• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Upakara Dalam kehidupan Hindu di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fungsi Upakara Dalam kehidupan Hindu di"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Fungsi Upakara

Dalam kehidupan Hindu di Bali , masyarakat tidak terlepas dari kehidupan kagamaan yng berkembang sesuai dengan adat istiadat di tempatnya. Dalam mlakukan korban suci atau yadnya , umat hindu khususnya di bali lebih banyak melakukan daalm bentuk banten/upakara. Banten adalah wujud korban suci kepada Hyang Widhi. Adapun fungsi banten/upakara dalam upacara keagamaan adalah:

1. Upakara adalah wujud dari cetusan hati untuk menyatakan terima kasih kehadapan Hyang Widhi atas semua anugrahNya, memberikan kehidupan dan segala kebutuhan hidup manusia. Bagi mereka yang menjalani yoga semadhi, banten/upakara bukan syarat mutlak, karena mereka mampu melakukannya dengan tingkat bathin yang tinggi sambil melakukan puasa dan bertapa sebagai wujud cinta kasihnya kpada Hyang Widhi. Bagi mereka yang belum mampu melakukan yoga semadhi, maka banten/upakara adalah cara sederhana dalam mengungkapkan rasa syukurnya kehadapan Hyang Widhi.

2. Upakara adalah alat konsentrasi pikiran untuk memuja Hyang Widhi. Saat seseorang sedang membuat banten atau upakara ini, maka pikirannya akan selalu tertuju pada Hyang Widhi, secara tidak sengaja mereka selalu memuja Hyang Widhi.

3. Upakara/ banten adalah perwujudan/tapakan dari Hyang Widhi. Dalam banten di bali, pembuatannya memakai bahan yang melambangkan dewa-dewa tertentu, misalnya kelapa wujud Dewa Brahma, air wujud Dewa Wisnu dll.

Dalam upacara keagamaan di Bali, banten / upakara adalah syarat mutlak yang diperlukan agar pemujaan kepada Hyang Widhi dapat kita lakukan sesempurna mungkin.

Dalam Bagawad Gita ada sloka yang berbunyi:

PATRAM PUSPAM PHALAM TOYAM YO ME BHAKTYA PRAYACEHATI TAD AHAM BHAKTYUPAHRTAM

ASNAMI PRAYATATMANAH Artinya:

Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepadaKu daun, bunga, buah, atau air, yang didasari cinta kasih dan keluar

(2)

Om Swastyastu,

Seperti daerah lainnya di Indonesia, Bali memiliki berbagai keunikan baik dalam ragam budaya tradisional dan karya seninya, juga dalam ragam makanan khasnya. Selain itu yang berhubungan erat dengan sarana upacara yadnya tak terkecuali sarana bebantenan yang dipadukan dengan atribut makanan ataupun simbul-simbul tradisional yang sering disebut sebagai sarana Upacara yang merupakan bagian dari wujud persembahan sebagai wujud bakti umat hindu.

Berikut ini saya mencoba merangkum beberapa arti dan fungsi sarana upacara menurut kajian filosofis yang saya dapatkan dari beberapa sumber pustaka, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi umat hindu yang memerlukannya.

Seiring dengan pesatnya perkembangan Iptek dan gencarnya penyiaran agama baik yang dilakukan oleh PHDI, Departemen Agama, LSM, Organisasi Kepemudaan, Banjar dan Desa Adat, membuat perkembangan umat Hindu terutama dari sisi kualitas semakin

menggembirakan. Hal ini tampak dengan semarak diadakannya acara-acara keagamaan baik dalam bidang ritual, kesenian, seminar keagamaan, munculnya kelompok – kelompok kajian Veda, sekeha pesantian, kelompok meditasi dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya penyadaran akan eksisitensi sebagai hamba Hyang Widhi, dengan selalu mendekatkan diri kepadaNya melalui jalan Bhakti, dengan melakukan pemujaan ataupun dengan Upacāra yajña. Namun di balik semua kemeriahan dan ketaatan itu, belum kita rasakan ada

dampaknya terhadap kehidupan Umat Hindu secara umum, justru semakin banyaknya konflik yang terjadi, rasa kebersamaan, kesetaraan dan toleransi di antara sesama umat Hindu

semakin menipis, masih adanya diskriminasi dalam kehidupan beragama (apalagi di Bali), dengan dalih ”Aywa Wera” dan masih banyaknya oknum yang mengobjekkan umatnya sendiri, dengan memanfaatkan berbagai kelemahan dan ketidaktahuan umat, demi

keuntungan pribadi dan kelompok mereka sendiri, dengan mengatakan ’kamu tidak boleh membuat ini ataupun itu, karena kamu orang sudra/panjak, berasal dari non- Bali dan tadinya non- Hindu, kamu tidak boleh memada-mada’.

Berbeda dari apa yang terdapat dalam susastra Veda, bahwa semua umat berhak dan wajib mengetahui, meresapi, menghayati dan melaksanakan segala kewajiban agama sebagai sebuah Dharma sesuai dengan guna dan swadharmanya masing-masing, terlepas dari siapa mereka, apa warna kulitnya, dari kelahiran mana mereka berasal, apa jabatannya, semuanya harus tunduk kepada hukum hukum agama, baik Sruti Smrti, Sila, Acara dan Ātma nastusti (Manawadharmasastra, II.6).

Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña,

(3)

Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia

disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane

jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi

mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Fungsi Upakāra Secara Umum

1. Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi

2. Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan)

3. Seagai sarana permohonan

(4)

Umbul-Umbul Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

By Mudra I Wayan

Abstract

Budaya masyarakat Bali yang sarat aktivitas keagamaan, adat, dan seni dengan konsep dasar sistem simbol yang menyatu dan berhubungan erat dengan keyakinan dan kepercayaan pada dewa-dewa maupun totemisme. Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud "kelakuan" maupun material culture "hasil karya kelakuan. Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada Hindu dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut. Generasi kini tanpa diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul-umbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan

(5)

Hasil dari penginderaan menoreh kesan dalam pikiran

Manusia dapat mengetahui sesuatu berkat adanya pancaindra. Panca Indra bekerja secara otomatis dan langsung memberikan kesan atau catatan kepada otak selanjutnya menjadi kesan dan pengetahuan. Misalnya; orang mengetahui warna darah itu merah karena mata melihat (mengindra) terlebih dahulu sehingga otak dapat menyimpulkan bahwa warna darah itu merah. Sehingga setiap ada yang mengatakan darah, otomatis muncul dalam pikiran kita bahwa warna darah itu pasti merah, walaupun kita belum melihatnya langsung. Karena pengetahuan tentang warna darah itu merah, didapati dari hasil pangindraan mata kita.

Demikian pula halnya fungsi panca indra yang lainnya. Kesemuanya itu memberikan laporan ke otak itulah proses terjadinya pengetahuan dalam diri manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, memang tepat sekali usaha para leluhur kita di dalam menanamkan pengetahuan tentang kesucian (Ketuhanan), kepada kita melalui tuntunan panca indra melalui fungsi panca indra itu masing-masing.

Untuk dapat mengadakan kontak (hubungan) dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan sempurna, pertama-tama harus dibuat kesan dalam pikiran, yang mana kesan tersebut mengarah kepada kesucian. Jadi semua indra harus merekam kesan kesucian, untuk memunculkan rasa kesucian. Selanjutnya kita akan menghubungkan diri dengan kesucian yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehubungan dengan hal tersebutlah dibangun pura, dibuatkan aktivitas upacara agama, dengan segala kelengkapannya, seperti atribut-atribut, sebagai simbul-simbul para Dewata, dan ditetapkannya hari-hari suci keagamaan sebagai waktu mengadakan kontak dengan Sang Pencipta pada saat-saat tertentu, selain kontak rutin kepada Beliau yang merupakan kewajiban hidup.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan lebih sempurna, bisa diambil satu contoh, misalnya;

Aktivitas pujawali di Pura. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, pura merupakan tempat suci dan tempat memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang dilakukan saat-saat tertentu sesuai dengan waktu yang telah disepakati secara sekala maupun niskala. Pada waktu hari puja wali sepenuhnya merupakan aktivitas rekaman dari panca indra. Mulai dari mata, hidung, telinga, mulut (lidah), dan kulit.

(6)

Semua itu dapat memberikan kesan kesucian yang mengarah ke Maha-Sucian Yang Kuasa. Pada sekaligus sebagai pembuka jalan lebar-lebar menuju penyatuan pada Sang Pencipta.

Inilah yang merupakan faktor utama orang-orang Hindu terkesan ramah-ramah, penuh rasa persaudaraan, sehingga memunculkan predikat Bali sebagai Pulau Dewata, Bali sebagai pulau Sorga dan Bali sebagai pulai seribu Pura. Sekaligus merupaka daya tarik tersendiri, sehingga tak terbendung adanya urbanisasi. Berbicara dari sisi positifnya, kedatangan mereka ke Bali akan dapat menambah pendapatan perkapita menjadi meningkat. Tetapi dari sisi negatifnya sangat banyak pula yang dapat merugikan kita dan merugikan generasi yang akan datang. Sebab kerusakan-kerusakan akan terus terjadi, dengan dalih bermacam-macam. Yang paling ditakuti adalah kerusakan moral bagi pendukung Bali itu sendiri. Lalu apa yang dapat kita lakukan?

Yang paling mendasar harus dilakukan adalah kesadaran bagi pendukungnya dalam hal ini umat Hindu, sebab keterkenalan Bali di mata orang luar adalah dengan danya keunikan budaya, adat istiadat kehidupan orang Bali (orang Hindu di Bali) sebagai modal dasar. Sebab keberadaan dapat dipungkiri. Makanya orang Hindu di Bali sebagai pendukung utamanya harus secepatnya menyadari.

Sasaran rekaman panca indra yang telah diuraikan di atas tadi telah berubah, sehingga pembentukan kesan di otak akan berubah, selanjutnya di ikuti oleh perubahan mental. Pura sebagai tempat yang dapat dipakai arena memunculkan kesan kesucian telah berubah menjadi tempat memunculkan kesan kumuh, penuh dengan emosi, egois dan kesan nafsu.

Sebagai contoh agar lebih cepat dapat dipahami adalah; Setiap pujawali di sebagaian besar pura, tidak terlepas dari nuansa judi dengan dalih bermacam-macam sebagai pembenaran, apakah dalih penggalian dana dan sebagainya.

Di samping itu di depan pura dipenuhi oleh pedagang-pedagang yang membangun warung-warung berdinding dan beratap plastik tak ubahnya seperti di daerah kumuh tempat-tempat para tuna wisma. Sehingga setiap mereka yang mau tangkil ke Pura, panca indranya akan merekam hal-hal yang bertolak belakang dari kesucian. Indahnya penjor dan umbul-umbul diganti dengan kumuhnya warung-warung plastik, indahnya lagu-lagu kerohanian dan tabuh gambelan diganti oleh semaraknya lagu-lagu dangdut yang diputar oleh para pedagang kaset, harumnya bau dupa dan kembang-kembang wangi, diganti dengan merambahnya bau sate languan dan bau makanan yang lainnya. Banten lungsuran Bhatara tidak lagi enak dimakan karena diganti oleh rasa bakso.

Suara-suara merdu lainnya tidak kedengaran dikalahkan oleh gemuruhnya sorak serai para bebotoh di arena judian. Kesemuanya itu dapat mengubah sikap mental kita, menjadi tidak peduli terhadap masa depan. Predikat Bali sebagai pulau Sorga, Pulau Dewata akan pelan-pelan ditelan oleh sikap angkara murka yang terbentuk dari hasil rekaman panca indra seperti yang telah diuraikan tadi.

(7)

yang penuh kesabaran, penuh kecintaan dan kasih sayang. Bisakah hal seperti itu kita pertahankan?

Jawabannya adalah bisa.

Apabila didukung oleh kesadaran dari semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, politikus, budayawan, seniman, pengusaha. Supaya mewujudnyatakan slogan-slogan manis dan indah yang pernah di ucapkan, seperti; AJEG BALI, TRI HITTAKARANA, dan lain sebagainya yang senada dengan itu. Jangan hanya dipakai pemanis bibir untuk melicinkan tercapainya kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi, dan jangan terpatok sampai di janji mulik-muluk yang dapat memualkan dan mempercepat proses muntah.

(8)

 Layanan

 Produk

 Alat

 Beranda

 Tentang

 Hubungi Penulis

 Sitemap

o Sub Page #1

o Sub Page #2

o Sub Page #3

 Halaman Download Kalender Bali Online

Makna Umbul-umbul

(9)

Umbul-umbul adalah salah satu alat upacara yang dipergunakan di pura pada waktu piodalan atau upacara lainnya di suatu pura. Tetapi umbul-umbul sudah menghias tempat-tempat pertunjukan kesenian yang nota bene tempat tersebut hanya sebagai tempat hiburan atau kegiatan yang bersifat seremonial saja dan tidak ada kaitannya dengan kegiatan upacara. Andaikata ada seorang bapak dari desa lewat melalui jalan di desa Batu Bulan, Celuk, Sukawati, Mas dan terus ke Ubud tentu dia akan bertanya dalam hati “rerainan apa sekarang kok banyak orang ngodalin, memasang umbul-umbul?” bapak kita yang dari desa ini berpikir polos karena dai tidak mengetahui perkembangan jaman, karena dahulu kalau tidak ada upacara odalan “nadi” tidak akan memasang umbul-umbul. Tetapi sekarang demi menarik wisatawan segala yang unik dan aneh dipertunjukkan walau pun itu tidak pada tempatnya.

(10)

mematahkan jembatan saya saya akan sembah”. Kalua begitu cobalah kata Hanoman. Arjuna mengambil panah Naganya dan begitu dilontarkan dan lansung menjadi jembatan yang kokoh yang sejajar dengan jembatan yang sudah ada, kemudian Hanoman meloncat keatas jembatan itu dan begitu meloncat patahlah kembatan itu, Sti Krisna melihat kejadian itu lalu melepaskan panahnya lagi sehingga jembatan itu kembali sebagaiman semila dan Hanoman mencoba mematahkan lagi tetapi tidak bisa, sadarlah naoman bahwa yang di hadapinya itu adalah junjungannya Sang Rama Dewa yang lahir kembali menjadi Sri Krisna lalu mendekatinya mau menyembahnya.

Sebaliknay Arjuna mendekati Hanoman untuk emnyembahnya karena jembatan yang dibuat Arjuan telah bisa dipatahkan oleh Hanoman tetapi Hanoman menolak dengan mengatakan bahwa manusia tidak boleh menyembah binatang karena dia masih berupa Monyet. Arjuan berkeras untuk menyebah dengan mengatakan “ saya adalah kesatria Pandawa, saya tidak boleh ingkar pada kata-kata saya” perdebatan ini akhirnya diketahui oelh Sri Krisna dengan menasehati Arjuan janganlah merasa diri sakti bahw atidak ada makhluk di dunia ini yang sakti hanya Ida Sanghyang Widhi Yang Maha sakti sebab hanya beliaulah yang patut disembah. Namun agar hutang sembah Arjuna bisa dilunasi maka dikutuklah jembatan yang dibuat Arjuan itu sebagai umbul-umbul, dengan pesan agar manusia jangan takabur seperti Arjuna.

Maka dimanapun ada parhyangan atau palinggih Dewa maka di mukanya dipancangkan umbul-umbul dan kober (bendera) bergambar wanara. Dengandemikain orang orang akan selalu ingat dengan peristiwa Arjuna dengaan Hanoman, dan dengan menyembah dihadapan parhyangan maka umbul-umbul dan bendera Hanomanpun ikut tersembah sebagai penebus janji bagi Arjuna.

Untuk menyakinkan peristiwa itu maka umbul-umbul itu dihiasi dengan dengan gambar naga (panah) naga dari Arjuan dan gambar wanara yaitu gambar Hanoman, maka dari itu dapat kita mengerti dan sadari mengapa kita harus menyucikan umbul-umbul yang tidak lain karena mempunyai mythologo yang baik bahkan disakralkan oleh umat Hindu.

(11)

Related Posts: Tattwa, Upacara/Upakara

 Sejarah Agama Hindu

 Tri Kaya Parisudha

 Hari raya Nyepi

 Hari Pagerwesi

(12)

0 komentar:

Have any question? Feel Free To Post Below:

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

« Previous Next »Beranda

Special Thanks to

Ida Pedandha Gede Putra Pinatih Geriya Sibetan Bebandem

Ida I Dewa Gede Catra Jln. Untung Surapati Amlapura

Bapak Kasi Ura Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem(Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag, M.Si)

Bapak Kasi Penda Hindu Kantor Kemenag Kab. Karangasem (Drs. I Wayan Lipur, M.Si)

serta jajaran Penyuluh agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karangasem Mohon ijin mempublikasikan artikelnya

Like Saya di

FACEBOOK SAYA dan TWITTER SAYA

Korupsi Kementerian Tamparan Keras di Akhir Jabatan SBY Okezone

Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Agama , dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemen-PDT) tersangkut kasus korupsi. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, ...

Lukman Diminta Kembalikan Wibawa Kementerian Agama

KOMPAS.com

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Menteri Agama yang baru Lukman Hakim

Saefuddin (kiri) bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono usai pelantikan Menag di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/6/2014).

Related Articles »

Muhammadiyah Berencana Tak Hadiri Sidang Isbat Kementerian Agama

(13)

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Menteri Agama, Suryadharma Ali memimpin jalannya Sidang Isbat penetapan 1 Syawal 1433 H di Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (18/8/2012). Sidang Isbat menetapkan Hari Raya Idul ...

Related Articles »

Staf Khusus Menteri Agama Diperiksa Terkait Kasus Haji BeritaSatu

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Staf Khusus Menteri Agama Ermalena Muslim untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012/2013 di Kementerian Agama. Kepala Bagian ...

Related Articles » powered

by

Total Tayangan Laman

47389

yandira@copyright. Diberdayakan oleh Blogger.

Follow by Email

Followers

 YouTube

 Twitter

 Google Plus

Labels

 Etika (16)

 Tattwa (28)

 Upacara (8)

 Upacara/Upakara (16)

(14)

Popular Posts

 Sesananing Pemangku atau Pinandita

 Konsepsi Catur Warna dalam ajaran agama Hindu

 JENIS-JENIS UPAKARA PIODALAN ALIT TINGKAT MADYA DAN FILOSOFINYA

 Makna Canang sari dan Kwangen

 Tingkatan Upakara Bhuta Yadnya

 Sejarah Agama Hindu

 Makna Hari Siwaratri

 Tata cara Membakar Mayat (Sawa Preteka) menurut adat Hindu Bali

 HUKUM KARMA PHALA

 Makna Penjor

About Me

Lihat profil lengkapku

© 2012 Ferrycute. All Rights Reserved.

Design Oleh SHREE MADHAN | Modifikasi dan Publikasi Kodokoala

Referensi

Dokumen terkait

karakterisasi seperti tersebut di atas, terdapat pula pura yang berfungsi di samping untuk memuja Hyang Widhi Wasa atau Prabawa- Nya, juga berfungsi untuk memuja Atma

Pelaksanaan berbagai bentuk upacara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu disebut “Yadnya” atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai bentuk

Kepercayaan itu adalah dengan melaksanakan ngayah Mapeed yang merupakan bentuk sujud bhakti masyarakat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam

Kepercayaan itu adalah dengan melaksanakan ngayah Mapeed yang merupakan bentuk sujud bhakti masyarakat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam

Hal tersebut dimungkinkan mengingat adanya kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Subagiasta, 1997 : 371). Di Desa Pakraman Pejeng Kawan, Kecamatan

Kemudian tahapan ketiga setelah melaksanakan persembahyangan pemedekPura Kahyangan Alas Kedaton menerima wangsuh pada dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan memerciki tirtha

Kuil sebagai tempat beribadah atau bersembahyang bagi umat Hindu Tamil untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.. Bapak

Kemudian tahapan ketiga setelah melaksanakan persembahyangan pemedekPura Kahyangan Alas Kedaton menerima wangsuh pada dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan memerciki tirtha dan