45
BAB II
MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
A. MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945
Pada awal kemerdekaan RI, lembaga negara pada saat itu baru Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaga Kepresidenan) yang dibantu oleh sebuah Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebelum lembaga-lembaga negara yang lain
terbentuk, segala kekuasaannya dijalankan sepenuhnya oleh Presiden dengan
bantuan Komite Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945.79
Keinginan untuk menjelmakan aspirasi rakyat di dalam bentuk yang
berupa perwakilan ialah MPR, pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno. dalam
pidato yang bersejarah, 1 Juni 1945 dalam pembahasan BPUPKI. Satu prinsip
yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah sila ketiga, tentang mufakat
atau demokrasi. Di dalamnya terkandung prinsip persamaan di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.80
Sejelan dengan konsepsi Soekarno tersebut, M. Yamin ternyata juga
mengemukakan prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah Peri
Kerakyatan, yang terdiri dari:81
Demikian juga prinsip musyawarah ini diterapkan sesudah zaman Nabi yang pada dasarnya ialah bersatu untuk mufakat, menurut adat a) Permusyawaratan: dengan mengutip Assyura ayat 38 yang artinya: “dan bagi orang-orang yang beriman, mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan Sholat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagaimana rezeki yang kami berikan kepada mereka.”
79
Riri Nazriyah, Op.Cit., 50
80
Syamsul Wahidin, MPR RI Dari Masa Ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm 69.
81Ibid
46
perpaduan adat dengan perintah agama. Dalam konteks ini tampak bahwa, musyawarah untuk Indonesia yang dimaksudkan M. Yamin adalah musyawarah yang bersumber dari hukum Islam dan hukum adat. b) Perwakilan: dasar adat yang mengharuskan perwakilan-perwakilan sebagai ikatan masyarakat di seluruh Indonesia. Perwakilan sebagai dasar abadi dari Tata Negara dan c) Kebijaksanaan: Rasionalisme: perubahan dalam adat dan masyarakat, keinginan penyerahan, rasionalisme sebagai dinamika dalam masyarakat. Meskipun apa yang disampaikan itu masih menimbulkan kesangsian sementara pihak, tetapi setidaknya konsepsi yang terdiri dari tiga komponen tersebut, pantas untuk dicatatkan sebagai sumbangan pemikiran tentang MPR. Konsepsi mengenai MPR oleh M. Yamin ditempatkan dalam Bab II Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“1. MPR terdiri dari atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan UU.
2. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
3. Seluruh pemerintah bersama-sama dengan presiden bertanggung jawab kepada MPR.
4. Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.”
Ide yang hampir sama juga dikemukakan oleh Soepomo, yang
diantaranya juga mendasarkan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
yang diberi istilah “Badan Permusyawaratan”. Perbandingan yang diambil
Soepomo, ialah bahwa Indonesia akan berdiri tidak bersistem Individualisme
seperti di negara barat, tetapi berdasarkan kepada kekeluargaan. Di dalam negara
yang akan berdiri nantinya tidak ada sesuatu yang bersifat orientatif. Baik yang
orientatif kepada yang kuat atau orientasi kepada yang banyak. Seluruh sistem dan
komponen masyarakat Indonesia akan mempunyai suara yang seimbang. Sistem
negara, ialah totaliter. Dalam konteks yang demikian, warga negara adalah
47
dalam negara. Dengan istilah yang dipakai: “manunggal anatar kawula dan
gusti”.82
Pokok-pokok pikiran yang jelas sekali dikemukakan, ialah mengenai
MPR. Kedudukan MPR menurut M.Yamin ialah lembaga kekuasaan yang
setinggi-tingginya dalam Negara RI. Lembaga ini merupakan kumpulan
permusyawaratan rakyat. Kepada MPR inilah Presiden memberikan
pertanggungjawaban. Dengan demikian seluruh komponen yang ada di dalam
seluruh negara terwakili dalam Badan Perwakilan yang berupa MPR.
Dalam pembahasan selanjutnya BPUPKI membicarakan UUD itu tahap
demi tahap. Satu konsepsi yang menarik juga disampakan oleh M. Yamin di
dalam sidang tanggal 1 Juli 1945. Dikemukakan dalam kesempatan tersebut
terutama susunan pemerintahan Indonesia yang akan merdeka.
83
Pada tanggal 11 sampai dengan tanggal 13 Juli 1945, juga diadakan
Rapat Panitia Perancangan UUD. Diantaranya juga dibicarakan masalah MPR. Di
dalam naskah tersebut MPR diletakakkan dalam Pasal 1 ayat (2), yang
menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan
sepenuhnya oleh badan permusyawaratan rakyat. Penjabaran tentang Badan
Permusyawaratan Rakyat dan DPR diatur dalam BAB V, yang berbunyi:84
(1) Badan Perwakilan Rakyat terdiri dari atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golngan-golongan menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU.
Pasal 18
(2)Badan Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam 5 Tahun.
82
Riri Nazriyah, Op.Cit. 52. 83
Ibid,. hlm. 53.
84
48
Pasal 19
“Badan Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara.”
Setelah hasil rancangan UUD disempurnakan, dibawa ke dalam sidang
tanggal 14, 15 dan 16 Juli 1945. Di dalam pengajuan konsepsi dari Lembaga
Badan Permusyawaratan itu sudah berubah namanya menjadi MPR.
Pada prinsipnya yang dimaksud oleh BPUPKI mengenai MPR, adalah
seperti yang disebutkan di dalam rancangan, yang ternyata tidak mengalami
perubahan, hingga ditetapkan di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus
seperti yang terdapat dalam Pasal 2 UUD 1945:85
(1) MPR tediri atas anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan UU
(2) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima Tahun di ibu kota Negara
(3) Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
1. Kedudukan MPR Sebelum Perubahan UUD 1945
Sejak keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, landasan struktural
pemerintahan Republik Indonesia adalah UUD 1945 dan landasan idealnya ialah
Pancasila.86
Masalah Kedudukan MPR sesungguhnya sudah jelas dalam UUD 1945
beserta penjelasan umumnya. Menurut teori ilmu hukum tata negara Indonesia, Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini, maka kedudukan MPR
kembali seperti semula, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1)
UUD 1945 oleh para pendiri bangsa.
85
Pasal 2 UUD 1945.
86
49
MPR merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang
mengandung dua prinsip:87
Dalam Pasal 37 UUD 1945 antara lain ditentukan, bahwa MPR
memiliki kewenangan untuk mengubah UUD. Akan tetapi di samping mengubah
UUD ternyata lembaga tertinggi negara tersebut juga mempunyai kekuasaan
untuk menetapkan UUD
“a. Sebagai badan yang berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, disebut “legal power”.
b. No. rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar atau mengeyampingkan sesuatu yang telah diputuskan oleh MPR.”
88
Berdasarkan kedua Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa disatu sisi
MPR adalah Konstituante yang membuat UUD. Kekuasaan MPR yang menjelma
dalam tugas serta wewenang tersebut bersumber pada Pasal 1 ayat (2):
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan UUD 1945
bahwa kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR.
, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 sebagai
berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar
dan Garis-garis besar dari pada haluan negara.”
89
Apabila kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikaitkan dengan
macam-macam aspek seperti yang dikemukakan oleh C.F Strong dalam bukunya
87
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 16.
88
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 185
89
50
Sri Soemantri dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama-tama kedaulatan tersebut
menyangkut kedaulatan ke dalam, dari rumusan di atas, juga dapat disimpulkan
bahwa kekuasaan MPR terhadap individu atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat negara tersebut terbatas dalam batas yurisdiksinya, artinya adalah
MPR berkuasa menetapkan bermacam-macam putusan yang ditujukan kepada
siapa pun yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan RI.90 MPR adalah lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi.
Kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif melainkan
enunsiatif yang bersumber pada Pasal 1 ayat (2) itu sendiri. Dengan demikian
Majelis mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara lembaga-lembaga negara
lainnya. MPR inilah yang mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil
Kepala Negara menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden
yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia
adalah “mandataris” dari Majelis, ia wajib menjalankan putuan-putusan Majelis.
Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.91
Akan tetapi dalam praktik ketatanegaraan, telah terjadi penyimpangan
yang dilakukan terhadap ketentuan UUD 1945, yang menyebabkan MPR tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk merealisasikan hal tersebut dan
sebagai tahap awal bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin telah dirumuskan
90
Sri Soemantri, Kedudukan Lembaga-Lembaga . . . Op. Cit., hlm 186 .
91
51
langkah-langkah yang harus diambil sebagaimana dikemukaan oleh Hasan Zaini
sebagaimana dikutip olehEddy Purnama92
1. Dibidang kepartaian harus diadakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kepartaian.”
, antara lain:
2. Untuk kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik “golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masayarakat, yang tumbuh bergerak secara dinamis” harus disalurkan secara efektif dalam perwakilan.
3. Harus diciptakan suatu sistem “yang lebih menjamin kontinuitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan program.
Namun jika ditilik lebih jauh, maka dengan cara-cara di atas telah
berhasil membentuk sebuah konstruksi politik yang menempatkan kekuasaan
eksekutif pada posisi yang sangat kuat, yang memiliki kewenangan yang besar
tanpa khawatir akan kekuatan politik yang akan menghalang-halanginya. Hal ini
dapat dilihat dalam melaksanakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya
kehidupan kepartaian” telah dikeluarkan segala bentuk ketentuan Presiden.
Pengaturan tersebut menyangkut syarat-syarat dalam penyederhanaan kepartaian,
pengakuan, pengawasan serta pembubaran partai-partai telah menempatkan
kekuasaan Presiden sebagai faktor penentu nasib sebuah partai.93
Kekuasaan eksekutif yang berada pada posisi yang sangat kuat, dapat
terlihat dari pendapat Budiman Sagala yang mengatakan:94
”Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, ternyata baik pada MPRS masa orde lama maupun orde baru, semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Sejak berdirinya MPRS, 610 orang anggota diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Dari penjelasan Pasal 1 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 menyatakan bahwa MPRS hanya berwenang
92
Eddy Purnama, Op. Cit., hlm 174-175 .
93Ibid
., hlm. 174-175
94
52
menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara haluan negara. Ini berarti, bahwa Presiden telah mencampuri bahkan membatasi wewenang MPRS. Ismail Sunny dalam buku Riri Nazriyah menyebutkan, sebagai “wewenang yang terbatas”, urusan-urusan internal Majelis banyak ditentukan oleh Presiden. Semua pimpinan MPRS dalam praktik adalah diangkat oleh Presiden Sendiri, sebagaimana diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 yang kemudian dilaksanakan dengan surat Keputusan Presiden No. 292 Tahun 1969 tertanggal 9 November 1960. Dari praktik-praktik di atas maka semasa MPRS Orde Lama, Majelis bukan lagi sebagai lembaga negara yang tertinggi, MPRS mempunyai kedudukan di bawah Presiden. Para pemimpin MPRS yang diangkat adalah juga sebagai menteri yang memegang departemen-departemen, ini berarti kekuasaannya jelas berada di bawah Presiden berdasarkan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian, pada masa MPRS tahun 1960-1965 bukanlah lembaga tinggi negara, tetapi suatu Majelis yang kedudukannya di bawah Presiden.”
Kedudukan MPRS yang demikian disebabkan karena
golongan-golongan fungsional yang akan duduk dilembaga perwakilan, Peraturan Presiden
No. 12 Tahun 1959 tentang MPRS memberikan hak yang besar sekali kepada
Presiden dalam menentukan jumlah dan menentukan golongan dan orang-orang
yang akan mewakili golongan, baik di DPR maupun di MPR. Presiden dalam al
ini dianggap tidak mengikuti Penjelasan UUD 1945 tetapi telah diperluas. Dari
sudut pandang hukum tata negara hal ini merupakan penyimpangan
konstitusional, karena telah memosisikan kedua ketentuan, yaitu UUD 1945 dan
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 pada posisi yang sejajar.95
Menyadari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 oleh
lembaga-lembaga kenegaraan di atas, maka MPRS masa orde baru telah memulai
menempatkan Majelis sebagai suatu lembaga negara yang tertinggi, dengan
kewenangan-kewenangan yang dapat dilaksanakan pada saat itu. Majelis telah
95
53
mengangkat Pejabat Presiden seperti yang ditetapkan dengan TAP MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967, mengangkat Presiden berdasarkan TAP MPRS No.
XLIV/MPRS/1968, mencabut kekuasaan pemerintahan/memberhentikan
Soekarno dari jabatan Presiden (TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967) tentu
setalah Majelis meminta dan menilai lebih dahulu pertanggungjawaban Presiden.
Bertitik tolak dari kewenangan-kewenangan di atas, berarti sudah dapat dikatakan
bahwa Presiden pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto telah
merupakan suatu lembaga tinggi negara yang berada di bawah MPRS. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan
negara di bawah Majelis, namun belum murni. Hal ini disebabkan karena MPR
pada waktu itu ialah hasil pengangkatan/penunjukan Presiden. Di samping itu
DPRGR Orde Baru pernah infunctie, yang tidak berfungsi karena beku, selama
waktu hampir setahun. DPRGR berhenti pada saat DPR hasil Pemilahan Umum
dilantik pada tanggal 28 Oktober 1971. Dengan demikian otomatis berhentilah
414 orang dari 828 anggota MPRS pun tidak mungkin bisa melaksanakan tugas
dan wewenangnya sebab 414 orang anggota MPR tersebut berasal dari
pengangkatan/penunjukan Presiden yang telah digantikan oleh DPR hasil
Pemilihan Umum. Dilihat dari materi ketatanegaraan maka MPRS sebagai
lembaga tertinggi negara telah bubar, akibatnya vakum hingga tanggal 28 Oktober
1972, saat dilantiknya anggota MPR RI hasil pemilihan umum. Memang secara
formal, MPRS belum bubar berdasarkan TAP MPR No. XLII/1968, tetapi dalam
arti materil Majelis itu tidak berfungsi lagi. Walaupun MPRS itu bersifat
54
dimaksudkan UUD 1945 serta menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai
dengan UUD 1945. Hal ini jelas ditentukan dalam pasal 1 UU No. 10 Tahun 1966
tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong,96
“ Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Undang-undang ini tetap diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara selanjutnya disingkat MPRS, menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sampai MPR hasil pemilihan umum mulai menjalankan tugas dan wewenangnya.”
yang berbunyi:
97
Dalam Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan
DPR Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum, berbunyi: “Sebelum MPR
dan DPR Hasil Pemilihan Umum yang sekarang ada menurut Undang-undang ini
berkedudukan dan berfungsi sebagai MPR dan DPR yang dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945.”98
Dari dua kali pemilihan umum yang diselenggarakan di bawah UUD
1945, boleh dikatakan bahwa MPR RI (Periode 1972-1977 dan periode
1977-1982) diproses dan dibentuk oleh pemilihan umum. Memang secara yuridis, MPR
RI adalah melalui proses pemilihan umum, namun tidak dapat disangkal bahwa
anggota Majelis mayoritas merupakan pengangkatan dan penunjukan Presiden.
Sejak berdirinya RI, telah ada pengakuan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi
negara, bahkan oleh Majelis sendiri menyebutkan dirinya sendiri sebagai
penjelmaan seluruh rakyat. Akan tetapi kenyataannya, dalam praktik
96
Budiman B. Sagala, Op.Cit., hlm. 77.-78. 97
Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Tahun 1966 No. 38, Tambahan Lembaran Negara No. 2813.
98
55
ketatanegaraan, MPR adalah lembaga yang lemah dibandingkan eksekutif yang
berada pada posisi yang lebih kuat. Belum pernah anggota mejelis sebagai
lembaga tertinggi negara meminta dan menilai pertanggungjawaban dari presiden
yang diangkat, pada hal MPR berwenang untuk itu. MPR adalah wakil rakyat,
wakil aspirasi masyarakat yang sewaktu-waktu dapat direcall oleh rakyat melalui
organisasi sosial politik, majelis harus memberikan laporan
pertanggungjawabannya pada seluruh rakyat yang memilihnya pada saat sidang
umum pada saat masa keanggotaannya telah berakhir.99
Hak-Hak Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat Untuk dapat melaksanakan fungsinya, M.P.R. mempunyai hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945.”
Sehubungan dengan kedudukan MPR hasil pemilu telah diatur dalam
BAB V Kedudukan MPR Pasal 31 UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPRD yang berbunyi:
“Pasal 31
100
MPR merupakan lembaga tertinggi negara, artinya bahwa MPR
merupakan super body yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas, hal ini
dikemukan dalam Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: “oleh karena
MPR memegang kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas”. Sejalan
dengan hal itu, TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan Tata Kerja
Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara
telah menentukan dan menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi
99
Budiman B. Sagala, Op.Cit., hlm. 78-79.
100
56
negara.101 Dalam hubungan ini Sri Soemantri mengatakan bahwa; pemakaian istilah sebagai “Lembaga Tertinggi Negara”, dan “Lembaga Tinggi Negara” dan “
Lembaga Negara” adalah satu istilah yang mempunyai satu maksud dan
pengertian. Istilah itu adalah padanan kata poltical institution. Dengan demikian
seharusnya digunakan istilah “Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Negara
Tinggi.102
2. Susunan MPR
Perdebatan mengenai susunan MPR, telah terjadi sejak dalam Panitia
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tahun 1945. Sukiman
mengusulkan supaya anggota MPR secara langsung dipilih oleh rakyat. Moh.
Hatta menolak usul ini dengan mengatakan bahwa kalau organis tidak bisa
langsung. Oleh sebab itu, jadilah rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
yang menentukan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah
dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan UU.103 Jawaban Bung Hatta ini mengingatkan kita pada pendapat Bung Karno dan Supomo dihubungkan dengan pendapat Adam Muller
yang menolak pemikiran yang didasarkan pada aliran individualisme dan hukum
alam sebagaimana dikemukakan dalam rapat Panitia Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan.104
101
Sri Soemantri, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara . . . Op. Cit., hlm. 45
102
Sri Soemantri.1985. Ketetapan MPR(S) . . . Op. Cit., hlm.42.
103
A.S.S. Tambunan.MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 40.
57
Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah utusan daerah
dan utusan golongan, sehingga keseluruhan anggota MPR itu benar-benar
diharapkan mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Unsur anggota
MPR mencerminkan penjelmaan demokrasi politik (political democracy) yang
didasarkan atas prosedur perwakilan politik (political representation) dalam
rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan bernegara,
sedangkan utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi (economic
democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan fungsional (fungtional
representation). Sistem perwakilan fungsional itu dimaksudkan untuk mengatasi
ataupun menutupi kelemahan sistem politik atau sistem perwakilan politik. Jika
anggota DPR berorientasi nasional untuk kepentingan seluruh nasional, untuk
kepentingan bangsa dan negara, maka utusan daerah diadakan untuk menjamin
agar kepentingan daerah-daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi untuk
mengutamakan kepentingan nasional. Dengan demikian, keberadaan para anggota
MPR benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat, sehingga
tepat diberi kedudukan yang tertinggi (supreme)105
Selanjutnya kata-kata yang digunakan oleh UUD 1945 Pasal 2 ayat (1)
juga dibahas dalam cara menentukan penyusunan keanggota MPR. Berdasarkan
penafsiran bahasa, untuk DPR disebut anggota-anggota karena harus dipilih oleh
rakyat, sedangkan utusan-utusan daerah karena memeng tidak harus dipilih oleh
rakyat, melainkan DPRD untuk duduk dalam MPR. Begitu pula disebut utusan
105
58
golonganan-golongan karena memang tidak dimaksud untuk dipilih oleh rakyat
tetapi diutus oleh golongan-golongan untuk duduk dalam MPR.106
Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1946 pada
tanggal 18 April 1946, Jumlah anggotanya ditegaskan manjadi 200 orang. Untuk
memperkuat dasar hukumnya kemudian pada tanggal 8 Juli 1946 dikeluarkan UU
No. 12 dengan materi praktis sama dengan PP No. 2 Tahun 1946. Jumlah anggota
pemilihan umum yang bertingkat, 60 orang hasil penunjukan partai-partai politik,
dan 30 orang ditunjuk oleh Presiden.
Mengenai cara pengisian utusan golongan di MPR diserahkan kepada
Legislatif untuk menentukan dalam bentuk UU. Kemudian dalam UU (demikian
juga dalam Penpres/Perpres) dipakai sistem pengangkatan dan penunjukan oleh
Presiden sebagai Kepala Negara.
107
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disebut dengan singkatan M.P.R., terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan-utusan dari Daerah, Golongan Politik dan Golongan Karya. (2) Jumlah anggota M.P.R. adalah dua kali lipat jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Anggota tambahan M.P.R. terdiri dari: a. Utusan Daerah seperti tersebut dalam pasal 8; b.Utusan Golongan Politik dan Golongan Karya ditetapkan berdasarkan imbangan hasil pemilihan umum; organisasi Golongan Politik/Karya yang ikut pemilihan umum, tetapi tidak mendapat wakil di D.P.R. dijamin satu utusan di M.P.R yang jumlah keseluruhannya tidak melebihi sepuluh orang utusan; c. Utusan Golongan Karya Angkatan Bersenjata dan Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata yang ditetapkan berdasarkan pengangkatan. (4) Jumlah anggota M.P.R. yang diangkat ditetapkan sebanyak sepertiga dari seluruh anggota M.P. R. Susunan dari MPR juga diatur dalam Pasal 1 UU No. 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, yang berbunyi:
“1. Susunan
106
A.S.S Tambunan, MPR Perkembangan . . . Op. Cit, hlm 40-41.
107
59
dan terdiri: a. Anggota D.P.R. yang diangkat seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (4); b. Anggota tambahan M.P.R. dari golongan Karya Angkatan Bersenjata seperti tersebut dalam ayat (3) huruf c yang pengangkatannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. c. Anggota tambahan M.P.R. dari Golongan Karya bukan Angkatan Bersenjata seperti dalam ayat (3) huruf c diangkat oleh Presiden baik atas usul organisasi yang bersangkutan maupun atas prakarsa Presiden. (5) Jumlah Utusan Golongan Karya A.B.R.I. dan Golongan Karya bukan A.B.R.I. yang dimaksud dalam ayat (4) b dan c ditetapkan oleh Presiden.”
Dalam perkembangan selanjutnya UU tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPRD, mengalami perubahan akan tetapi tetap di dalam naungan
keberlakuan UUD 1945, yaitu UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPRD. Dalam ketentuan Pasal 2 UU ini mengatur
susunan MPR yang berbunyi:
“(1) MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan: a. Utusan Daerah; b. Utusan Golongan. (2) Jumlah anggota MPR adalah 700 orang dengan rincian: a. Anggota DPR sebanyak 500 orang; b. Utusan Daerah sebanyak 135, yaitu lima orang dari tiap-tiap Daerah Tingkat I; c. Utusan Golongan sebanyak 65 orang. (3) Utusan Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I. (4) Tata cara pemilihan anggota MPR Utusan Daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD. (5) DPR menetapkan jenis dan jumlah wakil dari masing-masing golongan. (6) Utusan Golongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diusulkan oleh golongan masing-masing kepada DPR untuk ditetapkan. (7) Tata cara penetapan anggota MPR Utusan Golongan sebagaimana yang dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.108
3. Tugas dan Wewenang MPR
Sehubungan dengan Tugas dan kewenangan MPR, telah diatur dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 UUD 1945, yang berbunyi:
108
60
Pasal 3
“Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara.”109
Pasal 4 UUD 1945 berbunyi: “a. Majelis berwenang membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, termasuk penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris; b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap Putusan Majelis; c. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden; d. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris mengenai pelaksanaan garis-garis besar daripada haluan negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut; e. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden/Mandataris sungguh-sungguh melanggar garis-garis besar daripada haluan negara; f. Mengubah UUD; g. Menetapkan Peraturan Tata tertib Majelis; h. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh Anggota; i. Mengambil, memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.
110
Rumusan Pasal 3 hendak menggambarkan kekuasaan MPR yang tidak
terbatas sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dikatakan
juga bahwa MPR ialah perumus kebijakan yang mewakili kemauan rakyat.
Perumus kebijakan mewakili kemauan politik rakyat dijalankan melalui
Garis-garis besar dari pada haluan negara. Kemudian MPR memberikan mandat kepada
Presiden, setelah MPR terlebih dahulu menetapkan konsep pelaksanaanya lewat
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang merupakan hasil kesepakatan
Presiden dan DPR yang ditetapkan oleh UU.111
I Dewa Gede Palguna, Constitutional Complain, Setara Press, Malang, 2015, hlm 91. Kemudian Pasal 6 dan Pasal 7
UUD 1945 menetapkan bahwa presiden dipilih oleh MPR sekali lima tahun
Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya MPR juga berwenang untuk mengubah
UUD. Dalam penjelasan UUD mengenai Sistem Pemerintahan Negara disebutkan
bahwa MPR dapat diundang untuk melakukan persidangan istimewa untuk
61
Presiden sungguh telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD
atau oleh MPR.112
Sebelum MPR pilihan rakyat lahir, maka kewenangan MPR dijalankan
oleh MPRS. Dalam Peraturan Tata Tertib yang lama itu baik Keputusan MPRS
No. I/MPRS/1966 maupun Keputusan MPRS No. VIII/MPRS/1968, yang judul
Bab-nya ialah Tugas dan Kewenangan MPRS:
113
(1) Melakasanakan tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
Pasal 1
Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara berfungsi:
(2) Menetapkan dan mengawasi garis-garis besar darai pada haluan negara;
(3) Menetapkan acara sidang umum dan peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat;
(4) Memilih Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara; (5) Menerima, menanggapi serta menilai laporan/pertanggungjawaban
Mandataris mengenai pelaksanaan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Di samping itu, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
yang menyatakan dirinya sebagai MPR sebelum MPR pemilihan umum
terbentuk.114
Ketetapan MPRS RI No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Tingkat Daeerah Pada Posisi dan Fungsi yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 berbunyi: Sebelum MPRS hasil Pemilihan Umum terbentuk maka MPRS berkedudukan dan berfungsi seperti MPR yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh sebab itu, dalam praktik ketatanegaraan, MPRS baik orde lama
dan orde baru, mempunyai tugas dan wewenang bukan menurut UUD 1945, akan
tetapi terbatas. Keterbatasan itu selain karena kedudukan MPR yang sementara,
juga adalah disebabkan pengaruh “lembaga negara” lain yang mengangkat
62
Tahun 1959 menjelaskan bahwa wewenang MPRS menurut Pasal 3 UUD 1945
adalah menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara. Bahkan kemudian,
tugas dan wewenang yang terbatas ini ditegaskan oleh Presiden Soekarno pada
pembukaan Sidang Umum I MPRS di Bandung yang bersejarah ini memenuhi apa
yang ditentukan pula Pasal 3 dari pada UUD kita, yaitu:
“MPR menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Tetapi karena saudara-saudara adalah MPR Sementara, tiap anggota dari pada DPR itu belumlah anggota yang dipilih oleh rakyat maka bagian pertama dari pada Pasal 3 ini yaitu menetapkan UUD, tidak saya minta untuk menetapkannya. Saya persilahkan saudara-saudara hanya menentukan garis-garis besar dari pada haluan Negara saja.”115
Keinginan Presiden itu kemudian diperkuat oleh surat Menteri
Penghubung DPR/MPR tertanggal 30 November 1960 kepada pejabat Ketua
MPRS yang menyatakan bahwa tugas MPRS menetapkan garis-garis besar haluan
negara dan garis-garis besar pembangunan semesta. Pembatasan tugas MPRS itu
kemudian dikukuhkan menjadi TAP MPRS No. I/MPRS/1960. Pasal 1 TAP
MPRS No. I/MPRS/1960 berbunyi:116
1. Memperkuat manifesto Politik RI sebagai GBHN;
2. Menetapkan garis-garis besar haluan pembanguan yang harus sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Pembangunan seperti yang diamanatkan oleh Presiden kepada Depernas tanggal 28 Agustus 1959, baik yang diucapkan maupun tertulis serta amanat Presiden tanggal 9 Januari 1960; dan
3. Menetapkan pemberian kekuasaan penuh kepada Presiden untuk melaksanakan keputusan-keputusan Sidang Pertama MPRS.
Setelah terpilihnya MPR pilihan rakyat lewat Pemilihan Umum, maka
tugas dan wewenang MPR berdasarkan UUD 1945. Melalui Pasal 3 UUD 1945,
115
Riri Nazriyah, Op.Cit., hlm 91
116
63
MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurut S. Toto Pandoyo dalam bukunya
Tholchah Mansoer, mempunyai kekuasaan seperti terperinci dibawah ini, yaitu:117 1. Melaksankan kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945);
2. Menetapkan UUD (Pasal 3 UUD 1945);
3. Menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara (Pasal 3 UUD
1945);
4. Memilih kemudian mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6
ayat (2) UUD 1945;
5. Mengambil sumpah atau janji Presiden dan Wakil Presiden sebelum
memangku jabatannya masing-masing (Pasal 9 UUD 1945);
6. Mengubah UUD (Pasal 37 UUD 1945);
7. Menerima dan menilai isi pertanggungjawaban Presiden pada masa
jabatan Presiden (Penjelasan UUD 1945)
8. Meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden dalam sidang
istimewa MPR, apabila Presiden ssecara nyata ungguh melanggar UUD,
GBHN, dan TAP MPR lainnya (penjelasan UUD 1945);
9. Mencabut kembali mandat yang telah diberikan kepada Presiden
Mandataris MPR, apabila isi pertanggungjawaban Presiden tidak
diterima oleh MPR;
10. Memilih dan mengangkat Wakil Presiden dalam sidang Istimewa,
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, karena wakil
117
64
Presiden yang lama menggantikkan Presiden yang berhalangan tetap
(TAP MPR No. III/MPR/1978).
Menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan rakyat adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Penjelasan pasal tersebut menyatakan dengan tegas bahwa Majelis ialah
penyelenggara negara tertinggi, majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat
yang memegang kedaulatan negara.118
1. Bahwa menurut UUD 1945, kedaulatan dalam negara Indonesia berada
di tangan rakyat, maka rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi. Dari hal di atas ada tiga hal yang bisa
disimpulkan:
2. Bahwa kedaulatan rakyat itu dilakukan oleh MPR.
3. Bahwa MPR adalah lembaga negara yang melakukan kedaulatan rakyat
sepenuhnya.119
Ketentuan ini mengandung makna bahwa kita menganut falsafah
kedaulatan rakyat atau “penjelmaan rakyat” yang sepenuhnya (supreme power)
oleh MPR dan MPR no rival authority.
B. MPR RI Setelah Perubahan UUD 1945
Secara keseluruhan, UUD 1945 sebelum perubahan mengenal enam
lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR, DPR, Presiden, MA, BPK dan DPA.
Dari enam lembaga negara tesebut, hanya MPR saja yang bersifat khas Indonesia.
Lima lainnya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontohkan dari zaman
118
Riri Nazriyah. Op. Cit., hlm 93.
119Ibid.
65
Hindia Belanda.120 Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya
lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban
tugas-tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan
kehakiman adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung
jawab kepada rakyat.121
Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan ditetapkan pasal 5 ayat
(1) dan pasal 20 ayat (1) melalui Perubahan kedua UUD 1945 resmi menganut
pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan mengembangkan mekanisme
hubungan check’s and balances yang lebih fungsional.122
Dengan perubahan ini, ditambah lagi dengan diadopsinya ketentuan
mengenai pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat sehingga Presiden tidak
lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara mengalami perubahan mendasar. MPR kehilangan sebagian
fungsi dan wewenangnya, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi
negara, namun merupakan lembaga tinggi negara yang sederajat dengan
lembaga-lembaga negara lainnya seperti: Presiden, BPK, MA, MK, dan KY, sebagaimana
terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 10 UU No. 22 Tahun 2003 tersebut menyatakan
bahwa, MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara. Demikian pula dalam TAP MPR RI No. II/MPR/2003
tentang Perubahan Kelima atas TAP MPR RI No. II/MPR/1999 tentang
120
Jimly Asshidiqie. Konstitusi dan konstitusionalisme. . . Op.cit. hlm 139.
121
Bagir Manan, DPR, DPD, dan . . .Op.Cit., hlm 74.
122
66
Perubahan Peraturan Tata Tertib berbunyi: “Majelis adalah penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia dan merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.” Mengalami perubahan, menjadi:
“Majelis adalah lembaga negara pemegang, dan pelaksana kedaulatan rakyat
menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945.”
1. Kedudukan MPR
Setelah perubahan UUD 1945, dengan adanya DPD dan MPR, maka
kedudukan MPR menjadi lembaga gabungan joint-session, MPR tidak lagi
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.123 Hal ini merupakan akibat perubahan Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan berdasarkan
Undang-Undang Dasar.” Kedudukan MPR yang semula sebagai lembaga
tertinggi, kini berkedudukan sebagai lebaga negara yang sejajar dengan lembaga
negara lainnya. Implikasi dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
dapat terlihat dalam UU organiknya, yakni dalam Pasal 3 UU NO 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPRD, DPD, yang berbunyi: “MPR merupakan lembaga
permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.”
Pengahapusan sistem lembaga tertinggi ini merupakan upaya yang logis untuk
menghapuskan design ketatanegaran yang rancuh dalam menciptakan checks and
balances, diantara lembaga-lembaga negara.124
“Perubahan kedudukan MPR itu berawal dari design perubahan UUD 1945 yang dimulai dengan merekonstruksikan sumber kekuasaan di Indonesia, dimana di dalam sistem ketatanegaraan lembaga negara yang
Menurut Slamet Effendi Yusuf
sebagaimana dikutip oleh Sulardi menyatakan bahwa:
123
Sulardi, Op.Cit., hlm. 128.
124Ibid.
67
paling berkuasa adalah siapa yang memegang kedaulatan, kedaulatan itu ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR, setelah perubahan berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD. Artinya supremasi itu bukan dari MPR, tetapi UDD. Susunan keanggotaan MPR juga berubah secara struktural kerena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip keterwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan anggota DPD yang mencerminkan perinsip perwakilan daerah.”125
Bagir Manan mengemukakan126
a) Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga negara, bukan
satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Secara praktis,
pembaharuan dimaksudkan untuk meniadakan penyalagunaan kedudukan
MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
, Perubahan kedudukan keanggotaan
dan mekanisme keanggotaan MPR selain untuk menutup peluang penyalahgunaan
sebagai jalan penyimpangan praktik dan kehendak UUD, juga dimaksudkan
sebagai jalan mewujudkan:
b) Gagasan sistem perwakilan dua kamar (bicameral). MPR menjadi wadah
badan perwakilan yang terdiri dari DPR dan DPD. Tetapi dalam susunan
dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan
DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang
berdiri sendiri di luar DPR dan DPD.
c) Gagasan menyederhanakan sistem keanggotaan dengan meniadakan
utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD. Perubahan
sistem utusan daerah dimaksudkan agar lebih demokratis dan meningkatkan
125
Sulardi, Op.Cit., hlm. 128.
126
68
keikutsertaan daerah dan pemerintah, di samping sebagai forum
memperjuangkan kepentingan daerah.
d) Gagasan mewujudkan demokrasi dalam mengisi keanggotaan MPR
dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan demikian
ditiadakannya kemungkinan tindakan kolusi dan nepotisme dalam pengisian
keanggotaan MPR.127
Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Sulardi, berpendapat
bahwa setelah perubahan keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini
disebut sebagai lembaga tertinggi negara telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar, tetapi keberadaannya tetap ada sehingga dianut dalam UUD NRI
Tahun 1945 tidak dapat disebut bikameral atau unikameral, melainkan dengan
sistem trikameral. Dasar-dasar yang mendukung bahwa UUD NRI Tahun 1945
menganut sistem trikameral adalah:128
2. Majelis tidak berfungsi sebagai Supreme body, yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol sehingga kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum diadakan perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan, yaitu:
“1. Susunan anggota MPR berubah secara mendasar secara struktural karena dihapusnya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur anggota MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR yang mencerminkan perwakilan politik dan anggota DPD yang mencerminkan prinsip-prinsip perwakilan daerah.
a.Menetapkan UUD dan mengubah UUD, b. Menetapkan GBHN, c. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, d. Meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden.
3. diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi eksekutif dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (5), dengan demikian berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 Negara Indonesia tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan
127
Riri Nazriyah, Op. Cit., hlm 136 128
69
oleh lembaga tertinggi negara MPR ke lembaga-lembaga negara lainnya.
Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya perubahan
UUD 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme serta lembaga-lembaga
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem yang bercorak
vertical-hirarkis manjadi horizontal-hirarkis.
2. Susunan MPR
Melalui perubahan ketiga UUD 1945, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945, berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”129
129
Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Dari
pasal ini terlihat jelas bahwa komposisi MPR mengalami perubahan, hilangnya
Fraksi Utusan Golongan dari MPR memang tidak bisa dihindari karena
merupakan konsekuensi dari berubahnya paham kedaulatan rakyat yang dianut
UUD 1945 naskah asli dan hasil perubahan ketiga UUD 1945. Pasal 1 ayat (2)
naskah asli UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Perubahan ketiga
UUD 1945 mengubah Pasal 1 ayat (2) itu sebagai “Kedaulatan berada di tangan
Rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan pemahaman
baru paham kedaulatan rakyat itu, maka semua anggota MPR harus dipilih
melalui pemilihan umum. Utusan Golongan tidak memenuhi Kriteria paham
70
daerah diakomodasi dalam DPD yang juga harus dipilih melalui pemilihan
umum.130
Utusan Golongan oleh para perumus UUD 1945, semula ialah golongan
ekonomi. Akan tetapi dalam pengertian yang lebih luas, Utusan Golongan
dikaitkan dengan kelompok-kelompok fungsional lainnya yang tidak mungkin
dapat diwakili aspirasinya, jika sistem demokrasi hanya mengandalkan
mekanisme perwakilan politik melalui peran partai politik. Oleh karena itu selain
dikenal pemilihan melalui perwakilan politik dikenal juga pemilihan melalui
perwakilan fungsional. Inilah pengertian pada masa orde baru yang memperluas
cakupan unsur utusan golongan terdiri atas berbagai golongan seperti golongan
agama, cendikiawan, petani, nelayan, guru, dll. Pada perkembangan selanjutnya
dimasa Orde Baru, pengertian Utusan Golongan ini semakin diperluas lagi dengan
dikembangkannya pengertian golongan ke dalam tiga jalur, jalur “ABG”. A
adalah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), jalur B adalah Birokrasi
( Pegawai Negeri), G adalah Golongan Karya).
131
1. Anggota lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui proses politik yang melibatkan partai politik berdasarkan prinsip perwakilan poltik dan demokrasi politik;
Keberadaan Utusan Golongan sudah jelas diatur dalam UUD, terlepas
dari segala macam penyimpangan yang terjadi. Dalam hakikatnya MPR sebagai
perwujudan seluruh masyarakat Indonesia yang berdaulat memiliki 3 Unsur
keanggotaan:
130
Riri Nazriyah, Op., Cit, hlm. 146.
131
71
2. Utusan-utusan daerah yang mencerminkan prinsip perwakilan kedaerahan yang sangat penting dalam upaya menjamin persatuan bangsa dan kesatuan negara, dan;
3. Utusan-utusan Golongan Fungsional yang dapat menutupi kelemahan sistem rekuitmen politik berdasarkan prinsip perwakilan politik melalui peranan partai politik.132
Sehubungan dengan ketiga unsur tersebut maka muncullah pemikiran
untuk merestrukturisasi MPR lembaga parlemen Indonesia menjadi dua kamar.
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa ada pemikiran untuk mengapuskan
Fraksi Utusan Golongan ke dalam anggota MPR.
Dalam menentukan keberadaan utusan golongan dalam susunan MPR
yang akan diatur berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan voting, dengan
dua alternatif pilihan. Alternatif pertama, keberadaan Fraksi Utusan Golongan
Pasal 2 ayat (1) perubahan keempat yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui
pemilhan umum, ditambah dengan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum, ditambah dengan Utusan Golongan yang dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya diatur oleh Undang-Undang.”
Alternatif yang kedua, keberadaan Fraksi Utusan Golongan, yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: “ Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah.”133
Karena tidak ada titik temu diantara kedua pilihan ini maka diadakan
voting yang dilakukan oleh 600 orang anggota MPR secara terbuka. Keberadaan
132
Ibid. 133
72
fraksi Utusan daerah terkait dengan alternatif kesatu pasal 2 ayat (1) Perubahan
keempat UUD 1945, dipilih oleh 122 orang wakil rakyat yang memang
kebanyakan berasal dari Fraksi Utusan Golongan. Sedangkan anggota MPR yang
memilih alternatif kedua ialah berjumlah 475 orang, dan 3 diantara 600 orang
anggota MPR tidak memilih diantara kedua pilhan tersebut.134
Dengan demikian melalui perubahan keempat UUD 1945 tersebut
mengalami pembaharuan komposisi keanggotaan yang meliputi:135
a. Utusan Daerah adalah yang mewakili daerah, bukan utusan partai politik
atau kekuatan politik tertentu. Unsur-unsur birokrasi tidak boleh menjadi utusan
daerah. Utusan daerah dipilih langsung oleh daerah yang bersangkutan bersamaan
dengan pemilihan anggota DPR, dan DPRD. Utusan daerah merupakan kelompok
sendiri yang memperjuankan kepentingan daerahnya.
b. Meniadakan utusan golongan dari keanggotaan MPR.
Ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 telah diejawantahkan lewat
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD, yang dalam Pasal
2-nya berbunyi: “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui Pemilihan Umum.
3. Tugas dan Wewenang MPR Setelah Perubahan UUD 1945
M. Solly Lubis dalam buku I Dewa Gede menuliskan, bahwa melalui
agenda amandemen UUD 1945, pernyataan politik yang semula berbunyi
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” (Pasal
1 ayat (2) UUD 1945) berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
134Ibid.
hlm 146-147.
135
73
dijalankan berdasarkan UUD” (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945).
Kedaulatan rakyat mempunyai paradigma yang sama dengan demokrasi yang
berarti kemauan politik rakyatlah yang menjadi parameter untuk menilai dan
menentukan jalannya pemerintahan.136
136
I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hlm. 91.
Pada perubahan ketiga UUD 1945
mengenai MPR (Pasal 3) diputuskan ada perubahan terhadap bunyi ayat (1), ayat
(4). Adapun ayat (2) yang terdiri dari dua altenatif di putuskan pada perubahan
keempat (Tahun 2002) yakni tidak perlu ayat (3) hasil perubahan ketiga yang
semula ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diubah menjadi ayat (1), (2), dan (3) pada
perubahan keempat (Tahun 2002).
Perubahan mengenai wewenang MPR tersebut dengan rumusan sebagai
berikut. Pasal 3 rumusan lama: “MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar dari
pada haluan negara.” Diubah menjadi pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “MPR
melantik Presiden dan/atau wakil Presiden.” Ayat (3): “MPR hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD.”
Dengan perubahan ini, MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar
dari pada haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun peraturan
perundang-undangan, serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung oleh rakyat, dimana mereka
74
Wewenang yang dimiliki oleh MPR di atas masih ditambah lagi
berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tentang pengisian
lowongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersama-sama atau Wakil Presiden
berhalangan tetap. Walaupun telah terjadi perubahan wewenang MPR, peran
MPR tetap penting sebagai katup pengaman pada saat genting dalam
penyelenggaraan negara, seperti dalam pristiwa impeachment Presiden dan/atau
Wakil Presiden, Pergantian Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pada saat
penting untuk melakukan perubahan UUD.137
Melalui perubahan UUD 1945, Status MPR diubah dari organ atau alat
kelengkapan negara yang dianggap lembaga tertinggi menjadi sejajar dengan alat
kelengkapan negara lainnya. MPR bukan lagi satu-satunya yang
menyelanggarakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Wewenang MPR pun
diubah.138
Secara lebih rinci lagi kewenangan MPR diatur di dalam Pasal 4 UU
No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD yang bebunyi:
Selain itu perubahan mendasar lainnya sehubungan dengan
kewenangan MPR ialah bahwa MPR tidak berwenang lagi memilih Presiden dan
Wakil Presiden, akan tetapi rakyatlah yang secara langsung memilih Presiden dan
Wakil Presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 A ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden di pilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.” Hal ini adalah konsekuensi perubahan
Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut
UUD.” Atau yang sering kita dengar dengan istilah “demokrasi” dan nomokrasi”.
137
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Memasyarakatkan UUD 1945, Sekretaris Jenderal, Jakarta, 2003. hlm. 152.
138
75
“MPR berwenang:
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum; c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan atau/wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan hukum jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama, dari 2 (dua) pasang calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dana kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.139
139