• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

DAN PERTIMBANGANYA

A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption.Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti

corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Perancis) dan crruptie (Belanda). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Camplle Black mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.45

Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:46

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

45

Azis Syamsuddin, Op. Cit. hlm. 137 46

(2)

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Bahkan peraturan perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain:47

a. Masa Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April

1957

Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan

47

(3)

yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara.Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.48

Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.

Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi.Atas dasar itu pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No.Prt/PM-06/1957.Pada bahagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

48

(4)

harta benda.Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.

Jika dalam harta benda tersebut ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada, maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 011/1957.49

b. Masa Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No.

Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda

Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 tentang

49

(5)

Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.

Sudarto,50

c. Masa Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu.Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat saja.Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan pertama.

Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan yang luar biasa.Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakan-akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun

50

(6)

1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.

Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa.Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bambang Poernomo51

51

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 65.

(7)

beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat.Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan.

Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang-undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.

Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi. Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang-undang korupsi.

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

(8)

hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur melakuikan kejahatan atau pelanggaran.52

Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun)

Unsur melawan hukum pada undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1971 mengandung pengertian formil dan materil.

Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti.Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh undang-unang No.Tahun 1971.

52

(9)

dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan.Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Masa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

(10)

berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.53Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.54

Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.55

2. Subjek Hukum Tindak Pidana korupsi

Subjek hukum dalam tindak pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mengkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang

53

Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hlm. 75.

54

Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.

55

(11)

menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.56

1. Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari system pembebasan tanggung jawab system yang dianut, yang dalam hukum pidana (sumber pokok KUH Pidana) adalah pribadi orang.Hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau korporasi tidak.Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya.Pertangung jawaban pribadi tidak dapat dibebankan kepada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).Hukum pidana kita menganut asas concordantie dari hukum pidana Belanda menganut sistem pertanggung jawaban pribadi.Sangat jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana dimulai dengan kata “barang siapa” (Hij Die), dalam hukum pidana khusus adalahnya menggunakan perkataan “setiap orang” yang maksudnya adalah orang pribadi misalnya Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Pertanggung jawaban pidana sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan.Dari kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan.Apabila perbuatan itu berupa perbuatan bersifat tercela atau

56

(12)

bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.57Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya.Biasanya perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.58

Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :

59

Dalam hukum pidana korupsi ini yang bersumber pada Undang-Undang Nomonr 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum orang ini ditetukan melalui 2 (dua) cara, yaitu :60

57

Ibid. hlm. 343. 58

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 88.

59

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 60

(13)

1. Cara yang pertama disebut subjek hukum orang pada umunya, aritnya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umunya, yaitu in cassu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalanya Pasal 2, 3, 21 dan 22 tetapi juga subjek hukum pidana yang diletakka ditengah rumusan misalnya Pasal 5 dan 6.

2. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yaitu in cassu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain :

1. Pegawai negeri; penyelenggara negara (misalanya Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i);

2. Pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a); 3. Hakim (Pasal 12 huruf c);

4. Advocat (Pasal 12 huruf d); 5. Saksi (Pasal 24); bahkan

6. Tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 20 jo Pasal 28).

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberangtasan Tindak Pidana Korupsi, pegawai negeri adalah :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;

(14)

c. Orang yang menrima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Uang yang menerima gaji atau suatu korporasi yang menerima bantuan

dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.61

Pasal 1 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga Negara Republi Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pegawai negaeri tersebut terdiri atas :

1. Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah, 2. Angggota Tentara Nasional Indonesia, dan

3. Anggota Kepolisian Republik Indonesia.62

Dalam Pasal 92 KUH Pidana memberikan makna lebih luas tentang pegawai negeri yaitu :63

61

Lihat Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. 62

(15)

Ayat (1) yang termasuk sebutan amtenar (pegaawai), yaitu sekalian orang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum, demikian pula sekalian yang bukan karena pemilihan menjadi angggota Dewan Pembuat Undang-Undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian dari anggota Dewan-Dewan daerah setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan asing, yang melakukan kekuasaan yang sah.

Ayat (2) yang masuk sebutan amtenar (hakim), termasuk pula ahli memutus perselisihan; yang termasuk sebutan hakim, yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratief, demikian juga ketua dan anggota dewan agama

Ayat (3) semua orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata disebut

amtenar (Pegawai).

2. Subjek Hukum Korporasi

Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum diterangkan dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Berdasarkan pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana ini, maka jelaslah pengertian hukum pidana dalam tindak pidana korupsi jauh lebih luas dari pada pengertian rechts persoon yang umumnya diartikan sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh suatu peraturan

63

(16)

undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorgannisasi dengan baik dan teratur, biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut dengan ditentukannya jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda organisasi dengan sedikit dan banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut.64

Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha.Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain, terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi risiko kerugian.65

Penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.Dalam lingkup pembicaraan mengenal perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan

64

http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diakses pada tanggal 23 September 2013.

65

(17)

hukum sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan suatu ciptaan hukum,yakni pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatubadan hukum di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan hukum tersebut dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan atau motivasi.Salah satualasan misalnya, untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum,diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.66

Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana diluar KUH Pidana), yang sifatnya melengkap hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh pada prinsip hukum pidana secara pribadi yang dianut dan dipertahankan sejak dibentuknya WvS Belanda 1882 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-undangan tampak kita telah menganut sistem pertanggung jawaban

strict liability (pembebanan tanggung jawab tanpa melihat kesalahan) dan vecarious liability (pembebanan tanggung jawab selain sipembuat dengan menarik badan atau korporasi kedalam pertanggung jawaban pidana).

66

(18)

Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada 3 (tiga) sistem pertanggung jawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :67

1. Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka yang pengurus korporasi yang bertanggung jawab.

2. Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab. 3. Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.

Selain tiga sistem pertanggungjawaban korporasi yang telah disebutkan diatas, terdapat satu sistem pertanggungjawaban korporasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini harus ada dan diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Karena apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. Kedua, apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedang pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dan, ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin

67

(19)

dilakukan secara pengganti. Segala perbuatan hukum, dalam lapangan keperdataan maupun pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.68

1. Tersangka/terdaiwa

Jika melihat dalam Hukum Acara Pidana tidak semua orang yang dapat menjadi subjek hukum acara pidana, tetapi hanya orang-orang yang mempunyai kualifikasi tertentu saja.

Mereka itu ialah :

2. Polisi yang melakukan penyidikan 3. Jaksa yang melakukan penuntutan 4. Hakim yang mengadili

5. Panitera

6. Penasihat hukum 7. Saksi-sakasi

8. Pegawai lembaga permasyarakatan.69

B. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim

Een objective beoordeling van een objective positive, maksudanya segala-galanya harus diperhatiakan oleh hakim baik dari sudut kepentingan masyarakat maupun dari sudut kepentingan siterdakwa.70

68

Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Grafiti Pers,2006), hlm. 30.

69

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 77.

70

(20)

Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan dalam suatu perkara lalu dilakukan musyawarah atau mufaklakat.Ketua majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 187 ayat (2) KUHAP), jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan jika para hakim berdeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (2) KUHAP)71

Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan “yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Pada dasarnya “fakta-fakta dipersidangan” berorientasi pada dimensi tentang locus dan tempus delicti,modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilkukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimana akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana dan sebagainya.72

Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian-pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan suatu yang sangat penting.Pembuktian disidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana,

71

Evi Hartanti, Op. cit. hlm. 54. 72

(21)

sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.73

Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim.Karena hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim dibandingkan dengan non yuridis74

1. Pertimbangan Yuridis

adapun pertimbangan hakim tersebut adalah:

a. Alat bukti

b. Surat dakwaan/catatan dakwaan c. Barang bukti

d. Pasal-pasal dalam Undang-undang

Ad.a. Alat bukti yang sah ialah :

Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yaitu segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti

73

Evi hartanti, Op. Cit.hlm. 55. 74

(22)

yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima dan menilai suatu pembuktian. Suatu pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.75

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP mencakup dubbelen gorndslag

dengan adanya elemen keyakinan terhadap pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theori).76

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah oarang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu, Pasal 1 ayat (26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut :

1. Keterangan saksi

75

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Edisi ke 2, (Jakrta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 21.

76

(23)

sendiri, ia lihat sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuanya, Pasal 1 ayat (27).77

Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan saksi sebelum memberikan keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini disebut dengan promisoris, artinya sanggup berkata yang benar. Akan tetapi, apabila pengadilan menganggap perlu penyampaian sumpah tidak dilakukan sebelum memberikan keterangan malainkan diberikan setelah saksi memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 4). Cara penyumpahan yang kedua ini disebut

asetoris.78

a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain. Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tetentu.

77

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 37.

78

(24)

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.79

Ada 2 (dua) syarat yang menyangkut keterangan saksi dimuka sidang yang tidak bisah dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim, ialah:

a. Sumber pengetahuan saksi dari apa yang menjadi isi yang diterangakan; dan

b. Subtansi isinya keterangan80

Hakim tidak boleh menjatuhakan putusan kepada terdakwa hanya didasarkan pada satu saksi saja, oleh karena itu satu saksi kurang mencukupi asas minimum alat bukti yang kurang cukup.Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim.Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 5).81

Keterangan ahli disebut sebagai alat bukti dalam pada urutan ke dua oleh Pasal 183 KUHAP. Berbeda dengan HIR dahalu yang tidak mencatumkan keterangan ahli sebagai alat bukti.Dalam Pasal 343 Ned. Sv. misalanya diberikan

2. Keterangi ahli

79

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 118.

80

Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 43. 81

(25)

definisi apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai berikut: “Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.82

a. Keterangan diberikan kepada ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah :

‘keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu :

b. Memiliki kaahlian khusus dalam bidang tertentu c. Menurut pemgetahuan dalam bidang keahliannya d. Diberikan dibawah sumpah83

Seorang ahli tidak selalu ditentukan oleh adanya pendidikan formal khusus untuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forenksi, tetapi pada pengalaman atau bidang pekerjaan tertentu yang ditekuninya selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam bidang khusus tersebut.Misalnya, keahlian diibidang kunci, pertukangan dll.Hakimlah yang

82

Andi Hamza, Hukum Acara Pidan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 268. 83

(26)

menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya.84Dan seorang ahli yang disidik oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara, bila merasa dirinya tidak mempunyai keahlian khusus wajib mengundurkan diri.Dalam praktek untuk menjadi seorang ahli adalah pendidikan formal yang menjadi ukurannya.85

Menurut Pitlo 3. Alat bukti surat

86

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dubuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian yang didengar, dilihat atau yang

, suatu surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan yang dicantumkannya tanda bacaan ini diatas kertas, karton, kayu atau kain adalah tidak penting.Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Tidak termasuk dalam kata surat foto dan peta dan barang-barang yang tidak memuat tanda bacaan.

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah. Pada KUHAP secara substansial tentang bukti “surat” ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

84

Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 67.

85

Martiman Prodjohadmijojo, Op. Cit. hlm. 121

86

(27)

dialaminya sendiri, desertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.87

Suatu yang dimaksud dalam huruf a ini misalnya, akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang dibuat oleh atau diahadapan notaris berupa partijakte. Juga akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akte ambtelijk) seperti berita acara penyitaan yang dibuat oleh penyidik.

Surat disebut pada huruf b, adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata laksana (administrasi) yang menjadi tugas pejabat umum tersebut. Misalnya untuk membuktikan adanya perkawinan disebut surat nikah, untuk membuktikan adanya kematian disebut akta

87

(28)

kematian, untuk membuktikan sebagai penduduk disebut dengan kartu tanda penduduk (KTP).

Surat yang disebut pada huruf c, adalah surat yang dibuat oleh seorang ahli yang isinya berupa pendapat mengenai hal tertentu dalam bidang keahliannya itu yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan secara resmi. Contohnya, suratvisum et repertum yang dibuat oleh dokter untuk memenuhi permintaan penyidik dalam upaya mengumpulkan alat bukti suatu perkara penganiayaan atau pembunuhan.

Sedangkan surat lain yang dimaksud huruf d, sebenarnya bukan surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi surat biasa, yang bukan akta dimaksud dalam huruf a, b, dan c. surat ini dibuat bukan untuk membuktikan tentang keadaan atau kejadian tertentu, tetapi pada suatu saat diperlukan untuk membuktikan keadaan atau kejadian tertentu. Misalnya sebuah surat dari lelaki hidung belang pada pacarnya yang isinya permintaan maaf atas perbuatannya yang memaksa pacarnya itu untuk melayani nafsu syahwatnya, sehingga pecarnya itu kehilangan kegadisannya. Sehingga surat ini dapat digunakan untuk membuktikan adanya perbuatan memaksa gadis itu untuk bersetubuh dengan lelaki tiu. Surat yang disebut dalam huruf d ini hanya mengandung nilai pembuktian apabila isi surat iitu ada hubungannya dengan isi dari alat bukti yang lain.88

88

(29)

4. Alat bukti petunjuk

Apabila dibandingkan dengan alat bukti yang lain dalam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim hal itu nampak dari batasannya dalam ketentuan Pasal 188 (1) yang menyatakan bahwa “petunjuk” adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena, persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan89

Menurut Wiryono Projodikoro,90

Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri.

apa yang disebut sebagai petunjuk sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Martiman prodjohamidjojo, Op. Cit. hlm. 129. 91

Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara PIdana

(30)

bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi.Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum.

Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.Dengan demikian, keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai sebagai alat bukti.

Ad.b. Surat dakwaan/catatan dakwaan

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai batasan tentang apa yang dimaksud surat dakwaan. Meskipun demikian A. Karim Nasutian dalam bukunya Surat Tuduhan memberikan batasan surat dakwaan sebagai berikut :92

Dari rumusan tersebut dapat dlihat bahwa surat dakwaan dibuat penuntut umum berdasarkan berita acara pemeriksaan pendahuluan. Dari berita acara pemeriksaan ini dibuat rumusan tindak pidana yang didakwakan.Hakim pada “Tuduhan adalah suatu surat atau akte yang membuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan”.

92

(31)

prinsipnya tidak dapat memeriksa dan mengadili keluar dari lingkup yang didakwakan.

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP).Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).93

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka (syarat formal);

Pasal dimaksud (Pasal 143 ayat (2)) menyebutkan, penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi :

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan (syarat materi).94

Perumusan dakwaan yang didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, alternatif, kumulatif, maupun subsidair.Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja.Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif.

Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Dakwaan alternatif disusun apabila penuntut

93

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hlm..125

94

(32)

umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti.

Dalam praktik dakwaan alternatif tidak dibedakan dengan dakwaan subsidair karena pada umumnya dakwaan alternatif disusun penuntut umum menurut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dakwaan penuntut umum sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan.95

Selain dari saksi ada hal lain yang penting juga bagi peralatan untuk mengejar kebenaran, yaitu barang-barang bukti. Maka dari isi Pasal 281 HIR menentukan, bahwa hakim harus memperlihatkan kepada terdakwa dan saksi segala barang bukti, dengan menanyakan, kenalkah terdakwa atau saksi akan barang-barang itu. Kalau pertanyaan ini dijawab ya, maka jika perlu hakim melanjutkan hal tanya jawab tentang segala sesuatu mengenai barang-barang itu agar ditambahkan bahan-bahan untuk menemukan kebenaran.

Ad.c. Barang bukti

96

Pengertian barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan yang meliputi97

a) Benda tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

95

Rusli Muhammad, Loc. Cit. 96

R. Wiryono Prodjadikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1983), hlm. 106.

97

(33)

b) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

d) Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.98

Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa.Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang tindak pidana.Apabila ternyata Ad.d. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan

Pasal-Pasal dalam Undang-Undang tindak pidana Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa.

98

(34)

perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.99

Pada pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim. Pengertian kebebasan memberi keterangan dalam penjelasan pasal demi pasal diberikan sebagai berikut: Supaya pemeriksaan mendapatkan hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.

Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.Keseluruhan putusan hakim yang diteliti oleh penulis, memuat pertimbangan tentang pasal-pasal dalam undang-undang yang dilanggar oleh terdakwa.Tidak ada satu putusan pun yang mengabaikannya.Hal ini dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di persidangan menjadi fakta hukum.

100

99

Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Padana 100

(35)

2. Pertimbangan Non Yuridis

Apabila dilihat dari segi sipelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang mendorong untuk melakukan korupsi antara lain: kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang tersebut malakukan korupsi tersebut juga tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi mungkin juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian manajemen yang ada sudah sangat bagus dalam korupsi seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dari dalam diri sendiri, yaitu sifat-sifat tamak, serakah, sombong, takabur, rakus yang memang ada pada manusia tersebut.101

Korupsi yang telah merajalela mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.Kekayaan negara yang dikorupsi sangat besar. Hal ini berarti, jika tidak terjadi korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan melalui APBN dapat meningkat, dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat

101

(36)

mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional. Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat bangsa Indonesia di dunia internasional.

Predikat Indonesia sebagai negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat mamalukan.Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem ayem, tebal muka dan tidak memiliki rasa malu sehingga membiarkan praktek korupsi semakin menjadi-jadi.

Selain kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi.Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang korup akan membebani sektor swasta dengan urusan-urusan yang luar biasa berat. Ditunjukan oleh Jeremy Pope bahwa di Ukraina pada tahun 1994 perusahaan-perusahaan yang disurvei melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28% dari waktu kerja semata-mata untuk berurusan dengan pemerintah dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 37%. Jika tidak ada langkah-langkah dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas korupsi, maka upaya pemerintah untuk menarik investor asing menanamkan investasinya di Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara menghabiskan uang miliaran rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.102

102

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 53.

(37)

Shang-Jin-Wei , guru besar pada Kennedy School of Government, Harvard University yang dikutip oleh Jeremy Pope menunjukkan bahwa kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu negara penerima investasi akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal perusahaan asing.103

Menurut Juniadi soewartojo, dampak korupsi terhadap perekonomian dan pembangunan nasional umumnya dipandang negative. Dengan korupsi akan berakibat pemborosan keuangan/kekayaan negara, juga swasta yang tidak terkendali penggunaannya karena berada ditangan pelakunya yang besar kemungkinannya disalurkan untuk keperluan-keperluan yang bersifat konsuntif. Korupsi dapat menghambat pula pertumbuhan dan pengembangan wiraswasta yang sehat dan disamping itu tenaga professional kurang atau tidak dimanfaatkan padahal potensial bagi pertumbuhan ekonomi.104

Di samping dampak tersebut, Alatas (1987) mengemukakan enampengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai bentuk ketidak adilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalammemberikan pelayanan publik, dan (6) menaikkan biaya pelayanan.105

103

Ibid. hlm. 55. 104

Surachmin dab Suhandi Cahaya, Op. Cit. hlm. 86. 105

Alatas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 19

(38)

digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan raib menjadi milik pribadi dan memperkaya segelintir orang.Kemampuan memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan manusiawi menjadi berkurang.Sementara puluhan juta rakyat menjerit kesusahan dan mengharpkan uluran tangan dari pemerintah.Dengan demikian korupsi secara langsung atau tidak langsung menghambat kemajuan bangsa dan negara serta semakin memperparah kemiskinan.

Membiarkan korupsi merajalela berarti membiarkan kejahatan menggerogoti dan menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak dan hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.Dengan membiarkan korupsi berarti pula membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan kemiskinan.

C. Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Putusan Bebas (vrisjprsaak)

Secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan istilah “vrisjprsaak” sedangkan dalam rumpun Anglo Saxon disebut putusan ‘acquittal” pada asasnya esensi putusan bebas tejadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan.106

Dalam praktik putusan bebas yang lazim disebut acquittal, yang berarti terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tidak terbukti

106

(39)

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau juga dapat disebut terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 91 ayat (1) KUHAP, putusan bebas tehadap pelaku tindak pidana korupsi atau tindak pidana pada umunya dapat dijatuhkan karena :

1. Dari pemeriksaan sidang pengadilan

2. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan107

a. Ketiadaan seperti ditentukan asas minimum pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut dalam KUHAP. Pada prinsipnya majelis hakim dalam persidangan tidak Adapun penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang dimakmud perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup bukti menurut pertimbangan hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Secara yuridis dapat disimpulkan bahwa putusan bebas dapat diambil oleh majelis hakim apabila setelah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan bahwa:

107

(40)

dapat cukup membuktikan kesalahan terdakwa serta hakim tidak yakin terhadap kesalah tersebut;

b. Majelis hakim berpandangan terhadap asas minimum pembuktian yang ditetapkan oleh undang-ungdang telah dipenuhi, misalnya berupa adanya dua orang saksi atau adanya petunjuk, tetapi majelis hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

Jika ditelaah dari aspek teoritis, hakikatnya bentuk-bentuk putusan “bebas/vrijspraak” dikenal adanya beberapa bentuk, yaitu:

1. Pembebasan murni atau deonzuivere vrijspraakm” dimana hakim membenarkan mengenai “feiten”nya (na alle noodzakelijke voorbelissingen met juistheid te hebben genomen).

2. Pembebasan tidak murni atau de “onzuivere vrijspraak” dalam hal “bedekte nietigheid van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara terselubung) atau “perampasan yang menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan.

3. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan atau de vrijspraak op grond doelmatigheid overwegingen” bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya (berustend op de overweging date en eind gemaakt moet worden aan een noodzakelijk op niets uitlopende, vervolging).

(41)

“pelepasan dari tuntutan hukum”, padahal menuru HR putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni”.108

2. Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan (Onslag Van Alle Rechtsvervolging)

Apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP) karena perbuatan tersebut merupakan ruang lingkup hukum perdata, adat, dagang atau adanya alasan pemaaf (straffuitsluttingsgronden/feit de excause) dan alasan pembenar (rechtsvaardingings-grond) sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP, Pasal 48, 49, 50 dan 51 IKUHP.109

a. Detinjau dari segi pembuktian

Apabila dibandingkan antara putusan bebas dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, dapat ditinjau dari beberapa segi antara lain:

Pada putusan pembebasan, perbuatan tindakan pidana yang didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan.Jadi tidak memenuhi asas pembuktian menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHP. Lain halnya dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai dari segi pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang terbukti tadi “tidak merupakan pidana”.Tidak ada diatur

108

Ibid. hlm. 61 dan 179. 109

(42)

dan tidak termasuk dalam ruang lingkup pidana, tetapi mungkin termasuk dalam hukum perdata, hukum dagang dan hukum adat.

b. Ditinjau dari segi penuntutan

(43)

3. Putusan Pemidanaan (verorrdeling)

Putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dapat terjadi apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan maka majelis hakim akan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Pengadilan dalam menjatuhakan putusan pemidanaan, jika terhadap terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat deperintahkan oleh majelis hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana yang dilakukan diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabilan terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2) KUHAP).

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

a. Pidana mati

(44)

dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan udang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter)

b. Pidana penjara

1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singakat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara. (Pasal 2 ayat (1))

2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara pailing singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perokonomian negara (Pasal 3)110

110

(45)

3) Pidana penjara seumur hidup dan/atau pidana penjara pidana 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 12).

4) Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 5)

5) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima (belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 6)

(46)

dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 7)

Dan seterusnya dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23, Pasal 24, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. c. Pidana tambahan

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau bergerak tidak bergerak yang digunakan untuk dan diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pulan dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat deberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

(47)

lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.111

111

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Terdapat hubungan yang positif dan berarti antara kecerdasan emosional dengan hasil belajar fisika teknik siswa kelas X kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan SMK

Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, tes, wawancara, dan dokumentasi.Teknisanalisis

[r]

[r]

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur,