• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mewujudkan kebenaran dan keadilan setiap orang atau kelompok masyarakat dimanapun berada, baik secara naluri maupun rasio pada dasarnya memiliki pandangan dan kehendak yang sama, yaitu bahwa orang yang melakukan kesalahan harus dihukum, sedangkan orang yang tidak bersalah harus dibebaskan atau harus tidak dihukum. Logika hukum seperti ini adalah selaras dengan cita-cita konstitusi dan naluri serta akal sehat manusia dalam mencari kebenaran dan keadilan yang hakiki. Namun demikian, seiring dengan dinamika kehidupan dan perkembangan peradaban manusia, cara pandangan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan pun mengalami perubahan-perubahan yang mendasar sesuai dengan tingkat pikiran dan pemahaman manusia tentang hukum itu sendiri.

Tujuan hukum acara pidana sebagaimana yang kita ketahui adalah berupaya untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Van Bemmelen dalam bukunya

Strafordering Leerbook Van Het Nederlandsch Straf Procesrecht

(Undang-undang di Belanda yang memuat tentang hukum acara pidana) bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari kebenaran.1

1

Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung; Mandar Maju, 1999), hal. 15.

(2)

semata, tapi juga harus ditunjang dengan penggunaan formalitas hukum tersebut di sidang pengadilan dan fakta yang ditemukan dalam sidang pengadilan menjadi bahan masukan bagi hakim dalam memutus perkara.

Hukum acara pidana mengandung beberapa pihak yang terlibat didalamnya yaitu: 1. Polisi;

2. Jaksa dan; 3. Hakim.

Hal-hal tersebut inilah yang nantinya diharapkan dapat mewujudkan tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri dengan menerapkan secara jujur dan tepat ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) dalam suatu perkara pidana hingga siapa saja yang melakukan kejahatan mendapatkan hukuman dan sebaliknya yang tidak bersalah terbebaskan dari hukuman.

Seperti yang kita ketahui dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) mencantumkan 5 (lima) alat bukti, yaitu :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

(3)

dalam tindakan penyidikan ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana.2

Berdasarkan hasil pemeriksaan ahli forensik inilah selanjutnya dapat diketahui apakah luka, tidak sehat, atau matinya seseorang tersebut diakibatkan oleh tindak pidana atau tidak. Sutomo Tjokronegoro mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan.

Salah satu tindak pidana yang sulit dilakukan pembuktian terhadapnya adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana ini harus ditelaah bagaimana seseorang itu meninggal apakah langsung seketika meninggal atau memerlukan waktu yang lama lalu orang tersebut meninggal. Upaya mencari dan menemukan kebenaran mengenai suatu perbuatan tindak pidana kejahatan yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan matinya seseorang di dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, maka Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim juga harus memiliki pengetahuan di bidang lain, yakni Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman. Jelas ilmu pengetahuan hukum tidak bisa mengungkap permasalahan itu secara detail, karena hal tersebut diluar jangkauannya. Ilmu Kedokteran Kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang ditimbulkannya dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana.

3

2Ibid,

hal. 43

3 Ibid,

hal. 1-2

(4)

kedokteran kehakiman sangan berperan dalam membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran kehakiman.

Ilmu Pengetahuan Kedokteran Kehakiman ini berperan untuk membantu dunia peradilan dalam berbagai peristiwa seperti terlukanya seseorang, terganggunya kesehatan seseorang, matinya seseorang, aborsi, kejahatan seksual, maupun kasus malpraktik dokter. Untuk itu diperlukan bantuan dari seorang ahli dalam memecahkan persoalan tersebut.

Bantuan ahli ini dinyatakan dalam KUHAP yang terdapat dalam Pasal 133 ayat (1) yang menyatakan:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya.”

Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli kedokteran kehakiman atas korban atau barang bukti diserahkan oleh penyidik dan ahli tersebut akan membuat laporan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukannya dan kesimpulan para ahli berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang telah dimilikinya.

Salah satu alat bukti yang dapat digunakan penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia adalah alat bukti surat. Penggunaan alat bukti surat memang jenisnya banyak, salah satu diantaranya adalah laporan dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh para ahli kedokteran kehakiman atau dikenal lagi dengan istilah Visum et

Repertum.

Visum et Repertum memang tidak dicantumkan dalam KUHAP secara

(5)

antara IKAHI dan IDI tahun 1986 di Jakarta, yaitu untuk membedakan dengan surat keterangan dari ahli lainnya.4

Suatu tindak pidana yang terjadi dipastikan akan menimbulkan korban kejahatan. Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2014,

5

Dikaji dari perspektif Ilmu Viktimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power). Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur di dalam ketentuan pidana. Dari perspektif Ilmu Viktimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut misalnya seperti akibat bencana alam, bukanlah merupakan objek kajian dari Ilmu Viktimologi.

Pasal 1 ayat (3) menyatakan: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

6

4

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta; Sagung Seto,2009), hal. 10

5

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban.

6

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan,

(Bandung; CV Mandar Maju, 2010), hal. 1-2

(6)

“Suatu masalah dalam hukum pidana, selalu mereduksi ‘apa yang dilakukan terhadap penjahat’ tidak seorangpun bertanya ‘apa yang dapat dilakukan terhadap korban’. Setiap orang berasumsi cara yang terbaik untuk membantu korban adalah menangkap penjahat sebagai pemikiran bahwa pelaku adalah sumber penderitaan korban”.

Konteks tersebut menegaskan perlindungan terhadap korban kejahatan juga tak kalah penting eksistensinya. Pada asasnya dapat dikatakan penderitaan korban akibat suatu kejahatan belumlah berakhir dengan penjatuhan dan selesainya hukuman kepada pelaku. Korban dalam hal ini semestinya mendapat perlindungan terhadap hak-haknya. Tidak jarang dalam setiap persidangan hanya hak si terdakwa saja yang diperhatikan, namun hak-hak korban hampir tidak diperhatikan.

Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang dan fungsi visum itu sendiri sebagai alat bukti terhadap hak-hak korban, hal tersebut melatarbelakangi untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan hukum ini dengan judul : VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas pada penulisan hukum ini, antara lain: 1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur Visum et Repertum dalam

tindak pidana yang dilakukan seseorang?

(7)

3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dengan adanya Visum et Repertum itu memberikan perlindungan hukum terhadap korban akibat matinya seseorang?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hubungan kasualitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban;

2. Untuk mengetahui kedudukan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam perkara pidana;

3. Untuk mengetahui bagaimana kegunaan Visum et Repertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian;

4. Untuk mengetahui dengan adanya Visum et Repertum, maka dapat memberikan perlindungan hukum terhadap korban.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan hukum ini adalah:

1. Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu tentang hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara pidana secara khusus.

(8)

fungsi Visum et Repertum dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam perspektif viktimologi di pengadilan. E. Keaslian Penulisan

Penulisan hukum yang berjudul “VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN MATINYA SESEORANG DILIHAT DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI.”

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi Penulisan hukum di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta jurnal online Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Jurnal Mahupiki), belum ada judul yang membahas mengenai Visum et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat dalam Perspektif Viktimologi. Bila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk penulisan hukum sebelum penulisan hukum ini, maka hal itu harus dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan

Visum et Repertum dibuat dan dibutuhkan di dalam kerangka upaya penegakkan

hukum dan keadilan, dengan kata lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai Visum et Repertum adalah perangkat penegak hukum. Fungsi Visum et

Repertum yang digunakan sebagai alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan

telah dilakukan penelitian terhadapnya dan sudah banyak diangkat sebagai judul penelitian hukum. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang mengangkat tentang Visum et Repertum antara lain:

(9)

PENGANIAYAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA.

Komala Sari (2014) judul penelitian: FUNGSI VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

1. Tindak Pidana

a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Sekiranya para sarjana Indonesia telah memberikan pendapat mengapa mereka harus menggunakan istilah yang digunakannya itu sebagai terjemahan dari

Strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa pendapat tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Pendapat Moeljatno dan Ruslan Saleh

Setelah membahas beberapa istilah yang telah digunakan untuk terjemahan

strafbaar feit, pilihan beliau jatuh kepada istilah perbuatan pidana dengan alasan

dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut

a) Untuk terjemahan strafbaar adalah istilah PIDANA sebagai singkatan dari YANG DAPAT DIPIDANA

(10)

perbuatan jahat dan sebagainya dan juga istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada orang yang melakukan maupun pada akibatnya, sedangkan perkataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkan adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah baru dalam bentuk tindak tindak tanduk atau tingkah laku.

2) Pendapat Utrecht

Utrech menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan (hendelen atau doen, positif) atau melalaikan (verzuim atau

natalen atau niet-doen, negatif) maupun akibatnya.

3) Pendapat Satochid

Satochid Kertanegara dalam rangkaian kuliah beliau menganjurkan pemakaian istilah tindak-pidana, karena istilah tindak (tindakan), mencakup pengertian melakukan atau berbuat (actieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handeling).

Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan / tidak melakonkan. Istilah peristiwa, tidak menunjukkan kepadanya hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat.7

7

(11)

Sekiranya adalah lebih tepat, untuk menggunakan istilah Tindak Pidana seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak-pidana dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana. Kepada istilah tersebut harus dapat diperjanjikan pengertian dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur delik (tindak pidana), atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur tersebut.8

Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 9

Pasal 14 konsep rancangan KUHP baru 2006/2007 mendefenisikan bahwa tindak pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturang perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.10

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/ elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur-unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif, dan ada pula yang merinci unsur-unsur tindak pidana yang diambil berdasarkan rumusan undang-undang.

8

Ibid, hal. 204.

9

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan; USU Press, 2009), hal. 80.

10

(12)

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, adalah:

1. Kelakuan dan akibat ( perbuatan);

2. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; 4. Unsur melawan hukum yang objektif;

5. Unsur melawan hukum yang subjektif;11

Kelima unsur-unsur atau elemen-elemen yang di atas pada dasarnya dapat dikasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif dapat dibagi menjadi:

1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:

a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan

b) Ommision, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan

negatif.

2. Akibat perbuatan manusia

Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta. Atau kehormatan;

3. Keadaan keadaan

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan, dan;

11

(13)

b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless the mind is guilty;

actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud dalam konteks

ini adalah:

1. Kesengajaan terdiri dari tiga bentuk, yaitu a) Sengaja sebagai maksud;

b) Sengaja sebagai kepastian;

c) Sengaja sebahai kemungkinan (dolus eventualis).

2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu :

a) Tidak berhati-hati;

b) Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu12

D. Hazelwinkel Suringa dalam Sudarto mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang diambil dalam rumusan undang-undang, yaitu sebagai berikut :

.

1. Dalam setiap delik terdapat unsur tindak/perbuatan seseorang; 2. Untuk beberapa delik, undang-undang menyebutkan apa yang

dinamakan akibat konstitutif dan ini terdapat dalam delik materiil;

12

(14)

3. Banyak delik memuat unsur-unsur yang bersifat psychisch misalnya: dengan tujuan dan dolus atau culpa;

4. Berbagai delik menghendaki adanya keadaan objektif, misalnya delik penghasutan (Pasal 160 KUHP), pelanggaran kesusilaan (Pasal 182 KUHP) , mabuk (Pasal 536 KUHP), mengemis (Pasal 504 KUHP). Pada delik-delik tersebut menghendaki keadaan objektif yaitu “di muka umum”/ pada delik-delik yang lain ada pula menyebutkan faktor-faktor subjektif, baik yang bersifat

psychisch atau tidak. Faktor subjektif yang bersifat psychisch

misalnya terdapat pada Pasal 305 KUHP dan delik membunuh anak segera setelah anak itu dilahirkan (Pasal 341 dan 342 KUHP); 5. Beberapa delik memuat apa yang disebut dengan ‘syarat tambahan

untuk dapat dipidana’ (bijkomende voor waarde van strafbaarheid) yang dimaksud adalah:

a) Terjadi sesudah terjadinya perbuatan yang diuraikan dalam undang-undang, bisa juga disertai dengan akibat konstitutifnya; b) Justru memberikan sifat dapat dipidananya (Pasal 123, 164,

165 KUHP) yaitu, dapat ditandai dengan adanya kata “jika……”, misalnya: ada suatu usaha untuk membunuh Presiden, dan bila ada yang mengetahui dan diam saja, ia dapat dituntut jika betul-betul terjadi maksud tersebut.

(15)

ketentraman rumah / huisvredebreuk), Pasal 333 KUHP (merampas kemerdekaan seseorang), dan Pasal 406 (merusak barang).

Sifat melawan hukum itu hanya merupakan unsur dari strafbaarfeit apabila, dalam rumusan delik nyata-nyata disebut. Jika tidak disebutkan, sifat itu bukan unsur hanya tanda ciri (kenmerk) saja dari setiap delik, sebab suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, karena tak dapat dibenarkan oleh hukum atau karena bertentangan dengan hukum.

Barang siapa memenuhi rumusan delik, maka ia berbuat melawan hukum atau ia melakukan strafbaarfeit, kecuali jika ada hal-hal yang merubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima menjadi perbuatan yang dapat diterima, atau bahkan sangat diharapkan. Dalam hal-hal seperti ini maka hilanglah sifat dapat dipidananya feit itu dan menjadi rechtimatig (sah).

2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan

Penganiayaan dapat kita temui dalam KUHP untuk istilah tindak pidana terhadap tubuh. Tindak pidana terhadap tubuh ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka tersebut dapat mengakibatkan kematian.

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, yaitu: a. Kejahatan terhadap tubuh dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang

(16)

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Pasal 359 kematian karena lalai dan 360 Bab XXI KUHP yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:

a. Penganiayaan biasa

Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standart terhadap ketentuan Pasal 351 sungguh tepat, setidak-tidaknya membedakan dengan bentuk bentuk penganiayaan lainnya.

Dilihat dari sudut cara pembentuk Undang-undang dalam merumuskan penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Jika dalam rumusan kejahatan-kejahatan lain, pembentuk undang-undang dalam membuat rumusannya dengan menyebut unsur tingkah laku dan unsur-unsur lainnya seperti unsur kesalahan, melawan hukum atau unsur mengenai obyeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya, namun dalam kejahatan penganiayaan (Pasal 351 ayat 1) ini dirumuskan dengan singkat, yaitu dengan menyebutkan kualifikasinya sebagai penganiayaan. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4500,-.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

(17)

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dihukum.

Kejahatan penganiayaan yang dirumuskan pada ayat (1) hanya memuat kualifikasi kejahatan dan ancaman pidananya saja, maka dari rumusan itu saja tidak dapat dirinci unsur-unsurnya, yang oleh karena itu juga sekaligus tidak diketahui dengan jelas tentang pengertiannya.13

b. Penganiayaan ringan

Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichte

mishandeling) oleh undang-undang ialah penganiayaan yang dimuat dalam Pasal

352, yang rumusannya sebagai berikut:

(1) – kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-

– Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja kepadanya atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.14 c. Penganiayaan berencana

Pasal 353 mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun;

13

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,(Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8-9.

14Ibid.,

(18)

(2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan penjara paling lama 7 tahun;

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Kejahatan yang dirumuskan Pasal 353 dalam praktik hukum diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berencana, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan terlebih dahulu sebelum dilakukan. Direncanakan terlebih dahulu adalah bentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif.15

d. Penganiayaan berat

Penganiayaan yang oleh undang-undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut:

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun;

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.16

15Ibid.,

hal. 26-27

16Ibid.,

(19)

e. Penganiayaan berat berencana

Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun;

(2) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana ini, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana17

Arrest lainnya memberikan penafsiran secara sempurna seperti arrest Hoge Raad

tanggal 10-2-1902 yang menyatakan bahwa “jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai

.

Pengertian penganiayaan yang dianut dalam doktrin tampak dalam arrest Hoge

Raad tanggal 25-6-1894 yang menyatakan penganiayaan adalah “dengan sengaja

menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan. Berdasarkan pengertian doktrin tersebut, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak adalah termasuk juga pada pengertian penganiayaan.

17Ibid.,

(20)

suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya, dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.

Arrest lainnya tanggal 20-4-1925 menyatakan bahwa “dengan sengaja melukai

tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar”.

3. Pengertian Visum et Repertum

Visum et Repertum sebenarnya bukanlah istilah hukum melainkan istilah dari Ilmu

Kedokteran. Dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara juga tidak ditemukan istilah Visum et Repertum, tetapi yang dapat ditemukan adalah keterangan ahli yang dinyatakan dalam persidangan dalam bentuk baik tulisan maupun dalam bentuk lisan yang disampaikan langsung di persidangan.

Visum et Repertum pertama kali diatur dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350

Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana18

18

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, (Pamulang; Binarupa Aksara), Hal. 11.

(21)

a. Bedah mayat itu boleh/mubah hukumnya untuk kepentiangan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegak keadilan diantara umat manusia;

b. Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.19

Istilah Visum et Repertum itu sendiri berasal dari bahasa latin yaitu Visum =

Something seen, appearance (sesuatu yang dapat dilihat) et = and (dan),

Repertum = invention, find out (ditemukan). Jika didefenisikan secara letterlijk

(lurus), Visum et Repertum berarti “Apa yang dilihat dan ditemukan”.20

4. Victimologi

Visum et Repertum sebagaimana halnya surat-surat resmi yang dipakai untuk

perkara-perkara di pengadilan harus memenuhi ketentuan yang berlaku, dalam hal ini : Ordonansi Materai 1921 Pasal 23 jo Pasal 31 ayat 2 sub 27, dimana sebagai pengganti materai maka dalam Visum et Repertum dicantumkan kalimat “Pro Justitia”.

Dikaji dari perspektif teoritis dan normatif terminologi “korban” kejahatan dikenal dalam berbagai dimensi. Ketentuan angka 1 “Declaration of basic

principles of justice for victims of crime and abuse of power” tanggal 6

September 1985 dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sesuai Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 mengklasifikasikan korban menjadi dua yaitu korban kejahatan dan korban akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. Eksplisit Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 menentukan, bahwa Korban Kejahatan sebagai :

19

R. Soepomo, keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana,

(Bandung; Mandar Maju, 2002), hal. 97.

20Ibid.,

(22)

“Korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial21

G. Metode Penelitian .

Viktimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggung jawab.

Metode penelitian dalam usaha pengumpulan data atau bahan merupakan suatu syarat yang penting dalam suatu penelitian ilmiah. Untuk melengkapi penulisan hukum ini agar tujuannya lebih terarah, maka metode penulisan yang digunakan, antara lain:

1. Jenis Penelitian

Penulisan hukum ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah

21

(23)

penelitian yuridis-normatif, yakni dengan melakukan kajian terhadap bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder22

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisa permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini. Kecuali, itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.

. Dalam penelitian yuridis-normatif, penelitian dapat menelusuri (explanatoris) konsep-konsep yang pernah ada dalam sejarah hukum. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penelitian ini menggunakan data sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, jurnal, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

23

2. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, maka penelitian dalam penulisan hukum ini bersifat penelitian deskriptif. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya24. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.25

Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta waktu dan tempat penelitian dilakukan, metode penelitian

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI-Press, 2008), Hal., Hal.53

23

Ibid., hal. 43.

24Ibid.,

hal. 10.

25

(24)

deskriptif dalam Penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan dari studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus. Studi kasus mempunyai keunggulan sebagai suatu studi untuk mendukung studi-studi yang besar di kemudian hari dan dapat memberikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan.26

3. Sumber Data

Penelitian pada umumnya mengenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu wawancara atau interview, studi dokumen atau bahan pustaka, dan pengamatan. Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder yang putusan dari Pengadilan Tinggi dengan nomor register 10/Pid/2014/PT-MDN.

Selain itu dalam penulisan hukum ini menggunakan data sekunder yang berupa: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan hukum ini. Seperti beberapa peraturan perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum.

4. Teknik Pengumpulan data

26

(25)

Teknik pengumulan data dengan penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan hukum ini antara lain dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

5. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Objek yang merupakan variabel terikat atau variabel Y adalah keputusan menggunakan meeting package yang terdiri dari memilih produk, memilih merek, memilih

Demikian halnya dengan masyarakat Kota Denpasar sebagai konsumen dari media massa, majalah Playboy menjadi kantor tempat beroperasinya majalah tersebut karena Kota

[r]

Permasalahan ini diduga erat kaitannya dengan aspek teknis pada saat penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang kurang akurat,tidak tepat waktu dan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media blokjes berpengaruh terhadap pemahaman operasi hitung matematika pada anak tunanetra

darah dengan bagian dari tinggi badan yang lebih spesifik.. seperti panjang kaki atau

This article analyzes the expenditures of the Indonesian Production Sharing Contractors since 1998 up to 2007 in order to shed some light on (1) the extent to which volatility in

Walaupun interaksi antara ruang, frekuensi, dan volume penyiraman tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, tetapi dengan uji Tukey (taraf 5%) menunjukkan bahwa pada