• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA."

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Definisi Operasional ... 10

F. Hipotesis Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

A. Kemampuan Generalisasi ... 14

B. Hakikat Matematika dan Pembelajaran Matematika Di Sekolah ... 21

C. Pembelajaran Penemuan Terbimbing ... 24

D. Ketuntasan Belajar ... 33

E. Observasi Kegiatan Pembelajaran Siswa ... 35

F. Penelitian Yang Relevan ... 35

(2)

B. Waktu Penelitian ... 38

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

D. Variabel Penelitian ... 41

E. Instrumen Penelitian ... 41

1. Analisa Validitas Tes ... 43

2. Analisa Reliabilitas Tes ... 44

3. Analisa Daya Pembeda ... 46

4. Analisa Kesukaran ... 47

5. Lembar Observasi/Pengamatan ... 49

F. Bahan Ajar dan Pengembangannya ... 50

G. Prosedur Penelitian ... 50

1. Tahap Persiapan ... 50

2. Tahap Pelaksanaan ... 51

H. Teknik Analisis Data ... 52

1. Uji Normalitas Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik ... 53

2. Uji Homogenitas Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik ... 54

3. Gain Normal Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik ... 55

4. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata ... 55

5. Uji Perbedaan Rata-Rata Peningkatan Kemampuan Generalisasi Matematik antara Tiga Level pada Kelompok Eksperimen ... 58

(3)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Hasil Penelitian ... 61

1. Hasil Tes Materi Segitiga Mengukur Kemampuan Generalisasi Matematik Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 62

2. Uji Persyaratan Analisis Data Hasil Penelitian ... 65

3. Pengujian Hipotesis ... 68

4. Hasil Observasi Teman Sejawat ... 71

5. Ketuntasan Belajar Siswa Khusus Pada Kemampuan Generalisasi Matematik ... 72

B. Pembahasan ... 74

1. Kemampuan Generalisasi Matematika siswa ... 74

2. Pembelajaran Penemuan Terbimbing ... 75

3. Ketuntasan Belajar Mengukur Kemampuan Generalisasi Matematik ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(4)

1 A. Latar Belakang Masalah

Paradigma lama dalam dunia pendidikan di Indonesia masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma ‘mengajar’ masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi paradigma ‘membelajarkan’ siswa. Pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus kepada guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Kemudian metode ceramah masih menjadi pilihan utama dalam menyampaikan materi pembelajaran. Seringkali interaksi yang terjadi dalam pembelajaran hanya satu arah yang menekankan pada aspek kognitif siswa saja, sedangkan aspek afektif dan aspek psikomotor siswa masih kurang diperhatikan. Siswa diposisikan sebagai objek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memposisikan diri sebagai ‘yang mempunyai pengetahuan’. Siswa hanya ‘mengetahui’ dan tidak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya. Pernyataan ini terlihat memojokkan guru, tetapi itulah fakta yang terjadi hingga saat ini.

(5)

kurikulum KTSP, siswa harus aktif dan kreatif sehingga pembelajaran berpusat pada siswa bukan lagi pada guru. Apabila diberi latihan-latihan soal siswa selalu mengandalkan dan menunggu guru membahas jawabannya, jika ditanyakan mengapa tidak bisa, selalu dijawab belum paham atau belum mengerti. Apalagi jika siswa diberi soal-soal yang diakhiri dengan pertanyaan: ”apa kesimpulan dari...?” Siswa banyak yang tidak bisa menjawab atau ada yang menjawab tetapi menyimpulkan hal yang salah (terlihat pada hasil pretes). Akibatnya gurulah yang lebih banyak berperan dalam proses pembelajaran maupun menjawab soal.

Setiap guru yang akan melaksanakan tugas sehari-hari, dalam melakukan pembelajaran di kelas, disadari atau tidak, pasti memilih strategi tertentu. Tujuan memilih strategi pembelajaran ini agar pelaksanaan pembelajaran dikelas berjalan lancar dan hasilnya optimal. Setiap guru menyadari, bahwa tugasnya sebagai pendidik akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Sekalipun dirasakan ini beban moral yang berat, namun merupakan tugas mulia yang penuh dengan amal sholeh. Ilmu yang diberikan kepada siswanya akan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Pernyataan diatas dikemukakan juga oleh Suherman dkk (2003: 5), yang menyatakan bahwa: Pengertian strategi pembelajaran (matematika) adalah suatu siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal.

(6)

pembelajaran matematika yang dapat dilaksanakan di kelas, siswa memperoleh pelajaran melalui informasi yang disampaikan oleh guru. Cara mengajar informatif ini dapat terjadi dengan menggunakan metode ceramah, ekspositori, demonstrasi, tanya-jawab, atau metode lainnya. Siswa berperan sebagai penerima apa yang disampaikan guru (reception learning).

Ada strategi lain yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar matematika, sehingga siswa tidak hanya reception learning. Diantaranya adalah dengan metode discovery (penemuan). Metode discovery (penemuan) memungkinkan siswa untuk mengetahui dengan pasti informasi yang akan diselesaikan karena berasal dari diri mereka sendiri, ini adalah cara paling alami bagi siswa untuk lebih mudah memahami pelajaran matematika dan pelajaran lebih mudah diingat (dalam Kite, 2006:1).

(7)

dipelajari. Siswa akan lebih mudah mengingat konsep, struktur atau rumus yang telah ditemukan.

Bruner (dalam Dahar, 1996: 103) mengemukakan bahwa salah satu keuntungan belajar discovery yaitu dapat meningkatkan penalaran (analogi dan generalisasi) siswa. Hal ini dikarenakan pembelajaran discovery menuntut siswa menemukan konsep matematika yang dipelajari secara sendiri-sendiri maupun dengan berkelompok. Dalam proses menemukan konsep, siswa akan menggunakan kemampuan bernalarnya. Siswa akan cenderung memulainya dari hal-hal khusus menuju hal yang lebih umum (generalisasi) atau siswa juga akan mengaitkan keserupaan konsep yang sedang dipelajari dengan materi yang sudah pernah mereka dapatkan sebelumnya (analogi). Sehingga secara sadar ataupun tidak, siswa telah menggunakan kemampuan bernalarnya, dalam hal ini kemampuan penalaran analogi dan generalisasi matematis.

(8)

positif dengan hasil belajar matematika sehingga diduga metode discovery dapat meningkatkan sikap positif terhadap matematika.

Sobel (2004:15) menyatakan ada dua tipe pendekatan penemuan yang dapat digunakan di dalam kelas, yaitu penemuan terbimbing dan penemuan kreatif. Penemuan terbimbing adalah pendekatan pembelajaran dimana guru membimbing siswa dengan tahapan-tahapan yang benar dalam menemukan penyelesaian soal-soal atau masalah matematika. Tahapan-tahapan tersebut diantaranya mengijinkan adanya diskusi dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun. Sedangkan penemuan kreatif dimana guru meminta siswa untuk menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang diberikan. Guru menciptakan situasi agar siswa menemukan sendiri dengan menggunakan intuisi dan pengalaman mereka yang lalu. Guru mengusahakan agar siswa hanya sedikit mendapat bimbingan atau tanpa bimbingan sama sekali. Pernyataan Suherman, dkk. (2001: 60): Guru hendaknya banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun sosial agar timbul kreatifitas.

Tersurat dalam KTSP (2006:2) bahwa melatih kemampuan generalisasi merupakan bagian dari lima tujuan umum mempelajari matematika, yaitu:

(9)

matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Apabila dicermati dari ke-lima tujuan diatas, maka tujuan umum dalam belajar matematika menekankan pada kemampuan menggunakan matematika dan penalaran matematika. Matematika dan penalaran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar matematika (Depdiknas, 2002). Hal ini sejalan dengan Hudoyo (2001: 821) yang menyatakan bahwa proses penalaran merupakan aspek/bagian yang esensial dari berpikir matematika. Adapun dari ke- lima aspek diatas, yang akan menjadi fokus pada penelitian ini adalah pada poin ke-dua yaitu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Telah kita ketahui bahwa Kemampuan generalisasi merupakan bagian dari penalaran matematik.

Wahyudin (2009:5-36) mengklasifikasikan kemampuan dasar matematika dalam 6 (enam) standar kemampuan dengan indikator sebagai berikut: (1). Pemahaman matematika, (2). Pemecahan masalah matematika (mathematical problem solving), (3). Penalaran matematika (mathematical reasoning), (4).

(10)

(mathematical communication), (6). Representasi (mathematical representation). Dari pernyataan ini maka kemampuan generalisasi termasuk dalam penalaran matematika.

Penalaran merupakan salah satu yang tercantum pada indikator ketiga dari klasifikasi kemampuan dasar matematika diatas. Penalaran matematika dapat diaplikasikan secara efektif atau tidak efektif dan dapat juga diaplikasikan untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Konsep-konsep matematika yang tersusun secara hirarkis itu artinya bahwa konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memahami suatu konsep matematika yang baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi sangat diperlukan penguasaan konsep-konsep matematika dan daya nalar yang baik dari jenjang pendidikan sebelumnya.

(11)

setiap proses pembelajaran. Berdasarkan fenomena di atas maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang “Pengaruh Pembelajaran Penemuan Terbimbing Terhadap Kemampuan Generalisasi Matematika Siswa SMP”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini difokuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penemuan terbimbing secara individu lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan teknik penemuan terbimbing secara kelompok?

2. Apakah kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing secara individu lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional? 3. Apakah kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing secara kelompok lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional?

(12)

5. Apakah peningkatan kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan kemampuan generalisasi matematik dan ketuntasan belajar siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menelaah:

1. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.

2. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara individual dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara kelompok.

3. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara individual dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.

4. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara kelompok dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.

(13)

6. Peningkatan kemampuan generalisasi matematik siswa yang diajarkan secara konvensional.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti bagi guru matematika dalam pemilihan strategi dalam kegiatan pembelajaran matematika di kelas, khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan generalisasi matematik untuk siswa sekolah menengah pertama. Sedangkan manfaat secara khusus antara lain:

1. Menjadi masukan bagi guru matematika di sekolah menengah pertama (SMP) dalam menerapkan strategi atau model pembelajaran penemuan terbimbing sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan generalisasi matematik siswa.

2. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang penerapan pembelajaran penemuan terbimbing dalam proses belajar mengajar matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan akan dikaitkan dengan ketuntasan belajar siswa, fokus pada kemampuan generalisasi matematik.

E. Definisi Operasional

(14)

1. Kemampuan generalisasi matematik yaitu kemampuan proses penarikan kesimpulan dengan memeriksa keadaan khusus menuju kesimpulan umum. Penalaran tersebut mencakup pengamatan contoh-contoh khusus dan menemukan sebuah pola. Adapun indikator kemampuan generalisasi dalam penelitian ini adalah:

a. perception of generality, atau dapat mengenal sebuah pola;

b. ekspression of generality, atau mampu menguraikan sebuah aturan/pola, baik secara numerik maupun verbal;

c. symbolic ekspression of generality, atau menghasilkan sebuah aturan dan pola umum;

d. manipulation of generality, atau mampu menerapkan aturan/pola dari berbagai persoalan.

2. Pembelajaran penemuan terbimbing yaitu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada masalah matematika dan guru bertindak sebagai fasilitator/pembimbing ketika siswa memecahkan masalah tersebut. Dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya serta bimbingan dari guru, siswa diarahkan untuk menemukan ide-ide, konsep, aturan atau prosedur matematika melalui aktivitas pemecahan masalah yang diawali dengan coba-coba.

(15)

menjawab, diakhiri dengan memberikan tes atau latihan soal-soal tentang materi perlajaran yang telah diajarkan.

F. Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga kelompok siswa sebagai sampel yang diteliti, dua kelompok siswa belajar matematika menggunakan pembelajaran penemuan terbimbing dan satu kelompok lainnya belajar matematika dengan pembelajaran konvensional. Siswa yang belajar matematika dengan penemuan terbimbing dibagi lagi menjadi dua yaitu: satu kelompok belajar dengan penemuan terbimbing secara individu dan kelompok kedua belajar dengan penemuan terbimbing secara kelompok. Pengaruh pembelajaran matematika dengan penemuan terbimbing terhadap kemampuan generalisasi matematik siswa dapat dilihat dengan membandingkan hasil belajar matematika siswa pada ketiga kelompok tersebut. Berdasarkan hal tersebut hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang belajar dengan penemuan terbimbing secara individu lebih baik secara signifikan dibandingkan siswa yang belajar dengan penemuan terbimbing secara kelompok.

(16)

3. Kemampuan generalisasi matematik siswa yang belajar dengan penemuan terbimbing secara kelompok lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara konvensional.

4. Peningkatan kemampuan generalisasi matematik siswa yang diajarkan dengan metode penemuan terbimbing secara individu lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara kelompok.

(17)

13 A. Kemampuan Generalisasi

Generalisasi merupakan bagian dari penalaran. Oleh sebab itu untuk memahami kemampuan generalisasi kita harus pahami dulu apa yang dimaksud dengan penalaran. Keraf (dalam Shadiq, 2004) menyatakan bahwa penalaran sebagai proses berpikir yang menghubungkan fakta-fakta yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Sebagai contoh, dari pengetahuan tentang besar dua sudut dalam suatu segitiga diketahui 45o dan 35o, maka dapat disimpulkan atau dibuat pernyataan bahwa sudut yang ketiga dalam segitiga tersebut besarnya adalah 100o. Alasan dari jawaban ini adalah jumlah sudut dalam satu segitiga adalah 1800. Penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Shurter dan Pierce (dalam Sumarmo, 1987:31) penalaran adalah proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan.

(18)

umum yang menuntun kita memperoleh kesimpulan untuk sesuatu yang khusus. Penalaran Induktif dan deduktif seringkali hanya dibedakan antara keumuman dan kekhususan dari premis dan kesimpulannya. Deduktif didefinisikan sebagai proses penalaran yang berjalan dari premis umum ke khusus. Kemudian Soekadijo (1991:6) menyatakan bahwa penalaran yang lebih luas daripada premisnya disebut penalaran induktif. Tidak semua induktif konklusinya harus suatu generalisasi; konklusinya itu suatu proposisi umum, suatu proposisi universal, yang berlaku secara umum. Deduktif dan induktif bukan dibedakan dari keumuman dan atau kekhususan premis dan konklusinya saja, tetapi berkaitan dengan derajat kesahihannya, yakni deduktif berhubungan dengan kesahihan argumen dan induktif berhubungan dengan derajat kemungkinan kebenaran dari konklusi.

Penalaran induktif dan deduktif walaupun saling berlawanan, akan tetapi penggunaannya dalam matematika keduanya saling melengkapi. Bruner (dalam Lohman, 2002:28) yang menyatakan bahwa ketika orang memberikan alasan, maka akan melewati informasi yang ada dengan salah satu atau kedua cara berikut ini:

1. Mereka berusaha menarik kesimpulan secara otomatis dari konsep-konsep, pola-pola atau aturan-aturan yang dipandang terbaik mencirikan hubungan-hubungan atau pola-pola yang mereka rasakan untuk semua elemen (kata, simbol, gambar, suara, pergerakan dan sebagainya) dalam suatu kumpulan rangsangan.

(19)

menggunakan jaminan yang dipandang masuk akal secara logis atau melalui informasi yang telah diketahui dalam soal-soal atau yang diasumsikan benar oleh sekelompok orang yang melakukan diskursus.

Menurut Soekadijo (1991:134), penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik disebut generalisasi. Selanjutnya Soekadijo (1991:134) menyatakan prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.’

Generalisasi yang berasal dari kata generalization, didefinisikan oleh Bassham, dkk (2008:70) sebagai berikut: A generalization, as that term is used in critical thinking, is a statement that attributes some characteristic to all or most

members of a given class.

Pendapat dari Shurter dan Pierce (dalam Dahlan, 2004:38) generalisasi adalah proses penalaran yang dihasilkan dari pengujian contoh secukupnya menuju sebuah kesimpulan mengenai semua atau beberapa contoh. Selanjutnya Polya (dalam Ward and Hardgrove, 1966:380) generalisasi adalah proses melalui pertimbangan dari himpunan objek yang diberikan menuju sebuah himpunan yang besar yang memuat objek yang diberikan. Senada dengan pendapat Polya¸ Hudoyo (2001:82) mendefinisikan proses generalisasi sebagai sembarang himpunan X yang diperluas menjadi himpunan yang lebih luas.

(20)

dengan pendeskripsian Ward dan Hardgrove (1966:101) bahwa proses generalisasi meliputi mengobservasi pola, membuat hubungan yang mungkin dan formulasi konjektur. Untuk deskripsi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mason (dalam Rojano, 2002:148) proses generalisasi terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1. Perception of generality; yaitu proses mempersepsi atau mengidentifikasi

pola.

2. Expression of generality, yaitu menggunakan hasil identifikasi pola untuk menentukan struktur atau data atau gambaran atau suku berikutnya.

3. Symbolic expression of generality, yaitu memformulasikan keumuman secara

simbolis.

4. Manipulation of generality, yaitu menggunakan hasil generalisasi untuk menyelesaikan masalah.

Selain empat tahap proses generalisasi diatas, yang juga harus diperhatikan adalah syarat generalisasi. Soekadijo (1991:134) mengemukakan suatu proposisi dapat dikatakan generalisasi apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:

1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik.

Artinya tidak boleh terikat pada jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa “semua A adalah B”, maka proposisi itu harus benar, berapapun jumlah A. Dengan kata lain proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi A.

(21)

3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian.

Yang dimaksud dengan “dasar pengandaian” adalah: dasar dari yang disebut ‘contrary-to-facts conditionals’ atau ‘unfulfilled conditionals’. Salah satu contoh yang jelasnya sebagai berikut:

Faktanya: x, y dan z masing-masing bukan unsur di B Ada generalisasi: Semua unsur di A adalah juga unsur di B

Pengandaiannya: Andaikan x, y dan z masing-masing unsur di A atau dengan kata lain andaikata x, y dan z itu masing-masing memenuhi kondisi A, maka pastilah x,y dan z itu masing-masing unsur di B. Ini adalah pembuktian dengan kontradiksi. Sehingga dapat disimpulkan x, y dan z bukan unsur di A.

Generalisasi yang seperti inilah yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian. Pola sebagai bahan observasi dalam proses generalisasi, menurut Dahlan (2004:44) secara garis besar dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu, pola berulang (repeatting) dan pola tumbuh (growing). Contoh barisan bilangan dengan pola berulang: 1, 2, 3, 1, 2, 3, 1, 2, 3, ... dan barisan bilangan dengan pola tumbuh: 1, 4, 7, 10, ....

Sebagai contoh proses generalisasi, misalnya diberikan deretan gambar bola yang disusun sebagai berikut:

Gbr. 1 Gbr. 2 Gbr. 3 Gbr. 4 Gbr. 7

(22)

Penyelesaian untuk masalah deretan gambar bola diatas jika diselesaikan dengan cara generalisasi dapat dibuatkan model dalam bentuk data numerik seperti tampak pada tabel dibawah ini:

Gambar Ke- 1 2 3 4 7

Banyaknya Bola 2 4 6 8

?

Ketika melakukan generalisasi, menurut NCTM (2000:263) pertama kali siswa harus dapat mempersepsi pola melalui observasi, siswa dapat melihat beda antara dua suku berurutan yaitu:

Gambar Ke- 1 2 3 4 7

Banyaknya bola 2 4 6 8 ?

Beda +2 +2 +2

Pada contoh permasalahan diatas siswa cenderung menyatakan polanya secara rekursif, yaitu “banyaknya bola pada gambar ke-7 adalah mengalikan beda dengan suku ke-n, sehingga banyak bola pada suku ke-7 adalah 2 x 7 = 14 bola”. Kecenderungan ini sesuai dengan temuan studi Thomson, studi Rivera dan Becker (dalam Kaput, 2004:26). Dengan menggunakan pola yang telah teridentifikasi, siswa dapat menentukan banyaknya bola pada gambar ke-7 ataupun dapat menentukan gambar ke-n dengan rumus umum 2n. Contoh seperti inilah yang disebut proses generalisasi, dari data empiris yang ada lalu siswa mencoba-coba sampai menemukan pola, dari yang khusus menjadi bentuk umum.

(23)

Untuk menentukan bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga adalah 1800 secara penalaran induktif, dengan langkah-langkah sebagai berikut;

1. membuat segitiga sembarang pada selembar kertas, 2. memberi warna yang berbeda pada ketiga sudut segitiga, 3. menggunting setiap sudut yang ada pada segitiga tersebut.

4. menyatukan dan mengimpitkan sudut-sudut yang sudah digunting Langkah-langkah tersebut apabila digambarkan sebagai berikut: (1) (2)

(3)

Dari perintah membuat segitiga sembarang, mungkin ada siswa yang membuat segitiga siku-siku, segitiga sama kaki, ataupun segitiga sembarang. Dari langkah awal ini terlihat kreatifitas siswa, namun dari berbagai macam bentuk segitiga itu tetap akan mendapatkan hasil yang sama yaitu jumlah ketiga sudut sebesar 1800. Proses ini menunjukkan suatu proses berpikir yang menghubungkan fakta-fakta khusus yang sudah diketahui menuju suatu kesimpulan yang umum yang dikenal dengan istilah generalisasi matematik.

(24)

B. Hakikat Matematika dan Pembelajaran Matematika di Sekolah

Banyak pakar pendidikan yang mendefinisikan tentang belajar, diantaranya adalah menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:25) yang menyatakan bahwa: Belajar adalah suatu proses yang terjadi secara bertahap (episode). Episode tersebut terdiri dari informasi, tranformasi, dan evaluasi. Informasi menyangkut materi yang akan diajarkan, tranformasi berkenaan dengan proses memindahkan materi, dan evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan proses yang telah dilakukan oleh pembelajar dan pengajar.

Pengertian pembelajaran yang dikutip oleh Sutikno (2007:49) diantaranya adalah pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Dimyati dan Mudjiono (2002:49) dalam pengertian lain bahwa pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa. Iskandar (dalam Sutikno, 2007:49) mendefinisikan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.

Lindgren yang dikutip oleh Sutikno (2007:51) menyebutkan bahwa fokus sistem pembelajaran mencakup 3 aspek yaitu:

1. Siswa

Siswa merupakan faktor yang paling penting sebab tanpa siswa tidak akan ada proses belajar.

2. Proses Belajar

(25)

mengajarkan materi pelajaran melainkan apa yang akan dilakukan siswa untuk mempelajarinya. Sehingga pada proses belajar disini siswa yang aktif (Student Active Learning), guru hanya sebagai fasilitator yang memfasilitasi kegiatan belajar siswa.

3. Situasi Belajar

Situasi belajar adalah lingkungan tempat terjadinya proses belajar dan semua faktor yang mempengaruhi siswa atau proses belajar seperti pendidik, kelas, dan interaksi di dalamnya.

Nasution (1999) menyatakan bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani ”mathein” atau “manthenein” yang artinya mempelajari. Matematika dalam bahasa latin adalah Manthanein atau Mathema yang berarti belajar atau yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut Wiskunde atau ilmu pasti yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten.

(26)

Matematika bersifat aksiomatik karena ia berangkat dari prinsip-prinsip umum yang diterima tanpa bukti, ia lahir dari unsur pangkal yang menjadi pijakan bagi definisi ide atau konsep dalam matematika. Dalam pengembangannya matematika membahas tentang konsep-konsep secara tersendiri maupun hubungan yang ada diantara konsep tersebut yang akan melahirkan konsep baru. Karena matematika dipenuhi oleh konsep-konsep, juga konsep yang ada (baru) dibentuk oleh beberapa konsep sebelumnya yang memiliki keterkaitan, sehingga matematika dikatakan sebagai ilmu yang menjaga hierarkis dan sistematis. Mempelajari matematika berarti berhadapan dengan cukup banyak kesepakatan yang harus dipenuhi dan diikuti, jika tidak maka akan meruntuhkan bangunan matematika sebagai sebuah sistem yang utuh.

Riedesel, Schwartz, dan Clements (1996) menulis beberapa alasan kenapa matematika perlu diajarkan, di antaranya yang bersesuaian dengan penelitian ini, bahwa matematika adalah problem posing dan problem solving, suatu aktivitas untuk menemukan dan mempelajari pola maupun hubungan, way of thinking and tool for thinking, berguna untuk semua, dan doing mathematics.

Matematika penuh dengan konsep yang abstrak, maka penanaman konsep tidaklah cukup hanya melalui hafalan dan ingatan saja. Tetapi harus dimengerti dan dipahami melalui suatu proses berpikir dan beraktivitas secara nyata. Kemampuan mengkonkritkan konsep matematika akan dapat membantu proses penguasaan materi pelajaran matematika.

(27)

bilangan-bilangan nyata dengan berbagai operasi hitung. Sedangkan penggunaan abjad atau lambang tertentu untuk mempresentasikan lambang bilangan merupakan wilayah garapan aljabar. Sementara itu obyek pembahasan geometri berkenaan dengan titik, garis, bidang, maupun ruang. Ketiga cabang ini mesti dikuasai oleh siswa untuk dapat memahami ilmu matematika sebagai alat secara aplikatif.

Pada penelitian ini, yang dimaksud matematika adalah ilmu yang tersusun secara deduktif aksiomatik, mengutamakan penalaran logis, berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, berpikir, serta menurunkan dan menggunakan rumus matematika secara kontekstual. Dari semua cabang matematika, yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah cabang geometri yaitu segitiga. Namun dalam instrumentasi, siswa akan dapat menyelesaikan soal yang diberikan apabila mereka mempunyai pengetahuan prasyarat seperti garis dan sudut. Bahkan kemampuan aritmetika dan aljabar sangat diperlukan dalam menghadapi soal yang menuntut perhitungan dan pembuktian, maupun soal-soal pemecahan masalah.

C. Pembelajaran Penemuan Terbimbing

(28)

Sebagai suatu model pembelajaran dari sekian banyak model pembelajaran yang ada, penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator, guru membimbing siswa di mana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat ‘menemukan’ prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

Widdiharto (2004:5) menyatakan dengan metode ini, siswa dihadapkan kepada situasi di mana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan kepada siswa. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan yang membantu siswa agar menggunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru.

Pembelajaran penemuan terbimbing sering juga disebut dengan Inkuiri atau ada juga yang menyebutkan guided inkuiri, yaitu strategi pengajaran yang mendorong siswa (peserta) untuk aktif secara fisik, mental, dan emosional, khususnya selama kegiatan pembelajaran. Aktif ketika siswa mulai menyempurnakan pengetahuan awalnya dan atau membangun pengetahuan baru secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan beberapa sumber belajar. Dengan metode ini mereka dilatih untuk berusaha sendiri, tidak pernah menyerah dalam menemukan jawaban dari masalah, tentu saja dengan bimbingan guru.

(29)

berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru”.Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

Pembelajaran penemuan terbimbing berawal dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke dunia. Kemudian sejak kecil manusia selalu ingin mengenal sesuatu dengan inderanya. Rasa ingin tahu ini berkembang secara terus menerus sampai manusia dewasa. Rasa ingin tahu ini harus diarahkan dengan benar agar menimbulkan manfaat yang positif.

Nurhadi (2002:12) mengemukakan, “siklus pembelajaran inkuiri (penemuan terbimbing) meliputi observasi (Observation), bertanya (Questioning), mengajukan hipotesis, pengumpulan data dan penyimpulan”.

Menurut Sanjaya (2006:197) strategi pembelajaran inquiri (penemuan terbimbing) ini akan efektif apabila:

1. Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian dalam strategi ini penguasaan materi pelajaran bukan merupakan tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah proses belajar.

2. Jika materi pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang memerlukan pembuktian.

3. Jika proses pembelajaran diawali dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu. 4. Jika jumlah siswa yang belajar tidak terlalu banyak sehingga bisa

(30)

5. Jika guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa (student centered approach).

Menurut Sudjana dan Rivai (1989:140) metode penemuan adalah “Istilah umum untuk menjelaskan kegiatan yang mempergunakan pendekatan induktif dalam pengajaran”. Misalnya penyajian masalah-masalah yang dipecahkan oleh siswa dengan cara coba-coba. Tujuan metode penemuan adalah menemukan pengertian yang lebih mendalam mengenai masalah yang amat pelik. Penilaian ditekankan pada proses siswa menemukan jawaban dengan usahanya sendiri. Dengan kata lain keaktifan siswa dapat terlihat jelas melalui metode penemuan terbimbing ini.

Model pembelajaran yang didominasi keaktifan siswa, yang menempatkan guru sebagai pembimbing, pengarah dalam pembelajaran di kelas sangatlah cocok untuk melatih siswa selalu berani menghadapi tantangan. Peluang menjadikan siswa individu yang siap bersaing di era globalisasi yang penuh tantangan ini sangatlah besar dibandingkan hanya mengajarkan mereka dengan metode konvensional atau tradisional.

(31)

dan kreatif, tanpa siswa merasa dipaksa oleh guru. Pembelajaran penemuan terbimbing adalah pembelajaran yang demokratis.

Untuk mendorong agar terciptanya model pembelajaran yang demokratis mengutip gagasan Suparno yang dikutip oleh Sutikno (2007: 104) ada beberapa hal yang mesti dilakukan yaitu:

Pertama, hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.

Kedua, hindari paham bahwa hanya ada satu nilai yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan. Ketiga, beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang seluas-luasnya.

Keempat, berilah peluang bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman, guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.

(32)

Keenam, berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi. Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya.

Pembelajaran penemuan ini sangat memerlukan daya pikir tinggi, dimana siswa dituntut untuk menyelidiki, menerka, mencoba-coba (trial and error) dan menarik kesimpulan sendiri. Guru hanya sebagai pembuka jalan untuk membantu siswa dalam mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang baru. Siswa benar-benar diarahkan pada sasaran yang tepat, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan keluar dari jalur dan terbuangnya waktu secara sia-sia.

Pembelajaran penemuan terbimbing ini dapat melatih daya ingat manusia, daya nalar dan berani mengambil keputusan. Tingkatan daya ingat manusia secara beruntun, berdasarkan medium yang digunakan menurut Adri (Pusat Pengembangan Kurikulum Depdiknas) pada dasarnya adalah:

- Sebanyak 10 % dari yang kita baca - Sebanyak 20 % dari yang kita dengar

- Sebanyak 30 % dari yang kita lihat langsung

- Sebanyak 50 % dari yang kita terlibat aktif di dalamnya - Sebanyak 70 % dari yang kita sajikan, dan

- Sebanyak 90 % dari yang kita lakukan.

Magnesen (dalam Suhandi, Depdiknas) menyatakan bahwa persentase apa yang kita ingat jika:

- Membaca : 20 %

(33)

- Melihat : 40 %

- Mengucapkan : 50 %

- Melakukan : 60 %

- Melihat, mengucapkan, mendengar, dan melakukan : 90 %

Pembelajaran Vygotsky, yang menyatakan bahwa pemikiran manusia tidak hanya bersifat sosial saja. Sfard, Forman & Kieran (dalam Hudojo, 2001:162-167) juga menekankan pada pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Semua teori yang dikemukakan oleh para pakar matematika ini menguatkan metode inquiry (penemuan terbimbing) yang merupakan bagian dari problem solving dan akibat yang dihasilkan adalah siswa-siswa menjadi kreatif, aktif, tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan.

(34)
[image:34.595.118.509.176.599.2]

Secara singkat langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Bagan langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing

Pembelajaran penemuan terbimbing menurut Widdiharto (2004:5) dapat dilakukan secara ‘perseorangan/individu’ ataupun secara ‘berkelompok’. Kegiatan pembelajaran tetap berawal dari guru, dengan kata lain guru tetap sebagai sumber belajar. Lalu guru merumuskan masalah dengan cara membuat soal-soal yang membuat siswa tertantang untuk menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Memang diakui pada proses membuat masalah yang menantang dan menarik ini tidaklah mudah, memerlukan wawasan yang baik, kreatif, banyak membaca soal-soal dari bank soal-soal, terutama soal-soal-soal-soal olimpiade.

Setiap pendekatan pembelajaran pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, demikian pula dengan pembelajaran penemuan terbimbing. Kelebihan dan kekurangan pembelajaran penemuan terbimbing dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel berikut ini:

G U R U

Merumuskan Masalah

Menyusun Konjektur

Mengkoordinasi Menyusun

S I S W A

(35)
[image:35.595.112.518.154.748.2]

Tabel 2.1

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Penemuan Terbimbing dan Konvensional

Pembelajaran Penemuan Terbimbing Pembelajaran Konvensional

• Siswa dapat berpartisipasi dengan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Guru pemula akan mengalami kesulitan menguasai kelas.

• Menumbuhkembangkan sikap menemukan sendiri, tidak mudah putus asa dan inovatif pada diri siswa.

• Menguatkan pemahaman konsep

• Meningkatkan komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa.

• Materi yang dipelajari akan mengendap lebih lama pada diri siswa karena mereka dilibatkan secara langsung pada proses pembuktiannya.

• Dari sisi waktu dibutuhkan fleksibelitas, karena waktu yang diperlukan siswa dengan

pembelajaran pendekatan penemuan terbimbing ini tidak dapat diprediksi dengan tepat.

• Tidak semua pokok bahasan atau sub pokok bahasan dapat menggunakan metode penemuan terbimbing.

• Tidak semua siswa dan guru dapat melakukan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

• Guru harus lebih sabar dalam memberikan bimbingan karena akan bersifat bimbingan individual.

• Guru lebih mudah menguasai kelas.

• Guru mendominasi keaktifan pembelajaran, berdampak siswa jadi kurang aktif (siswa

cenderung pasif).

• Sulit mandiri dan gampang putus asa, sehingga sering

mengandalkan guru untuk minta bantuan /bimbingan.

• Lebih mudah mengatur waktu KBM.

• Siswa sering cepat lupa karena hanya sebagai pendengar.

• Siswa cepat bosan, karena hanya mendengarkan penjelasan guru.

• Strategi ini bisa digunakan untuk semua pokok bahasan.

• Guru pemula-pun bisa melakukannya.

(36)

Penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika lebih bersifat reinvention. Siswa diajak untuk menemukan kembali jawaban atas suatu masalah

yang sifatnya uji coba. Siswa diarahkan pada berbagai kemungkinan pemecahan masalah yang interaktif sampai dapat menarik suatu kesimpulan yang berlaku umum.

D. Ketuntasan Belajar

Perbedaan kemampuan generalisasi matematik dalam penelitian ini akan didukung dengan ketuntasan belajar yang difokuskan pada kemampuan generalisasi matematika siswa. Oleh sebab itu akan dikemukakan kriteria ketuntasan belajar menurut beberapa ahli.

Ketuntasan belajar didefinisikan oleh Mungin (2006) sebagai pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran secara perorangan. Dengan belajar tuntas ini diharapkan para siswa mencapai suatu tingkat penguasaan tertentu terhadap tujuan pembelajaran dari suatu unit materi pelajaran sebelum berpindah pada unit materi berikutnya.

Menentukan ketuntasan kemampuan generalisasi matematik dalam penelitian ini, sekalipun merupakan otonomi penulis sebagai peneliti namun tetap memperhatikan rambu-rambu penetapan SKBM yang ada pada SMPN 21 Bekasi. Diantaranya yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. SKBM ditetapkan pada awal tahun pelajaran (bila berlaku setahun), atau awal semester (bila berlaku satu semester).

2. SKBM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah/guru sejenis.

(37)

4. nilai SKBM harus dicantumkan dalam laporan hasil belajar siswa.

Menurut Dasri (2007) untuk menetapkan SKBM perlu memperhatikan beberapa kriteria, yaitu: tingkat esensial, tingkat kompleksitas, daya dukung, dan tingkat prestasi belajar siswa. Tingkat esensial (kepentingan) setiap indikator terhadap kompetensi dasar dan tingkat esensial kompetensi dasar terhadap standar kompetensi yang harus dicapai oleh siswa pada setiap semester/tahun pelajaran dapat dikategorikan atas: 1) sangat esensial apabila bermakna dan bermanfaat untuk mencapai indikator lain, bermakna dan bermanfaat untuk pembekalan kecakapan hidup, mampu mewakili indikator lain, dan setiap indikator harus diuji untuk mengetahui tingkat pencapaian siswa terhadap suatu kompetensi dasar tertentu; 2) cukup esensial, apabila mendukung indikator dalam pencapaian indikator berikutnya dan pembekalan kecakapan hidup, indikator tidak perlu diuji secara mandiri.

(38)

belajar fokus pada kemampuan generalisasi matematik dalam penelitian ini adalah apabila siswa telah mencapai nilai 60 (skor 12) dikatakan sudah tuntas.

E. Observasi Kegiatan Pembelajaran Siswa

Observasi menurut Arikunto (2002:28) adalah suatu kegiatan pengamatan secara teliti dan sistematis. Observasi dilakukan dalam suatu penelitian pada kelas eksperimen yang dilakukan oleh teman sejawat (kolaborator) dengan menggunakan lembar observasi dan dilakukan secara langsung. Sehingga data observasi yang diperoleh bersifat objektif sesuai keadaan yang sebenarnya.

Tujuan melakukan observasi pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengamati kegiatan guru dan siswa pada saat KBM dengan strategi penemuan terbimbing. Pada saat observasi yang diamati adalah apakah siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan strategi ini, antusias siswa mengikuti pembelajaran penemuan terbimbing, juga ingin diketahui apa saja kendala yang mereka hadapi agar bisa dicarikan solusinya.

F. Penelitian Yang Relevan

Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan melaporkan tentang keunggulan pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing, diantaranya:

(39)

mahasiswa mengingat kegiatan yang melibatkan pembelajaran eksperimen. Mahasiswa lebih mengingat apa yang mereka pelajari dalam aktivitas pembelajaran penemuan daripada aktivitas pembelajaran tradisional

Rosita (2007) melakukan penelitian tentang strategi heuristik untuk meningkatkan kemampuan generalisasi matematis siswa kelas X di SMA Negeri Bandung. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa peningkatan kemampuan generalisasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan strategi heuristik lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan generalisasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika biasa

Hasil studi Suriadi (2006) terhadap siswa SMA kelas X menemukan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi menunjukkan pemahaman matematik relasional secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional

Trisnadi (2006) yang menerapkan pembelajaran penemuan terbimbing pada siswa kelas 3 SMP terhadap kemampuan generalisasi. Diperoleh temuan siswa yang belajar dengan penemuan terbimbing secara berkelompok hasil belajarnya lebih baik dari yang diajar dengan pembelajaran secara klasikal.

(40)

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk melihat kemampuan generalisasi matematik siswa yang menggunakan pembelajaran penemuan terbimbing. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-postest control group design. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran menggunakan pembelajaran penemuan terbimbing dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk desain penelitiannya diilustrasikan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Eksperimen 1 (E1) O X1 O

Eksperimen 2 (E2) O X2 O

Kontrol (K) O O

Keterangan:

E : sampel pada kelompok eksperimen. K : sampel pada kelompok kontrol

O : Tes kemampuan generalisasi matematik.

X1 : Pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran penemuan

terbimbing secara individu

X2 : Pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran penemuan

terbimbing secara kelompok

(41)

Bekasi, tetapi hal ini dilakukan agar pembelajaran yang telah direncanakan oleh peneliti dapat dilakukan dengan maksimal, dan memperoleh hasil yang maksimal pula. Alasan lainnya adalah guru matematika yang menjadi teman berkolaborator berkeinginan menjadi observer agar dapat mempelajari langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing dalam meningkatkan kemampuan generalisasi matematik siswa kelas VII di SMPN 21 Bekasi.

Lama penyampaian materi harus sama pada tiap kelompok. Dalam penelitian ini lama penyampaian materi untuk masing-masing kelas sebanyak 6 kali pertemuan (12 jam pelajaran, 1 jam pelajaran sama dengan 40 menit) karena pihak sekolah yang menentukan lama penelitian dikelas, ditambah dengan 2 x 40 menit untuk pretes sebelum perlakuan diberikan, dan 2 x 40 menit untuk postes setelah perlakuan diberikan. Total tatap muka di kelas adalah 8 x pertemuan.

B. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juni 2010 dengan rincian kegiatan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan, dengan kegiatan:

a. Pada bulan Januari 2010, melaksanakan seminar proposal.

b. Maret 2010 melakukan observasi di sekolah tempat penelitian sekaligus mengurus ijin penelitian dengan kepala sekolah SMPN 21 Bekasi.

(42)

d. Menyiapkan RPP dan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan instrumen penelitian yang dikonsultasikan dengan pembimbing serta teman mahasiswa Pasca UPI Prodi Pendidikan Matematika.

e. 25 Maret 2010, melakukan uji coba instrumen, dan analisis terhadap hasil uji coba.

2. Tahap perlakuan eksperimen

Pembelajaran dilakukan pada bulan Maret-Mei 2010, dengan kegiatan: a. Melakukan uji kemampuan prasyarat pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Menganalisa hasil uji kemampuan prasyarat dan mengulang kembali materi kemampuan prasyarat secara umum.

b. Melakukan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

c. Melakukan proses pembelajaran dengan pembelajaran penemuan terbimbing pada kelas eksperimen dan pembelajaran dengan metode konvensional pada kelas kontrol.

d. Melakukan observasi pada setiap pertemuan di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam hal ini dibantu oleh guru pamong.

e. Melakukan postes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. 3. Tahap akhir

(43)

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Dipilihnya SMPN 21 Bekasi Utara sebagai tempat penelitian karena sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang berkategori menengah (berkualifikasi B) di Kecamatan Bekasi Utara. Hal ini tentunya memberikan manfaat besar karena sebagian besar sekolah yang ada di Bekasi termasuk dalam kategori menengah sehingga dengan demikian hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan ke-SMP-SMP yang ada di Bekasi. Menurut Suherman (2003: 40-42) siswa kelas VII masih berada pada tahap transisi dari tahap operasi konkrit (concrete operational stage) ke tahap operasi formal (formal operation stage). Ketika di SD mereka terbiasa mendapat bimbingan dari guru, sehingga awal di kelas VII masih membawa kebiasaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut pula, salah satu alasan kenapa memilih kelas VII sebagai sampel yang diteliti. Menerapkan pembelajaran penemuan terbimbing pada siswa kelas VII di semester dua diperkirakan telah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, berbeda waktu mereka pada semester satu. Sehingga ketika diberikan perlakuan mereka dapat mengikuti proses pembelajaran yang diberikan guru.

(44)

penemuan terbimbing secara individu (selanjutnya diberi simbol E1). Sedangkan kelas VII.2 sebagai kelompok eksperimen 2 yang pembelajarannya dengan penemuan terbimbing secara kelompok (selanjutnya diberi simbol E2). Dan untuk kelas kontrol yang pembelajarannya secara konvensional adalah kelas VII.9 (selanjutnya diberi simbol K). Untuk setiap kelas jumlah siswanya sama yaitu masing-masing sebanyak 40 siswa. Namun yang dilaporkan pada penelitian ini hanya 38 siswa yang diambil adalah siswa yang selalu hadir dari mulai pretes sampai dengan postes.

D. Variabel Penelitian

Setiap penelitian pasti mempunyai variabel yang akan diteliti. Ada dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya ada dua yaitu pembelajaran menggunakan penemuan terbimbing secara individu dan kelompok, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan generalisasi matematik siswa SMP Negeri 21 Bekasi. Dalam penelitian ini akan diteliti apakah terdapat perbedaan secara signifikan antara variabel terikat (kemampuan generalisasi matematik siswa) untuk masing-masing pembelajaran dengan penemuan terbimbing (variabel bebas).

E. Instrumen Penelitian

(45)

generalisasi matematika yang terkait langsung dengan materi pelajaran. Soal dibuat sebanyak lima butir dan dapat dilihat pada lampiran B.

Tes ini diberikan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Adapun langkah-langkah penyusunan tes kemampuan generalisasi matematika sebagai berikut:

1. Diawali dengan membuat kisi-kisi soal.

2. Menyusun soal berdasarkan kisi-kisi dan juga membuat kunci jawabannya. 3. Mengkonsultasikan isi soal dengan bantuan dosen pembimbing.

4. Melakukan Ujicoba instrumen tes dan dilanjutkan dengan menghitung validasi tes, validasi item, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda.

Menurut Zainul dan Nasution (2005:58) dalam penilaian hasil belajar berbentuk essay terdapat sejumlah konsep yang terdapat dalam jawaban ada yang lebih penting dari lainnya. Oleh karena itu dalam pedoman penilaian (marking scheme), konsep yang lebih penting diberi bobot yang lebih tinggi dari yang

lainnya. Misalnya jika ada 7 konsep dan dianggap setiap konsep mempunyai bobot yang sama, maka skor maksimum untuk soal tersebut adalah 7.

(46)
[image:46.595.131.493.106.343.2]

Tabel 3.2 Kriteria Penskoran

Skor Kriteria

4 Dapat menjawab semua aspek pertanyaan tentang kemampuan generalisasi dan dijawab dengan benar dan jelas/lengkap

3 Dapat menjawab hampir semua aspek pertanyaan tentang kemampuan generalisasi dan dijawab dengan benar

2 Dapat menjawab hanya sebagian aspek pertanyaan tentang kemampuan generalisasi dan dijawab dengan benar

1 Menjawab tidak sesuai atas aspek pertanyaan tentang kemampuan generalisasi atau menarik kesimpulan salah

0 Tidak ada jawaban Cai, Lane dan Jakabcsin, 1996 1. Analisa Validitas Tes

Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur atau dengan kata lain konsisten dengan tujuan dari tes itu sendiri.

Sebelum melakukan validitas isi, soal dikonsultasikan dan dianalisis oleh pembimbing, beberapa mahasiswa S-2 pendidikan matematika UPI, serta tiga orang guru matematika SMP Negeri 21 Bekasi.

Ujicoba instrumen kemampuan generalisasi matematik siswa dilakukan pada kelas VIII sebanyak 40 siswa. Ujicoba dilakukan untuk melihat validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan tingkat kesukaran. Data hasil Ujicoba diolah dengan menggunakan program Anates.

Untuk menguji validitas setiap butir soal maka skor-skor yang ada pada tiap butir dikorelasikan dengan skor total. Menurut Arikunto (2007:72) Validitas tes dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Pearson sebagai berikut:

(

) ( )( )

(

)

( )

(47)

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi.

n = banyaknya subyek yang diteliti. = jumlah nilai tiap soal.

= jumlah nilai total.

[image:47.595.117.512.274.651.2]

Menurut Arikunto (2007:75) klasifikasi untuk menginterpretasikan besarnya koefisien korelasi terlihat pada tabel 3.3 berikut ini:

Tabel 3.3

Klasifikasi Validitas Tes

Setelah dilakukan perhitungan dengan program Anates maka diperoleh koefisien validitas untuk masing-masing butir soal seperti terdapat pada lampiran C dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.4 berikut ini:

Tabel 3.4

Analisis Validitas Ujicoba Tes Kemampuan Generalisasi Matematik No. Butir Soal Korelasi (rxy) Interpretasi Keterangan

1 0,577 Cukup Dipakai

2 0,621 Tinggi Dipakai

3 0,639 Tinggi Dipakai

4 0,675 Tinggi Dipakai

5 0,724 Tinggi Dipakai

2. Analisa Reliabilitas Tes

Reliabilitas suatu instrumen adalah ketetapan (ajeg) atau kekonsistenan instrumen tersebut. Maksudnya jika diberikan kepada subyek yang sama

Nilai rxy Interpretasi

0,80< rxy 1,00 Validitas Sangat Tinggi

0,60 < rxy 0,80 Validitas Tinggi

0,40 < rxy 0,60 Validitas Cukup

0,20 < rxy 0,40 Validitas Rendah

(48)

meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, pada waktu yang berbeda, maka akan memberikan hasil yang sama atau relatif sama. Masih menurut Arikunto (2001: 109), untuk menentukan koefisien reliabilitas tes yang berbentuk uraian digunakan rumus Alpha-Cronbach sebagai berikut:

=

2

2 11

1

1

t b

k

k

r

σ

σ

Keterangan: 11

r = reliabilitas instrumen. k = banyaknya butir soal.

2

b

σ = jumlah varians skor setiap butir soal.

2

t

σ = varians skor total.

[image:48.595.121.501.506.669.2]

Acuan untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas tes ini menggunakan kriteria menurut Guilford (dalam Suherman, 2003:139) sebagai berikut:

Tabel 3.5

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Nilai r 11 Interpretasi

0,90 r 1,00 11 Reliabilitas sangat tinggi 0,70 r < 9,00 11 Reliabilitas tinggi 0,40 r < 0,70 11 Reliabilitas sedang 0,20 r < 0,40 11 Reliabilitas rendah

11

r < 0,20 Reliabilitas sangat rendah

(49)
[image:49.595.111.507.283.505.2]

tabel klasifikasi koefisien reliabilitas terletak pada interval 0,70 r < 9,00. Ini 11 berarti reliabilitas tes kemampuan generalisasi matematik tinggi.

3. Analisa Daya Pembeda

Daya pembeda soal digunakan untuk melihat kemampuan butir soal untuk membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2007:211). Rumus yang digunakan adalah:

Maks Skor N SB SA Db x x 2 1 − = Keterangan: b

D = Indeks daya pembeda suatu butir soal.

SA = Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok atas. SB = Jumlah skor yang dicapai siswa pada kelompok bawah. N = Jumlah siswa pada kelompok atas dan kelompok bawah.

Acuan untuk menginterpretasikan daya pembeda tiap butir soal digunakan kriteria (Suherman, 2003:161) sebagai berikut:

Tabel 3.6

Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda

Nilai Db Interpretasi

b

D 0,00 Sangat Jelek

0,00 < Db 0,20 Jelek

0,20 < Db 0,40 Cukup

0,40 < Db 0,70 Baik

[image:49.595.135.491.537.717.2]
(50)
[image:50.595.117.513.369.594.2]

Dari hasil perhitungan pada lampiran C diperoleh indeks daya pembeda untuk setiap butir soal sebagai berikut:

Tabel 3.7

Analisis Daya Pembeda Ujicoba Tes Kemampuan Generalisasi Matematik No. Butir Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 0,25 Cukup

2 0,39 Cukup

3 0,32 Cukup

4 0,41 Baik

5 0,36 Cukup

4. Analisa Tingkat Kesukaran

Untuk menganalisis tingkat kesukaran digunakan rumus:

Maks

Skor

N

SB

SA

T

k

x

+

=

Keterangan:

Tk = tingkat kesukaran.

SA = jumlah skor siswa kelompok atas.

SB = jumlah skor siswa kelompok bawah.

N = jumlah siswa.

(51)

Tabel 3.8

Klasifikasi Tingkat Kesukaran

Nilai Tingkat Kesukaran Interpretasi

Tk = 0,00 Soal sangat sukar

0,00< Tk 0,30 Soal Sukar

0,30< Tk 0,70 Soal Sedang

0,70< Tk 1,00 Soal Mudah

Tk = 1,00 Soal sangat Mudah

Untuk tingkat kesukaran setiap butir berdasarkan perhitungan pada lampiran C diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3.9

Analisis Tingkat kesukaran Ujicoba Tes Kemampuan Generalisasi Matematik No. Butir Soal Indeks Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 0,72 Mudah

2 0,49 Sedang

3 0,50 Sedang

4 0,52 Sedang

5 0,21 Sukar

Untuk pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan rumus uji t (Sudjana, 1992:369). Rumus tersebut sebagai berikut:

2

1

2

r

n

r

t

=

Keterangan: t = daya beda.

r = koefisien korelasi.

[image:51.595.117.505.154.280.2]
(52)

Kriteria signifikan dengan membandingkan nilai thitung dan ttabel, apabila

thitung > ttabel maka validasi sangat signifikan.

Untuk lebih jelasnya berdasarkan perhitungan pada lampiran C diperoleh rekapitulasi ujicoba tes kemampuan generalisasi sebagai berikut:

Tabel 3.10

Rekapitulasi Analisis Ujicoba Tes Kemampuan Generalisasi Matematik No. Butir

soal Nilai t

Daya Pembeda

Tingkat

Kesukaran Validitas Signifikansi

1 4,65 0,25

(cukup)

0,72

(mudah) Valid Signifikan

2 4,36 0,39

(cukup)

0,49

(sedang) Valid Signifikan

3 4,43 0,32

(cukup)

0,50

(sedang) Valid Signifikan

4 4,74 0,41

(baik)

0,52

(sedang) Valid Signifikan

5 6,43 0,36

(cukup)

0,21

(sukar) Valid

Sangat Signifikan

Sehingga berdasarkan data-data diatas dapat disimpulkan ke lima butir soal signifikan dan dapat dipakai sebagai instrumen tes pada penelitian ini.

5. Lembar Observasi/Pengamatan

[image:52.595.116.512.250.536.2]
(53)

menunjukkan aktivitas yang sering terjadi atau dilakukan oleh siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung.

F. Bahan Ajar dan Pengembangannya

Dalam penelitian ini sebagai perwujudan pembelajaran penemuan, dan bimbingan guru pada kelompok eksperimen digunakan lembar kerja siswa (LKS). Sehingga pada kelompok eksperimen LKS sangat berperan penting dalam membantu membangun kemampuan generalisasi matematik siswa. Sedangkan untuk kelas kontrol yang pembelajarannya secara konvensional juga menggunakan LKS, dan menggunakan buku paket seperti biasa ketika guru matematika mengajar dikelasnya. Kesesuaian materi dengan LKS yang digunakan telah dikonsultasikan dengan pembimbing dan guru pamong. Tujuannya untuk mengetahui apakah petunjuk-petunjuk pada LKS dapat dipahami oleh siswa.

G. Prosedur Penelitian

Ada 3 tahapan dalam penelitian ini, tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis data. Untuk lebih jelas dan lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

(54)

merancang pengembangan bahan ajar dalam hal ini berbentuk Lembar Kerja Siswa yang validasi isinya telah dikonsultasikan dengan kedua dosen pembimbing. Perangkat lain yang disusun adalah lembar observasi aktivitas siswa. Berikutnya dilakukan revisi, diujicobakan diluar subyek penelitian yang dilakukan pada kelas VIII.5 sebanyak 40 siswa dan dianalisis hasilnya.

Langkah selanjutnya, peneliti melakukan survey ke sekolah yang menjadi tempat penelitian untuk minta ijin kepada kepala sekolah, mengkonsultasikan waktu dan teknis pelaksanaan penelitian dengan berkonsultasi pada guru matematika yang kelasnya terpilih sebagai sampel penelitian. Selanjutnya guru matematika tersebut sebagai guru pamong atau observer pada penelitian ini.

2. Tahap Pelaksanaan

(55)
[image:55.595.120.509.167.629.2]

Adapun langkah-langkah penelitian terlihat dalam diagram alur di bawah ini:

Gambar 3.1 Diagram Alur Kegiatan Penelitian

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data tentang kemampuan generalisasi matematik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan program SPSS 17.0 dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pembuatan Proposal

Seminar Proposal

Perbaikan Proposal

Membuat Instrumen Penelitian

Ujicoba Instrumen

Perbaikan Instrumen

Pretes

Pelaksanaan Pembelajaran Dengan Metode Penemuan Terbimbing

Postes dan Pengisian Angket

Menganalisa Data

(56)

1. Uji Normalitas Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik

Untuk menguji normalitas hasil tes kemampuan generalisasi matematik digunakan uji Normalitas Shapiro-Wilk. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : Sampel berasal berdistribusi normal.

H1 : Sampel berasal tidak berdistribusi normal.

Prosedur dalam SPSS 17.0 ini diawali dengan menentukan taraf signifikansinya yaitu 5% atau 0,05, kemudian input data dan pengolahan data oleh SPSS 17.0. Untuk melihat hasil analisis data dalam prosedur SPSS akan ditampilkan “output” secara grafis normal probability plot dan detrended normal plot (Uyanto, 1999:39) sebagai berikut:

Kelas Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

... ... ... ... ... ... ... ... ...

Dalam Normal Probability Plot setiap nilai data yang diamati dipasangkan dengan nilai harapannya (expected value) dari distribusi normal. Jika sampel data berasal dari suatu populasi yang berdistribusi normal, maka titik-titik nilai data akan terletak kurang lebih dalam suatu garis lurus. Sedangkan dalam Detrended Normal Plot yang digambarkan adalah simpangan dari nilai data terhadap garis

(57)

Terima H0 jika P-value ≥ 0,05 dan

Tolak H0 jika P-value < 0,05

Dalam program SPSS P-value = Signifikansi yang disingkat Sig.

2. Uji Homogenitas Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik

Untuk menguji homogenitas varians tes hasil kemampuan generalisasi matematik antara kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan juga dengan SPSS 17.0, yang digunakan adalah Levene’s-test.

Hipotesis yang diuji adalah: H0 : σe2 = σk2

H1 : σe2 ≠ σk2

Keterangan:

H0 = Sampel homogen.

H1 = Sampel tidak homogen.

σe2 = varians kelas eksperimen.

σk2 = varians kelas kontrol

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Pretes Kemampuan Generalisasi

Based on Mean

... ... ... ...

Postes Kemampuan Generalisasi

Based on Mean

... ... ... ...

Gain Kemampuan Generalisasi

Based on Mean

... ... ... ...

Kriteria Uji: Terima H0 jika P-value ≥ 0,05 dan

(58)

3. Gain Normal Hasil Tes Kemampuan Generalisasi Matematik

Untuk melihat peningkatan kemampuan generalisasi matematika siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran pada kelompok eksperimen (pembelajaran dengan penemuan terbimbing) dan kelompok kontrol (pembelajaran secara konvensional) dihitung dengan menggunakan rumus gain skor normal (Hake, 2002) yaitu:

pre maks pre pos

S

S

S

S

=

g

Keterangan: g

= nilai Gain dari hasil perhitungan.

pre

S = skor pre-test.

pos

S = skor pos-test.

maks

S = skor maksimum. Kategori: Tinggi : g > 0,7 ;

Sedang: 0,3 ≤ g ≤ 0,7 ; Rendah: g < 0,3

4. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

(59)

H0 : e = k

H1 : e > k

Keterangan:

H0 = Tidak terdapat perbedaan kemampuan generalisasi kelas

eksperimen dan kelas kontrol.

H1 = Kemampuan generalisasi matematik siswa kelas eksperimen

lebih baik dari kelas kontrol.

e = skor rata-rata kelas eksperimen k = skor rata-rata kelas kontrol

Setelah melakukan perhitungan persyaratan analisis, jika sebaran data berdistribusi normal dan varians homogen, uji statistik yang digunakan adalah dengan uji t menggunakan SPSS for windows versi standar 17.0, yaitu Independent-Sample T Test.

Hipotesis yang akan diuji adalah:

1. H0 : Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran penemuan terbimbing secara individu sama dengan siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara kelompok.

H1 : Kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh

pembelajaran penemuan terbimbing secara individu lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing secara kelompok.

2. H0 : Kemampuan generalisasi matemat

Gambar

Gambar Ke- 1
Gambar 2.1 Bagan langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing
Tabel 2.1  Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Tabel 3.2 Kriteria Penskoran
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Seluruh Staf Pengajar pada Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis hingga akhir studi

Pesawat model adalah pesawat terbang tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya sendiri sesuai dengan program yang telah

Menyusun perencanaan AMAI meliputi waktu/jadwal, penugasan, instrumen audit, administrasi Draft Jadwal audit, instrumen audit, penugasan tim auditor harus sudah tersusun 7

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan. Program Studi Pendidikan Anak

diberikan, diperkirakan semakin baik karakteristik magnet yang akan dihasilkan.. Dengan teknologi proses yang digunakan ini yang relatif lebih sederhana

Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanatkan bahwa gugatan ke pengadilan terhadap putusan ajudikasi Komisi Informasi dapat

Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan