• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBELAJARAN DAN LAYANAN BIMBINGAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH PENYELENGGARA PERINTIS PENDIDIKAN INKLUSIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBELAJARAN DAN LAYANAN BIMBINGAN BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH PENYELENGGARA PERINTIS PENDIDIKAN INKLUSIF."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ix

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Kerangka Penelitian ... 11

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH PENYELENGGARA PERINTIS PENDIDIKAN INKLUSIF 15

A. Pendidikan Inklusif ... 15

1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ... 15

2. Sekolah Inklusif……….. 29

3. Kebijakan Yang Berhubungan dengan Pendidikan Inklusif ……… 32

B. Ketunanetraan ... 37

1. Definisi Tunanetra ... 37

2. Penyebab Terjadinya Ketunanetraan ... 40

3. Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan ... 42

4. Pembelajaran bagi Anak dengan Ketunanetraan ... 48

C. Bimbingan dan Konseling ... 51

1. Esensi Layanan Bimbingan dan Konseling ... 51

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling ... 54

3. Fungsi Bimbingan dan Konseling ... 57

4. Asas dan Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling ... 60

5. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Keseluruhan Layanan Pendidikan Sekolah ... 65

(2)

D. Bimbingan dan Konseling bagi Tunanetra ... 69

1. Interview Awal ... 71

2. Etika Disabilitas ... 73

3. Faktor Lingkungan ... 74

E. Penerapan Konsep Bimbingan dan Konseling dalam Pembelajaran ………. 75

1. Penerapan Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling dalam Pembelajaran ………. 76

2. Penerapan Azas-azas Bimbingan dan Konseling dalam pembelajaran ……… 77

BAB III METODE PENELITIAN ... 81

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 81

B. Subyek Penelitian ... 82

C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian ... 83

D. Teknik Analisis Data ... 85

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 87

A. Hasil Penelitian ... 87

B. Pembahasan ... 138

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Rekomendasi ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 157

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Keadaan Sekolah Luar Biasa di Jepang pada tahun 2005 27 Tabel 2.2 Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor 75

Tabel 4.1 Penjelasan Guru 96

Tabel 4.2 Aksesibilitas Lingkungan Belajar 98

Tabel 4.3 Aksesibilitas Sumber Belajar 100

Tabel 4.4 Mobilitas Dalam Interaksi Dengan Guru & Teman Sebaya 102

Tabel 4.5 Perlakuan Dari Lingkungan Belajar 105

Tabel 4.6 Azas Kerahasiahan 107

Tabel 4.7 Azas Kesukarelaan 109

Tabel 4.8 Azas Keterbukaan 110

Tabel 4.9 Azas Kegiatan 112

Tabel 4.10 Azas Kemandirian 113

Tabel 4.11 Azas Kekinian 114

Tabel 4.12 Azas Kedinamisan 115

Tabel 4.13 Azas Keterpaduan 116

Tabel 4.14 Azas Keharmonisan 117

Tabel 4.15 Azas Keahlian 118

Tabel 4.16 Azas Alihtangan 119

Tabel 4.17 Layanan Dasar 122

Tabel 4.18 Layanan Responsif 124

Tabel 4.19 Pelayanan Perencanaan Individual 126

Tabel 4.20 Pelayanan Dukungan Sistem 128

Tabel 4.21 Materi Layanan Bimbingan dan Konseling 130

Tabel 4.22 Layanan Bimbingan dan Konseling 134

(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian 14

Gambar 2.1 Pandangan Tradisional Pilihan Pemberian Layanan Pendidikan 16 Gambar 2.2 Evolusi Pilihan Penempatan bagi Anak-anak dengan Kelainan 22 Gambar 2.3 Pilihan Sekolah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Jepang 26

Gambar 2.4 Sistem Persekolahan di Jepang 28

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada.

(6)

pendidikan khusus. Dalam Pernyataan Salamanca tersebut ada enam hal yang ditekankan, yaitu: (1) hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah, (2) hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif, (3) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual, (4) pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif, (5) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu, dan (6) keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya.

Tanpa adanya akselerasi, sasaran tidak bisa tercapai dan ketidakseimbangan antar negara semakin terbentang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan dasar akan pendidikan merupakan hal yang penting (Fasli Djalal, 2002:1). Menyadari akan pentingnya pendidikan, para partisipan yang tergabung dalam World Education Forum bertemu di Dakar, Senegal bulan April 2000 dan mengikrarkan akan

(7)

pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa, (4) pada tahun 2015 diharapkan akan ada peningkatan sekitar 50% untuk tingkat baca tulis orang dewasa, khususnya wanita, dan akses yang menunjang keseimbangan akan pendidikan yang berlanjut untuk semua orang dewasa, (5) menghilangkan isu gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keseimbangan gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Hal ini akan berfokus pada akses seimbang dan menyeluruh untuk wanita dalam pendidikan dasar yang berkualitas baik, dan (6) memperbaiki semua aspek dalam kualitas pendidikan sehingga semua hasilnya bisa dinikmati oleh semua pihak, terutama dalam baca tulis, menghitung dan keterampilan siap pakai. Dari ke enam tujuan pendidikan tersebut jelaslah bahwa pendidikan harus diselenggarakan untuk semua. Kata semua anak secara literal dan jelas ditujukan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan layanan pendidikan khusus.

(8)

bagi anak yang berkebutuhan khusus permanen, sedangkan ayat 2 bagi anak yang berkebutuhan khusus temporer.

Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikan khusus belum ditetapkan, tetapi berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) draft akhir Bab II Pasal 12 tentang Pendidikan Terpadu dan Inklusif dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan terpadu dan inklusif bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikannya, (2) pendidikan terpadu dan inklusif dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, (3) penyelenggaraan pendidikan terpadu dan inklusif dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan kemampuan sekolah, (4) sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan inklusif perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang diperlukan peserta didik berkelainan, (5) peserta didik yang mengikuti pendidikan terpadu dan inklusif berhak mendapatkan penilaian secara khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan, (6) pemerintah mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan inklusif, dan (7) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah.

Selain Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pendidikan inklusif, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Dikdasmen, Dit PLB membuat kebijakan dan pengembangan program PLB yang di dalamnya mengakomidasi tentang pendidikan inklusif, sebagai berikut:

(9)

dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.

Upaya pendidikan inklusif harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep inklusi ini juga diperkuat adanya konvensi tentang hak-hak anak luar biasa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensi yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan isi yang terkandung dalam kebijakan di atas jelaslah bahwa pendidikan inklusif bukan hanya isu internasional tetapi juga isu nasional. Hal ini terbukti dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan inklusif sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus. Keinginan tersebut adalah keinginan yang wajar dari pemerintah, mengingat jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah relatif masih sedikit. Data resmi Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari populasi anak penyandang disabiltas di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat PSLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak berkebutuhan khusus yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikannya. Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem pendataan.

(10)

secara akademis berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum. Banyaknya tunanetra yang telah berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum secara konseptual dapat ditelusuri beberapa argumentasi yang memperkuat prospektif anak tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah inklusif. Pertama dari sisi akademis, bahwa adanya hambatan penglihatan (visual handicapped), tidak memberikan pengaruh signifikan untuk menghambat aksesibilitas akademis anak tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum. Hardman, et.al (1992: 28), menjelaskan bahwa kapasitas inteligensi anak tunanetra sama dengan anak-anak melihat, kalaupun ada hambatan terletak pada pengembangan fungsi kognitifnya (cognitive function development). Kedua dari sisi keterampilan sosial (social skills), bahwa keterbatasan fungsi penglihatan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap keterampilan sosial anak tunanetra, dimana pada batas-batas tertentu anak tunanetra relatif dapat mengembangkan keterampilan sosial dengan lingkungan. Ketiga dari mobilitas, dimana dengan setting pendidikan inklusif banyak

memberikan peluang bagi tunanetra untuk melakukan mobilitas bersama siswa lain (siswa melihat) dan hal ini akan memberikan pengayaan terhadap penguasaan dasar orientasi dan mobilitas.

(11)

B. Rumusan Masalah

Pendidikan inklusif memiliki landasan formal baik yang berskala internasional, nasional, maupun lokal. Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama dengan anak-anak lainnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan, bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak pada umumnya untuk mendapatkan layanan pendidikan di sekolah terdekat.

(12)

Berdasarkan fenomena di atas, tampak belum adanya kesejalanan antara penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dengan prinsip pendidikan inklusif, khususnya dalam pengembangan layanan bimbingan dan konseling. Berangkat dari permasalahan tersebut, menggiring perlunya pemikiran akademis-ilmiah akan arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling yang kontekstual dengan permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif. Berangkat dari kerangka berpikir tersebut, permasalahan pokok penelitian ini adalah: “Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan layanan bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?”

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk menjabarkan rumusan masalah di atas, perlu dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Permasalahan apa saja yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

b. Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

c. Bagaimana penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

(13)

e. Bagaimana rumusan program bimbingan dan konseling serta strategi intervensi untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

f. Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling terhadap kegiatan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan layanan bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

2. Tujuan Khusus

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data lapangan yang berkenaan dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

b. Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

(14)

d. Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

e. Rumusan program dan strategi intervensi bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

f. Kontribusi penerapan prinsip bimbingan dan konseling terhadap kegiatan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Dalam tataran teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat ke arah pengembangan filosofis konseptual tentang penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan belajar bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Pandangan filosofis dimaksudkan untuk memberikan pandangan mendasar (grounded theory) tentang bagaimana seharusnya program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif dirumuskan dan dilaksanakan. Pandangan konseptual meletakan prinsip-prinsip pengembangan program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

2. Manfaat Praktis

(15)

a. Bagi Dinas Pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran bagi para pembuat kebijakan dalam bidang Pendidikan Luar Biasa pada khususnya, tentang pentingnya program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara pendidikanm inklusif.

b. Bagi Kepala Sekolah Umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang bagaimana merumuskan program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolahnya.

c. Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran operasional tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

d. Bagi Konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran operasional untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

F. Kerangka Penelitian

(16)

menghilangkan dukungan dan layanan yang diperlukan oleh anak-anak di sekolah umum”. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pendidikan inklusif membantu perkembangan semua anak dengan cara yang berbeda-beda (Heston, M., 2004:2)

Ketika inklusi yang baik dilaksanakan, anak yang memerlukan inklusi tidak berada sendirian. Dalam kurikulum inklusif termasuk di dalamnya keterlibatan orang tua, siswa dalam membuat pilihan, dan banyaknya keterlibatan orang lain (Heston, M., 2004:1). Hal inilah yang menggambarkan arti penting layanan pendidikan yang melibatkan kerjasama semua pihak. Kerjasama kemitraan dalam penanganan pendidikan bagi anak tunanetra di sekolah inklusif, merupakan implementasi dari konsep pendekatan multidisipliner. Misalnya, ketika guru pembimbing melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, maka ia tidak bisa berjalan sendiri melainkan harus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), guru kelas, psikolog, dokter, bahkan orang tua.

(17)

berpengaruh terhadap motivasi anak untuk belajar dan ada kecenderungan untuk tertinggal dalam perkembangan mental dan belajarnya (Aefsky, F., 1995;15).

Salah satu komponen utama dalam layanan pendidikan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah layanan bimbingan dan konseling. Fokus dari layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah memfasilitasi pengembangan fungsi-fungsi psikologis siswa tunanetra dalam upaya mengatasi permasalahan pembelajaran dan sekaligus mengembangkan potensi anak tunanetra. Secara empirik, layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif belum berjalan sebagaimana mestinya. Kenyataan ini mengharuskan layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan analisis kontekstual karakteristik siswa tunanetra dan pengelolaan sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

(18)

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian Rekomendasi program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra

di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif

TUNANETRA

GURU

KONSELOR

Permasalahan pembelajaran siswa tunanetra

Kebutuhan siswa

tunanetra tentang layanan

bimbingan dan konseling

Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru

Penerapan layanan

(19)

81

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Mencermati karakteristik permasalahan yang akan diteliti, maka pendekatan yang dinilai relevan untuk digunakan adalah pendekatan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengungkap pengalaman nyata yang dialami oleh para responden dalam implementasi pendidikan inklusif di lapangan. Pendekatan ini merupakan latar belakang pendalaman bagi penelitian kualitatif. Untuk melakukan pendalaman (indepth) terhadap data kuantitatif yang diperoleh dari hasil penelitian, maka dilakukan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan maksud untuk melakukan pendalaman (indepth) terhadap keadaan yang sebenarnya di lapangan melalui pegamatan dan wawancara tehadap responden. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Nasution (1982:5) bahwa inti dari penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan lingkungan mereka, dan berusaha memahami bahasa serta tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

(20)

bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, (4) Apa kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, (5) Bagaimana rumusan program serta strategi intervensi bimbingan dan konseling untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?, dan (6) Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling terhadap kegiatan belajar anak tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?. Hasil dari analisis empiris tersebut, kemudian dianalisis dengan menggunakan rujukan konsep bimbingan dan konseling dalam seting layanan pendidikan inklusif bagi anak tunanetra. Berdasarkan analisis empirik-konseptual dimaksud, kemudian direkomendasikan program bimbingan dan konseling yang sesuai bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

B. Subyek Penelitian

(21)

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, wawancara, dan observasi. Ketiga teknik pengumpulan data tersebut digunakan dengan harapan saling melengkapi dalam memformulasikan rumusan yang diharapkan.

a. Kuesioner

Teknik ini dipergunakan untuk mengungkap berbagai pendapat siswa tunanetra, guru, dan konselor. Kuesioner bagi siswa tunanetra bertujuan untuk mengungkap permasalahan pembelajaran yang dihadapi dan kebutuhan layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Bagi guru, kuesioner bertujuan untuk mengungkap penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, dan kuesioner bagi konselor bertujuan untuk mengungkap penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

b. Observasi

(22)

pengumpulan data dan informasi. Dalam kaitan ini keuntungan diperoleh karena peranan peneliti tersamar bagi orang yang menjadi subyek penelitian sehingga dapat memperoleh informasi secara maksimal (Nasution, S., 1996: 64). Teknik observasi digunakan untuk mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan tunanetra dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam kegiatan observasi ini, ditujukan untuk pertama mengamati kegiatan tunanetra dalam mengikuti pembelajaran di kelas maupun mengikuti aktivitas di luar kelas dalam lingkungan sekolah, seperti cara mengajukan pertanyaan, mengajukan ide/pendapat dan diskusi kelas, belajar bersama/tugas kelompok, dan perlakuan khusus yang diberikan guru terhadap tunanetra dalam proses pembelajaran. Pengamatan atau observasi ini dilaksanakan dalam suasana pembelajaran di kelas dan aktivitas tunanetra di luar kelas pada lingkungan sekolah di beberapa SMA penyelenggara perintis pendidikan inklusif di Kota Bandung. Kedua, mengamati guru dalam menerapkan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra, dan ketiga, mengamati konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling dalam belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

c. Wawancara

(23)

kesulitan dalam menyampaikan dan menerima gagasan, menggunakan sumber belajar, persiapan dan pelaksanaan ujian pada tunanetra, layanan pendidikan yang diharapkan tunanetra, dan perlakuan khusus yang diberikan guru kelas serta guru bimbingan dan konseling terhadap siswa tunanetra. Melalui wawancara ini juga akan terungkap dari guru tentang konsep-konsep bimbingan dan konseling yang diterapkannya dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra, serta dari konselor diharapkan akan terungkap layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

2. Pengembangan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan penjabaran dari setiap pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Kisi-kisi instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada lampiran.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah gabungan dari analisis data kuantitatif dan kualitatif.

(24)

deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi, perhitungan mean, median atau modus.”

Analisis data kualitatif dilakukan pada waktu peneliti masih berada di lapangan dan setelah proses pengumpulan data, yaitu peneliti meninggalkan lapangan. Pada saat penelitian dilakukan, analisis data dilakukan dengan cara merekam data lapangan, melakukan member check kepada sampel penelitian, melakukan triangulasi, dan melakukan penyempurnaan analisis, kemudian menyusun kecenderungan-kecenderungan yang timbul sesuai dengan proses dan jenis data yang diperoleh untuk mendapatkan makna yang terkandung di dalam data.

(25)

150 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berikut akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang diformulasikan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan di bawah ini dibuat sesuai dengan urutan butir-butir pertanyaan seperti yang sudah dikemukakan dalam bab sebelumnya:

1. Keberadaan tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif merupakan salah satu kondisi nyata dari implementasi pendidikan inklusif yang sudah dicanangkan pemerintah. Dalam mengikuti pendidikan di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, mereka menghadapi berbagai permasalahan yang muncul. Dalam pembelajaran dan tugas-tugas yang harus diselesaikan, mereka menghadapi kesulitan dalam memahami keseluruhan penjelasan dari guru terutama penjelasan atau tugas yang memerlukan kesan visual. Aksesibilitas lingkungan belajar dan sumber belajar, misalnya penggunaan fasilitas sekolah dan ketersediaan buku-buku pelajaran, merupakan beberapa kendala lainnya ketika mereka di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Keterampilan orientasi dan mobilitas merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh tunanetra, dengan memiliki keterampilan ini tunanetra dapat melakukan interaksi dengan baik di lingkungannya, juga sebagai modal dasar dalam melakukan penyesuaian sosial di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

(26)

pertama kali dilakukan sebelum melakukan pembelajaran terhadap siswa tunanetra. Berdasarkan hasil asesmen ini guru akan memahami betul potensi yang dimiliki anak, kekurangan anak, dan kebutuhan pembelajaran anak. Dalam beberapa konsep-konsep bimbingan dan konseling, nampaknya guru sudah mulai menerapkan hasil asesmen ini dalam pembelajaran. Mereka berpendapat bahwa informasi dari tunanetra sangat penting dan mereka bisa memilah dan memilih, mana informasi yang harus di share dengan orang lain dan mana yang harus dirahasiahkan. Para guru juga menerima siswa tunanetra apa adanya, bahkan memfasilitasi tunanetra untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan di kelasnya. Mereka yakin bahwa keterlibatan tunanetra dalam berbagai aktifitas dapat menumbuhkan keyakinan dan kemandirian individu tunanetra. Para guru yakin bahwa pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi tunanetra harus menganut prinsip keterpaduan dan keharmonisan, karena dengan membawakan salah satu peran dari berbagai konsep-konsep bimbingan dan koseling dapat menjadikan bahan masukan yang berarti bagi guru untuk menangani siswa tunanetra di kelasnya. Mereka memahami bahwa konseling harus ditangani oleh ahlinya, dan referal merupakan tindakan yang dapat dilakukan untuk menerima atau mengirim siswa yang tidak mampu ditanganinya.

(27)

fokus perhatian bagi siswa tunanetra di sekolah inklusif. Karena ketunanetraannya mereka menghadapi berbagai permasalahan ketika mengikuti pendidikan dalam seting inklusi, permasalahan tersebut sangat variatif terutama yang berhubungan dengan bidang pribadi-sosial, akademik, dan karir.

4. Hasil penelitian yang berhubungan dengan kebutuhan siswa tunanetra akan layanan bimbingan dan konseling di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif menunjukkan bahwa hampir seluruh siswa tunanetra menginginkan terfasilitasinya mereka oleh guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di bidang pribadi-sosial, akademik, dan karir. Dengan bantuan guru bimbingan dan konseling mereka mengharapkan dapat merumuskan tujuan hidup, merancang masa depan, dan membuat keputusan-keputusan yang terkait dengan perencanaan masa depannya. Secara umum para siswa tunanetra mengharapkan adanya kontribusi yang positif dari guru bimbingan dan konseling dalam memfasilitasi mereka menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat.

5. Dari kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap tunanetra didukung oleh data yang diperoleh dari guru dan konselor serta sesuai dengan permasalahan nyata yang dihadapi oleh siswa tunanetra dalam mengikuti pendidikan di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, maka rumusan program bimbingan dan konseling bagi tunanetra dalam seting ini dibagi ke dalam tiga bagian sesuai dengan temuan-temuan sebelumnya, yaitu: program bimbingan sosial, akademik, dan karir. Program bimbingan pribadi-sosial, isi program menekankan pada penyediaan konsultasi dalam membantu

(28)

rasa percaya diri yang wajar untuk dimilikinya perilaku adaptif pada tunanetra. Program bimbingan akademik, isi program menekankan pada penyediaan

konsultasi untuk mengatasi permasalahan atau kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran, mencari dan menggunakan buku sumber atau referensi lainnya, dan menumbuhkan motivasi kepada siswa tunanetra yang berada di ujung keputusasaan akibat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran. Program bimbingan karir, isi program menekankan pada pemberian layanan

informasi mengenai Perguruan Tinggi (PT), langkah-langkah yang harus dipersiapkan dalam memasuki PT, dan cara-cara belajar di PT serta pemberian informasi tentang berbagai pekerjaan yang memungkinkan untuk dapat dimasuki oleh siswa tunanetra, seperti bekerja sebagai tenaga operator, penterjemah, guru, pemijat, pemusik, peternak, petani, dan sebaginya. Adapun strategi intervensi dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (1) peningkatan efektifitas fungsi konselor dalam mengungkap permasalahan dan kebutuhan individual siswa, (2) usaha sinergi peran guru atas dasar masalah yang dihadapi oleh siswa, dan (3) kolaborasi dengan orang tua, guru orientasi dan mobilitas, pekerja sosial, dokter, atau tenaga lainnya apabila ada masalah teknis yang berhubungan dengan ketunanetraan.

(29)

membangun sikap hidup mandiri untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

B. Rekomendasi

(30)

guru sebaiknya terkandung materi pendidikan inklusif sebagai salah satu upaya pengembangan kompetensi guru sesuai dengan tuntutan lapangan.

2. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 4 Ayat (1) mengemukakan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menunjuk minimal satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Konsekuensi dari adanya Permendiknas ini adalah bagaimana kesiapan para guru, khususnya guru bimbingan dan konseling, di sekolah yang ditunjuk. Oleh karena itu nampaknya Dinas Pendidikan harus terlebih dahulu mempersiapkan para gurunya termasuk guru bimbingan dan konseling melalui program In-service Training tentang pendidikan inklusif.

3. Kepala sekolah inklusif dituntut untuk lebih kreatif dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi pendidikan inklusif adalah pentingnya membangun jejaring (networking). Dalam strategi intervensi yang diformulasikan di atas, bahwa strategi kolaboratif merupakan salah satu yang perlu dilakukan dalam melakukan intervensi kepada siswa tunanetra. Dalam strategi ini diperlukan pendekatan integratif dengan adanya keterlibatan dari berbagai pihak, misalnya: orang tua, instruktur O&M, ahli low vision, dan sebagainya.

(31)

dengan pengetahuan tentang ketunanetraan. Sehubungan dengan itu, diperlukan adanya kondisi yang dapat mengembangkan substansi ketunanetraan bagi guru dan konselor.

5. Keberadaan tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif perlu diperhatikan aspek mobilitas dalam interaksi dengan guru, teman sebaya, dan personel lainnya di sekolah. Interaksi dengan teman sebaya di sekolah akan sangat memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan siswa tunanetra, baik dalam hal peningkatan sosialisasi, pengembangan konsep, dan akhirnya terhadap rasa percaya diri siswa tunanetra. Dalam hal ini, guru bimbingan dan konseling sebagai inti dalam melakukan kolaborasi dan sosialisasi tunanetra dengan berbagai pihak, harus berperan sebagai social engineer.

6. Implementasi pendidikan inklusif merentang pada semua jenjang pendidikan. Demikian juga keberadaan siswa tunanetra akan merentang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Permasalahan yang dihadapi oleh siswa tunanetra dan keluarganya tidak dirasakan hanya oleh siswa tunanetra dan keluarga yang berada di jenjang sekolah menengah atas. Sehubungan dengan itu untuk membantu siswa dan keluarga tunanetra perlu adanya guru bimbingan dan konseling di setiap jenjang pendidikan atau berdomisili di satu sekolah sebagai pusat layanan konseling (counselling center) dengan membawahi beberapa sekolah di suatu daerah dengan menjalankan fungsi sebagai konselor kunjung (itinerant counsellor). Kondisi ini diharapkan dapat mengembangkan program

(32)

157

DAFTAR PUSTAKA

Aefsky, F. (1995). Inclusion Confusion: A Guide to Educating Students With Exceptional Needs. California: Corwin Press, Inc., Thousand Oaks.

Ahman. (1998). Model Bimbingan Konseling Perkembangan di Sekolah Dasar. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Albert, P. (2003). Building Inclusive Schools: a professional learning package. East Perth: Department of Education and Training.

Alcott, M. (2002). An Introduction to Children with special Educational Needs, Second Edition. London: Hodder & Stoughton.

Armstrong, R., Armstrong, D., and Barton, L. (2000). Inclusive Education: Policy, Contexts, and Comparative Perspectives. London: David Fulton Publishers.

Blocher, D.H. (1974). Developmental Counseling. 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons.

Bogdan, Robert C., & Biklen, (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to Theory and Method., Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Departemen Pendidikan Nasional. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus. Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Kualitas, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pendidikan dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-bangsa. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Menuju Inklusi, Deklarasi Lokakarya Nasional. Bandung: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif, Buku 2 tentang Identifikasi Anak Luar Biasa. Jakarta: Depdiknas.

(33)

Fasli, D. (2002). Pendidikan untuk Semua: Visi dan Rencana, Lokakarya Gabungan tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tingkat Nasional, DEPDIKNAS, Dit. PLB, Braillo Norway, University of Oslo. Jakarta: Braillo.

Geldard, D. and Geldard, K. (1998). Basic Personal Counseling: a training manual for counselors. Australia: Prentice Hall, An imprint of Pearson Education Australia.

Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia. (1998). Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Para Penyandang Cacat, Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993. Jakarta: HWPCI.

Imron Arifin, ed. (1996). Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang: Kalimasahada Press.

Ivey, J.K. and Reinke, K. (2000). Pre-service Teachers` Attitudes Towards Inclusion In A Non-Traditional Classroom, Electronic Journal of Inclusive Education, Wright State University. Ohio: College of Education and Human Services.

Johnsen, B.H. dan Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Kartadinata, S. (2002). Current Problems, Issues and Recent Progress in Special Education in Indonesia, Symposium on International Cooperation for Education in Developing Countries. Tsukuba: University of Tsukuba.

Kartadinata, S. dkk. (2007a). Naskah Akademik: Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.

Kartadinata, S. dkk. (2007b). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas.

Kauffman, J.M. and Hallahan, D.P. (2005). Special Education: What It Is and Why We Need It. Boston, New York, San Francisco, Mexico City, Montreal, Toronto, London, Madrid, Munich, Paris, Hong Kong, Singapore, Tokyo, Cape Town, Sydney: Pearson Education, Inc.

Lexy, J. Moleong, (1997). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Erlangga.

Makmun, A., S. (2003). The Education Systems for Children with Special Needs in Indonesia and Japan. Tsukuba: Center for Research on International Cooperation in Educational Development (CRICED).

(34)

Mudjito, AK. (2004). Kebijakan dan Program Direktorat Pendidikan Luar Biasa 2004. Jakarta: Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Muro, J.J. & Kottman, T. (1995). Guidance and Counseling in the Elementary and Middle Schools. Dubuque, IA: WBC Brown & Bencmark.

Myrick, R.D. (1993). Developmental Guidance and Counseling: A Practical Approach. 2nd. Minneapolis: Educational Media Corporation.

Nasichin (2001): Special Schools in Indonesia, Final Report of the 21st APEID Regional Seminar on Special Education, Japanese National Commission for UNESCO. Tokyo: The National Institute of Special Education.

Nasution, S. (1982). Metode Research. Bandung, Jemmars.

Ohio Coalition for the Future of School Counseling (N.D.). Ohio’s Youth Need School Counselors. Booklet. Columbus, Ohio: The Ohio State University.

Olsen, H. ( 2002). Inclusive Education – A Strategy towards Education for All, National Cluster Workshop for Special Needs Education, Ministry of National Education, Directorate for Special Education, Braillo Norway, University of Oslo. Jakarta: Braillo.

Pijl, S.J., Meijer, C.J.W., and Hegarty, S. (1997). Inclusive Education A Global Agenda. London and New York: Routledge.

PKBI-DIY. (1999). Konvensi Hak Anak, UNICEF. Jogja: Sahabat Remaja.

Scholl, G.T., (1986). Foundations of Education for Blind and Visually Handicapped Children and Youth, New York: American Foundation for the Blind.

Smith, J.D. (1998). Inclusion Schools for All Students. Washington: Wadsworth Publishing Company, An International Thomson Publishing Company.

Spungin, S.J., and Ferrel, K.A. (2005). The Role and Function of the Teacher of Students with Visual Impairment. Position paper developed for the Division of Visual Impairment – Counsil for Exceptional Children.

Stone, G.L. (1986). Counseling Psychology Perspectives and Functions. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.

(35)

Sunardi. (2004). Trend Dalam Pendidikan Khusus, Makalah pada Pelatihan Dosen Kekhususan Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Subdit PGTK/PLB, Dit P2TK&KPT, Ditjen Dikti.

Thompson, C.L., Rudolph, L.B., and Henderson, D.A. (2004). Counseling Children, Sixth Edition. United States: Thomson Brooks/Cole.

Uman Suherman, AS. (2009): Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rizqi Press.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2005). Guidelines For Inclusion: Ensuring Access to Education for All. The United Nations Educational. France: UNESCO.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. (2003). Overcoming Exclusion through Inclusive Approaches in Education: A Challenge & A Vision, Section for Early Childhood and Inclusive Education Basic Education Division. France: UNESCO.

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian
gambar berikut:
Gambar 1.1 Kerangka Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sugiyono (2013: 35) rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan dengan pertanyaan terhadap keberadaan variabel mandiri, baik hanya

Skripsi dengan judul “ Kajian Karakteristik Edible Film dari Tapioka dan Gelatin dengan Perlakuan Penambahan Gliserol ” yang diajukan oleh Atika Ariani Hendra

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer pada Program Studi Pascasarjana Magister Teknik Informatika pada Fakultas Ilmu Komputer

Mengutip pendapat para ahli, Uno (2008: 1) menyatakan bahwa strategi pembelajaran di antaranya adalah (1) setiap kegiatan yang dipilih yang dapat memberikan fasilitas

Pelaksanaan tindakan pembelajaran siklus I, dikemas menjadi dua rencana pembelajaran, dalam satu rencana pembelajaran digunakan untuk satu kali pertemuan dengan

Besarnya tingkat daya bunyi yang diradiasikan kelu ar melalui tiap-tiap keluaran uda~a (terminal outpu t) sistem saluran udara port side, didapat deng an

Diameter zona hambatan terbesar terdapat pada ekstrak kasar (48 jam = 16,30 mm) dan untuk fraksi protein terdapat pada tingkat fraksi 40-60% (48 jam = 14,40 mm) yang

Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak atau fiksi dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma