• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEspace politique dans la Hikayat Hang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LEspace politique dans la Hikayat Hang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :

(2)

RUANG POLITIK DALAM

HIKAYAT HANG TUAH

1

ikayat Hang Tuah adalah epos Melayu yang kiranya ditulis pada abad ke-17 di Semenanjung Melayu. Karya tersebut bersifat semi-sejarah atau legenda (tokoh Hang Tuah pernah hidup dalam kenyataan sebenarnya) dan memberi kita gambaran yang sangat hidup tentang kehidupan politik dan sosial, bahkan tentang beberapa aspek kehidupan sehari-hari, di Malaka pada abad ke-15. Kisah yang sekaligus nyata dan fiktif ini merupakan sumber yang pantas bagi penelitian tentang suatu konsep dalam mentalitas zaman itu.

Teks tersebut, yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman,2 dikenal baik oleh para pengamat kesusastraan lama dan pakar dunia Melayu pada umumnya. Semuanya mengakuinya sebagai salah satu mahakarya kesusastraan Melayu, satu di antara sedikit, sebelum abad ke-19, yang benar-benar orisinil. Ia disebut-sebut dalam semua buku pegangan sebagai epos Melayu teladan, yang malah sulit diklasifikasikan di antara karya lain yang sejenis.

Namun sebaliknya, studi tentang epos itu relatif sedikit.3 Selain itu, studi-studi itu merupakan penelitian sastra semata dan mengabaikan aspek sejarah

1Versi asli artikel ini, berjudul ―L'Espace politique dans la Hikayat Hang Tuah‖,

terbit dalam D. Lombard & R. Ptak (eds.), Asia Maritima: Images et Réalités, 1200-1800, Wiesbaden: Harrassowitz, 1994, h. 41-61. Namun terjemahan ini ditambah dengan beberapa bahan yang pernah dibawakan sebagai makalah pada Kongres Bahasa Melayu Sedunia, ―Bahasa Melayu sebagai bahasa antarabangsa: wawasan dan keyakinan‖, Kuala Lumpur, 21-25 Agustus 1995.

2

Hans Overbeck (penerjemah), Malaiische Chronik. Hang Tuah. Aus dem Malaiischen (Düsseldorf, 1922: edisi ke-2, 1976). Baru-baru ini, teks itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Kuala Lumpur, 2010).

3

Studi itu terdiri atas dua disertasi (Shelly Errington, A Study of Genre: Meaning and Form in the Malay Hikayat Hang Tuah, Cornell University, 1975, tidak terbit; dan Sulastin Sutrisno, Hikayat Hang Tuah: Analisa, Struktur dan Fungsi, Yogyakarta, 1983) dan sekitar dua puluhan artikel penting. Teks HHT belum pernah diedit dengan metode kritis. Di sini kami menggunakan edisi Balai Pustaka (Weltevreden, 1924; cetakan ulang oleh Depdikbud, Jakarta, 1978, 2 jilid) dan edisi Kassim Ahmad (Kuala Lumpur, 1971; edisi ke-3).

(3)

teks itu, yang selalu disejajarkan dengan Sejarah Melayu,4 yaitu kronik Kesultanan Malaka. Kedua teks tersebut membahas periode yang kurang-lebih sama; keduanya menceritakan asal-usul mitos dinasti Malaka sebelum mengungkapkan kehidupan politik kesultanan itu; unsur-unsur nyata dalam Hikayat Hang Tuah (selanjutnya HHT) diketahui melalui Sejarah Melayu; tambahan pula HHT mengandung adegan-adegan yang tidak masuk akal yang berakibat tidak mungkin digunakan sebagai sumber informasi tentang kejadian sebenarnya – yang paling gamblang ialah, selama masa satu abad, kesultanan Malaka terus saja diperintah oleh ketiga orang yang sama, yaitu Sultan, Perdana Menteri dan Hang Tuah. Maka para sejarawan cenderung mempercayai Sejarah Melayu dan mengabaikan HHT. Salah satu hasil analisis sejarah yang langka adalah tulisan Denys Lombard5 yang membahas secara khusus masalah ruang dalam dunia Melayu pada awal masa Islamisasi.

Sebelum mengangkat ulang masalah ini secara mendetail, perlu kita membicarakan asal-usul teks itu: konsep-konsep yang terkandung dalam HHT itu milik siapa? Dengan kata lain, apa yang diketahui tentang pengarangnya serta tempat dan zaman karya itu ditulis? Pertanyaan ini pernah diuraikan oleh dua pakar Rusia, B. Parnickel dan V. Braginsky, yang mencatat kesejajaran yang menonjol antara beberapa adegan politik dalam HHT (peristiwa-peristiwa yang muncul akibat persaingan antara Malaka dan Majapahit) di satu pihak, dan konflik yang mempertentangkan Johor dan Jambi pada tahun 1660-1690 di pihak lain.6 Mereka menyimpulkan bahwa epos itu telah dikarang, atau paling tidak disesuaikan, untuk melambangkan situasi politik Johor sekitar tahun 1690, dari sudut pandang Perdana Menteri (Bendahara) setelah ia menundukkan Laksamana.

Kesimpulan ini tidak sepenuhnya meyakinkan.7 Namun demikian, HHT rupanya benar ditulis di Johor, yakni kesultanan yang telah menggantikan

4

Sejarah Melayu (judul sebenarnya adalah Sulalat al-Salatin) dikarang pada awal abad ke-17. Di sini kami menggunakan edisi T.D. Situmorang & A. Teeuw (Jakarta, 1952) dan edisi Muhammad Haji Salleh (Sulalat al-Salatin, Kuala Lumpur, 1997) serta terjemahan C.C. Brown (Sejarah Melayu or Malay Annals, Kuala Lumpur, 1970).

5

Le Carrefour javanais (Paris, 1990), jil. II, h. 197-200.

6 Lih. V.I. Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic and Muslim mirror‖,

Bijdragen tot de taal-, Land- en Volkenkunde, 146-4 (1990), h. 399-412.

7

(4)

Malaka dan yang merupakan gudang ingatan sejarahnya. Kesimpulan kedua pakar tersebut tentang batas waktu akhir HHT mungkin dikarang pun boleh diterima: HHT disebut oleh seorang penulis Belanda (François Valentijn) pada tahun 1726, jadi kiranya berasal dari paling sedikit sepuluh tahun sebelum tahun tersebut.8

Dapat diperkirakan juga bahwa HHT ditulis di istana, dengan saran yang diajukan B. Parnickel: waktu itu istana merupakan salah satu pusat produksi sastra tulis yang terpenting, dan ternyata sejumlah besar naskah yang kita kenal dari teks itu berasal dari beberapa perpustakaan istana.9 Argumentasi Parnickel dapat dilengkapi dengan kenyataan bahwa pengarang HHT jelas mengenal teks-teks Melayu lain seperti Sejarah Melayu, Bustan al-Salatin, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Sri Rama dan suatu cerita Panji, apalagi menyalin, sebagaimana akan kita lihat di bawah ini, sebuah kutipan dari Bustan al-Salatin, dan hal ini pasti terkait dengan istana.

Dalam hal ini rupanya kita boleh menganggap bahwa HHT ditulis oleh pengarang tunggal oleh karena, kalaupun pernah ada sejumlah legenda lisan tentang tokoh Hang Tuah, kenyataan bahwa teks HHT hanya terdapat dalam satu versi saja mendorong kita berkesimpulan bahwa semua naskah berasal dari satu arketipe tunggal.10 Jadi teks itu bukan campuran episode yang tergabung

kesimpulan bahwa HHT ditulis setelah tahun 1688, yaitu tahun kemenangan Bendahara. Padahal, rujukan pada suatu kejadian tahun 1641 (penaklukan Malaka oleh Belanda) pada akhir teks, tampak seperti tambahan belakangan, yang membuat kita berpikir bahwa HHT dikarang sebelum 1641 dan barangkali diperbaiki pada waktu disalin ulang di kemudian hari. Akan kita lihat di bawah ini bahwa sebuah adegan HHT disalin atas sebuah teks lain, yakni Bustan al-Salatin, yang ditulis tahun 1638. Jadi kita menghadapi beberapa ciri yang tampak saling bertentangan. Tidak boleh dilupakan bahwa, kalaupun teks itu rupanya ditulis oleh seseorang pengarang pada suatu waktu tertentu, ia pasti mengalami berbagai perubahan dalam proses penerusannya.

8

Mungkin Valentijn mengelirukan HHT dan Sejarah Melayu (lih. Kasim Ahmad, Hikayat Hang Tuah, 1971, h. xii dan cat. 5), tetapi bagaimanapun juga teks itu dikutip oleh pengarang Belanda yang lain, Werndly, sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1736. Naskah paling tua yang kami miliki berasal dari tahun 1758.

9 B. Parnickel, ―An attempt of interpreta

tion of the main characters of the Malay Hikayat Hang Tuah‖, Moskow, 1960.

10

(5)

secara kebetulan dalam perjalanan waktu dan kita patut mencari di dalamnya visi yang terpadu tentang satu aspek masyarakat masa itu.

Tetapi – ini juga mengikuti pembahasan B. Parnickel – penggambaran penguasa dalam HHT (ia lemah, penakut, dangkal dan zalim) jelas tidak dapat mencerminkan sudut pandang istana, sementara sifat dan tabiat Hang Tuah (rakyat biasa, patriot, pendukung kekuasaan yang kuat, prajurit yang tangguh, diplomat andal, dan pedagang lihai yang berjiwa petualang, penuh rasa ingin tahu dan dermawan) memberi kita petunjuk bahwa pengarangnya akrab dengan golongan pedagang. Baiklah disimak tiga adegan yang mendukung dugaan tersebut. Pertama, tatkala ia diutus Sultan ke India dan Rum (Istambul), Hang Tuah mengisi kapalnya dengan barang dagangan supaya dijual di tempat tujuan demi keuntungannya sendiri, bahkan waktu diutus ke Tiongkok, ia berbuat demikian pula untuk kepentingan seorang menteri India yang berjanji akan mengembalikan 50 persen keuntungannya.11 Kedua, ketika mengunjungi kota Vijayanagar, Hang Tuah menaruh perhatian khusus pada dua jenis lembaga: beberapa wihara yang atas modalnya sendiri meminjamkan uang kepada para

pedagang dengan bunga 5 persen, dan ―balai derma‖ yang menyedekahkan

makanan dan pakaian kepada orang miskin. Ketiga, ketika ia dianugerahi oleh Sultan Brunei sebuah muatan kendaga sebesar dua belas perahu sarat, yang

kemudian ditolak oleh Sultan Malaka (―Apa gunanya kendaga ini kepada kita? Mana bicara Laksamanalah!‖ HHT 387), ia tidak membuangnya: ia

menyimpannya baik-baik dan kemudian mempersembahkannya kepada Raja

Siam yang memakainya sebagai mata uang (―Maka titah Phra Chau, ‗Hai

Laksamana, terlalu sekali baik kendaga ini [sebagai] belanja negeri kita, karena kendaga inilah terlalu jauh, bukan mudah-mudah mengambil dia‘.‖ HHT 393). Mengingat betapa dangkal perhatian Hang Tuah terhadap aspek-aspek budaya, agama dan politik negeri-negeri asing yang dikunjunginya, maka ketiga adegan di atas menggambarkannya sebagai usahawan cerdas di balik penampilannya sebagai diplomat.

Maka paling tidak, boleh kita mengajukan hipotesis bahwa HHT ditulis di Johor sekitar pertengahan abad ke-17 (mungkin sebelum tahun 1641 tetapi

(hingga utusan ke India) ditulis sebelum tahun 1600 (kata-kata Portugis masih banyak), sementara bagian selanjutnya ditulis sesudah tahun 1641 (kepribadian Hang Tuah tampak berubah).

11

(6)

diubah lagi sesudahnya) oleh pengarang yang akrab dengan istana dan berasal dari golongan pedagang.

Sebelum memantau negeri-negeri yang dikunjungi Hang Tuah sebagai pencerminan ruang politik kesultanan Malaka sebagaimana dilukiskan dalam HHT, perlu kita ingat sifat umum kisah-kisah perjalanan dalam hikayat Melayu lama. Para tokoh hikayat-hikayat itu sering melaksanakan perjalanan ke negeri jauh. Perjalanan itu bersifat melingkar, yaitu sang tokoh selalu pulang ke negeri asalnya. Dalam Hikayat Indraputra umpamanya, tokoh utama, yakni Indraputra, diterbangkan ke luar negeri asalnya oleh seekor merak emas dan kemudian berkelana untuk mencari obat beranak yang diperlukan Raja Syahsian. Selanjutnya dia mengalami berbagai petualangan yang luar biasa, bertemu dengan segala jenis makhluk, sempat mati dan dihidupkan kembali, dan akhirnya pulang ke negeri asalnya bersama empat istri.

Perjalanan itu juga bersifat rohani karena sang tokoh mengalami proses penyempurnaan, sehingga dapat pulang dan menjadi raja, mengganti ayahnya. Dalam Hikayat Dewa Mendu misalnya, tokoh Dewa Mendu meninggalkan

negeri asalnya ―demi mencari kesempurnaan kali-laki‖. Di antara berbagai pengalamannya di negeri Indera dan Cendera, dia berenang dalam laut Qulzum selama setahun lebih, dia ditelan oleh seekor naga dan hidup dalam perutnya selama beberapa waktu pula. Pengalaman demikian boleh dianggap sebagai ritus kealihan (rites de passage) atau inisiasi. A. Bausani pernah menulis uraian yang menarik tentang adegan-adegan itu, yang ditafsirkannya sebagai padanan Melayu dari konsep penitisan dalam agama Hindu.

Perjalanan dalam Hikayat Hang Tuah sangat penting juga tetapi sama sekali lain sifatnya. Hang Tuah mengunjungi negeri-negeri yang nyata, bukan negeri antah-berantah. Negeri itu cukup banyak, mulai dari negeri tetangga di alam Melayu (Pahang, Terengganu, Lingga, Singapura, dan lain-lain) sampai yang terbesar di dunia pada zaman itu: Tiongkok, India Selatan, Tanah Suci, Mesir dan Turki. Untuk pertama kali dalam sastra Melayu, ilmu bumi dan dunia politik menjadi bahan sastra. Gejala itu merupakan tanda kemodernan, lama sebelum abad ke-19.

Dalam Sulalat al-Salatin, alias Sejarah Melayu, Hang Tuah hanya mengunjungi beberapa negeri saja, bahkan tidak pernah memimpin utusan sendiri, dan mungkin sekali demikian halnya dalam kenyataan sejarah. Sebaliknya dalam HHT, dialah yang memegang peran utama dalam semua misi dan perjalanan tersebut.

Negara-Negara Sekutu atau Bersahabat dengan Dunia Melayu

Alur cerita HHT boleh dikatakan terpusat pada dua kutub yang berlainan. Di satu pihak, di istana Malaka, sikap senantiasa setia dan takzim yang ditunjukkan Hang Tuah terhadap Sultan, dan sebaliknya pendurhakaan Hang Jebat,

(7)

keamanan. (Makna simbolis kedua sikap yang bertentangan itu merupakan topik utama dari berbagai studi yang terbit selama ini.) Di pihak lain, di luar kesultanan, misi-misi yang dilaksanakan Hang Tuah atas perintah Sultan ke negeri asing yang luar biasa banyaknya. Aspek kedua itulah yang akan dibahas di bawah ini.

Baik kita melihat dulu secara sepintas negara dan negeri yang berhu-bungan dengan Malaka, mulai dengan yang terletak dalam lingkungan dunia Melayu, tanpa memperhatikan urutan episode yang bersangkutan.

Sebelum mendirikan kota Malaka, Sultan memerintah di Bentan. Orang tuanya tetap memerintah di Bukit Seguntang, dekat Palembang. Disebut rencana kedua adiknya dinobatkan di Minangkabau dan Palembang (HHT 104).12 Kedua putranya menjadi raja di Lingga dan Bentan.

Bukit Seguntang, Palembang, Bentan, Lingga, Minangkabau, juga Singapura tempat Sultan terkadang berjalan-jalan, semuanya merupakan kerajaan tetangga yang mempunyai hubungan persahabatan bahkan persauda-raan dengan Malaka.

Juga sangat dekat adalah dua kerajaan di pantai timur Semenanjung Melayu, yaitu Indrapura (yakni Pahang) dan Terengganu. Kedua-duanya adalah kerajaan bawahan, yang beberapa kali perlu ditindak oleh Malaka. Beberapa sengketa disebabkan oleh keinginan Sultan untuk menikahi putri perdana menteri (bendahara) Indrapura. Sang putri menyatakan dirinya tidak patut

(―Yang enggang sama enggang, yang pipit itu sama pipit juga!‖, HHT 93). Lama kemudian, Hang Tuah melarikan sang putri dengan menggunakan ilmu sihir, sehingga menimbulkan kemurkaan ayahnya, Perdana Menteri Indrapura, dan tunangannya, Pangeran Terengganu.13 Lebih kemudian, Hang Tuah harus sekali lagi menghukum Terengganu karena telah melecehkan tunangan (yang datang dari Srilanka) putri Sultan, dan menghukum Indrapura karena telah membunuh putra Hang Jebat.

Tiga kerajaan Melayu lain mendapat kunjungan persahabatan secara singkat, yaitu Brunei, Aceh dan Patani. Ketika kembali dari Jawa, Hang Tuah diserang di sekitar Tanjung Krawang (yakni sedikit ke timur dari kota Jakarta kini) oleh putra raja Brunei, yang ingin mengadu kekuatan dengannya. Hang Tuah, yang pada bagian cerita ini telah mencapai tingkat ilmu perang yang tak tertandingi, dengan cepat menundukkan anak raja itu, namun tetap memperlaku-kannya dengan hormat serta membawanya ke Malaka, dan kemudian

12

Nomor di belakang singkatan HHT (yaitu Hikayat Hang Tuah) adalah nomor halaman dalam edisi Kassim Ahmad (1971). Kalau merujuk pada dua edisi berlainan, akan disebut BP (Balai Pustaka) dan KA (Kassim Ahmad).

13

(8)

mengantarnya pulang ke Brunei. Peristiwa itu merupakan kesempatan untuk menyebarkan kemasyhuran Malaka.

Hang Tuah singgah di Patani dalam perjalanan ke Siam. Sultan Melaka

sendiri telah menyuruhnya mengamati negeri yang ―baharu diperbuat‖ itu.14 Hang Tuah naik ke darat dan mengagumi posisi kota yang tidak dapat direbut

itu. ―Adapun maka pintu gerbangnya itu, kepala naga matahari hidup, ekornya matahari mati‖ (HHT389). Itulah satu-satunya kesempatan, dengan alasan yang tidak jelas, Hang Tuah mengamati sebuah kota dari luar, tanpa berusaha sedikit pun untuk memasukinya.

Terakhir, Hang Tuah singgah di Aceh dalam perjalanannya ke Istambul: ia tinggal selama dua belas hari di istana Sultan Salahuddin, sambil memperbaharui ikatan persahabatan antara Melaka dan Aceh (kata Hang Tuah,

―Adapun negeri Aceh dengan negeri Malaka itu seumpama suatu permata dua

cahayanya, demikianlah adanya. Sebagai lagi tanda berkasih-kasihan

saudara-bersaudara‖, HHT 440). Sultan Aceh mengakui kedaulatan Malaka (sedikitnya dengan menyebut Sultan Melaka sebagai ―kakanda‖-nya), sedangkan Hang Tuah menunjukkan sikap menghargai dan menghormati. Kunjungan ini benar-benar bersifat diplomatis.15

Majapahit

Hubungan dengan kerajaan Majapahit di Jawa menduduki tempat yang sangat penting pada bagian pertama epos itu. Hubungan antara kedua kerajaan itu sama sekali tidak bersahabat seperti hubungan dengan berbagai kerajaan di atas. Dalam Sulalat al-Salatin, Batara Majapahit menyuruh orangnya menantang Hang Tuah serta sahabatnya, namun sikap itu berdasarkan keinginan bertanding kekuatan saja, dan ketika ketangkasan dan keberanian orang Malaka sudah terbukti, maka Batara Majapahit bertambah kagum dan senang akan mereka. Akan tetapi dalam HHT, sikap tersebut diubah sedemikian rupa sehingga menjadi persaingan berdarah: orang Melayu diancam dan diserang dengan sekuat-kuatnya dan berkali-kali berusaha dibunuh. Sebenarnya kisah Majapahit

14Kata Sultan, ―kita ada menengar khabar negeri baharu diperbuat, namanya Patani;

pada bicara kita, kita hendak suruh alahkan.‖ Maka jawab Hang Tuah, ―Daulat tuanku, barang kala patik lalu ke laut Patani itu patik singgah melihat dia, tetapi pada firasat patik terlalu baik tempat kedudukan Patani itu, tiada dapat dialahkan oleh musuh‖ (HHT KA 388). Istilah ―alahkan‖ dalam ucapan Sultan, dalam BP (II, h. 151) diganti dengan ―mengamati‖, yang di sini kelihatan keliru. Perlu diingat bahwa kota Patani dibangun pada awal abad ke-15.

15

Sultan Salahuddin memerintah dari tahun 1530 s.d. 1539. Bagian teks ini tampak ironis, tentunya tak disengaja, karena sebenarnya Sultan ini pernah menyerang Malaka dengan sia-sia. Lih. Denys Lombard, Le Sultanat d’Atjeh au temps

(9)

dalam HHT mungkin sekali berasal dari dua jenis adegan sejarah dalam Sulalat al-Salatin, yaitu perkawinan Sultan Mansur Syah dengan putri Majapahit (ceritera ke-14) serta kedua serangan yang dilancarkan oleh Majapahit terhadap Singapura (ceritera ke-5 dan ke-10). Hubungan itu menimbulkan masalah interpretasi simbolis dari cara HHT mengembangkan satu peristiwa sejarah sederhana menjadi cerita yang rumit. Interpretasi itu, seperti telah kita lihat, telah diusahakan oleh B. Parnickel dan V. Braginsky dengan memban-dingkannya dengan hubungan antara Johor dan Jambi pada akhir abad ke-17.16

Majapahit adalah satu-satunya kerajaan yang kedaulatannya diakui Malaka. Sultan Malaka memang memperlakukan negara-negara besar asing seperti Siam, India, Tiongkok dan Istambul dengan rendah hati, tetapi hierarki tidak dipersoalkan. Sebaliknya dengan Majapahit hal tersebut sangat eksplisit, dan relasi kedua kerajaannya tidak diragukan: Malaka takluk pada Majapahit. Lagi pula Majapahit adalah satu-satunya negara asing yang dikunjungi sendiri oleh Sultan Malaka, bahkan dua kali. Patut diingat bahwa Sultan Malaka tidak pernah ke luar negeri dan selalu mengutus orang lain, baik untuk misi persahabatan maupun perdagangan, sehingga perlawatannya ke Majapahit merupakan kekecualian yang sangat bermakna. Adapun Hang Tuah sampai lima kali ke Majapahit.

Telah kita lihat bahwa Sultan Malaka ingin menikahi seorang putri bangsawan dari Indrapura. Setelah lamarannya mula-mula ditolak langsung, ia mudah menerima usul untuk melamar putri Majapahit (Raden Galuh Emas Ayu) dengan alasan ia cantik lagi bangsawan. Seorang Jawa dari kalangan istana Malaka17 beserta Hang Tuah diutus untuk melaksanakan misi tersebut. Sebuah kapal sepanjang 70 meter, Mendam Berahi, khusus dibangun untuk keperluan itu. Utusan Melayu tersebut diterima dengan segala kehormatan di Majapahit, tetapi Raja Seri Betara dan menterinya (Patih Gajah Mada)18 serta-merta menguji keberanian mereka dengan membuat mereka diserang oleh enam puluh orang prajurit. Para utusan Melayu tidak bergeming. Pada kesempatan kemudian Hang Tuah menyebut para prajurit yang mengamuk itu sebagai

16

Episode kunjungan Sultan Malaka ke Majapahit dan perkawinannya dengan sang putri diceritakan juga dalam Sejarah Melayu (ed. 1970, hlm. 67-74).

17

Yang dimaksud adalah Patih Kerma Wijaya yang mengabdi kepada Sultan Malaka, setelah dilecehkan oleh tuannya, Raja Lasem.

18

(10)

anak nakal.19 Raja langsung tertarik oleh kepribadian Hang Tuah dan menawarkannya untuk diangkat sebagai menteri (Hang Tuah menolak dengan cara halus), tetapi meskipun demikian Baginda tetap berkali-kali berusaha membunuhnya.

Lamaran Sultan Malaka diterima tetapi ia harus datang sendiri ke Majapahit. Maka pulanglah Hang Tuah untuk menjemputnya. Sultan berlayar di atas kapal yang khusus dibangun untuk keperluan tersebut, Kota Segara. Pada kesempatan kunjungan kedua itulah Hang Tuah membunuh jago Jawa, Taming Sari, yang kerisnya diserahkan kepadanya dan menjadikan dia tak terkalahkan. Pada waktu itu pulalah, setelah melalui berbagai pengalaman, tokoh kita dan keempat sahabatnya20 berguru ilmu silat kepada Sang Pertala. Mereka juga melanggar larangan masuk ke taman pribadi Sultan, dalam suatu parodi adegan permandian tradisional.

Upacara perkawinan dilaksanakan, lalu rombongan orang Melayu pulang ke Malaka. Di kemudian hari, sang putri melahirkan dua orang putra, Raden Bahar dan Raden Bajau. Sementara itu Sultan menikahi juga putri muda dari Indrapura dan bersikap sedemikian mabuk kepayang sehingga Hang Tuah harus memperingatkannya: ia akan melewatkan secara bergilir sepuluh malam dengan istri pertamanya dan tujuh malam dengan istri kedua. Hal itu tak urung membuat Raja Majapahit murka dan mengirim utusan untuk menyelidiki nasib putrinya. Hang Tuah dan kemudian Sultan sendiri pergi ke Majapahit untuk kunjungan ramah-tamah. Kunjungan yang penuh bahaya karena Raja Majapahit dan Patih Gajah Mada tidak mau mengubah sikap dan mencoba dengan segala cara untuk membunuh Sultan dan Laksamana. Maksud jahat itu diteruskan sampai ke Malaka. Raja Majapahit dua kali menyuruh segerombolan perompak untuk memporak-porandakan kota serta membunuh Sultan. Tentu saja para pengacau itu ditumpas oleh Hang Tuah.

19

Kata Hang Tuah kepada raja, ―Tetapi bukan orangnya yang mengamuk itu, budak-budak bermain-main maka terkejut orang di tengah pasar itu, terkejut lalu gempar, patik lihat‖ (HHT, 102).

20

(11)

Raja Majapahit terus-menerus menunjukkan kekaguman yang tulus kepada Hang Tuah karena keberanian, pengabdian penuh, penampilan dan sopan-santunnya, tetapi tak henti-hentinya pula ia membuat rencana untuk membunuhnya. Tatkala Hang Tuah berhadapan dengan sang jago Taming Sari dan membunuhnya, Raja menganugerahinya gelar Laksamana (ia yang pertama melakukannya) serta keris musuhnya dan wilayah Jemaja di kepulauan Riau.21 Tetapi selanjutnya, ia tetap menyuruh Mangkubumi agar berupaya membunuh Hang Tuah. Kegigihan jahat yang terus-menerus gagal saja sehingga hanya berhasil menonjolkan keberanian dan kepiawaian tokoh kita, menjadi sejenis polajenaka, karena setiap kali Patih Gajah Mada bercakap dengan angkuh akan melaksanakan tugas itu, dan setiap kali pula anak buahnya dibuat terbirit-birit atau dibunuh oleh Hang Tuah.

Teks HHT hanya memberi penjelasan yang kurang memuaskan tentang sikap mendua itu, yaitu Raja Majapahit, setelah menolak banyak pelamar lain, telah menerima Sultan Malaka sebagai menantu karena tingkat kebangsawanan cukup tinggi, namun ia tidak sanggup berpisah dengan putri tunggalnya. Oleh karena itu Sultan Makala harus tinggal di Majapahit, dan untuk memaksanya, pertama-tama pengawalnya yang terlalu setia, Hang Tuah, harus disingkirkan dulu.22

Persaingan antara kedua kerajaan itu, yang dibesar-besarkan dalam teks HHT, berakhir dengan sendirinya: waktu Raja Majapahit meninggal dunia, Patih Gajah Mada memberi tahu Malaka dan meminta agar putra sulung Sultan dinobatkan untuk menggantikan kakeknya. Maka Raden Bahar, didampingi Hang Tuah, pergi ke Jawa dan dinobatkan dalam upacara singkat (HHT 375-378). Selanjutnya, tidak terdengar lagi berita tentang Majapahit dalam perempat terakhir teks itu. Mengingat Raja Majapahit kini adalah putra Sultan Malaka, maka hierarki antara kedua negara itu menjadi terbalik.

21

Inilah ingatan suatu peristiwa, mungkin saja otentik, yang diceritakan dalam Sulalat al-Salatin: atas nasihat Sultan, yang baru menikah dengan putri Raja Majapahit, Hang Tuah meminta pulau Siantan, di kepulauan Riau, kepada raja Majapahit. Jawab Raja, ―Baiklah, jangankan Siantan, jikalau Palembang sekalipun dipohonkan oleh Laksamana, nescaya kita anugerahkan‖ (Sulalat al-Salatin, 1997, h. 96).

22 Kata Raja kepada Patih Gajah Mada, ―Adapun bicara hatiku, jikalau anakku

(12)
(13)

Kita telah melihat bahwa seorang menteri dari Lasem pernah mengungsi ke Malaka. Dua kabupaten Jawa yang lain menjalin hubungan persahabatan dengan Malaka. Ketika dua kali pulang dari Majapahit, Sultan singgah lama di Tuban dan di Jayakarta. Di Tuban, pelabuhan Majapahit, ia disambut oleh penguasa setempat (Adipati Tuban, Sang Agung Tuban), yang selama tujuh hari menghiburnya dan mengajaknya berburu. Di Jayakarta (di lokasi Jakarta sekarang) juga ia diterima oleh penguasa (Adipati Jayakarta) beserta para pembesar, dan bersenang-senang selama tujuh hari – ―dan para putri turun ke

darat untuk mengunjungi pasar‖ (HHT 165). Kemudian Sultan singgah di

Palembang di mana ia tinggal selama puluhan hari dan meminta berita tentang Bukit Seguntang dan Malaka. Jelas bahwa, sebaliknya dari Majapahit, Tuban dan Jayakarta memperlakukan Malaka sebagai negara atasannya.

Negara-Negara Asing di Asia

Di antara negara-negara itu, India Selatan menduduki tempat khusus karena Raja

Vijayanagar (HHT KA ―Bijaya Nagaram‖, BP ―Wijaya Nigrama‖) tak lain dari adik Sultan Malaka. Sebenarnya pada awal HHT, seorang saudagar India kaya memohon kepada Sultan agar diizinkan menobatkan adik bungsunya, Sang Jaya Nantaka, yang telah diusir Baginda gara-gara fitnah. Sultan berkenan, maka Sang

Jaya Nantaka diangkat menjadi ―Sultan Keling‖ (HHT 110). Namun, ia enggan menyembah kakaknya, dan para utusannya ke orang tuanya di Bukit Seguntang tidak singgah di Malaka.23

Sultan memutuskan untuk mengirim utusan kepada adiknya, dan sang

Bendahara menyetujuinya: ―baik juga tuanku mengutus ke benua Keling pada paduka adinda itu, kerana baginda itu pun raja besar; lagi pula tuanku pun berseteru dengan Majapahit; supaya adalah malu segala raja-raja akan Duli Yang

23

(14)

Dipertuan‖ (HHT 339). Sebelum berangkat, Hang Tuah dan Bendahara mengumpulkan emas dan perak berkilo-kilo, yang diserahkan kepada anak buah

mereka dengan tugas ―berlengkaplah dan belilah segala dagangan yang patut dibawa ke benua Keling‖ (HHT 340). Setelah 18 hari berlayar, Hang Tuah tiba di pelabuhan Negapatam (atau Nagapatnam) dan disambut dengan segala kebesaran oleh menteri Nala Sangguna, yang segera mengantarnya ke ibu kota Vijayanagar, tujuh hari berjalan jauhnya. Setelah beberapa hari persiapan, Hang Tuah serombongan, diiringi pengantar yang sangat banyak dengan ribuan gajah dan kuda, pergi mempersembahkan surat dan hadiah Sultan kepada Raja.

Deskripsi kota tidak jelas segaligus penuh klise.24 Namun, di situlah disebut kuil-kuil tempat meminjam uang serta balai-balai derma yang telah dibicarakan di atas. Hang Tuah terpukau melihat kemakmuran yang tergambar

di hadapannya: ―Sungguhlah Raja Keling itu raja besar, sedang seorang

saudagar lagi terlalu kaya. Sepuluh raja-raja Melayu pun tiada sama seorang

saudagar‖ (HHT352).

Raja India tiba-tiba memutuskan untuk mengirim utusan ke Tiongkok dan memilih Hang Tuah sebagai utusannya. Dalam adegan tersebut nanti, Hang Tuah akan menyampaikan kepada Raja Tiongkok alasan misinya sebagai

berikut, ―Maksud Raja Benua Keling hendak berkasih-kasihan saudara-bersaudara juga, kerana tuanku raja besar dan Raja Benua Keling pun raja besar juga, tanda mufakat‖ (HHT 336). Setelah dua bulan berlayar, Hang Tuah tiba di pelabuhan Tionghoa bernama Bakang Hainam.25 Kedatangannya diberitahukan kepada keempat orang menteri.26 Hang Tuah tidak boleh melihat Raja, yang

24―Beberapa hari di jalan maka kelihatanlah kota negeri Bijaya Nagaram terdinding

seperti kapas sudah terbusar. Setelah hampirlah maka dilihat oleh Laksamana pintu gerbang negeri itu sekaliannya diukir rupa binatang terlalu indah-indah. [Kota]-nya, diperbuatnya daripada batu yakut dan pada selapis pula daripada batu hitam seperti sayap kumbang berkilat-kilat; pada selapis pula daripada itu dilihatnya oleh Laksamana tulisannya ceritera Seri Rama dan pada selapis lagi lelakon Pandawa Jaya dan pada selapis ditulisnya pelbagai rupa binatang yang di dalam rimba belantara dan pintunya daripada tembaga suasa. Maka beribu-ribu rumah berhala di dalam negeri itu tempat anji wantar sembahyang dan beribu-ribu kemah khatifah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan berkedai‖ (HHT 348).

25

Dalam beberapa dialek Tiongkok selatan, kang berarti ―pelabuhan‖, dan hainam, yaitu nama pulau terkenal (Hainam atau Hainan) di teluk Tonkin, berarti ―laut selatan‖ (nam-hai). Dalam edisi Balai Pustaka (II, h. 126), tercantum ―Bakang Hitam‖ yang semata-mata disebabkan kerancuan ejaan, mengingat hainam dan hitam dalam tulisan Jawi hanya dibedakan satu titik. Tidak dapat dijelaskan mengapa utusan Melayu itu mendarat di pulau itu, bukan di benua Tiongkok.

26

(15)

bersemayam di mulut seekor naga emas. Tak seorang pun berhak memandang Baginda, tetapi Hang Tuah mencari akal untuk melihatnya: ia mengangkat kepala seolah-olah untuk menelan sebuah daun kangkung yang panjang.27

Tentang kunjungan Hang Tuah di kota itu, hikayatnya hanya menyampaikan berita singkat dan penuh khayalan sebagai berikut: ―Setelah keesokan harinya, maka Laksamana dan Maharaja Setia [yakni Hang Jebat] pergilah ke tengah negeri itu melihat temasya beberapa puluh ratus rumah berhala, indah-indah perbuatannya dan berbagai-bagai rupanya binatang ditulis-nya, seperti binatang hidup rupaditulis-nya, sehingga tiada berkata-kata dan bernyawa juga. Disuruhnya berdiri ia berdiri, disuruhnya duduk ia duduk, disuruhnya berkata-kata ia berkata-kata, disuruhnya menyembah ia menyembah, disuruh-nya menari ia menari, disuruhdisuruh-nya berhenti ia berhenti, terlalu ramai Laksamana dan segala orangnya yang melihat itu. Maka Laksamana pun berjalan pula ke tengah negeri itu, maka dilihat oleh Laksamana seorang berhala terlalu besar seperti bukit besarnya, maka berhala itu pun duduk menangis suaranya seperti guruh. Maka dilihatnya oleh Laksamana di bawah berhala itu beribu-ribu [orang] menadah air matanya daripada laki-laki dan perempuan. Maka Laksamana pun bertanya, "Apa sebabnya maka berhala itu menangis, dan apa pergunaannya air matanya berhala ini?" Maka kata segala Cina itu, "Adapun berhala ini ibu bapak segala Cina sekalian, maka ia melihat segala anak cucunya yang banyak, dua yang jahat, sebab itulah maka hatinya tiada suka, lalu ia menangis, dan air matanya berhala itu barang siapa memandikan dia lepas daripada dosa sekalian." Maka Laksamana dan Maharaja Setia pun tertawa lalu

berjalan pula. Maka beberapa Laksamana melihat yang tiada pernah dilihatnya‖

(HHT 369).

Sekembalinya ke Keling, lalu ke Malaka, Hang Tuah melaksanakan dua misi ke Majapahit dan Brunei yang telah diceritakan di bagian terdahulu, lalu ia dikirim ke Siam, kali ini untuk urusan dagang: ia harus membeli gajah, empat atau lima gajah jantan dan dua betina. Kota Siam tidak disebut namanya ataupun dideskripsikan. Sekali lagi, Hang Tuah menarik perhatian Raja dan para pejabat karena sopan-santunnya dan sikapnya yang gagah; sekali lagi, ia berhasil memaksakan caranya sendiri. Pada waktu menghadap Raja, para tamu harus meninggalkan senjata mereka dan maju sambil merangkak. Hang Tuah

27

(16)

menolak melakukannya dan mendapat izin untuk berjalan tegak dan mengenakan kerisnya. Sepanjang Hikayat itu, Hang Tuah melambangkan kebanggaan orang Melayu yang menolak meninggalkan beberapa adat-kebiasaannya. Ia datang untuk membeli beberapa ekor gajah; ia pulang ke Malaka dengan sepuluh ekor sebagai hadiah dari Raja Siam.

Banyak peristiwa penting terjadi di antara misi itu dan perjalanan besar ke Timur Tengah. Pertama, putra kedua Sultan Malaka, Raden Bajau, dinobatkan di Bukit Seguntang (namun kita tidak mengetahui apa-apa tentang wafatnya sang kakek ataupun tentang pelayaran ke Bukit Seguntang atau upacara di sana). Kemudian sebuah utusan dikirim ke Sri Lanka untuk membeli batu permata bagi para putra Sultan. Hang Tuah mendirikan sebuah kota di Lingga untuk menobatkan salah satu putra itu. Pengalaman pahit seorang pangeran dari Sri Lanka, tunangan putri Sultan Malaka, menimbulkan konflik dengan Terengganu, yang diselesaikan oleh Hang Tuah. Ia juga melancarkan ekspedisi hukuman terhadap Indrapura karena membunuh putra Hang Jebat.

Masih ada lagi episode yang fantastis tetapi penting. Sultan, diiringi rombongan besar, pergi ke Singapura untuk menghibur diri. Ketika hampir sampai di tujuan, seekor ikan dari emas bermain-main di sekitar kapalnya. Sultan membungkuk untuk mengamatinya, dan mahkotanya jatuh ke laut. Hang Tuah langsung terjun dan memegang mahkota itu, tetapi ia diserang oleh seekor buaya putih yang mencuri kerisnya. Hang Tuah memegang ekornya, tetapi, karena diseret ke bawah, ia terpaksa mengalah. Seluruh rombongan pulang ke Malaka dalam suasana sedih. Kehilangan mahkota bagi Sultan dan keris sakti bagi Hang Tuah, merupakan pertanda yang tidak dapat dicegah. Keduanya langsung menderita demam dan sakit kepala. Orang Portugis menyerang Malaka untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya pula Hang Tuah terluka.

Pada waktu itulah, Sultan memutuskan untuk mengirim utusan ke

Istambul (―Rum‖, yaitu Roma Baru), untuk membeli meriam yang diperlukan

untuk pertahanan kota Malaka, sebagai persiapan penobatan putrinya.28 (Sultan

28

Sebagaimana dicatat oleh Iskandar (―Some historical sources‖, h. 44), episode ini terinspirasi oleh sebuah fakta sejarah, yaitu pengiriman utusan oleh Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah al-Kahar ke Istambul pada tahun 1562. Peristiwa itu disebut dalam Bustan us-Salatin (yang akan dibicarakan di bawah ini) dan diceritakan dalam teks Aceh Hikayat Meukuta Alam (ada sebuah versi Melayu berjudul Hikayat Raja Aceh Marhum), di mana utusannya dikirim oleh Sultan yang lebih kemudian dan lebih terkenal, Iskandar Muda (memerintah tahun 1607-1636). Namun adegan HHT itu bukan salinan ataupun adaptasi dari salah satu teks tersebut di atas. Mengenai utusan Aceh itu, lihat Lombard, Le Sultanat

(17)

dokumen-sebenarnya telah memutuskan untuk turun takhta demi putrinya itu.) Seperti telah kita lihat, Hang Tuah singgah dulu di Aceh, lalu, setelah dua bulan dan sepuluh hari perjalanan laut, tiba dekat Jeddah. Setelah diberi tahu bahwa di situlah terdapat makam Siti Hawa, ia memutuskan untuk berziarah ke makam itu. Ia naik ke darat, dan secara kebetulan ia terdorong untuk melaksanakan

ibadah haji di Mekah (kata Syahbandar Jeddah, ―Baik juga anakku pergi Mekah naik haji, karena sudah anakku sampai dekat. Sedang dari jauh lagi orang ke

mari, ini pula sudah dekat‖, HHT 442.) Waktu itu tahun 886 Hijriah (1482

Masehi). Gubernur Mekah dan Medinah, di bawah perintah Sultan Istambul, masing-masing adalah Syarif Ahmad dan Syarif Baharuddin, kedua-duanya putra Zainulabidin.29

Hang Tuah melaksanakan semua ritus ibadah haji, di tengah kerumunan para jemaah, lalu ia melanjutkan perjalanannya dan, tiga minggu kemudian, tiba

di dekat Kairo (―Mesir‖). Di situ pun ia berlabuh, karena ―hendak singgah

melihat kekayaan Allah subhanahu wa taala barang sehari dua di sini dan hendak minum air Sungai Nil itu karena sungai Mesir itu hulunya mari dalam

surga katanya‖ (HHT 447). Ia disambut dan bahkan diangkat anak oleh Perdana

Menteri setempat dan ia terpukau oleh kemakmuran kota itu. ―Tiadalah aku lihat dalam dunia seumur hidupku ini, adapun sebuah negeri Mesir ini, dua tiga

ratus buah negeri Melayu tiada sama kekayaan orang Mesir ini‖ (HHT 450). Ia membeli beberapa ratus meriam, lalu, setelah tinggal di situ selama tiga bulan, ia melanjutkan pelayarannya.

Di Istambul, Hang Tuah disambut oleh Gubernur Ibrahim Kakan, dan

sekali lagi ia terpukau oleh kekayaan tuan rumahnya. ―Adapun seorang Ibrahim

Kakan ini, empat puluh raja-raja di bawah angin tiada samanya juga‖ (HHT 462). Tidak kurang daripada sembilan bulan ia tinggal di ibu kota itu. Itulah waktu yang diperlukan agar Sultan Muazzam Syah Alauddin, yang biasanya tidak sudi menerima utusan apa pun, berkenan membuat pengecualian bagi utusan dari Malaka. Masa tinggal Hang Tuah di Rum menduduki tempat yang istimewa dalam HHT (25 halaman, yaitu HHT 452-477) dan mencakup beberapa deskripsi tentang kota itu: pemerian sebuah taman yang akan dibicarakan di bawah ini, serta beberapa pemerian lain yang seluruhnya bersifat klise. Salah satunya misalnya menggambarkan berbagai tembok dan jalan sebagaimana dilihat Hang Tuah waktu mendekatinya; deskripsi itu hampir sama dengan deskripsi kota Vijayanagar yang telah disebut di atas dan berakhir dengan kata-kata yang sama, yaitu: ―Maka dilihat oleh Laksamana beribu-ribu

dokumen Turki tahun 1563 dan mencatat bahwa utusan Aceh tinggal di Constantinople selama dua tahun.

29

(18)

rumah berhala kiri kanan jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu indah-indah perbuatannya dan beribu-ribu kemah khatifah yang sudah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan berkedai‖ (HHT 466).

Orang-Orang Eropa

Untuk mendorong Sultan Istambul berkenan menerimanya, Hang Tuah menga-takan telah diterima oleh raja dari semua negara yang telah dikunjunginya, termasuk Portugal dan Belanda. Sebenarnya ia belum mengunjungi Eropa tetapi

memang pernah berhubungan dengan orang Eropa, orang ―Ferenggi‖, artinya

orang Portugis. Hubungan itu selalu bermusuhan dan, seperti kita ketahui, akan mengakibatkan kejatuhan kesultanan Malaka di kemudian hari.

Pertikaian pertama terjadi ketika adik Sultan Malaka dibawa ke Vijayanagar untuk dijadikan raja. Kapal-kapal yang mengantarnya diserang oleh armada tiga belas kapal Portugis. Pihak India dengan cepat mengalahkan armada itu dan berhasil membuat nakhodanya menyerah. Setelah putra raja Melayu dinobatkan, nakhoda itu digelarkan Seri Nala Sangguna dan diberi jabatan menjaga keamanan pelabuhan.

Orang itulah yang menyambut Hang Tuah di Negapatam ketika diutus ke Keling, dan yang menyuruhnya berlabuh di kawasan pelabuhan Portugis. Orang Portugis berusaha mengusirnya, tetapi orang Melayu bertahan dan menghindari pertempuran (HHT346).

Demikian pula, setibanya di Tiongkok, kapal Hang Tuah, atas petunjuk Syahbandar, berlabuh di samping kapal Portugis, sehingga menimbulkan kemarahan mereka. Orang Melayu tidak gentar, malah tantangnya, ―Kami ini dagang, di mana Syahbandar suruh, kami duduk. Tetapi engkau hendak sama banyak pun baik atau sama seorang pun baik, karena Feringgi dan Melayu ini

seteru‖ (HHT 364). Misi Hang Tuah mendapat sukses penuh. Orang-orang Portugis bertambah kesal karenanya, berhubung surat kepercayaan mereka tidak diterima oleh Raja, maka begitu Hang Tuah kembali ke pelabuhan, mereka menyerangnya. Syahbandar menyuruh mereka bertempur di laut lepas,

sedangkan seorang menteri Tionghoa berteriak, ―Sungguhlah Feringgi itu tidak

berbudi!‖ (HHT 371). Begitu kapal Hang Tuah keluar pelabuhan, ia diserang oleh empat puluh kapal Portugis. Dengan mengucapkan satu mantra, ia berhasil melumpuhkan kekuatan meriam dan senapan sundut mereka. Orang Melayu balik menyerang. Keempat puluh kapal Portugis kalah (hanya tiga berhasil melarikan diri) dan orang-orang Portugis yang tidak melompat ke laut dibantai.

(19)

untuk pertama kali, Hang Tuah terkena tembakan yang membantingnya sepuluh depa ke belakang. Ia tidak luka tetapi selama tiga hari tidak dapat berbicara.

Lama kemudian, ketika Sultan, bendahara dan Hang Tuah telah meninggalkan jabatan mereka dan menjauhi dunia untuk menyepi sebagai pertapa, seorang kapten Portugis datang ke Malaka dan membeli dengan biaya

sangat mahal ―tanah sebidang belulang sahaja‖, yaitu sebesar satu kulit binatang

(HHT 486). Dari kulit itu ia membuat sebuah tali yang dipakainya untuk melingkari sebuah bidang tanah yang cukup luas untuk membangun benteng yang dipersenjatai meriam. Pada malam itu juga, ia menghancurkan kota Malaka, sehingga permaisuri dan semua penduduknya melarikan diri.

Sebuah epilog menceritakan penaklukan kota oleh orang Belanda yang bersekutu dengan orang Melayu Johor.

Seperti orang Eropa, orang-orang Jepang muncul dalam satu adegan pertempuran laut. Ketika diutus ke Siam, Hang Tuah berhadapan dengan seorang jago Jepang untuk menyenangkan hati Raja. Karena dibuat marah, Hang Tuah memotong satu telinga, hidung dan satu tangan jago itu, lalu membelah kepalanya, malah kemudian ia membunuh lima orang temannya. Dua orang Jepang lain mencari bantuan di Kamboja dan menyerang orang Melayu di

laut. Berkat kesaktiannya (dengan membaca ―pustakanya‖, HHT 394), Hang

Tuah melumpuhkan senjata mereka, membuat mereka melarikan diri, lalu menjarah kapal mereka.

Kenyataan dan Khayalan

Misi diplomatik Hang Tuah jelas sangat banyak dan beraneka ragam. Beberapa di antaranya bertujuan dagang (membeli gajah di Siam dan meriam di Turki), lebih banyak yang lain bertujuan politik, yaitu menjalin atau memperkuat hubungan kekuasaan atau persekutuan.

Rasa ingin tahu ikut mendorong perjalanan jauh, paling tidak dalam pikiran sang tokoh: ia mengamati negeri-negeri baru yang dikunjunginya dan

sering kagum akan ―kekayaan Allah s.w.t.‖. Sultan sendiri, walaupun jarang

sekali melakukan perjalanan, berminat akan berita dunia dan selalu meminta laporan utusannya tentang setiap perjalanannya. Menjelang akhir cerita, ketika ia sudah turun takhta demi putrinya, Sultan menyuruh cari orang yang bersedia dikubur hidup-hidup. ―Karena kabar dalam dunia ini semuanya habis kita ketahui dan kita dengar, maka yang tiada kita dengar hanyalah kabar orang

dalam kubur itu, seorang pun tiada kembali segala yang mati itu.‖30

30

(20)

Jadi, apa gambaran yang diungkapkan dalam epos itu tentang negeri jauh yang dikunjungi Hang Tuah? Deskripsi negeri-negeri itu, seperti telah kita lihat, pada umumnya singkat, dangkal dan bersifat klise. Dibanding satu detail realis yang dicatat atas dasar pengetahuan nyata tentang negeri yang bersangkutan (misalnya kuil India yang berperan sebagai bank pemberi pinjaman), terdapat sejumlah besar klise yang dapat saja diganti-ganti dan yang bahkan banyak dipinjam dari epos lain yang bersifat khayalan belaka.

Kita telah lihat bahwa deskripsi kota Istambul dan Vijayanagar praktis identik. Pemerian sebuah taman di Istambul patut ditinjau lebih seksama. Pertama-tama karena teksnya luar biasa panjang (mencakup lima dan enam halaman dalam masing-masing edisi) – mungkin kelihatan pendek, tetapi jika dibandingkan dengan deskripsi tentang negeri lain yang dikunjungi oleh Hang Tuah, yang pemandangannya atau kota-kotanya dilukiskan hanya dalam beberapa baris saja atau bahkan sama sekali tidak disebut, maka deskripsi taman Istambul, yang terakhir dalam naskah, betul-betul mendetail.

Tentang kotanya, dikatakan bahwa ada tujuh tembok dan tujuh parit yang ditembus enam pintu. Dari satu pintu ke pintu seberangnya memerlukan perjalanan tiga bulan, sedangkan untuk keliling kota diperlukan dua belas bulan. Temboknya dibuat dari batu dan logam yang beraneka warna. Di pusat kota, terdapat sebuah tasik yang begitu luas sehingga gajah yang berdiri di seberangnya tidak kelihatan. Di tengahnya ada sebuah pulau kecil tempat sultan bercengkerama. Di tepi tasik, ada hutan tempat berburu. Ternyata, deskripsi tentang tasik, pulau dan hutan (HHT 456) disalin hampir kata demi kata dari deskripsi (yang tentu khayalan juga) kota Vijayanagar dalam Sulalat al-Salatin.31

Menyusul deskripsi mendetail dari sebuah taman yang disuruh buat oleh Sultan, dengan tembok dan pintu-pintunya, sungai, pulau, balai, kolam, singgasana, rumpun bunga-bungaan, sebuah monumen berbentuk gunung, sebuah masjid, sebuah kandang makam raja dan bermacam-macam pepohonan dan bunga-bungaan. Seluruh deskripsi itu ditulis antara dua tanda kutip karena merupakan cerita yang dikisahkan kepada Hang Tuah oleh seorang menteri Turki, Ibrahim Kakan, yang malah pada satu saat memang menyela sebagai

berikut: ―Dan tiadalah hamba panjangkan kata-kata beberapa dari kekayaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala yang gharib-gharib.‖

31

(21)

Tanda kutip itu memang wajar karena keseluruhan bagian teks ini, termasuk selaan ―tiadalah hamba panjangkan dsb.‖ dipinjam dari karya lain dan merupakan deskripsi sebuah kota lain. Halaman-halaman dalam HHT itu ternyata disalin dari sebuah teks Melayu, Bustan al-Salatin, yang ditulis di Aceh tahun 1638 oleh pengarang yang berasal dari Gujarat, Nuruddin al-Raniri, sebagai deskripsi, yang kali ini sebagian besar realis, tentang taman kerajaan di ibu kota Aceh, Bandar Darussalam.32

Singkatnya, penggambaran kota Rum terdiri atas tiga bagian: satu mengenai tasiknya (HHT 456), yang kedua mengenai tamannya (HHT 456-460), yang ketiga mengenai kotanya dilihat dari luar (HHT 466), dan ternyata ketiga lukisan tersebut disalin secara harfiah dari tiga lukisan kota lain.

Jadi kita dapat melihat dengan jelas bahwa epos itu tidak serealis seperti kelihatannya. Dasar cerita, yang dibentuk di sekitar tokoh-tokoh dan peristiwa yang kita tahu memang benar-benar pernah terjadi, menampilkan seorang pahlawan yang luar biasa, tetapi yang melakukan tindakan-tindakan, yang diceritakan secara kronologis dan yang pada garis besarnya berlangsung secara masuk akal. Maka kita terdorong menganggap bahwa setiap tindakan itu memiliki nilai dokumenter. Namun, kita menghadapi kenyataan bahwa, biarpun alur cerita mempunyai makna, biarpun tindakan-tindakan itu dalam urutannya sesuai dengan logika, namun hikayatnya dikembangkan dengan bantuan berbagai tipu daya konvensional yang mungkin dapat diidentifikasi satu per satu, tetapi tidak membantu kita memahami permasalahan dasar hikayatnya. Tidak ada informasi yang dapat ditimba dari HHT tentang kota Istambul, juga tentang kunjungan yang konon dilakukan oleh utusan Melayu. Namun dari segi lain, disebutnya nama kota itu pada akhir suatu rangkaian perjalanan panjang yang dilakukan oleh utusan Malaka, cukup bermakna.

―Logika cerita‖ yang dimaksudkan di atas mencakupi unsur-unsur fiktif atau mitos, yang berkaitan dengan sistem simbolis atau kepercayaan yang tidak bergantung pada konsep otentisitas. Beberapa contoh dapat menjelaskan tipe kausalitas yang terdapat dalam epos itu untuk menerangkan fenomena dan peristiwa.

Epos itu memaparkan kehidupan kesultanan Malaka, sejak berdiri sampai dikalahkan oleh orang Portugis. Kedua peristiwa-ujung itu ditandai oleh dua gejala yang serupa. Ketika Sultan, yang masih memerintah di Bentan, sedang berburu diiringi oleh banyak pengikutnya, seekor pelanduk putih membuat dua anjingnya lari terbirit-birit, lalu menghilang entah ke mana (HHT 54). Maka Sultan memutuskan akan mendirikan sebuah kota baru di situ. Inilah asal-usul Malaka. Pada akhir cerita, seperti telah kita lihat, mahkota Sultan jatuh di laut

32

(22)

dan seekor buaya putih menghalangi Hang Tuah untuk mendapatkannya kembali. Itu pertanda kejatuhan Malaka. Tentang hal itu, V. Braginsky mencatat bahwa buaya adalah musuh bebuyutan pelanduk dalam dongeng-dongeng Melayu.33 Perlu ditambahkan bahwa, dalam mitologi Melayu, binatang-binatang putih (bule) sering merupakan penampilan orang halus. Seekor binatang putih lain mempunyai peranan dalam mitos tentang asal-usul dinasti Malaka, tetapi menurut teksnya binatang itu adalah dewa yang turun ke bumi dan menjelma sebagai lembu (HHT 7).

Inilah bagian mitos, yang jelas terbatas, dalam epos ini. Tampilnya Nabi Khidir (al-Khadir) tiga kali mewakili tatanan kepercayaan yang lain.34 Nabi itu pertama kali menampakkan diri kepada Hang Tuah dalam perjalanannya menuju India dan menghadiahkannya sebuah biji yang dapat menjadi pohon dalam sekejap. Hadiah itu membuat Raja Vijayanagar terkagum-kagum, tetapi biji gaib itu sebenarnya tidak penting dibandingkan keajaiban penampakan itu sendiri. Pertemuan itulah yang memiliki makna, bukan benda atau kata-kata: dengan muncul di hadapan tokoh kita, sang Nabi membenarkan bahwa Hang Tuah manusia yang luar-biasa. Nabi Khidir muncul untuk kedua kalinya pada akhir cerita tetapi kali itu di hadapan Sultan. Sultan telah turun takhta dan menjadi pertapa. Pada suatu hari, ketika diberi sebuah ketimun, ia makan sebagiannya dan menyimpan sisanya di dalam tasnya. Nabi Khidir muncul dan mengatakannya bahwa yang ada di dalam tas itu bukan sepotong ketimun melainkan tengkorak manusia, dan mengingatkannya bahwa pertapa tidak boleh menyimpan bekal makanan. Kali ini, sang Nabi memberikan pelajaran moral kepada seorang yang sedang maju di jalan tasawuf.

Nabi Khidir muncul untuk ketiga kalinya ketika Hang Tuah diutus ke Istambul, tampaknya dengan tujuan menjelaskan suatu sifat tokoh kita. Hang Tuah menguasai bahasa-bahasa dari semua negeri yang dikunjunginya: ia dapat berbicara dalam bahasa Jawa, Tamil, Tionghoa, Siam, Turki dan Arab. Ia juga dapat berbahasa Portugis dan memakai bahasa itu ketika tidak mau dimengerti oleh orang-orang di sekelilingnya. Teks HHT memberi penjelasan tentang kemampuan luar biasa itu di bagian akhir cerita: ketika diutus ke Istambul, setelah ia membuktikan bahwa ia menguasai enam bahasa asing, Hang Tuah bertemu dengan Nabi Khidir, di padang pasir, di tengah jalan antara Jeddah dan Mekah. Pada waktu itu, sang Nabi memberinya sebuah cembul yang memungkinnya dapat berbicara dalam semua bahasa di dunia.

Di samping penjelasan ajaib itu, Hang Tuah sendiri telah memberikan sepotong penjelasan rasional: katanya ia belajar bahasa Tamil semasa kecil dari

33Braginsky, ―Hikayat Hang Tuah: Malay epic‖, h. 407. 34

(23)

seorang lebai35 (HHT 350), dan belajar adat-istiadat Tionghoa dari seorang Tionghoa tua yang dianggapnya sebagai ayah di Malaka (HHT 366). Dalam sebuah naskah hikayat itu36 unsur rasionalisme itu malah dikembangkan: pada waktu tiba di Bentan, Hang Tuah dititipkan ayahnya kepada seorang lebai, yang mengajarnya membaca al-Qur’an, lalu atas permintaan anak itu sendiri, kepada beberapa lebai lain yang mengajarinya satu per satu: bahasa Tamil, Siam, Tionghoa, Jawa dan seterusnya sampai dua belas bahasa. Demikianlah teks tersebut memberi dua penjelasan tentang satu hal, yang satu rasional dan yang lain ajaib. Tidak dapat dikatakan bahwa yang satu mendahului yang lain, tetapi jelas terlihat bahwa dua cara berpikir berdampingan.

Ruang Politik

Denys Lombard telah menunjukkan bagaimana kedatangan Islam telah

meng-ubah konsepsi orang Jawa tentang ruang. ―Individu yang sedikit demi sedikit

belajar mengubah hubungannya dengan individu lain – dengan menganggapnya sebagai "sesama" – juga mengubah hubungannya dengan dunia. Ruang, yang sampai saat itu dipersepsikan sebagai mandala, menurut bentuk sederhana skema geometrik bersifat kosmologis, menjadi lebih rumit dan beraneka ragam hingga menjadi ruang geografis yang secara implisit merupakan ruang masyarakat-masyarakat modern kita. Garis-garis murni sebuah diagram ideal secara berangsur-angsur terhapus, digantikan oleh kontur yang lebih nyata dari pantai dan sungai, kontur yang asismetris dan berubah-ubah, tetapi merupakan satu-satunya yang memungkinkan perjalanan sebenarnya.‖37 Sebagai ilustrasi konsep ruang yang baru itu, Denys Lombard menganalisis, di samping sejumlah gejala lain, dua teks Melayu: Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Dari studi itulah kami meminjam peta yang digunakan sebagai ilustrasi artikel ini (lih. h. 33).

Kami telah menggambarkan ruang yang terungkap dalam HHT dan telah menegaskan makna politiknya. Suatu pertanyaan masih perlu dijawab: apakah ruang itu memiliki dimensi keagamaan? Perlu diingat bahwa ruang yang dimaksud adalah rute perjalanan seorang tokoh asal Malaka yang beragama Islam dan yang salah satu tujuan terakhirnya adalah Mekah, sebelum mengundurkan diri untuk bertapa. Apakah ini berarti bahwa ruang itu terbatas pada dunia Islam atau terpusat pada Tanah Suci Islam? Sama sekali tidak,

35

Patut diingat bahwa kata lebai berasal dari bahasa Tamil.

36

Yaitu naskah Universitas Leiden, Belanda, Cod. Or. 1762, naskah HHT tertua yang kita miliki (disalin tahun 1758). Bagian yang bersangkutan diselipkan dalam edisi Kassim Ahmad (h. 18-19) yang dengan demikian bertindak sebagai seorang penyalin modern, dengan memasukkan ke dalam teks satu unsur yang cocok dengan zamannya.

37

(24)

malah jumlah unsur Islam yang sedikit sekali dalam hikayatnya merupakan salah satu aspeknya yang paling menarik.

Hang Tuah mengunjungi Majapahit, Siam dan Tiongkok, seperti juga ia mengunjungi berbagai kerajaan Melayu dan Istambul. Di setiap negeri itu, ia hampir tidak memperhatikan agama setempat. Di Malaka pun teks epos itu tidak menyinggung kehidupan beragama. Luar biasalah kalau dalam perjalanan ke India, Hang Tuah memanjatkan doa kepada Allah agar dapat mencapai sebuah pulau dan menyuruh anak buahnya agar tidak mengambil apa pun di pulau itu tanpa mengucapkan Al Fatihah (HHT342). Tatkala ia pergi ke Turki, kita dapat melihat bahwa ia melaksanakan ibadah haji di Mekah secara kebetulan saja. Berbagai ritus yang dilakukan pada kesempatan itu dilukiskan secara formal,

―seperti dalam sebuah buku manasik haji‖38

tanpa komentar sedikit pun tentang pentingnya ibadah haji dalam agama Islam, atau tentang makna spiritualnya untuk setiap jemaah. Tambahan lagi, Sultan Malaka tidak mengajukan satu pertanyaan pun kepada Hang Tuah mengenai perjalanannya ke Tanah Suci, padahal ia bertanya tentang Istambul (HHT 477).

Bahwa ia mengundurkan diri untuk bertapa setelah lanjut usia, di bawah bimbingan syekh dari Hadramaut, tidak langsung berarti bahwa Hang Tuah telah menjadi saleh. Ia pernah mempunyai tiga orang guru sebelumnya: dua yang bukan Islam, di Bentan dan Majapahit, dan satu yang Islam dekat Malaka. Bertapa dan mendalami mistik dilakukan di dunia Melayu jauh sebelum kedatangan agama Islam. Bahkan peristiwa Hang Tuah naik haji lebih tergolong pencarian kekuatan spiritual daripada pelaksanaan ibadah, karena Hang Tuah mula-mula singgah di Jeddah untuk ―mengambil berkat‖ di makam Siti Hawa (HHT 441), lalu, sebelum melaksanakan acara ritual ibadah haji, ia ―pergi ziarah segala kubur syekh dan wali Allah nabi, segenap tempat ziarah itu

semuanya dikerjakan‖ (HHT 445).

Pendeknya, Islam termasuk sifat eksplisit tokoh itu, tetapi jelas bukan di antara yang terpenting. Di samping itu, jelas negeri-negeri Islam, khususnya Rum (Istambul) dan Mekah, tidak memiliki keutamaan apa pun atas negeri lain dalam ruang politik yang dikenal oleh Malaka.

Kesimpulan

Dalam kesusastraan Melayu masa itu, perjalanan jauh mempunyai peran penting, tetapi dalam bentuk perjalanan melingkar, yang pelaksanaannya mengembangkan situasi sang tokoh, dan dengan demikian mengembangkan juga alur cerita: pencarian, bersifat material maupun spiritual, mendorong sang

38

(25)

tokoh pergi dari satu kerajaan ke kerajaan lain, dari satu adegan bertempur ke satu adegan nikah, untuk akhirnya membawanya kembali ke titik asalnya, dalam keadaan sudah pantas naik takhta.

Jenis perjalanan Hang Tuah sama sekali berbeda. Perjalanannya itu tidak menandakan kemajuan bertahap dan bukan pula tahapan dalam suatu pencarian atau suatu inisiasi. Setiap perjalanan itu berarti pengetahuan (sang tokoh sebagai wakil bangsanya menemukan dunia) dan pengakuan (kesultanan Malaka diakui oleh negeri-negeri besar masa itu). Bahwa tema penemuan dunia itu dapat dipandang sebagai materi epos menunjukkan mentalitas baru.

Dengan demikian, dunia nyata menjadi sejajar dengan dunia gaib, tetapi sekaligus tunduk pada tatanan dunia gaib: persepsi realis tentang jagat raya masuk kisah epik, geografi masuk kesusastraan, tetapi deskripsi negeri-negeri asing seluruhnya mengikuti aturan genre epik.

Hikayat Hang Tuah memberikan gambaran tentang ruang politik Melayu sekitar abad ke-16. Namun penjelajahan ruang itu oleh tokoh tunggal bersifat fiktif, dan deskripsi beberapa tempat berupa khayalan. Jadi, ruang itu sebenarnya ruang ideal. Oleh karena itu ia semakin mencerminkan konsepsi orang Melayu tentang dunia geografis serta kekuatan-kekuatan politik yang harus mereka hadapi.

(26)

LAMPIRAN

Perbandingan beberapa bagian teks Hikayat Hang Tuah (edisi Kassim Ahmad, 1971), Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu, edisi Situmorang & Teeuw, 1952) dan Bustan al-Salatin (edisi Bab II, 13, oleh Iskandar, 1966) tentang kota Rum (Istambul), Vijayanagar dan Bandar Aceh. (Ejaan diseragamkan.)

RUM / ISTAMBUL VIJAYANAGAR

Hikayat Hang Tuah, h. 466

Setelah keesokan harinya maka kelihatannya kota dari jauh terdinding seperti kapas sudah terbusar dan seperti perak yang sudah terupam. Setelah hampirlah dekat, maka dilihat oleh Laksamana dan Maharaja Setia pintu gerbang negeri itu daripada besi khursani, diukir bangun-bangunan seperti pelbagai rupa perbuatannya. Kotanya daripada batu yang putih dan pada selapis pula daripada batu hitam dan pintu gerbangnya daripada besi melela berkilat-kilat seperti sayap kumbang, dan pada selapis lagi daripada tembaga suasa. Pintunya kota daripada zamrud yang hijau dan lapis yang ketujuh yang di dalam sekali itu dilihat oleh Laksamana daripada perak dan tembaga suasa ditulis dengan air emas serba jenis isim yang besar-besar. Maka dilihat oleh Laksamana beribu-ribu rumah berhala kiri kanan jalan itu dan beribu-ribu masjid terlalu indah-indah perbuatannya dan beribu-ribu kemah khatifah yang sudah terbentang akan tempat segala saudagar berniaga dan berkedai.

Hikayat Hang Tuah, h. 348

Beberapa hari di jalan maka kelihatan-lah kota negeri Bijaya Nagaram ter-dinding seperti kapas sudah terbusar. Setelah hampirlah maka dilihat oleh Laksamana pintu gerbang negeri itu sekaliannya diukir rupa binatang terlalu indah-indah.

[Kota]-nya diperbuatnya daripada batu yakut dan pada selapis pula daripada batu hitam seperti sayap kumbang berkilat-kilat; pada selapis pula daripada itu dilihatnya oleh Laksamana tulisannya ceritera Seri Rama dan pada selapis lagi lelakon Pandawa Jaya dan pada selapis ditulisnya pelbagai rupa binatang yang di dalam rimba belantara dan pintunya daripada tembaga suasa. Maka beribu-ribu rumah berhala di dalam negeri itu tempat anji wantar sembahyang

(27)

RUM / ISTAMBUL VIJAYANAGAR

Hikayat Hang Tuah, h. 456

Maka sama tengah negeri itu ada sebuah tasik terlalu luas, seperti laut rupanya, jikalau gajah berdiri seberang itu pun tiada kelihatan. Sekalian jenis ikan ada dilepaskannya ke dalam tasik itu. Maka di tengah tasik itu ada sebuah pulau tinggi, sentiasa berasap, empat persegi rupanya. Maka di atas pulau itu ditanamnya pelbagai rupa tanam-tanaman dan bunga-bungaan dan segala buah-buahan.

Maka apabila raja hendak bersuka-sukaan, di sanalah baginda pergi bermain-main. Maka di tepi tasik itu dibuatnya suatu hutan terlalu besar, maka dilepaskannya segala binatang yang liar-liar ke dalam hutan itu. Apabila raja hendak berburu, ke sanalah baginda pergi.

Sejarah Melayu, h. 20

dan pada sama tengah negeri itu ada sebuah tasik terlalu luasnya, seperti laut rupanya, jikalau gajah berdiri di seberang tasik itu, tiada kelihatan dari seberangnya, dan serba ikan dilepas-kannya di dalam tasik itu. Maka di tengah tasik itu ada sebuah pulau terlalu tinggi, senantiasa berasap seperti disaput embun rupanja; maka di atas pulau itu ditanaminya pelbagai kayu-kayuan dan buah-buahan dan bunga-bungaan, segala yang ada di dalam dunia ini semuanya adalah di sana; dan apabila Raja Suran hendak bermain, ke sanalah ia pergi. Maka adalah di tepi tasik itu diperbuatnya hutan besar, maka dilepaskannya segala binatang yang liar; dan apabila Raja Suran hendak berburu atau menjerat gajah, pada hutan itulah ia pergi.

RUM / ISTAMBUL BANDAR ACEH

Hikayat Hang Tuah, h. 456-460

―Kemudian dari itu diperbuatnya suatu bustan, artinya kebun, terlalu indah-indah, kira-kira empat ribu depa luasnya di sebelah matahari hidup tasik itu. Maka ditanamnya pelbagai bunga-bungaan dan aneka-aneka buah-buahan, Maka digelar baginda bustan itu Taman Ghairat. Maka adalah pagar tanaman itu daripada batu putih, dirapatnya maka diturapnya dengan kapur yang amat bersih, seperti perak rupanya dan pintunya mengadap

Bustan al-Salatin, h. 48-52

(28)

kepada mahligai baginda itu, diperbuatnya daripada emas dan perak dan tembaga suasa. Bermula pintu pagarnya kebun itu diperbuatnya bertonggak; maka di atas tonggak itu diperbuatnya satu batu seperti biram berkelopak dan berkemuncakkan dari-pada sangka pelinggam, terlalu gemerlap sinarnya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa; dan ada pada sama tengah taman sungai bernama Daru‘l-asyik berturap dengan batu, terlalu jernih airnya lagi amat elok. Barang siapa minum dia sehatlah tubuhnya dan adalah terbit mata air itu daripada pihak maghrib di bawah gunung yang bernama Jabalu‘l-a‘la, keluarnya daripada batu hitam.

Syahadan adalah pertemuan pagar Taman Ghairat itu pun pada Sungai Daru‘l-asyik itu dua buah jambangan bergelar Rambut Kemalai; kedua belah Sungai Daru‘l-asyik itu diturapnya dengan batu pancuran bergelar Tebing Sangka Safa, dan adalah kiri kanan tebing sungai arah ke hulu itu dua buah tangga batu hitam diikatnya dengan tembaga semberani, seperti emas rupanya. Maka adalah di sisi tangga arah ke kanan itu suatu batu mengampar bergelar Tanjung Indera Bangsa di atas suatu batu delapan persegi, seperti peterana rupanya. Di sanalah tempat hadirat yang maha mulia semayam mengail; dan di sisinya itu sepohon beraksa, terlalu rambak rupanya, seperti payung hijau. Dan adalah sama tengah Sungai Daru‘l-asyik sebuah pulau bergelar Pulau Sangka Marmar; di kepala pulau itu sebuah batu nilai warna, dan adalah keliling pulau itu karang

berbagai-berkop, di atas kop itu batu diperbuat seperti biram berkelopak dan berke-muncakkan daripada sangga peling-gam, terlalu gemerlap sinarnya ber-kerlapan rupanya, bergelar Pintu Biram Indera Bangsa.

Dan ada pada sama tengah taman itu sungai bernama Darul-‘Isyki berturap dengan batu, terlalu jernih airnya, lagi amat sejuk, barang siapa meminum dia sehatlah tubuhnya. Dan adalah terbit mata air itu daripada pihak maghrib di bawah Gunung Jabalu‘l-A‘la, keluar-nya daripada batu hitam itu.

(29)

bagai warnanya, bergelar Karang Panca Logam; di atas Pulau Sangka Marmar itu suatu pasu permandian bergelar Sangka Samak dan adalah isinya air mawar b.n.d.y yang amat merbak baunya, tutupnya daripada perak dan kulahnya daripada perak dan cereknya daripada fidhat yang abiadh. Dan adalah geresek pulau itu terlalu elok rupanya, putih seperti beras.

Bermula pantai Sungai Daru‘l-asyik dirapatnya dengan batu yang meng-ampar yang arah ke kanan itu bergelar Pantai Ratna Cuaca dan arah ke kiri itu bergelar Pantai Sembika dan ada pantai itu seekor naga hikmat dan pada mulut naga itu suatu saluran emas bepermata, lakunya seperti lidah, sentiasa air mengalir pada saluran itu. Syahadan adalah di hilir pulau itu suatu jeram tangisan naga, terlalu amat gemuruh bunyinya; barang siapa mendengar dia terlalu sukacita hatinya. Dan di hilir jeram itu suatu teluk terlalu permai, bergelar Teluk Dendang Anak dan ada sebuah balai gambang di teluk itu, kedudukannya daripada kayu jati dan pegawainya daripada dewadaru dan [atapnya] daripada timah, rupanya seperti sisik naga; dan ada di hilir itu suatu pantai Indera Paksi dan hilir pantai itu suatu lubuk terlalu dalam, bergelar Lubuk Tengiri, adalah dalamnya serba jenis ikan

dan tebingnya tinggi dan ada di atas tebing itu sepohon kayu lablab, terlalu amat rendang, bergelar Randarika; dan permandian, bergelar Sangga Sumak. Dan adalah isinya air mawar yazdi yang amat merebak baunya, tutupnya daripada perak, dan kelahnya daripada perak, dan caraknya daripada fidhah yang abyadh. Dan adalah kersik pulau terlalu elok rupanya, putih seperti kapur barus.

(30)

ada di sisinya suatu kolam terlalu luas, bergelar Cendera Hati.

Maka adalah dalam kolam itu pelbagai bunga-bungaan daripada kenanga dan teratai dan seroja dan bunga tanjung;

dan ada dalam kolam beberapa ikan, warnanya seperti emas, dan pada sama tengah kolam itu sebuah [pulau] diturap dengan batu putih, bergelar Pulau Sangka Sembika dan di atasnya suatu batu mengampar, seperti singgasana rupanya.

Sebermula di seberang Sungai Daru‘l-asyik itu ada [dua] buah kolam, satu bergelar Jentera Mas dan suatu bergelar Jentera Hati; adalah dalamnya berbagai-bagai jenis ikan dan bunga-bungaan daripada tanjung putih dan tanjung merah dan tanjung ungu dan bergelar Peterana Sangka. Syahadan dari kanan Sungai Daru‘l-asyik itu suatu medan terlalu luas sekali, gereseknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Cerani, dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung; di atas gunung itu menara tempat sema-yam bergelar Kegunungan Menara Permata, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak, [seperti] sisik rumbia, dan kemuncaknya suasa. Maka apabila kena sinar matahari maka cemerlanglah cahaya itu. Adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam dan sulaimani dan yamani; dan bungaan, daripada bunga telepuk, dan bunga jengkelenir, dan teratai, dan seroja, dan bunga iram-iram, dan bunga tunjung. Dan ada dalam kolam itu beberapa ikan, warnanya seperti emas. Dan pada sama tengah kolam itu sebuah pulau, diturapi dengan batu putih, bergelar Pulau Sangga Sembega. Dan di atasnya suatu batu mengampar,

seperti singgahsana rupanya.

Sebermula di seberang Sungai Daru‘l-‘Isyki itu dua buah kolam, suatu Cita Rasa dan suatu kolam bergelar Cita Hati. Adalah dalamnya berbagai-bagai jenis ikan dan bunga-bungaan, daripada tunjung putih dan tunjung merah, tunjung ungu dan tunjung biru, tunjung kuning dan tunjung dadu, dan serba jenis bunga-bungaan adalah di sana. Dan ada di tebing kolam itu dua buah jambangan, suatu bergelar Kembang Cerpu Cina, suatu bergelar Peterana Sangga. Syahadan dari kanan Sungai Daru‘l-‘Isyki itu suatu medan terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani. Dan pada sama tengah medan itu sebuah gunung, di atasnya menara tempat semayam, bergelar

Gegunungan Menara Permata,

tiangnya daripada tembaga, dan hatapnya daripada perak seperti sisik rumbia, dan kemuncaknya suasa.

Maka apabila kena matahari

(31)

pintunya bertangkup perak [dan ada] tanam-tanaman atas gunung itu beberapa bunga-bungaan daripada arakan. Dan barang siapa masuk dalam gedung itu adalah ia mengucap salawat akan Nabi Salla ‗llahu alaihi wa sallam; dan adalah pagar yang di dalam gedung itu berturapan batu putih berlazuardi, perbuatan orang benua Turki dan tiang gedung itu bernama Kamriah dan Naga Puspa dan Dewadaru, dan pegawainya daripada kayu jentera mula; dan adalah atap gedung itu dua lapis, [selapis] daripada papan dicat dengan larik hitam gemerlap rupanya, seperti warnanya nilam, dan selapis lagi atap gedung itu daripada cat hijau, warna-nya seperti zamrud dan kemuncakwarna-nya daripada m.l.m.c emas dan sulur batangnya daripada perak dan di bawahnya sulur batang itu buah pedendang daripada cermin, kilau-kilauan dipandang orang.

Di hadapan gedung itu sebuah [balai] gading tempat kenduri baginda dan di sisi balai itu beberapa pohon pisang daripada pisang emas dan pisang suasa; dan di sisi gunung arah tepi sungai itu suatu peterana batu diukir, bergelar Kembang Lela Masyadi dan arah ke hulu itu suatu peterana batu warna nilam, bergelar Kembang Seroja, berukir kerawang; dan halaman gunung itu pasirnya daripada batu nilam. Dan ada sebuah balai keemasan perbuatan

Referensi

Dokumen terkait