kota.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 246 dan 237 UU No. 9 Tahun 2015, Perwali ditetapkan untuk melaksanakan peraturan daerah. Pembentukan dan materi muatan Perwali pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman pembentukan dan materi mutan Perwali adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 (Permendagri 1/2014). Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 2 dan 3 Permendagri 1/2014 menentukan bahwa Perwali merupakan salah satu produk hukum yang bersifat pengaturan. Selanjutnya, Pasal 116 menentukan bahwa teknik penyusunan Perwali dilakukan sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.

Dengan demikian, Wali Kota Denpasar memiliki kewenangan membentuk Perwali dalam menjalankan tugasnya melaksankan Perda 17/2015 yang telah dibentuk bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar (DPRD Kota). Pembentukan Perwali Kota Denpasar sebagai pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011 merujuk pada kretentuan-ketentuan yang terdapat di dalam:

1 UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 3 UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

4 Perpres 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. 5 Permendagri 1/2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

(21)

15

7 Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.

8 Perda No. 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol. 9 Peraturan Walikota Denpasar Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan

Perizinan (Perwali 21/2013).

2.2.

Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta

permasalahan yang dihadapi masyarakat

Praktik penyelenggaran perizinan tempat penjualan minuman beralkohol merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Perwujudan komitemen pelayanan tersebut diawali dengan pengaturan penyelenggaraan perizinan. Pengaturan penyelenggaraa perizinan tersebut merupakan jasa yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat sehingga pemerintah daerah dapat mengenakan retribusi atas pelayanan yang diberikan kepada orag ataupun badan yang menerima manfaat pelayanan tersebut. Karena itulah, Pemerintah Daerah Kota Denpasar membentuk Perda No. 17 Tahun 2011. Namun Perda ini belum implementatif karena terdapat beberapa ketentuan yang menghendaki pengaturan dengan Perwali. Ketentuan-ketentuan Perda No. 17 Tahun 2011 yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1 Pasal 9 ayat (3) mengenai Penetapan Tarif Retribusi.

2 Pasal 11 ayat (3) mengenai Tatacara pelaksanaan pemungutan retribusi.

3 Pasal 13 ayat (5) mengenai Tata cara pembayaran, penetapan tempat pembayaran, anggsuran, dan penundaan pembayaran retribusi.

4 Pasal 15 ayat (5) mengenai Tata cara penagihan pemungutan retribusi.

5 Pasal 17 ayat (3) mengenai Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluwarsa.

(22)

16

tersebut menentukan bahwa Wali Kota dapat menetapkan tempat-tempat tertentu sebagai tempat penjualan MB golongan A untuk diminum langsung di tempat dengan memperhatikan karakteristik daerah dan budaya local. tempat-tempat tertentu tersebut harus berada di kawasan/lokasi/objek pariwisata yang telah ditetapkan melalui Perda setempat.

Dalam kaitan itu, Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Perda No. 16 Tahun 2009) menetapkan 16 lokasi wisata di Bali yang diperbolehkan bagi pengecer untuk menjual MB golongtan A. KP Sanur di Denpasar diizinkan menjual MB golongtan A untuk dikomsumsi langsung di tempat. Menteri Pariwisata Arief Yahya menjelaskan bahwa pelarangan penjualan MB tersebut tidak membawa pengaruh kepada turis asing. Mereka tetap dapat menikmati MB di tempat-tempat yang diperbolehkan menjual minuman beralkohol seperti: di kafe maupun bar dan Hotel.22

Praktik pemungutan retribusi atas izin tempat penjualan MB didukung pula oleh perkembangan kunjungan wisatawan asing ke Bali dan Indonesia pada umumnya, yang juga dapat menarik investasi asing di bidang produksi MB. Selama bulan Mei 2015 terdapat kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 295.835 orang. Walaupun jumlah tersebut berkurang dari bulan sebelumnya mencapai 313.763 orang. Namun secara kumulatif turis yang datang bertambah 11,29 persen menjadi 1.555.609 orang selama Januari-Mei 2015 dibanding periode yang sama tahun lalu.23 Peningkatan angka kunjungan tersebut tampak pula dari data bertambahnya hunian akomodasi. Banyaknya Tamu Asing yang menginap pada Hotel Non Bintang dan Akomodasi Lainnya tahun 2012 adalah 1099275 orang, sedangkan dalam tahun tahun 2013 meningkat menjadi 1625252 orang.24 Peningkatan tingkat hunian hotel dan akomodasi lainnya turut menunjang peningkatan Produk domistik regional bruto (PDRB) Kota Denpasar. Dalam tahun 2013 PDRB dari bidang akomodasi dan makan minum adalah Rp. 7.870.764,75, sedangkan dalam tahun 2014 meningkat menjadi Rp. 9.908.704,35.25

Praktik pemungutan retribusi atas izin tempat penjualan MB didorong pula oleh meningkatnya investasi asing terhadap industry MB. Sebab, peningkatan jumlah kunjungan

22

Johan Sompotan, “Turis Asing Masih Bisa Beli Minuman Beralkohol di Indonesia”, http://lifestyle.okezone.com/read/2015/04/14/406/1133818/turis-asing-masih-bisa-beli-minuman-beralkohol-di-indonesia, Sabtu 7 Nopember 2015, hlm. 1.

23

IK Sutika, “Wisman ke Bali bertambah 11,29 persen”, Unggul Tri Ratomo, Ed., http://www.antaranews.com/berita/503629/wisman-ke-bali-bertambah-1129-persen

24

(23)

17

wisatawan asing tersebut berpengaruh terhadap tingginya konsumsi MB. Hal itu menunjukkan pula adanya peningkatan pertumbuhan pasar sebab komsumen MB semakin banyak. Data Kementerian Perindustrian memperlihatkan bahwa, konsumsi minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sepanjang tiga tahun terakhir tercatat terus tumbuh hingga mencapai 263 juta hektoliter di 2012. Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor penyebab ketertarikan produsen untuk berinvestasi di Indonesia.26

Pemungutan retribusi atas izin penjualan MB berdampat sangat signifikan terhadap rencana pendapatan asli daerah dari sektor retribusi daerah. Hal itu tampak dari peningkatan penerimaan retribusi daerah daripada yang direncanakan dalam tahun 2013. Rencana pendapatan Daerah Kota Denpasar dari sektor retribusi tahun 2013 adalah Rp. 42.685.463.848,00; sedangkan realisasinya adalah Rp. 47.874.288.091,00. Dengan demikian terdapat surplus adalah Rp. 5.188.824.243,00.27

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa melegalkan peredaran MB di masyarakat dapat berdampak negatif. Hasil riset terbaru WHO menunjukkan fakta, konsumsi di atas 15 liter alkohol murni per-tahun, memicu munculnya lebih dari 200 penyakit kronis diantarnya kanker dan sirosis hati. Setiap tahunnya lebih 3,3 juta orang meninggal sebagai dampak konsumsi minuman beralkohol berlebihan.28 Hal itu sama dengan MB membunuh 1 orang setiap 10 detik. Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel mengeluarkan larangan penjualan MB goolongan A di

minimarkert dan pengecer karena menganggap alkohol membuat mental warga Tanah Air rusak, sehingga selalu kalah bersaing di kancah global29. Sebagai akibat dibebaskannya penjualan MB Golongan A; maka penjualan shandy, minuman ringan beralkohol, bir, lager, ale, bir hitam atau stout, low alcohol wine, minuman beralkohol berkarbonasi dan anggur brem Bali marak di toko-toko Seven Eleven dan mini market sejenisnya. Anak-anak di bawah umur dengan mudah

26Indonesia Finance Today, “Industri Minuman Alkohol Menarik Investasi Asing”

http://www.kemenperin.go.id/artikel/6834/Industri-Minuman-Alkohol-Menarik-Investasi-Asing, Sabtu 7 Nopember 2015, hlm. 1.

27

Denpasar dalam Angka 2014.

28

Dpa/afp, “Larangan Berjualan Alkohol di Minimarket Mulai Diberlakukan”

http://www.dw.com/id/larangan-berjualan-alkohol-di-minimarket-mulai-diberlakukan/a-18387258, Jumat 6 Nopember 2015, hlm. 2.

29 Mrt, “Larangan Minuman Beralkohol Tak Berlaku di Bali”,

(24)

18

mendapatkannya, terlebih lagi pramuniaga tidak melarangnya. Bahkan, ada pula diantaranya menjadikannya sebagai MB oplosan yang dapat berdampak mematikan.

Data lain yang menunjukkan betapa MB merugikan negara adalah hasil penelitian yang dilakukan di Australia pada tahun 2010 bahwa, MB menyebabkan pemerintah menghabiskan dana sebesar 1,7 miliar poundsterling (Rp 35,7 triliun) untuk penanganan dalam bidang kesehatan, dan 7,3 miliar poundsterling (Rp 153 triliun) untuk penanganan dalam bidang hukum.30 Jika hasil penelitian itu diproyeksikan untuk pemerintahan daerah di Indonesia, maka betapapun besarnya konstribusi pendapatan dari retribusi atas izin penjualan MB terhadap PAD, tetapi dampak yang ditimbulkannya jauh lebih besar.

Dengan demikian, adanya pengaturan dalam bentuk Perda dan Perwali untuk pengendalian peredaran MB, terutama MB Golongan A agar tidak sampai dikomsumsi oleh anak-anak di bawah umur sangat relevan. Perda No. 17 Tahun 2011 yang dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin dampak social peredaran MB harus segera diimplementasikan dengan Perwali, sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan-ketentuan dalam Perda tersebut.

(25)

19

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

3.1.

UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Bagian Konsideran UU No. 28 Tahun 2009 menentukan bahwa UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dibiayai dengan menggunakan pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang penting. Selain itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tariff.

Pasal 108 menentukan objek Retribusi adalah jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Retribusi yang dipungut atas objek-objek tersebut masing-masing dinamakan Retribusi Jasa Umum yang dikenakan atas jasa umum; Retribusi Jasa Usaha dipungut atas jasa umum; dan Retribusi Perizinan Tertentu dipungut atas perizinan tertentu.

Retribusi Izin Tempat Penjualan MB termasuk dalam golongan Retribusi Perizinan Tertentu. Hal itu ditentukan dalam Pasal 141 bahwa, jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Izin Gangguan;

d. Retribusi Izin Trayek; dan e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.

(26)

20

Beralkohol adalah pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu.

Kebijakan retribusi daerah memperluas kewenangan daerah hingga penetapan tarif namun dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Dalam penetapan tarif supaya dihindari penetapan tarif yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. Karena itu, Daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif retribusi dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Pasal 155 menentukan bahwa tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Peninjauan tarif Retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. Penetapan tarif Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

3.2.

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Permendagri 1/2014 tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah

(27)

21

Sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, pembentukan Perwali harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Materi muatan Perwali harus mencerminkan asas: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan;kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selain itu, materi muatan Perwali dapat berisi asas sesuai dengan bidang hukumnya antara lain: misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah dalam Hukum Pidana; dan asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik yang terdapat di dalam Hukum Perdata. Permendagri 1/2014 menentukan bahwa pembentukan Perwali diawali dengan membentuk suatu Tim Penyusun Perwali yang dibentuk oleh Wali Kota dan ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota. Penyusunan Rancangan Perwali dilakukan oleh Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Rancangan Perwali tersebut dilakukan pembahasan oleh Bagian Hukum Kota Denpasar untuk harmonisasi dan sinkronisasi dengan SKPD terkait.

Rancangan Perwali yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi kepala Bagian Hukum Kota Denpasar dan pimpinan SKPD terkait. Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Rancangan Perwali yang telah mendapat paraf koordinasi kepada Wali Kota melalui sekretaris daerah. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Rancangan Perwali tersebut dan dikembalikan kepada pimpinan SKPD pemrakarsa. Hasil penyempurnaan disampaikan kembali kepada sekretaris daerah setelah dilakukan paraf koordinasi Kepala Bagian Hukum Kota Denpasar dan pimpinan SKPD terkait. Sekretaris daerah menyampaikan rancangan tersebut kepada Wali Kota untuk ditandatangani.

3.3.

UU No. 9 Tahun 2015

(28)

22

Pasal 246, 247 dan 248 menentukan bahwa, Wali Kota membentuk Perwali untuk melaksanakan Perda. Pembentukan Perwali harus sesuai dengan asas pembentukan dan asas materi muatan yang ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Perencanaan, penyusunan, dan penetapan berpedoman pada peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 12 Tahun 2011 dan Permendagri 1/2014.

Perwali yang dibentuk tidak dapat, bahkan dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Pasal 250 dan Penjelasannya menentukan bahwa bertentangan dengan kepentingan umum maksudnya meliputi:

a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;

d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender. Bertentangan dengan kesusilaan maksudnya adalah bertentangan dengan norma yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, kelakuan yang baik, dan tata krama yang luhur.

Perwali diundangkan oleh sekretaris daerah dalam berita daerah. Perwali yang sudah diundangkan tersebut mulai berlaku dan memupunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Perwali tersebut. Artinya bahwa mulai berlaku Perwali berbeda dengan tanggal pengundangan. Penjelasan Pasal 248 ayat (3) menerangkan bahwa hal itu dapat terjadi disebabkan masih mempersiapkan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Perwali tersebut.

Pasal 255 menentukan bahwa penegakan Perwali dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOLPP). Apabila terjadi pelanggaran atas Perwali maka, SATPOLPP melakukan tindakan penertiban non-yustisial, menindak, melakukan tindakan penyelidikan, dan melakukan tindakan administratif bagi warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran serta mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

3.4.

Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013

(29)

23

Perda yang melarang total peredaran MB dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur pembatasan MB memperkuat alasan penerbitan Perpres tersebut.

Perpres ini mengelompokan MB ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

1 MB Golongan A, yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5%;

2 MB golongan B, mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 5% - 20%; dan 3 MB golongan C, mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari 20% - 55%. Perpres melegalkan penjualan MB golongan A di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Karena itulah, bir yang merupakan minuman beralkohol dengan kadar sampai dengan 5% marak dijumpai di toko-toko semacam Seven Eleven dan mini market sejenisnya.

Perpres 74/2013 menuai kritik dan penolakan dari berbagai kalangan yang dinilai sebagai langkah mundur karena menjadi payung hukum produksi dan peredaran miras di Indonesia, sehingga sulit untuk sepenuhnya memberantas keberadaan barang tersebut. Sebaliknya, para penikmat MB merasa mendapatkan perlindungan, padahal ada yang meregang nyawa sebagai akibat Miras oplosan.31

3.5.

Permendag 20/M-Dag/Per/4/2014

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-Dag/ Per/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol diterbitkan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 9 Perpres 74/2013.

Dalam Permendag ini selain ditentukan penggolongan MB menjadi 3 (tiga) yakni Golongan A, Golongan B, dan Golongan C seperti ditentukan dalam Perpres 74/2013; ditentukan juga bahwa penggolongan tersebut ditetapkan oleh Menteri, sebagaimana terdapat di dalam Lampiran I dan II. Pada Lampiran I mengenai Jenis atau Produk Minuman Beralkohol Golongan A, Golongan B, dan Golongan C terdapat jenis atau produk MB Golongan A, yaitu: Shandy, Minuman ringan beralkohol, Bir/Beer, Larger, Ale, Bir hitam/Stout, Low Alcohol Wine, Minuman beralkohol berkarbonasi, dan Anggur Brem Bali.

Jenis atau produk MB Golongan B, yaitu: Reduced Alcohol Wine, Anggur/Wine, Minuman Fermentasi Pancar/Sparkling Champagne/ Wine, Carbonated Wine, Koktail

31

(30)

24

Anggur/Wine Coktail, Anggur Tonikum Kinina/Quinine Tonic Wine, Meat Wine atau Beef Wine, Malt Wine, Anggur Buah/Fruit Wine, Anggur Buah Apel/Cider, Anggur Sari Buah Pir/Perry, Anggur Beras/Sake/Rice Wine, Anggur Sari Sayuran/ Vegetable Wine, Honey Wine/ Mead, Koktail Anggur/ Wine Cocktail, Tuak/Toddy, Anggur Brem Bali, Minuman Beralkohol Beraroma, Beras Kencur, dan Anggur Ginseng. Sedangkan jenis atau produk MB Golongan C, yaitu: Koktail Anggur/Wine Cocktail, Brendi/Brandy, Brendi Buah/Fruit Brandy, Wiski/Whiskies, Rum, Gin, Geneva, Vodka, Sopi Manis/Liqueurs, Cordial/Cordials, Samsu/ Medicated Samsu, Arak/Arrack, Cognac, Tequila, dan Aperitif.

Jenis MB golongan A, golongan B, dan golongan C tersebut pengadaannya berasal dari produksi dalam negeri atau impor. Pasal 14 menentukan bahwa penjualan langsung MB golongan A, golongan B dan/atau golongan C untuk diminum langsung di tempat, yaitu: Hotel, Restoran, Bar sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang kepariwisataan; dan tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Walikota.

Penjualan MB secara eceran hanya dapat dijual oleh pengecer, pada: Toko Bebas Bea (TBB) - (Duty Free Shop) dan tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Walikota. Selain itu, MB golongan A juga dapat dijual di toko Pengecer, berupa: minimarket; supermarket, hypermarket; atau toko pengecer lainnya.

Pengecer harus menempatkan MB secara terpisah dengan penjualan barang lainnya dan hanya dapat dilayani oleh pramuniaga. Penjualan eceran dalam kemasan harus dibuktikan dengan Kartu Identitas pembeli yang menunjukkan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjual Langsung dan Pengecer dilarang menjual MB golongan A, golongan B, dan golongan C, kepada pembeli di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun. Pengecer berkewajiban melarang pembeli MB meminum langsung di lokasi penjualan.

3.6.

Permendag 06/2015

(31)

25

seperti toko-toko Seven Eleven, mini market dan sejenisnya harus sudah menarik MB golongan A dari peredaran.

3.7.

Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor

04/PDN/PER/4/2015

Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 54 Permendag No. 20/M-Dag/Per/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Petunjuk teknis tersebut pada hakikatnya menyimpangi ketentuan Permendag 6/2015, bahwa konsumen dapat meminum langsung MB Golongan A di tempat penjualan yang berada di kawasan/lokas/objek pariwisata yang telah ditetapkan oleh Wali Kota melalui Perda. Wali Kota menetapkan tempat-tempat tersebut dengan memperhatikan karakteristik daerah dan budaya lokal. Penjualan MB Golongan A tersebut hanya untuk wisatawan asing atau domistik yang telah berusia 21 tahun atau lebih yang dibuktikan dengan kartu identitas.

Penjualan MB Golongan A yang diminum langsung di tempat penjualan tersebut hanya dapat dilakukan oleh penjual yang merupakan bagian dari koperasi, badan usaha daerah, atau kelompok usaha bersama, dan harus memperoleh persetujuan Wali Kota serta memiliki identitas dan terdaftar di koperasi, badan usaha daerah, atau kelompok usaha bersama yang bersangkutan. Koperasi, badan usaha daerah, atau kelompok usaha bersama tersebut dalam menjual MB Golongan A untuk diminum langsung di tempat yang berada di kawasan/lokas/objek pariwisata tersebut dapat bekerja sama dengan Hotel, Bar, Restoran dan/atau memperoleh MB dari toko pengecer yang memiliki Surat Keterangan Pengecer MB Golongan A.

Selanjutnya ditentukan bahwa pengawasan peredaran dan penjualan MB dilakukan oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Wali Kota. Wali Kota dapat melibatkan tokoh adat setempat dalam melakukan pengawasan peredaran dan penjualan MB Golongan A untuk diminum langsung di tempat. Selain itu, Kepala Dinas Perdagangan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama juga dapat melakukan pengawasan tersebut.

(32)

26

kawasan/lokasi/objek pariwisata. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut oleh Wali Kota.

3.8.

Perda Provinsi Bali No. 5 Tahun 2012

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Bali diterbitkan dengan pertimbangan bahwa MB merupakan jenis minuman dengan potensi ekonomi tinggi namun mengandung ethanol yang dapat membahayakan kesehatan pemakainya, sehingga mengganggu ketertiban masyarakat. Di dalam Perda selain terdapat penggolongan MB berdasarkan atas asal produksi, yakni MB produksi inpor dan produksi dalam negeri; serta penggolongan beredasarkan kandungan alcohol, yakni MB Golongan A, Golongan B, dan Golongan C; terdapat pula penggolongan MB atas MB produksi non tradisional, dan MB produksi tradisional.

MB produksi tradisional yang dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi wajib dikemas dan menggunakan label edar. Sedangkan MB produksi tradisional yang tidak untuk dikonsumsi dan diedarkan oleh kelompok usaha atau koperasi peredarannya dengan menggunakan label untuk upacara (tetabuhan) dan label edar.

Pasal 11 menentukan adanya larangan untuk mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol ditempat umum, kecuali di hotel, bar, restoran dan di tempat tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Walikota. Tempat tertentu lainnya tersebut dilarang di sekitar tempat peribadatan, sekolah, rumah sakit atau lokasi tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Walikota.

3.9.

Perda Kota Denpasar No. 17 Tahun 2011

Perda No. 17 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol. Pembentuk Perda ini mendelegasikan wewenang kepada Wali Kota untuk melaksanakan Perda dengan Perwali. Ketentuan-ketentuan Perda yang menentukan implementasi dengan Perwali yaitu: Pasal 9 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), Pasal 13 ayat (3), Pasal 15 ayat (3), dan Pasal 17 ayat (3). Ketentuan-ketentuan tersebut dikutip, untuk lebih jelas, sebagai berikut:

1 Pasal 9 ayat (3), Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.

(33)

27

3 Pasal 13 ayat (5), Tata cara pembayaran, penetapan tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran retribusi diatur dalam Peraturan Walikota.

4 Pasal 15 ayat (5), Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata cara penagihan pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Walikota.

5 Pasal 17 ayat (3), Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Walikota.

3.10.

Perwali 22/2013

Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 22 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perizinan di Bidang Perdagangan diterbitkan untuk memberikan kemudahan, keseragaman dan ketertiban sehingga dapat meningkatkan pelayanan public di dalam melakukan usaha di bidang perdagangan. Di dalam Perwali tersebut terdapat ketentuan larangan penjualan MB. Penjual Langsung dan Pengecer dilarang menjual MB Golongan A, Golongan B, dan Golongan C kepada pembeli di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun yang dibuktikan dengan Kartu Identitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang dilarang menjual secara eceran dalam kemasan dan/atau menjual langsung untuk diminum di tempat MB Golongan A, Golongan B, dan Golongan C di lokasi:

a. gelanggang remaja, kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil, penginapan remaja, dan bumi perkemahan;

(34)

28

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

4.1. Ketentuan Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011

Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undangundang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota menentukan bahwa, landasan filosofis, sosiologis dan yuridis merupakan salah satu materi Naskah Akademik. Landasan filosofis mendeskripsikan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945.

Landasan sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Landasan yuridis merupakan alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

4.2. Perspektif Pakar

(35)

29

sosiologis, politis, dan juridis, serta landasan yang bersifat administratif. Keempat landasan yang pertama adalah landasan keberlakuan yang bersifat mutlak, sedangkan satu landasan yang terakhir bersifat fakultatif.32

Landasan filosofis. Undang-Undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang dalam kenyataan. Dengan demikian, cita-cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan. Bagi Indonesia, Pancasila merupakan landasan filosofis semua produk undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Landasan sosiologis adalah bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normatif yang dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan pada kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

Landasan politis merupakan cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan. Landasan juridis disebutnya sebagai bagian konsiderans

“Mengingat” dari peraturan perundang-undangan pada umumnya. Sedangkan landasan

administratif adalah yang dituangkan dalam konsiderans “Memperhatikan”.

Berbeda dengan pendapat Jimly Asshiddiqie, M. Solly Lubis mengemukakan, ada tiga dasar atau landasan dalam rangka pembuatan segala peraturan, yaitu: landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis.33 Solly Lubis tidak mengemukakan landasan administratif dan landasan sosiologis pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu sesuai dengan pendapatnya Jimly bahwa landasan administratif merupakan pertimbangan yang bersifat

32

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 169-174.

33

(36)

30

fakultatif. Tetapi mengenai landasan politis, yang dimaksudkan oleh Solly Lubis adalah politik hukum yang menjadi dasar pembentukan peraturan.

Bagir Manan mengemukakan tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Oleh karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-perundang-undangan yang baik haruslah mempunyai tiga dasar keberlakuan tersebut.34 Dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4) keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.

Dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Dasar berlaku secara filosofis (filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.

4.3. Model Formulasi Konsiderasi Perwali

Perwali yang akan dibentuk merupakan salah satu bentuk produk hukum daerah yang bersifat pengaturan, sehingga merupakan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada ketentuan Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 116 Permendagri 1/2014 maka, penyusunan Perwali dilakukan sesuai dengan ketentuan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011. Karena itu, bagian konsideran Perwali hendaknya mencerminkan pokok-pokok pikiran yang bersifat filosofis, sosiologis, dan yuridis.

34 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Penerbit

(37)

31

Namun demikian, Permendagri 1/2014 menentukan bahwa pembentukan Perwali dilakukan sesuai dengan pembentukan Perda. Dalam kaitan itu, Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 menerangkan bahwa konsideran Perda dapat memuat hanya satu pertimbangan apabila Perda tersebut pembentukkannya diperintahkan langsung oleh peraturan perundang-undangan di atasnya.

Paralel dengan hal itu, maka konsideran Perwali pun dapat memuat hanya satu pertimbangan, jika terdapat pasal atau pasal-pasal Perda memerintahkan pelaksanaan dengan Perwali. Pada bagian Pendahuluan dan bagian Kajian Teoritis di atas sudah dikemukakan bahwa, pembentukkan Perwali ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan pasal-pasal Perda No. 17 Tahun 2011, yaitu ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 13 ayat (5). Ketentuan Nomor 206 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang menedelagasikan. Karena itu, konsideran Perwali cukup memuat satu pertimbangan dengan menyebutkan secara tegas pasal-pasal Perda No. 17 Tahun 2011 yang memerintahkan pelaksanaan dengan Perwali.

(38)

32

BAB V

JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1.

Jangkauan Arah Pengaturan

Pembentukan Perwali tentang pelaksanaan Perda No. 11 Tahun 2011 dimasudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tempat-tempat yang diperkenankan menjual MB, tariff, tata cara pemungutan, pembayaran dan tempat pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran, penagihan dan penghapusan piutang retribusi izin tempat penujualan MB dalam pelaksanaan Perda No. 17 Tahun 2011.

Karena itu, pembentukan Perwali ini ditujukan untuk menormakan materi muatan ketentuan dalam pasal-pasal dari Perda No. 17 Tahun 2011 yang pelaksanaannya dilakukan dengan Perwali. Di dalam Perda tersebut terdapat 5 (lima) pasal yang menentukan secara eksplisit supaya dilaksanakan dengan Perwali. Pasal-pasal dan meteri muatannya yang dimaksud yaitu:

1 Pasal 9 ayat (3) mengenai Penetapan Tarif Retribusi.

2 Pasal 1

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian menghasilkan uji fungsi komponen baik untuk semua komponen, performansi kursi roda diantaranya kursi roda bisa dilipat dengan melepas tempat

Unit Asam Asetat dan Ethyl Asetat adalah merupakan pabrik pertama yang didirikan di Indonesia, sehingga produk-produk yang dihasilkan telah dapat memenuhi kebutuhan di dalam

Analisis kelayakan dari aspek pasar dan pemasaran menunjukan bahwa Pembangunan Pasar Hewan di Kabupaten Bekasi sudah selayaknya segera dilaksanakan mengingat

Pada penelitian akhir ini akan dilihat apakah terdapat hubungan atau tidak terhadap hubungan variabel X (Pengaruh Sinetron Putih Abu-Abu) dan variabel Y (Bahasa Pergaulan yang

(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya. (4) Hakim dan penuntut

“Memandang Lautan” adalah serial karya seni lukis yang menjadi cara penulis untuk melihat permasalahan mengenai batas diri yang penulis alami dari berbagai sudut pandang,

Penelitian ini memanfaatkan ekstrak daun sereh( Cymbopogon nardus L. Rendle) untuk dijadikan sebagai bahan aktif sediaan gel jerawat dan dilakukan uji kestabilan

Dalam perhitungan 1 tahun dapat direncanakan perbandingan antara kemampuan produksi industri furniture kapal dengan kebutuhan furniture kapal di Indonesia dalam kurun waktu