• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PRESENTASI DIRI MAHASISWA TUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI PRESENTASI DIRI MAHASISWA TUNAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PRESENTASI DIRI PADA MAHASISWA TUNANETRA

Indah Kusuma Wardani indah.wardani02@gmail.com

Ika Herani Unita Werdi Rahajeng

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang

ABSTRACT

This research aimed to describe self-presentation strategy of students with visual impairments in Brawijaya University. This research implemented qualitative research design under the Moustakas phenomenology. The data of this research was collected through interview, observation, and documentation. The subjects were chosen through non-probability sampling by using purposive sampling technique. There were four subjects involved throughout this research. The findings stated that the cause of visual impairments of the subject observed was not genetic factor but from external one. Generally, the strategies of self-presentation used by the four subjects to interact with their university’s friends are ingratiation and self-promotion. Exemplification strategy was used by three of the total subjects. While one subject of the study implemented intimidation, supplification, and self-handicapping strategies. Also, the strategy of aligning action appeared in low frequency on two subjects, and strategy of alter casting was not used at all.

Keywords: self-presentation strategy, visual impairments, ingratiation, self-promotion

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai strategi presentasi diri pada mahasiswa tunanetra Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi dan analisis data berdasar Moustakas. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengambilan subyek dengan teknik purposive sampling, melibatkan empat subyek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, penyebab ketunanetraan keempat subyek adalah dari faktor eksternal dan bukan bawaan dari lahir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum strategi presentasi diri yang digunakan oleh keempat mahasiswa tunanetra ketika berinteraksi dengan teman-teman di universitas adalah strategi ingratiation dan self promotion. Sedangkan strategi exemplification digunakan oleh tiga subyek. Strategi intimidation, strategi

supplification, dan strategi self handicapping digunakan salah satu subyek. Strategi aligning

action muncul pada dua subyek tetapi tidak terlalu sering dan strategi altercasting tidak

digunakan oleh keempat subyek.

(2)

LATAR BELAKANG

Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Kategori tunanetra ini tidak saja mereka yang buta total tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar, seperti individu “setengah melihat”, individu dengan low vision, dan individu yang mengalami rabun mata (Somantri, 2012). Secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam diri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan (Somantri, 2012).

Seseorang yang mulai mengalami ketunatetraan yang disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muhlisun, 2010). Keadaan tunanetra yang terjadi tidak sejak lahir akan membuat seseorang mengalami masa perubahan secara drastis. Kehilangan penglihatan mempengaruhi individu dalam berbagai hal, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpresepsi, berpikir, dan merasakan berbagai hal. Selain itu seseorang yang mengalami tunanetra memiliki kesulitan lain dalam melaksanakan tugas perkembangan sosial yaitu keterbatasan tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi (Somantri, 2012). Somantri (2012) mengemukakan bahwa akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar seseorang, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Melalui indera penglihatan sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut.

(3)

aktivitas belajar. Tidak berfungsinya mata secara optimal dapat menghambat pola interaksi sosial maupun aktivitas sehari-hari (Mangungsong, 2009).

Soekanto (2009) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau kelompok manusia. Seseorang yang mengalami tunanetra pun tidak terlepas dari interaksi sosial dalam kehidupannya. Hal ini juga terjadi pada mahasiswa pada perguruan tinggi inklusi. Salah satu perguruan tinggi yang menerapkan pendidikan inklusi adalah Universitas Brawijaya Malang. Sebagai seorang mahasiswa di perguruan tinggi inklusi, mahasiswa difabel selain dituntut untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Brawijaya juga harus melakukan proses adaptasi pada lingkungan kampus yang merupakan lingkungan baru dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Penyesuaian sosial sangat penting dikuasai oleh individu yang mengalami tunanetra dalam peranannya sebagai mahasiswa yang harus mampu berbaur dalam lingkungan universitas yang mana juga terdapat mahasiswa normal. Penyesuaian sosial merupakan proses individu atau suatu kelompok mencapai keseimbangan sosial dalam arti tidak mengalami konflik dengan lingkungan (Risveni dan Mulyati, 2006). Di lingkungan Universitas Brawijaya, mahasiswa tunanetra yang harus melakukan proses penyesuaian diri harus dihadapkan dengan perubahan yang terkait dengan situasi kampus dimana terjadi perpindahan struktur sekolah yang lebih besar, hubungan yang lebih interpersonal, interaksi dengan teman sebaya yang lebih beragam latar belakang geografisnya dan juga kadang beragam latar belakang etnisnya, serta bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri (Santrock, 2002).

(4)

yang bukan sesungguhnya dari dirinya, membesar-besarkan ataupun membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain agar orang lain menyukainya (Rizki dan Muji, 2013).

LANDASAN TEORI A. Strategi Presentasi Diri 1. Presentasi Diri

Presentasi diri merupakan suatu upaya untuk mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya dan suatu upaya agar orang lain mempercayai diri kita. (Gilovich, Keltner & Nisbett, 2006). Sementara itu Baumister dan Bushman (2011) mengemukakan bahwa presentasi diri adalah beberapa perilaku yang mencoba untuk menyampaikan beberapa gambaran dari diri atau beberapa gambaran informasi mengenai diri kita kepada orang lain. Beberapa perilaku tersebut berniat (bahkan tanpa disadari) untuk membuat suatu kesan tertentu. Presentasi diri meliputi cakupan luas dari tingkah laku mulai dari pernyataan yang jelas mengenai diri. Penyampaian kesan yang diinginkan kepada orang lain melalui presentasi diri secara efektif merupakan komponen kunci untuk kesuksesan dan kenyamanan interaksi sosial.

Menurut Baumeister dan Bushman (2011), dua alasan utama dalam presentasi diri adalah untuk memperoleh penghargaan dari pihak lain yaitu jika pihak yang dihadapi mempunyai kekuasaan untuk memberikan penghargaan yang diinginkan individu, maka individu berusaha mendapatkan penghargaan dengan membuat pihak tersebut memikirkan hal-hal yang positif mengenai individu. Dan sebagai alat untuk pemenuhan diri (self fulfillment). Pada umumnya orang terdorong untuk menjadi diri ideal mereka, bersamaan dengan dorongan menjadi seseorang yang ideal, mereka juga terdorong untuk meyakinkan pihak lain bahwa apa yang mereka tampilkan sesuai dengan diri idealnya.

(5)

2. Strategi Presentasi Diri

Strategi presentasi diri adalah suatu upaya pembentukan kesan tertentu yang secara sadar dan disengaja dibentuk oleh orang lain untuk mencapai suatu tujuan tersembunyi. Mengutip dari Delamater dan Myers, strategi presentasi diri merupakan kondisi tertentu yang membuat orang menghadirkan diri mereka sebagai seseorang yang dibuat-buat atau kesan yang bukan sesungguhnya dirinya, membesar-besarkan, ataupun membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain menyukai kita lebih daripada diri mereka yang sesungguhnya (ingratitation), untuk membuat orang lain merasa takut kepada dirinya (intimidation), agar dihormati kemampuannya (self promotion), untuk menghormati akhlaknya (exemplification), ataupun untuk merasa kasihan kepada dirinya

(supplification) (Rizki dan Muji, 2013).

Menurut Goffman (Dayakisni dan Hudaniyah, 2012), ada delapan macam strategi presentasi diri, yaitu :

a. Mengambil hati (Ingratiation)

Tujuan dari strategi ini adalah supaya dipersepsi sebagai orang yang menyenangkan atau menarik. Taktik yang umum meliputi sanjungan atau pujian agar disukai yang orang lain, menjadi pendengar yang baik, ramah, melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri dalam sikap dan perilakunya. b. Mengancam atau menakut-nakuti (Intimidation)

Strategi ini digunakan untuk menimbulkan rasa takut dan cara memperoleh kekuasaan dengan meyakinkan pada seseorang bahwa seseorang tersebut adalah orang yang berbahaya. Jadi berbeda dengan ingratitatory yang ingin disukai, maka mereka justru ingin ditakuti.

c. Promosi Diri (Self Promotion)

Strategi ini digunakan ketika tujuan seseorang adalah supaya dilihat tampak kompeten atau ahli pada tugas tertentu. Seseorang yang menggunakan strategi ini akan menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha untuk memberi kesan dengan prestasi mereka.

d. Pemberian Contoh/Teladan (Exemplification)

Strategi ini digunkan ketika seseorang memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Biasanya mereka mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang jujur, disiplin, dan baik hati atau dermawan.

(6)

e. Permohonan (Supplification)

Strategi ini dilakukan dengan cara memperlihatkan kelemahan dan ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati. Seseorang yang menggunakan strategi ini biasanya melakukan kritik pada diri sendiri. Meskipun pelaku strategi ini cenderung menerima dukungan dari orang lain, namun mereka akan dipersepsi sebagai individu yang kurang berfungsi.

f. Hambatan diri (Self-Handicapping)

Strategi ini digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena kelihatan tidak mampu. Ketika seseorang merasa khawatir bahwa kesuksesannya sebelumnya karena nasib baik, mereka takut gagal dalam melaksanakan tugas. Sehingga mereka berpura-pura mendapatkan suatu hambatan (rintangan) sebelum atau selama kejadian-kejadian yang mengancam egonya.

g. Aligning Action

Aligning Action yaitu usaha-usaha individu untuk mendefinisikan perilaku mereka

yang nampaknya diragukan karena sebenarnya bertentangan dengan norma-norma budaya. Cara-cara yang pada umumnya dilakukan adalah dengan taktik disclaimers (penyangkalan) yaitu pernyataan verbal dengan niat/tujuan menyangkal impliksi negatif dari tindakan yang akan datang dengan mendefinisikan tindakan-tindakan ini tidak relevan dengan identitas sosial yang telah mereka miliki.

h. Altercasting

Altercasting yaitu menggunakan taktik untuk memaksakan peran dan identitas pada

orang lain. Melalui strategi altercasting, seseorang menempatkan orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkannya. Pada umumnya altercasting melibatkan perlakuan terhadap orang lain seolah-olah mereka telah memiliki identitas dan peran yang ingin kita paksakan atau bebankan.

B. Mahasiswa

(7)

Sedangkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bab VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan Vieramadhani (2012) mengartikan mahasiswa sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi.

Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks, 2002). Menurut Papalia (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau

young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan pencarian

identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya.

C.Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Organ mata yang normal menjalankan fungsinya sebagai indra penglihatan melalui proses pantulan cahaya dari objek di lingkungannya ditangkap oleh mata melewati kornea, lensa mata, dan membentuk bayangan nyata yang lebih kecil dan terbali pada retina. Dari retina melalui saraf penglihatan bayangan benda dikirim ke otak dan terbentuklah kesadaran tentang objek yang dilihatnya. Sedangkan organ mata yang tidak normal atau berkelainan dalam proses fisiologis melihat sebagai bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan saraf karena beberapa sebab. Beberapa sebab itu misalnya mata mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan. Seseorang yang mengalami kondisi tersebut dikatakan sebagai penderita kelainan penglihatan atau tunanetra (Efendi, 2008).

Sementara itu Somantri (2012) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21 meter. Artinya, berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter. Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, seseorang dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low

vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra. Dari uraian diatas,

(8)

tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas.

2. Klasifikasi Anak Tunanetra

Pada umumnya acuan yang digunakan dalam mengetahui apakah seseorang mengalami tunanetra atau tidak adalah melalui ketajaman penglihatannya. Seseorang yang ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21 meter dalam arti seseorang hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter (Somantri, 2012). Berdasarkan acuan tersebut, Somantri (2012) mengelempokkan tunanetra menjadi dua macam, yaitu buta dan low vision. Buta adalah suatu keadaan dimana seseorang sama sekali tidak menerima rangsang cahaya dari luarnya. Sedangkan low vision adalah suatu keadaan dimana seseorang masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21 meter, atau jika seseorang hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

3. Faktor-faktor Penyebab Ketunanetraan

Secara ilmiah ketunanetraan disebabkan oleh berbagai faktor apakah itu faktor dalam diri (internal) ataupun faktor dari luar eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Faktor tersebut miisalnya kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus (Somantri, 2012).

4. Perkembangan Tunanetra a. Perkembangan Kognitif

(9)

datang dari luar dirinya. Melalui indera ini pula sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut.

b. Perkembangan Emosi

Menurut Somantri (2012) perkembangan emosi tunanetra akan sedikit mengalami hambatan apabila dibandingkan dengan seseorang yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan tunanetra dalam proses belajar. Kesulitan bagi tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual mengenai stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta respon-respon apa saja yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Perkembangan emosi seorang tunanetra akan semakin terhambat bila seseorang tersebut mengalami deprivasi emosi. Deprivasi emosi adalah keadaan dimana tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam aspek perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Di samping itu, ada kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunanetra dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya.

c. Perkembangan Sosial

(10)

faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan tunanetra untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.

d. Perkembangan Kepribadian

Somantri (2012) mengemukakan bahwa akibat dari ketunanetraan mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi kepribadian tunanetra. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian antara tunanetra dengan orang awas. Ada kecenderungan tunanetra relatif lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang dicirikan dengan introversi, neurotik, frustasi, dan rigditas (kekakuan) mental. Namun demikian, disisi lain terdapat pula hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hal penyesuaian diri antara tunanetra dengan orang awas. Mengutip dari Davis, peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya bahwa dalam proses perkembangan awal, diferensiasi konsep diri merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dicapai (Somantri, 2012). Hasil penelitian lain juga menunjukkan seseorang tunanetra yang tergolong setengah melihat memiliki kesulitan yang lebih besar dalam menemukan konsep diri dibanding seseorang yang buta total. Hal ini disebabkan oleh seringnya terjadi krisis identitas dimana suatu saat ia oleh lingkungannya disebut orang awas tetapi pada saat yang lain disebut sebagai tunanetra.

METODE

Partisipan dan Desain Penelitian

(11)

Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, data penelitian yang diperoleh melalui sumber data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Pada pemilihan data sekunder, subyek sekunder dalam wawancara ini terbagi menjadi dua pihak yaitu teman dekat subyek primer dan pendamping (volunteer) yang bertugas mendampingi dan menjelaskan materi yang disampaikan dosen kepada subyek. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis data Moustakas (1994). Berikut ini merupakan langkah-langkah analisis data menurut Moustakas (1994), yaitu:

1. Menyajikan semua data atau gambaran menyeluruh mengenai fenomena yang telah dikumpulkan di lapangan dengan cara membuat teks tulisan (transkrip) pada semua hasil wawancara, tujuannya untuk mendeskripsikan suatu pengalaman. Kemudian peneliti memilah-milah transkrip tersebut untuk dibuat horisonalisasi.

2. Horizonalisasi, setiap pernyataan dianggap memiliki nilai yang sama dan dapat memberikan gambaran mengenai suatu fenomena. Kemudian, pernyataan yang diulang-ulang atau tumpang tindih, serta tidak relevan dengan topik masalah, dihilangkan sehingga hanya meninggalkan horizon.

3. Thematic Portrayal, dalam proses ini hasil horizon yang telah ditranskripkan

dikelompokkan ke dalam tema-tema yang sesuai. 4. Mentranskripkan data secara individual

Dibagi menjadi dua, yaitu Individual Textural Description dan individual Structural

Description. Individual Textural Description adalah pernyataan dan pendapat asli dari

masing-masing subyek penelitian mengenai deskripsi suatu fenomena, sementara

Individual Structural Description adalah pernyataan asli subyek penelitian yang

kemudian diubah secara struktural dengan menggunakan bahasa peneliti.

5. Composite atau penggabungan deskripsi dari masing-masing subyek menjadi satu.

Composite dibagi menjadi dua, yaitu Composite Textural Description dan Composite

Structural Description. Composite Textural Description adalah pernyataan asli dari

masing-masing subyek kemudian digabungkan menjadi satu. Setelah digabungkan menjadi satu, kemudian diubah secara struktural menggunakan bahasa peneliti

(Composite Structural Description).

(12)

HASIL

Berdasarkan analisis menggunakan analisis data fenomenologi Moustakas diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Secara umum strategi presentasi diri yang sering digunakan oleh mahasiswa tunanetra adalah strategi ingratiation (mengambil hati) dan strategi self promotion (promosi diri). Keempat subyek menggunakan strategi ingratiation (mengambil hati) ketika berinteraksi dengan teman-temannya di lingkungan universitas karena masing-masing subyek berusaha diterima oleh teman-temannya. Selain itu, strategi self promotion (promosi diri) juga sering ditemukan pada keempat subyek. Keempat subyek terlihat untuk berusaha menunjukkan kompetensinya dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing subyek. 2. Pada subyek Y strategi presentasi diri yang terungkap adalah strategi suplification. Subyek

Y seringkali menyatakan mengenai kelemahannya dan menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang menderita. Kemudian subyek Y menggunakan strategi self handicapping ketika ada tugas kelompok. Selain itu, pada subyek Y terungkap strategi exemplification tetapi tidak terlalu banyak muncul pada saat wawancara. Pada subyek Y juga terungkap pernyatan bahwa Y menggunakan strategi aligning action.

3. Pada subyek E terungkap strategi presentasi diri yaitu strategi aligning action dimana ketika subyek E disalahkan maka subyek E cenderung untuk menyangkalnya. Subyek E menyatakan bahwa ia tidak suka dikasihani dan cenderung menunjukkan potensi yang dimiliki dan berusaha untuk melewati hambatan yang dialaminya.

4. Pada subyek D terungkap strategi presentasi diri yaitu strategi intimidation. Subyek D menyatakan bahwa ia sering mengancam orang lain dengan kata-kata kasar ketika situasi di sekitarnya membuatnya tidak nyaman. Oleh karena itu menurut D intimidasi itu diperlukan. Selain itu strategi presentasi diri yang muncul adalah exempification dimana subyek D berusaha untuk memberikan teladan kepada anggotanya dalam suatu organisasi. 5. Pada subyek G terungkap strategi presentasi diri yaitu exemplification. Menurut pernyataan G, dengan keterbatasan yang dimilikinya G berusaha menjadi mahasiswa berprestasi sehingga dapat menjadi teladan bagi teman-temannya. Selain itu subyek G tidak ingin dikasihani dan menunjukkan potensi dengan keterbatasannya.

DISKUSI

(13)

obat tetes mata. Y menambahkan bahwa saat itu dokter memvonis Y mengalami glauchoma. Sementara itu subyek E menyatakan bahwa sebelumnya tidak mengalami sakit atau demam yang menyebabkan tunanetra. E menyatakan bahwa syaraf mata E kering. Subyek D menyatakan bahwa tidak awas sejak tahun 2009 setelah dinyatakan terdapat gangguan pada mata D sehingga mengharuskannya operasi mata. D menyatakan bahwa terdapat perbedaan kasus pada mata D dimana mata sebelah kanan D mengalami kelemahan syaraf sedangkan mata kiri D terjadi kerobekan pada retina. Sedangkan G menyatakan bahwa awal mula mengalami penurunan penglihatan ketika SMP. G menyatakan bahwa mata G mengalami peradangan sehingga saat ini G oleh dokter dinyatakan low vission.

Seseorang yang mengalami ketunatetraan yang disebabkan oleh faktor dari luar (eksternal) lebih memerlukan waktu untuk memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak lahir (Ro’fah, Andayani & Muhlisun, 2010). Keadaan tunanetra yang terjadi tidak sejak lahir akan membuat seseorang mengalami masa perubahan secara drastis. Kehilangan penglihatan mempengaruhi individu dalam berbagai hal, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpresepsi, berpikir, dan merasakan berbagai hal. Oleh sebab itu proses penyesuaiannya merupakan proses yang panjang dan harus dilakukan dengan beberapa macam cara.

(14)

membuat kesan yang menyesatkan tentang dirinya dimata orang lain agar orang lain menyukainya (Rizki dan Muji, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh strategi presentasi diri yang digunakan oleh mahasiswa tunanetra adalah sebagai beruikut :

Tabel 1. Strategi Presentasi Diri Mahasiswa Tunanetra Strategi Presentasi Diri

Subyek

Y D E G

Mengambil hati (Ingratiation)    

Promosi diri (Self Promotion)    

Menakut-nakuti (Intimidation) -  - -

Pemberian contoh/teladan

(Exemplification)   - 

Permohonan (Supplification)  - - -

Hambatan diri (Self Handicapping)  - - -

Penyangkalan (Aligning action)  -  -

Memaksakan peran (Altercasting) - - - -

Strategi presentasi diri mengambil hati (ingratiation) bertujuan agar individu dipersepsi sebagai orang yang menyenangkan atau menarik (Dayakisni dan Hudaniyah, 2012). Seseorang yang menggunakan strategi ini akan menampilkan dirinya yang terbaik dengan banyak memberikan senyuman, memberikan sanjungan atau pujian agar disukai orang lain, menjadi pendengar yang baik, ramah, melakukan hal-hal yang memberi keuntungan pada orang lain dan menyesuaikan diri dalam sikap dan perilakunya. Keempat subyek menggunakan strategi ingratiation (mengambil hati) ketika berinteraksi dengan teman-temannya di lingkungan universitas karena masing-masing subyek berusaha diterima oleh teman-temannya. Selain itu, strategi self promotion (promosi diri)juga sering ditemukan pada keempat subyek. Keempat subyek terlihat untuk berusaha menunjukkan kompetensinya dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing subyek.

(15)

ketidakmampuan subyek D dalam melihat sehingga mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat mengancam keselamatannya. Menurut Soemantri (2012) masalah yang sering muncul dan dihadapi seorang tunanetra dalam perkembangan emosi yaitu ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan. Dalam hal ini subyek D memunculkan emosi negatifnya dengan refleks mengeluarkan kata-kata kasar ketika terjadi hal-hal yang membuatnya takut atau cemas.

Selain itu, diperoleh strategi exemplification tidak terlalu sering muncul ditemukan pada keempat subyek. Exemplification terlihat pada subyek Y, D dan G tetapi pernyataan mengenai strategi ini tidak terlalu sering muncul. Menurut Dayakisni dan Hudaniah (2012), seseorang yang menggunakan strategi exemplification akan berusaha untuk memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Mereka memperlihatkan dirinya sebagai orang yang jujur, disiplin dan baik hati atau dermawan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menggambarkan situasi ketika seseorang ingin dianggap sebagai panutan atau berbudi luhur (Rizki dan Muji, 2013).

(16)

agar dikasihani. Hal yang dialami subyek Y tersebut disebabkan oleh deprivasi emosi yaitu keadaan dimana seorang tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Akibat yang ditimbulkan dari deprivasi emosi adalah kecenderungan menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang sekitarnya.

Pada gambaran strategi presentasi diri selanjutnya, strategi self handicapping tidak terlalu sering muncul pada keempat subyek. Self handicapping terlihat pada subyek Y tetapi tidak sering. Sedangkan pada subyek E, D, dan G menunjukkan bahwa ketika terjadi hambatan, mereka berusaha untuk melewatinya dan keluar dari hambatan tersebut. Tujuan dari strategi self handicapping adalah melindungi egonya ketika terancam karena terlihat tidak mampu (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Ketika menghadapi hambatan, seseorang akan memilih untuk menghadapi atau justru menggunakan alasan agar tidak disalahkan. Kemudian, strategi presentasi diri selanjutnya adalah penyangkalan (aligning action). Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyangkal implikasi negatif dari tindakan-tindakan yang akan datang dengan mengidentifikasikan tindakan yang tidak relevan dengan identitas sosialnya (Dayakisni dan Hudaniah, 2012). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, strategi

aligning action tidak sering muncul pada keempat subyek. Akan tetapi pada subyek Y dan E

muncul satu pernyatan yang dapat dikategorikan sebagai aligning action. Strategi presentasi yang terakhir adalah memaksakan peran atau identitas (altercasting). Tujuan dari strategi ini adalah untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkan kita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, strategi

altercasting tidak ditemukan dari pernyataan subyek Y, E, D, dan G.

Keterbatasan Penelitian

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Aronson, E., Wilson, T.D., dan Akert, R.M. (2013). Social psychology. USA : Pearson Education, Inc.

Baron, R. A. dan Byrne, D.(2004).Psikologi sosial. Jakarta : Erlangga

Baumister, R.F dan Bushman, B.J. (2011). Social psychology and human nature ninth

edition. USA : Wadsworth Cengage Learning.

Dayakisni, T dan Hudaniyah. (2012). Psikologi sosial. Malang : UMM Press

Efendi, M. (2008). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara Gilovich, T. Keltner, D dan Nisbett R.E. (2006). Social psychology. USA : W.W. Norton &

Company, Inc.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan (Edisi Ke-5). Jakarta: Erlangga.

Iskandar. (2013). Metodologi penelitian pendidikan dan sosial. Jakarta : Referensi (Gaung Persada Press Group).

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)

Muhammadunas. (2011). Difabel dan konstruksi ketidakadilan sosial. Diakses pada tanggal 2 Juni 2014 pukul 12.15 WIB. http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2011-12-07/republika_2011-12-07_004.pdf

Monks, F.J. dkk., 2002. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological research metodhs. California: Sage Publications. Myers, D.G. (2012). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika

Papalia, D, E. (2007). Human Development (10thed). USA : McGraw-Hill.

Risveni, N., & Mulyati, R. (2006). Perbedaan Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Baru

Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Naskah Publikasi (tidak di terbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 07.00.

http://psychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi01320169.pdfhttp://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1363/1458_u mm_scientific_journal.pdf

Rizki, S. W dan Muji, T.I. (2013). Self Presentation Pada Karyawan Bank Bagian Customer

(18)

ISSN : 2301-8267. Diakses pada tanggal 7 Maret 2014 pada pukul 13.00 WIB. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1363/1458

Ro’fah, Andayani & Muhirisun. (2010). Inklusi pada pendidikan tinggi : best practices dan

pembelajaran dan pelayanan adaptif bagi mahasiswa difabel netra. Yogyakarta :

PSLD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Santrock, J. W.(2002). Life –span development perkembangan masa hidup. Jakarta : Erlangga Soekanto, S. (2009). Sosiologi sebagai suatu pengantar. Jakarta : Rajawali Pers

Somantri, S.T. (2012). Psikologi anak luar biasa. Bandung : Refika Aditama

Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Diakses

pada tanggal 22 Juli 2014 pukul 15.15 WIB. WIB.

http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bab VI

Bagian ke empat pasal 19. Diakses pada tanggal 23 Juli 2014 pukul 16.05 http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf

Vieramadhani, P.R. (2012). Resiliensi pada mahasiswa baru penyandang cerebal palsy (CP).

Gambar

Tabel 1. Strategi Presentasi Diri Mahasiswa Tunanetra

Referensi

Dokumen terkait

) dilepas dan meningkatkan P tersedia, hal ini menunjukkan biochar berpotensi sebagai amelioran untuk memperbaiki sifat kimia tanah Ultisol; meskipun data perlakuan macam

Kajian ini adalah berasaskan dua buah naskhah yang lahir dari tradisi istana Perak iaitu Susunan Yang Pertama Adat Lembaga Orang-Orang Melayu di Dalam Negeri Perak Darul

Artinya, praktik-praktik budaya dan keluarga memainkan peran utama dalam perawatan untuk ODHA di daerah tersebut dan harus lebih dimanfaatkan untuk kenyamanan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di SMA Taman Mulia Kubu Raya diperoleh bahwa terdapat pengaruh positif dalam komunikasi guru-siswa terhadap

1) Bahwa benar pada pertengahan bulan November 2010 Terdakwa membeli sepeda motor Honda Tiger warna Hitam Nopol N 4202 VS seharga Rp.. diberikan namun

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep infrastruktur Teknologi Informasi  Ketepatan  Kejelasan  Komprehensivitas  Keterbaruan  Mahasiswa mampu

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan siswa melalui pembuatan peraturan kelas secara kooperatif pada siswa kelas V SD Negeri Beji, Wates Kulon