• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOALISI PARTAI POLITIK DAN PELAKSANAAN F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOALISI PARTAI POLITIK DAN PELAKSANAAN F"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN PROGRAM S2 POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FISIPOL UGM

Nama Mahasiswa Zulpandi

No. Mahasiswa 372036

Nama Matakuliah Sistem dan Institusi Pemerintahan

Dosen Drs. Mashuri Maschab, SU /Thereisa Octastefani, MAP.M.Pol.Sc

Judul Tugas Koalisi Partai Politik dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Lembaga Legislatif di Indonesia

Jumlah Kata 2.580 Kata

CHECKLIST Saya telah:

Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten... Memberikan soft copy tugas... Deklarasi

Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa : Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.

Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri.

Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.

Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.

Yogyakarta, 16-04-2015

(2)

Koalisi Partai Politik dan Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Lembaga Legislatif di Indonesia

(Zulpandi_372036)

Pendahuluan

Sistem pemerintahan presidensial yang bergandeng tangan dengan sistem kepartaian multipartai di Indonesia telah melahirkan berbagai perdebatan baru dalam studi politik pemerintahan. Pola yang berjalan sejak dibukanya pintu demokrasi pasca reformasi 1998 tersebut menuai berbagai komentar dari para ahli. Secara umum sistem presidensial dipandang tidak cocok dijalankan dengan sistem kepartain multipartai. Hal ini muncul akibat pengalaman baik dari sistem presidensial dwipartai di beberapa Negara demokrasi seperti Amerika Serikat. Banyak elemen yang muncul dalam presidensialisme multipartai akan berdampak buruk dan tidak cocok dengan ciri presidensial. Salah satu poin yang menjadi perhatian dalam fenomena ini adalah keberadaan koalisi partai politik dalam presidensial multipartai. Pada awalnya koalisi dipandang sebagai ciri utama dari sistem parlementer, namun kemudian keberdaan koalisi juga menjadi kebutuhan dalam presidensial multipartai.

Banyak studi selama ini menyatakan bahwa koalisi partai politik akan menjadi aneh terlihat dalam sistem presidensial. Scott Mainwaring mengatakan bahwa pembentukan koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial coalitions are not institutionally necessary dan sistem presidensial not conducive to political cooperation. Kalaupun terbentuk, koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer. Secara umum, sistem kepertaian majemuk akan mempersulit konsolidasi antar-partai politik dalam fungsi legislasi (Scott Mainwaring, 1993). Selain pendapat dari Mainwaring tersebut, nada serupa juga banyak datang dari politisi tanah air yang merasakan secara nyata keberlangsungan hal tersebut. Yusril Ihza Mahendra misalanya (dalam Hanan, 2014) mengatakan bahwa bila mengacu pada sistem presidensialisme, tidak semestinya ada lembaga koalisi formal.

(3)

cawapres diusulkan dalam satu pasangan oleh parpol atau gabungan parpol. Kemudian, Pasal 9 UU Pilpres tersebut menegaskan, pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Seiring perdebatan yang terus berlangsung tentang pandangan klasik yang menempatkan pola koalisi partai politik hanya cocok pada Negara dengan sistem parlementer tersebut, muncul pandangan baru yang menyatakan bahwa koalisi partai politik merupakan hal yang wajar dalam system presidensial multipartai. Dalam studi-studi terbaru terkait isu ini, mulai terdapat pandangan optimis atas keberadaan koalisi dalam presidensial multipartai. Pandangan ini akibat pengalaman yang terjadi di beberapa Negara penganut presidensial multipartai. Raile (dalam Hanan, 2014) menemukan dua pendekatan terpisah untuk menjelaskan cara eksekutif “meningkatkan disiplin pemilih dan mendapatkan suara tambahan guna menyolidkan koalisi pemenangan dalam koalisi system presidensial multipartai”. Pendekatan pertama memandang keberhasilan presidensialisme multipartai berkaitan dengan kemampuan eksekutif mempertahankan dukungan legislatif seperti praktik “gentong babi/ bagi-bagi rezeki” (pork barrel) di Brazil. Pendekatan kedua mengacu pada pentingnya komoditas koalisi seperti jabatan di kabinet sebagai sumber daya stategis bagi presiden. Oleh karena itu, pendekatan ini melihat bagaimana eksekutif membentuk koalisi dan cabinet untuk menguatkan dukungan legislatif. Maka dari itu, koalisi seperti studi Raile ini dapat disebut sebagai “kotak alat eksekutif” yang penting bagi seorang presiden ketika memerintah dalam sebuah sistem presidensial multipartai.

Penjelasan yang ilmiah dalam melihat konteks Indonesia dapat dilihat dari studi Hanan (2014) yang menjelaskan bahwa koalisi dalam presidensial multipartai sangat membantu dalam stabilitas pemerintahan. Kurangnya dukungan partisan untuk seorang presiden akan menimbulkan kemacetan/ kebuntuan dalam interkasi eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu perlu adanya dukungan yang kuat untuk presiden melalui koalisi partai politik. Menurutnya koalisi juga bekerja dengan baik karena institusi-institusi formal dan informal yang ada bisa menyediakan alat (dalam kotak perkakas presiden) yang bisa dipakai oleh presiden dalam beragam situasi ketika berurusan dengan DPR. Keberadaan koalisi dalam sistem presidensial adalah lebih kepada soal mengantisipasi hambatan dalam pelaksanaan agenda dan kebijakan pemerintah yang perlu dukungan legislatif.

(4)

legislatif. Banyak studi selama hanya melihat pada pengaruh koalisi tersebut dalam proses pemerintahan presidensialisme multipartai. Dimana didapatkan kesimpulan bahwa koalisi dapat membantu pelaksanaan kinerja pemerintah yang dalam presidensialisme multipartai jarang mendapat dukungan mayoritas dari partai sang presiden. Oleh karena itu dibutuhkan koalisi gabungan partai politik untuk mendapat dukungan mayoritas. Dari sisi pelaksanaan fungsi pengawasan legislative kiranya juga perlu kita lihat bagaimana koalisi mampu menghadirkan parlemen yang bisa menciptakan checks and balances jika eksekutif dalam presidensialisme multipartai membangun koalisi dalam pemerintahannya.

Tulisan ini ingin melihat bagaimana pengaruh koalisi partai politik dalam pelaksanaan fungsi pengawasan lembaga legislatif di Indonesia. Dengan digunakannya sistem presidensial multipartai yang meniscayakan kehadiran koalisi partai politik di Indonesia, maka akan dilihat apakah koalisi tersebut efektif dalam membangun hubungan checks and balances antara eksekutif dan legislatif di Indonesia. Berbeda dengan studi Hanan (2014) yang lebih condong melihat koalisi dalam menjaga stabilitas kinerja eksekutif, studi ini akan lebih jauh melihat dari perspektif kinerja legislatifnya. Khususnya dalam proses pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang sejak era reformasi selalu membentuk koalisi gabungan di parlemen.

Koalisi Secara Konseptual

Koalisi adalah sebuah pengelompokan aktor-aktor politik pesaing untuk dibawa bersama baik melalui persepsi ancaman bersama, atau pengakuan bahwa tujuan mereka tidak dapat dicapai dengan bekerja secara terpisah (Heywood, dalam Pamungkas, 2012;78). Jadi koalisi akan bekerja jika terdapat satu kepentingan bersama yang diperjuangkan. Koalisi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam proses politik bangsa yang menganut sistem multipartai (Efriza, 2012). Definisi ini kemudian akan menjadi pijakan dalam melihat koalisi yang terjadi dalam presidensialisme multipartai.

(5)

pemerintahan nasional, yaitu meliputi seluruh partai-partai utama, tetapi mereka biasanya dibentuk hanya ketika ada krisis nasional atau bahaya ekonomi.

Craig Volden dan Clifford J. Carruba (dalam Efriza, 2012) menjelaskan bahwa ada lima faktor yang menyebabkan koalisi tebentuk, yaitu; Pertama, koalisi karena persamaan ideologi. Koalisi yang didasarkan pada kesamaan ideologi akan lebih kuat dalam membentuk kerja sama dan dapat meretas atau mengurangi konflik kepentingan. Kedua, koalisi karena adanya kepentingan partai besar untuk “menetralisasi” kepentingan ideologi ekstrem. Dalam hal ini diperlukan daya tawar yang memungkinkan masing-masing anggota koalisi mengajukan agendanya. Ketiga, koalisi sebagai respons atas kebijakan status quo yang ekstrem. Koalisi ini dibentuk karena tidak adanya partai pemenang tunggal mayoritas sehingga memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk membentuk pemerintah dan berbagi keuntungan, baik pada ranah jabatan maupun kebijakan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Keempat, koalisi karena adanya kebijakan balas jasa. Koalisi ini lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis yang saling menguntungkan karena tidak adanya partai mayoritas. Koalisi ini sulit bertahan apabila tidak disertai oleh koalisi besar yang kuat karena masing-masing anggota koalisi mempunyai daya tawar tersendiri dan sewaktu-waktu bisa keluar dari koalisi. Kelima, koalisi karena mengamankan suara di parlemen. Dalam hal ini dibutuhkan koalisi besar (grand coalition) yang melibatkan partai besar. Menurut Arend Lipjhart, sistem bikameral telah memberi peluang bagi munculnya koalisi besar di parlemen. Koalisi besar juga dibentuk untuk memastikan kontrol parlemen dalam sistem bikameral.

Koalisi sebagai Mekanisme Stabilisasi Pemerintah

(6)

Menurut Hanan (2015) untuk mengatasi kemungkinan lemahnya dukungan politik bagi eksekutif/ presiden ketika menjalankan pemerintahan, maka diperlukan upaya-upaya mewujudkan dukungan mayoritas. Dukungan politik mayoritas atau hampir mayoritas dalam sistem multipartai dapat dicapai apabila terjadi koalisi antar partai untuk mendukung presiden dan kebijakan-kebijakannya. Terjadinya koalisi antar partai dalam legislatif ditentukan tidak semata oleh sistem pemilu. Ada banyak faktor noninstitusional dan institusional lain yang berpengaruh. Salah satu faktornya adalah adanya “Coalitional President” (presiden yang memiliki kecenderungan membentuk koalisi) yang dikombinasi dengan tersedianya berbagai otoritas konstitutional dan politik bagi presiden (Executive Toolbox) yang dapat digunakan sebagai alat/ komoditas agar partai-partai bersedia menjadi bagian dari koalisi presiden.

Kemudian disisi lain, jika dominasi seorang presiden dalam sebuah Negara penganut presidensialisme sangat kuat, maka koalisi partai politik juga dapat menjadi penyeimbang kondisi tersebut. Harry Kantor (dalam Lijphart, 1995) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mengakhiri kekerasan politik dan dominasi presiden, pada tahun 1958 di Kolumbia adalah dengan membentuk sistem pemerintahan koalisi. Dimana jabatan presiden bergantian diantara dua partai politik terbesar di Negara itu, dan semua jabatan lain seperti legislatif, kabinet, birokrasi dan kehakiman dibagi rata diantara kedua partai.

Koalisi dan Fungsi Pengawasan Lembaga Legislatif

Dalam upaya mewujudkan stabilitas demokrasi, harus ada dispersi kekuasaan yang seimbang diantara lembaga-lembaga Negara. Lembaga-lembaga Negara tersebut harus berdiri dalam fungsi yang tidak saling meninggi antar lembaga, namun mencakup hubungan check and balances satu sama lainnya. Seperti lembaga legislatif, dalam kaitannya mewujudkan terciptanya checks and balances tersebut, maka harus menjalankan fungsi lembaga itu dalam koridor yang benar. Jika fungsi lembaga legislatif itu tidak dijalankan dengan baik, maka bisa jadi tidak akan terjadi keseimbangan diantara lembaga Negara. Misalnya dalam hubungan eksekutif dan legislatif, apabila legislatif tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka dominasi eksekutif yang tidak berjalan pada koridornya bisa terjadi. Sebab secara teoritis, dalam fungsi yang dimiliki lembaga legislatif ada fungsi kontrol atau pengawasan yang berguna untuk mengimbangi dominasi eksekutif atau pemerintah dalam sistem presidensial.

(7)

menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. Dalam konstitusi Indonesia fungsi pengawasan DPR pada dasarnya dilekatkan pada hak yang dimiliki oleh anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A Ayat 2 UUD 1945. Pertama, hak interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah yang penting dan stategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, hak angket adalah hak DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/ atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, stategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, hak menyatakan pendapat atas; kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi ditanah air atau di dunia internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi, hasil hak angket, dugaan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden melakukan pelanggaran hokum, baik berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.

Dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan, koalisi partai sangat berpengaruh terhadap kualitas pengawasan lembaga legislatif terhadap eksekutif. Dengan adanya koalisi partai politik dalam sistem presidensial multipartai seperti yang terjadi di Indonesia ada beberapa hal yang perlu disoroti dari pelaksanaan pola koalisi tersebut. Ditengah pentingnya koalisi bagi pemerintah yang tidak memiliki kekuatan partai dominan, ternyata lebih jauh koalisi bisa juga mempengaruhi kualitas demokrasi, khususnya kualitas fungsi pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerja pemerintah. Dengan adanya koalisi mayoritas dari partai pemerintah di parlemen, maka secara konsep koalisi tentu akan selalu mendukung kinerja pemerintah dalam kondisi apapun. Pemerintah akan selalu dinilai benar dalam kacamata parlemen.

(8)

Kondisi yang tidak menentu dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dari partai politik anggota koalisi ini ternyata dipengaruhi oleh pola koalisi yang dibangun selama ini. Bahwa pola koalisi yang dibangun selama ini pasca reformasi di Indonesia, merupakan bangunan koalisi pragmatis, yang hanya berlaku untuk beberapa kepentingan saja. Bahwa tidak ada jaminan bagi presiden agar jalannya pemerintahan bisa berjalan aman dengan adanya koalisi partai politik tersebut.

Hal ini seperti yang terjadi pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, dimana koalisi “poros tengah” yang membawanya menjadi presiden pada pemilu 1999 kemudian malah menggunakan hak interpelasi yang berujung pada pelengserannya dari kursi kepresidenan. Dari sini dapat dilihat bahwa koalisi besar yang mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden tidak menunjukkan ikatan yang kuat sebagaimana layaknya koalisi. Koalisi lebih terformat dalam bentuk distribusi kursi kekuasaan tanpa loyalitas pada visi dan misi bersama untuk membangun pemerintahan yang kuat dan solid. Hal serupa juga terjadi pada era presiden selanjutnya Megawati Sukarnoputri, dalam penggunaan hak interpelasi terkait kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan menjadi cemin tidak berfungsinya komunikasi diantara partai-partai penyokong pemerintah.

Hanta Yuda (2010;173) dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati menjelaskan bahwa koalisi partai politik di era pasca reformasi dibangun diatas fondasi kepentingan-kepentingan pragmatism politik kekuasaan, bukan koalisi berdasarkan kedekatan ideology atau persamaan flatform. Dalam melihat peta koalisi pasca pemilu 2004 Yuda menyimpulkan bahwa kualitas koalisi yang terbangun sangat cair dan rapuh. Kekuatan koalisi partai politik pendukung pemerintah secara kuantitas besar jumlahnya, tetapi hal ini tidak menjamin DPR akan selalu mendukung kebijakan pemerintah.

Kesimpulan

(9)

Dengan fenomena ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa koalisi yang terjadi dalam presidensial multipartai di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Koalisi hanya menjadi sumber akomodasi kepentingan sesaat, bahwa kinerja dan program presiden ternyata juga tidak sejalan dengan kehendak anggota koalisi. Sehingga terlihat koalisi digunakan hanya sebagai alat untuk mendapatkan disperse kekuasaan pada posisi-posisi startegis di pemerintahan seperti kementrian. Kesimpulan kedua adalah bahwa koalisi partai politik yang berlangsung selama pemerintahan Indonesia pasca reformasi merupakan bentuk praktik dari politik kartel.

Referensi

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama

Efriza, 2012. Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung. Alfabeta

Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia. Bandung. Mizan

Illiyina, Umi. 2012. Perkembangan Kolisi Partai Politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Era Reformasi Tahun 1998-2012. Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Lijphart, Arend. 1952. Parliamentary Versus Presidential Government. Oxford University Press

Mainwaring, Scott. 1993. Presidentialism, Multipartism, and Democracy; The Difficult Combination. Dalam Comparative Political Studies

Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta. Institute for Democracy and Welfarism

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Dana Bagi Hasil Pajak Daerah dan

Tradisi Baritan memang sering dilaksanakan oleh masyarakat Desa Wates Kabupaten Blitar, tetapi seiring berkembangnya zaman dan kemajuan (IPTEK), kebanyakan dari pemuda

Keadaan hara dalam tanah untuk rekomendasi pupuk fosfat (dalam bentuk SP-36) dan pupuk kalium (dalam bentuk KCl) pada kondisi status P dan K tanah yang dikatagorikan

Artinya di luar program pelepasliaran orangutan yang dilakukan BOS Foundation selama ini, terdapat pelepasliaran tiga orangutan lintas provinsi pertama dari Nyaru Menteng di

Dari ketiga variabel yang berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja, nilai koefisien jalur yang paling rendah adalah variabel harapan sebesar 0,29 bila

Pendekatan Metode Self Organizing Maps (SOM) Untuk Pengelompokkan Zona Musim Kabupaten Ngawi dan Evaluasi Ketepatan Zona Musim dengan Metode General.. Regression Neural

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua serta melimpahkan taufiq-Nya dalam bentuk kesehatan, kekuatan dan ketabahan, sehingga

Puji Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, kesehatan, akal budi serta bimbingan-Nya sehingga Landasan Teori dan Program (LTP) Projek Akhir