• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK - Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK - Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK

Pada bab ini peneliti akan mencoba mendeskripsikan sejarah dan perkembangan hak sipil dan politik dari awal dan perkembangannya sampai di Indonesia. Dan untuk menjelaskan adanya pelanggaran hak sipil hak politik peneliti akan mencoba memberikan gambaran atau profil ke 23 aktivis pro demokrasi, baik yang sempat dinyatakan hilang dan sudah kembali maupun yang sampai saat ini masih dinyatakan hilang. Bagaimana aktivitas politik para aktivis tersebut dan selama dalam penyekapan apa yang terjadi kepada mereka.

Di akhir bab ini peneliti juga akan mencoba menjelaskan profil Tim Mawar, anggota Kopassus yang terbukti melakukan penculikan terhadap terhadap aktivis pro demokrasi 1997 – 1998. Meskipun dalam persidangan Tim Mawar hanya terbukti melakukan penculikan terhadap 9 aktivis yang sudah dikembalikan. Dalam bab ini akan

didapatkan gambaran bagaimana pemerintahan pada masa orde baru rentan terhadap pelanggaran hak sipil dan politik warga negara.

2.1 Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Politik

(2)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS) telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia. Sehingga dengan demikian, negara yakni pemerintah harus menjalankan kewajiban-kewajibannya menurut Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.

Di sisi lain, setiap orang yang hidup dan tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan, kesempatan dan perlindungan yang

sebesar-besarnya untuk dapat menikmati hak-hak asasinya, sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.39

Setelah ditemukan, pengakuan HAM harus melalui berbagai tahapan untuk kemudian dimodifikasi. Modifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Jika Magna Charta, tahun 1215 dianggap sebagai tonggak kelahiran HAM (yang diyakini oleh pakar Eropa), maka betapa panjang dan lama proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai dimodifikasi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Penghormatan, kesempatan, dan perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik ataupun pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya. HAM terbentuk dari rangkaian panjang kehidupan umat manusia, dan perkembangannya belum berakhir, bahkan terus berputar dan bergulir seiring dengan dinamika perkembangan zaman serta peradaban manusia itu sendiri. Terjadinya penindasan, penjajahan dan kesewenang-wenangan merupakan awal pembuka kesadaran manusia tentang konsep HAM. Sehingga patutlah jika dikatakan, sejarah HAM adalah sejarah korban. Pada awal mulanya para korban-korban itulah yang menemukan dan memperjuangkan hak-haknya.

40

39

40

Idhal Kashim, Hak – Hak Sipil dan Politik : Esai – Esai Pilihan, Jakarta, 2001, Elsam, hlm 1

(3)

secara sederhana dibagi menjadi 4 periode waktu, yakni; zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan orde lama (1946-1966), masa orde baru (1966-1998), dan masa reformasi (1998-sekarang). Fokus perjuangan penegakan HAM di zaman penjajahan adalah mewujudkan kemerdekaan agar terbebas dari imperialisme dan kolonialisme, pada masa orde lama adalah mewujudkan demokrasi, masa orde baru adalah perjuangan hak sipil dan politik, dan masa reformasi perjuangan mulai

menjangkau aspek lebih luas terutama hak ekonomi, sosial dan budaya. 41

Pada masa rezim Orde Baru, selama sepuluh tahun, paling tidak ada 4 (empat)

produk hukum yang menunjukkan kepedulian negara pada Hak Sipil dan Politik yaitu, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970), UU Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), UU Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden pengesahan Konvensi Hak Anak. Di luar 4 (empat) produk hukum ini, rezim Orde Baru terus memproduksi berbagai UU dan peraturan perundangan yang melanggar Hak Sipil dan Politik, misalnya, UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Kemasyarakatan, Kebijakan Litsus (Penelitian khusus) untuk menyingkirkan orang-orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan PKI, dan sebagainya, di samping itu pemerintah tetap mempertahankan dan secara intensif dan ekstensif menggunakan UU Anti Subversif, pasal-pasal anti Hak Sipil dan Politik yang termuat dalam KUHP untuk melemahkan para aktivis pro-demokrasi.42

Akan tetapi setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM mulai hilang, ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Pemerintahan di Orde Baru seringkali melakukan tindakan – tindakan yang melanggar HAM, termasuk penghilangan orang secara paksa, sekalipun pada tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

41

Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005, hlm 49.

42

(4)

HAM), tapi dalam realisasinya Komnas HAM tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan tugasnya, hanya terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.43

Sejak Orde Reformasi yang resmi ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan otoriternya selama 32 tahun pada bulan Mei tahun 1998, lahirlah berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi Hak-hak Sipil dan Politik

Indonesia, antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjukrasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU

Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, UU Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, UU Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD 1945.

Hal tersebut juga otomatis melemahkan hak sipil dan politik masyarakat.

44

Dapat kita lihat pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dimana tahanan politik dibebaskan, dipercepatnya diadakan pemilihan umum, dan sebagainya yang membuat perlindungan hak sipil politik mendapat tempat yang cukup baik. Pada masa pemerintahan Gus Dur, adanya juga pembebasan tahanan politik, reformasi TNI – Polri, dan adanya pengusutan kasus HAM masa lalu membuat perlindungan hak sipil politik mengalami kemajuan. Memasuki pemerintahan Megawati adanya pembentukan lembaga negara yang independen seperti KPU, MK, dan KPK. Dan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada kemajuan yang berarti dalam perlindungan hak sipil politik. Belum adanya kepastian hukum dan belum adanya keadilan bagi korban terhadap kasus – kasus pelanggaran hak sipil politik masa lalu.

Dengan demikian HAM tidak lagi semata-mata hak moral dan hak atas dasar UU. Tapi HAM sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang mesti di patuhi oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.

43

Muladi, op.cit; hlm 50.

44

(5)

Tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak sipil politik di masa lalu.

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 –

1998

Berikut ini adalah profil dan gambaran aktifitas politik masing – masing korban kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 :

2.2.1. Yani Afri (Ryan)

Yani Afri atau biasa dipanggil Ryan, hilang sejak 26 Mei 1997. Pemuda yang dilahirkan pada tanggal 27 April 1971 itu adalah sopir angkutan umum yang juga anggota PDI pro –Megawati. Saat kampanye pemilu 1997, ia menunjukkan keberpihakkannya pada Megawati. Pada tanggal 23 April 1997, sejumlah aparat berseragam dari Komando Distrik Jakarta Utara mendatangi tempat tinggalnya di Rumah Susun Tanah Abang, Blok 36, Lantai 3. Mereka lalu membawa Ryan bersama rekannya, Sony ke kantor Kodim tersebut. Ryan ditahan disana dan hingga hari ini Ryan belum juga pulang. Sebelum hilang, ia bertempat tinggal di Rumah Susun Tanah Abang, Blok 36 lantai 3 Jakarta.45

2.2.2. Dedy Hamdun

Dedy Umar Hamdun, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dedy Hamdun aktif dalam aksi-aksi Mega Bintang Rakyat (MBR) menjelang Pemilu 1997. Dedi Hamdun dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998, bersama rekannya Noval Alkatiri dan Ismail, supir Dedi Hamdun dan mereka belum

kembali sampai sekarang.46

45

Wawancara dengan Adi, Ketua IKOHI Sumatera Utara yang dilakukan pada 10 Juni 2013

46

(6)

Dedy Hamdun ketika itu baru menghantarkan isterinya, Eva Arnas ke Rumah Sakit Bersalin Bunda di Jakarta Pusat. Diduga Dedy Hamdun diculik karena aktivitasnya mendukung kampanye PPP dalam pemilu 1997. Namun ada yang menduga juga dia dihabisi oleh saingan bisnisnya karena saingan masalah tanah. Tetapi dugaan tersebut dapat dibantah, karena ternyata Dedy Hamdun disekap bersama aktivis lainnya.

2.2.3. Ismail

Ismail, sopir dari Dedy hamdun yang lahir di Jakarta, dia diculik karena saat itu korban mengetahui tentang penculikan Dedy Hamdun dan Noval Alkatiri. Hal ini

berdasarkan aktivitas korban yang sama sekali tidak bersentuhan dengan konteks politik saat itu. Ia dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998 dan belum kembali sampai sekarang.47

2.2.4. Noval Alkatiri

Noval Alkatiri, pengusaha kelahiran 25 Mei 1967 akrab dengan panggilan Noval yang bertempat tinggal di Kebon Baru Tebet, Jakarta Selatan adalah pendukung berat Megawati pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Dia diculik bersama dengan Dedy Hamdun dan Ismail, sopirnya ketika baru saja menghantarkan Dedy Hamdun bersama istrinya ke Rumah Sakit Bersalin Bunda di Jakarta Pusat. Noval pun sempat bertemu dengan Sony dan Yani Afri di tempat penyekapan. Kemudian hal tersebut diceritakan oleh Sony kepada Pius (salah satu korban penculikan yang telah dibebaskan). Ia dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998 dan belum kembali sampai sekarang.48

2.2.5. Sonny49

Sonny adalah rekan Yani Afri sebagai sesama sopir dan pendukung PDI Megawati. Di PDI, ia termasuk fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Jakarta Utara. Sonny ditangkap bersama dengan Yani Afri. Pius Lustrilanang, aktivis yang juga diculik namun sudah dilepaskan, mengatakan bahwa dalam penyekapan ia sempat

47

Ibid;

48

Ibid;

49

(7)

berkomunikasi antar sel dengan Sonny walaupun tidak bisa bertatap muka. Dari komunikasi tersebut terungkap bahwa Sonny ditangkap oleh aparat bersama dengan Yani Afri dan mereka sempat di tahan di Kodim Priok kemudian dibebaskan oleh aparat Kodim, kemudian beberapa saat ditangkap lagi oleh sekelompok orang .

Sonny, menurut pengakuannya kepada Pius, sempat melawan dan berpegangan kepada Kodim. Tetapi kemudian dia tidak dapat menahan pegangannya sehingga

berhasil diculik. Sewaktu Pius masih disekap, Sony dan Yani dilepas. Itulah informasi terakhir tentang Sonny sebelum ia menghilang. Sonny dilaporkan hilang pada tanggal

26 Mei 1997 dan hingga kini Sonny belum kembali.

2.2.6. Petrus Bima Anugrah50

Petrus Bima Anugerah, biasa dipanggil Bimpet, lahir di Malang 24 September 1973. Ia tercatat sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, juga aktif dalam beberapa kegiatan politik seperti di Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) sebagai pengurus pusat dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Petrus sejak belia memang sudah terasah untuk berpihak kepada orang miskin. Diapun aktif berorganisasi semenjak SMA dan gemar membaca buku-buku politik. Maka tidak mengherankan, jika tak lama kemudian ia memutuskan untuk bergabung dengan KBM (kelompok Belajar Mentari) yang salah seorang pendirinya adalah Herman Hendrawan. Di KBM, ketajaman analisisnya makin terasah dengan banyak mengkaji teori kiri. Ia belajar tentang ekonomi politik dunia ke III, filsafat dan teori gerakan buruh dan mahasiswa. KBM pun kemudian bertransformasi lebih lanjut menjadi KMUA (Keluarga Mahasiswa Universitas Airlangga), yang kemudian memperlebar sayap dengan melakukan aksi turun ke jalan.

Pada tengah malam di bulan Maret 1997, Petrus di tangkap bersama Herni Sualang dan Ilhamsyah. Polisi mendapati segepok selebaran didalam tas mereka. Saat

50

(8)

itu memang sedang maraknya aksi-aksi Mega Bintang. Selama 4 bulan mereka bertiga harus mendekam di penjara Polda Metro Jaya. Setelah keluar dari Polda, pada bulan Juni, ia pulang sebentar ke Malang dan tak lama kemudian kembali lagi ke Jakarta untuk menjalani aktivitas politiknya.

Kegelisahan karena ditangkapnya kawan – kawan Petrus pada peristiwa 27 Juli, mendorongnya kembali lagi ke Jakarta. Pada November 1997, Petrus sempat berkirim

surat kepada orang tuanya dan mengatakan bahwa ia akan pulang ke Malang pada natal 1997. Namun sekitar seminggu atau dua minggu, kemudian dia mengatakan tidak jadi

pulang karena sedang sibuk. Kemudian dia mengatakan akan pulang pada paskah 1998, yang jatuh pada bulan April 1998, namun hal itu pun tidak pernah terlaksana. Pada tanggal 28 Maret 1998, Petrus menelepon dan itu adalah telepon terakhir darinya yang diterima oleh orang tuanya. Menurut pengakuan Jati dan Reza, selama dalam penyekapan, pertanyaan –pertanyaan tentang Petrus cukup sering mencecar. Masuk akal kalau kemudian disimpulkan, Petrus menjadi salah satu target penculikan berikutnya. Hingga saat ini Petrus belum kembali.

2.2.7. Herman Hendrawan51

Herman Hendrawan, pria kelahiran Pangkal Pinang 29 Mei 1971 adalah mahasiswa Universitas Negeri di Surabaya (UNAIR). Herman tercatat sebagai mahasiswa jurusan politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Alangga Surabaya tahun 1990. Jurusan politik diambilnya karena dia sangat dipengaruhi perjuangan Soekarno yang menjadikan politik sebagai alat pembebasan, persatuan, persaudaraan dan menentang segala jenis penindasan.

Ia kemudian bergabung ke dalam SMID (Solidaritas mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan PRD. Dalam berbagai aksi SMID, Herman tidak hanya piawai dalam persiapan teknis. Ia juga merupakan orator utama dalam propaganda. Keahliannya berorasi dan juga ditunjukan di panggung demokrasi di kantor DPP PDI

Megawati sebelum penyerbuan 27 Juli 1996. Beberapa kali ia naik kepanggung untuk

51

(9)

berorasi menjelaskan bahwa persoalan PDI bukan konflik internal, tapi perlawanan terhadap kekuatan Militer dan Orde Baru. Ia menyerukan perlunya aksi masa untuk melawannya. Ketika SMID secara organisasi mulai melakukan pengorganisiran terhadap mahasiswa untuk merespon dinamika perlawanan kaum buruh, Herman menunjukkan perhatiannya pada perjuangan kaum buruh.

Pada 28 Juli 1996, satu hari setelah penyerbuan kantor DPP PDI Megawati, di

Jalan Diponegoro Jakarta, Herman memimpin aksi masa yang diikuti oleh ribuan masa PDI Megawati dan rakyat Surabaya. Ini adalah aksi terakhir Herman di Surabaya

bersama pendukung Megawati, karena keesokan harinya PRD, resmi dituduh sebagai dalang kerusuhan oleh Menkopolkam Soesilo Soedirman, dan Herman memenuhi instruksi Partai untuk masuk ke Jakarta. Di Surabaya sendiri ia menjadi buronan nomor satu saat itu, karena posisinya sebagai ketua PRD, cabang Surabaya, dan memang sudah lama diincar oleh aparat Militer. Para aktivis PRD Surabaya dan ormas-ormasnya yang ditangkapi dan di siksa oleh Bakorstanasda Kodam Brawijaya, selalu ditanyai dimana Herman dan apa hubungan PRD dengan Sucipto, ketua PDI Pro Mega di Jawa Timur. Pius Lustrilanang sempat berkomunikasi dengan Herman ditempat penyekapan. Kepada Pius, Herman mengaku diculik di RSCM pada 12 Maret 1998, hingga sekarang Herman belum kembali.

2.2.8. Suyat52

Suyat terlahir 1 Oktober 1975 di Sragen Jawa Tengah. Terakhir, selain tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik di Universitas Slamet Riadi (UNSRI) Solo, dia aktif dalam kegiatan PRD dan juga merupakan anggota SMID cabang Solo. Suyat diculik pada tanggal 12 Februari 1998, dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Usai pemilu 1997, Suyat bersama kawan-kawan PRD dan simpatisan PDI Megawati berinisiatif membentuk Komite Nasional Pemuda Untuk Demokrasi (KNPD ) dan duduk sebagai salah seorang pengurus bersama beberapa

korban penculikan lainnya seperti Herman dan Petrus Bima Anugrah. Selain melakukan

52

(10)

propaganda anti kediktatoran, KNPD juga menjadi alat menggalang kekuatan persatuan antara mahasiswa, buruh, kaum miskin kota dan petani. Menjelang sidang umum MPR, Maret 1998, KNPD membentuk Dewan Penyelamat Kedaulatan Rakyat DPKR yang dideklarasikan di YLBHI, Jakarta. Suyat masih terlihat hadir dalam deklarasi ini bersama Herman yang kemudian juga di culik.

Pada 12 Februari 1998, sekitar pukul 02.00 dini hari, puluhan Polisi dan Intel

yang mengaku dari Polres Sragen mendatangi rumah Suyat di desa Banjar sari. Mereka menanyakan keberadaan Suyat dan memeriksa semua ruangan didalam rumah. Tetapi

Suyat tidak mereka temukan di dalam rumah. Karena memang Suyat jarang pulang ke rumah. Apalagi sejak peristiwa 27 Juli 1996, dimana PRD dan SMID dituduh sebagai dalang kerusuhan dan resmi menjadi organisasi terlarang, justru Suyatno, kakak Suyat yang ditangkap karena wajahnya mirip Suyat.

2.2.9. Wiji Thukul

Dikenal sebagai penulis puisi revolusioner karena hampir semua puisinya berisi protes dan kritikan tajam terhadap kediktatoran rejim orba. Wiji Thukul lahir di Surakarta pada 3 November 1967 juga menciptakan lukisan cukil kayu dan merupakan seorang organizer rakyat yang militan. Aktivitasnya sebagai aktivis anti kediktatoran menghantarkannya untuk membangun Jakker (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat) yang berafiliasi kepada PRD dan melakukan pengorganisasian rakyat.

(11)

Setelah kerusuhan 27 Juli 1996, Wiji Thukul menghilang karena menyelamatkan diri karena PRD dianggap sebagai dalang kerusuhan dan tidak berkordinasi dengan teman – temannya. Tahun 1997 puisi-puisinya ditemukan diinternet, tetapi dia tidak menyebutkan dimana keberadaannya. Baru menjelang pemilu 1997, Thukul kembali

dari Kalimantan dan diminta membantu kawan – kawannya di Jakarta.53 Pada November 1997, Thukul meminta izin untuk pulang ke Solo dan berjanji akan menghubungi kembali kawan - kawannnya seminggu kemudian. Selama menjadi orang yang diburu pemerintah, dia bersembunyi dengan cara berpindah – pindah tempat dan melakukan penyamaran, dibantu oleh teman – teman dan keluarganya. Selama dalam persembunyiannya, dia tetap menuliskan banyak puisi yang menentang rejim orde baru. Dan pada saat kerusuhan Mei 1998, terakhir kalinya dia diketahui menghubungi istrinya, Sipon dan mengakui berada di Jakarta. Sejak itu, tidak ada kabar dari Thukul lagi. 54

2.2.10.Yadin Muhidin55

Yadin Muhidin lahir di Jakarta 11 September 1976. Setelah lulus Sekolah pelayaran langsung mengikuti ujian untuk masuk kerja di pelayaran. Ia bukan pemuda

yang aktif dalam aktifitas politik. Pada tanggal 14 Mei 1998, sekitar Pukul 11.00, Yadin pergi dari rumah untuk menonton kejadian di Grya Inti, Sunter Agung. Karena saat itu Grya sedang terbakar akibat kerusuhan Mei di Jakarta dia pulang sekitar pukul 12.00 untuk sholat dan berangkat lagi pukul 13.00 bersama Imam. Tetapi hingga magrib Yadin tidak pulang. Pada tanggal 16 Mei sekitar pukul 12 Ayah Yadin datang ke Polres Gorontalo, Tanjung Priok. Dalam daftar nama pemeriksaan, terdapat nama Yadin disana. Tetapi pengakuan mereka Yadin telah dilepaskan. Menurut Polres Yadin dilepaskan pada tanggal 15 Mei malam. Tapi belum kembali hingga saat ini.

53

Wawancara dengan Adi, Ketua IKOHI Sumatera Utara yang dilakukan pada 10 Juni 2013

54

Tempo, op.cit; Hal 68

55

(12)

2.2.11. Ucok Munandar Siahaan56

Ucok Munandar Siahaan lahir pada 17 Mei 1976 di Jakarta, ia beralamat di jalan Taufiq Rahman Beji Timur Depok. Ia adalah mahasiswa di STIE Perbanas. Pada tanggal 13 Mei 1998 malam, teman Ucok yang bernama Siagian menelpon kerumah dan tidak lama kemudian Ucok bilang kepada orang tuanya mau pergi. Dia sempat dipesankan agar cepat pulang. Pada tanggal 14 Mei sekitar pukul 14.00, Ucok sempat

menelpon kerumah dan mengatakan agar menutup pintu rumah karena di Ciputat sudah terjadi pembakaran. Namun tanggal 15 teman Ucok kembali menelpon mencari Ucok,

namun orang tua Ucok kebingungan karena seharusnya Ucok bersama temannya tersebut. Setelah 4 bulan lamanya Ucok menghilang, ada beberapa telpon gelap yang selalu menelpon kerumah orang tua ucok. Telpon tersebut berlangsung selama kurang lebih setahun. Ucok dinyatakan hilang pada tanggal 14 mei 1998.

2.2.12.Abdun Nasser

Abdun Nasser adalah seorang kontraktor yang dinyatakan hilang saat adanya kerusuhan besar pada 14 Mei 1998 di Glodok, Jakarta.

2.2.13.Hendra Hambali

Hendra Hambali, seorang siswa SMA yang hilang pada saat kerusuhan 15 Mei 1998 di Jakarta.

2.2.14.Leonardus “Gilang” Nugroho57

Leonardus Nugroho alias Gilang alias Tarzan, menjadi salah satu aktivis yang setia dan giat dalam gerakan masa sejak 1994 di Solo. Ia hanyalah seorang pelajar SMA yang dropout yang kemudian menjadi pengamen dari satu bus ke bus yang lain dengan muara di terminal Tirtonadi Solo. Dari aktivitas ngamen tersebut, kemudian ia bersentuhan dengan mahasiswa SMID dan ikut melaksanakan diskusi dan akhirnya

terjun langsung membantu aktivitas mahasiswa yang aktif dalam gerakan perlawanan

56

Ibid;

57

(13)

mahasiswa di Solo. Selanjutnya lahirlah Serikat Pengamen Solo (SPS) yang akhirnya selalu terlibat dalam aksi mahasiswa dan rakyat di Solo.

Pada saat masa menduduki balai kota Surakarta, tanggal 20-21 Mei 1998, Gilang juga terlihat ada disana. Setelah aksi tersebut, Gilang sempat pulang kerumah orang tuanya di Petoran Jebres Solo. Gilang minta izin untuk pergi ke Madiun selama 2 hari bersama temannya yang akan memberikan pekerjaan disana. Gilang tidak memberi tahu

siapa nama temannya, dan dia hanya menunjukan uang Rp 30.000,- untuk ongkos ke Madiun, uang itu hasil dari dia mengamen.

Setelah dua hari tidak ada kabar dari Gilang, keluarga melaporkan hal tersebut kepada aktivis mahasiswa. Ternyata berita duka kemudian muncul, pada tanggal 23 Mei 1998, ditemukan sosok mayat tak dikenal di Jalan tembus Tawangmangun Madiun, Sarangan, kabupaten Magetan. Kemudian karena tidak ada keluarga yang datang maka oleh pihak Polisi, mayat tersebut di kuburkan. Setelah itu keluarga baru mengetahui jika mayat tersebut adalah mayat Gilang dari ciri foto yang diberikan.

2.2.15.Andi Arief

Andi Arief adalah bekas aktivis mahasiswa yang dikenal SBY sejak menjabat Komandan Resor Militer 072/Pamungkas di Yogyakarta pada tahun 1995. Andi Arief saat itu berkuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Andi Arief aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, mulai dari kelompok studi, pers mahasiswa sampai senat mahasiswa. Andi Arief adalah Ketua Senat Mahasiswa Fisip UGM 1993-1994 dan Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Fisipol 1994-1995.58

Saat menjadi Ketua Senat itu, Andi Arief bersama sejumlah aktivis mahasiswa termasuk dua orang rekannya yang belakangan juga staf khusus Presiden, Velix Wanggai dan Denny Indrayana, membentuk Komite Penegak Hak Politik Mahasiswa (Tegaklima). Velix yang kuliah di jurusan Hubungan Internasional itu kemudian

58

(14)

menjadi Ketua Senat Fisipol UGM menggantikan Andi. Sementara Denny Indrayana saat itu adalah aktivis pers Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Mahkamah. Tegaklima ini pernah menginterupsi pelantikan lima pembantu rektor UGM pada 26 Oktober 1994 dengan demonstrasi. Dalam demonstrasi yang dipimpin Andi Arief itu, para mahasiswa meminta hak politik untuk ikut memilih dekan dan rektor.

Tahun 1994, Andi Arief memimpin Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk

Demokrasi Cabang Yogyakarta sambil menjadi Dewan Pengurus Persatuan Rakyat Demokratik sebelum menjadi Partai Rakyat Demokratik. Aktivitas Andi Arief terus

meningkat sampai menjadi Ketua Umum SMID pada tahun 1996. Ketika pecah peristiwa 27 Juli 1996, Andi Arief pun dikejar-kejar aparat. Beberapa hari setelah peristiwa ini, di tengah pengejaran itu, Andi Arief menggelar jumpa pers di Yogyakarta. Dia membantah tudingan kerusuhan didalangi SMID, dan semua itu adalah rekayasa Orde Baru. Setelah jumpa pers menghebohkan itu, Andi Arief pun menghilang. Dia dan kawan-kawannya diburu aparat keamanan Orde Baru. PRD dan SMID lalu bergerak di bawah tanah. Pada 28 Maret 1998, segerombolan orang berambut cepak berhasil mencokoknya di sebuah rumah toko di Bandar Lampung. Andi Arief diculik.59

Pada 16 April 1998, Andi Arief diserahkan kepada Mabes Polri dan dimasukkan ke dalam sel, dan pada 20 April 1998 diserahkan ke Polda Metro Jaya dan menjadi tahanan Polda Metro Jaya hingga dibebaskan. Di Polda sempat diperiksa sebanyak tiga kali, yaitu saat kerusuhan tanggal 14 Mei, tanggal 17 Mei dan tanggal 22 Mei. Materi interogasinya secara umum ada empat bagian, pertama tentang ideologi politik, organisasi, dan secara khusus menanyakan soal kekuatan oposisi di Indonesia. Dalam interogasinya mereka ingin mencari taktik dan koordinasi antara kekuatan – kekuatan koalisi oposisi. 60

59

Arfi Bambani Amri, 2009, Andi Arief, dari Bawah Tanah ke Istana 17.20 Wib.

60

(15)

2.2.16. Raharja Waluyo Jati

Raharja Waluyo Jati adalah aktivis SMID/PRD. Ia diculik pada 12 Maret 1998. Ia diculik di RS Cipto Mangunkusumo saat hendak makan siang di sekitar rumah sakit tersebut. Mereka (saat itu ia bersama Faisal Reza, salah satu korban penculikan juga) merasa diikuti oleh orang yang tak dikenal, lalu masuk ke dalam rumah sakit dan disitulah mereka menemui jalan buntu dan akhirnya ditangkap. Raharjo dimasukkan ke

dalam sebuah rumah penyekapan dan kemudian diinterogasi masalah aktivitas politiknya, masalah tempat – tempat yang sering mereka datangi di kawasan Cilincing,

Jakarta. Pada saat diinterogasi pun para penculik tersebut pun mengaku bahwa mereka telah lebih dulu menculik Suyat di Solo.61

Pada Kamis, 23 April 1998 Raharjo diproses untuk persiapan pembebasannya dan dipersiapkan skenario untuk tidak melakukan konfrensi pers dan diminta mengaku bahwa ia hanyalah seorang korban salah culik oleh mafia belakang diskotik di daerah Menteng, Jakarta karena dikira musuh mereka ketika tawuran di diskotik. Raharjo diancam jika melanggar hal itu resikonya seluruh keluarganya akan dihabisi. Pada 24 April 1998, ia diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang berisi untuk tidak menceritakan kepada siapapun tentang apapun yang dia alami selama dalam penyekapan dan tidak akan melakukan aktivitas politik apapun setelah keluar nanti. Jika melanggar, maka ia dan seluruh keluarganya akan mengalami resiko yang terburuk.

Sehari sebelumnya, 11 Maret 1998, Raharjo juga sudah terlebih dahulu diikuti oleh beberapa orang yang tidak dikenal tapi ia berhasil meloloskan diri. Selama dalam penyekapan, Raharjo disiksa dan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan dan jika tidak bisa menjawab, dia akan mendapat pukulan dan tendangan. Materi pertanyaan

seputar aktivitas politik dan mereka berpesan jika ingin melakukan gerakan jangan melakukan gerakan yang merugikan rakyat kecil. Mereka juga bertanya apakah dalam

melakukan pergerakan mereka mendapat suntikan dana dari pihak – pihak tertentu.

61

(16)

Lalu pada 26 April 1998, ia dipulangkan kembali ke Jepara dengan menggunakan bis dari Semarang. 62

2.2.17. Faisal Reza

Faisal Reza diculik pada 12 Maret 1998, di RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta, bersamaan dengan Raharja Waluyo Jati. Faisal merupakan aktivis SMID/PRD. Setelah ia dipulangkan dari penculikan tersebut, ia tetap aktif menjadi aktivis SMID/PRD

sampai tahun 1999. Saat ini aktif di berbagai organisasi politik alternatif. Dan kini, ia menjadi salah satu staf khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.63

2.2.18. Nezar Patria

Nezar Patria. Dilahirkan di Sigli, D.I. Aceh, pada 5 Oktober 1970. Ia lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa Nezar aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996.64

Ia berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru hingga harus menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah penculikan tersebut. Apa yang ia alami

Keterlibatannya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuatnya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya ia memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.

62

Ibid; hlm 139.

63

Wawancara dengan Mugiyanto yang dilakukan via surat elektronik

64Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto,

(17)

pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru. Pada 13 Maret 1998, Nezar dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) diculik di rumah susun mereka, di Rumah Susun Klender. Mereka semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal

menuding PRD sebagai “dalang” peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan

Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila–justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.65

Selama dalam penculikan, Nezar dicecar pertanyaan seputar keberadaan Andi Arief, Waluyo Jati, Faisol Reza, dan aktivis lainnya. Berikut adalah kutipan kesaksian yang dituliskan oleh Nezar Patria dalam sebuah buku yang membahas kekejaman masa orde baru:

66

Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati. Namun PRD atau SMID tak

65

Ibid; hlm 124.

66

(18)

pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.

Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur.

2.2.19.Desmond J. Mahesa

Desmond J. Mahesa lahir di Banjarmasin, 12 Desember 1965, diculik di Jakarta dan saat itu aktif sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta. Desmond J. Mahesa, pernah diculik pada Februari 1998. Kini, ia bergabung dengan Partai Gerindra.67 Sebelumnya, pada 3 Februari 1998, dia sudah dicari delapan orang tidak dikenal di kantornya, dan pada saat itu Desmond tidak ada di tempat. Kemudian pada sore harinya, diperjalanan pulang kantor, Desmond dihadang oleh dua orang bersenjata tajam, dan memaksanya masuk ke dalam mobil dengan keadaan kedua

matanya ditutup, dan dia dibawa ke tempat penyekapan. Di tempat penyekapan, dalam keadaan tangan diborgol, Desmond diinterogasi apakah kenal dengan tokoh-tokoh

seperti Megawati dan Amien Rais.Jawabannya, “Saya mengenal mereka tetapi belum tentu mereka mengenal saya.”68

67

Plasa Msn, 2012, Pernah Diculik Lalu Terjun Ke Politik, http://berita.plasa.msn.com/foto-pernah-diculik-lalu-terjun-ke-politik?page=6 diakses pada 13 Juli 2013 pukul 14.20 Wib

68

Tempo, 1998, Kesaksian Desmond J. Mahesa : “Hanya Allah Yang Menjamin Saya”; hlm. 25.

(19)

Beberapa hari kemudian akhirnya Desmond mengetahui dirinya tidak sendirian di tempat itu. Di kamar lainnya meringkuk saudara Yani Avri yang biasa dipanggil Ryian Sony dan Pius Lustrilanang, yang semuanya ia kenal. Kemudian ditambah lagi dengan saudara Haryanto Taslam. Formasi kamar pun kerap diubah. Awalnya ia berada di kamar no 3, kemudian pindah ke no. 4 dan pindah lagi. Penyiksaan hanya dilakukan hari pertama tadi. Sedangkan hari-hari selanjutnya, Desmond hanya disuruh mencatat

nama-nama orang tua dan teman-teman. Karena takut, ia memberitahukan semuanya. Hingga pada tanggal 1 April 1998, Desmond ditawari beberapa skenario pelepasan.

Skenario pertama, ia bisa dilepas dengan catatan harus datang ke YLBHI lalu menceritakan bahwa selama ini ia hanya menyembunyikan diri. Skenario kedua, ia bisa bebas asalkan menetap di Garut.69

Saat itu Desmond menyetujui alternatif kedua, dengan kesempatan tempat menetap tidak di Garut tetapi di Irian Jaya. Mereka kemudian setuju, asal sebelum ke Irian Jaya, Desmond harus ke Banjarmasin dulu. Tanggal 3 April 1998, ia dilepas dan sementara menetap di Banjarmasin. Selama disana pun, ia mendengar tetangga dan keluarganya didatangi oleh orang yang tak dikenal yang menanyakan kegiatan Desmond dan hal – hal apa yang ia ceritakan terkait penculikannya. Di tahap ini, ia merasa keamanannya terancam kembali.

70

2.2.20. Pius Lustrilanang

Sejak masih duduk di bangku SMA De Brito, Yogyakarta, Pius Lustrilanang sudah mengenal politik. Ketika kampanye pemilu 1987 berlangsung, ia mulai berkenalan dengan para aktivis UGM. Setamat SMA pada 1987, Pius memilih Jurusan Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, dan lulus pada 1995 lalu. Pius tipe pemuda yang gelisah melihat kondisi rakyat. Selama kuliah, ia aktif memperjuangkan tegaknya demokrasi, termasuk membela hak-hak rakyat kecil yang tertindas. Bersama dengan seniman Ratna Sarumpaet, dan beberapa aktivis mahasiswa

lainnya di Jakarta, Pius mendirikan Solidaritas Indonesia Untuk Amien Rais dan

69

Ibid;

70

(20)

Megawati, disingkat Siaga. Organisasi ini lahir untuk mendukung Amien dan Mega sebagai calon presiden RI perode 1998-2003. Di Siaga, Pius menjabat sebagai Sekjen. 71

Selama lebih dari sembilan tahun menjadi demonstran, setidaknya sudah tiga kali Pius menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Pertama kali ketika membela petani Badega, Jawa Barat. Kedua kalinya, dalam sebuah demonstrasi mendukung Megawati (kasus 27 Juli) di Bandung, kala itu Pius mendapat luka memar di 14 tempat

di sekujur tubuhnya. Dan yang terakhir, adalah penculikan tahun 1998. Ia diculik pada 2 Februari 1998 sekitar pukul 15.30 di depan RSCM. Ia dihadang oleh sekelompok orang

yang menodongkan pistol dan memaksanya masuk mobil yang membawanya ke tempat penyekapan.72

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para penculik itu hanya berkisar pada kegiatan politik yang dilakukan dua bulan terakhir menjelang Sidang Umum Maret lalu. Misalnya, mengapa Pius bersama teman-teman di Siaga, menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto. Lalu alasan pencalonan Amien Rais dan Megawati sebagai presiden alternatif. Apa saja yang telah dilakukan Siaga, siapa saja yang hadir dalam rapat-rapat pembentukan Siaga, juga apa rencana dan strategi yang akan dilakukan Amien ataupun Megawati. Termasuk juga perjanjian apa saja yang dibuat dengan Amien dan Megawati. Pertanyaan-pertanyaan itu ditanyakan pada tiga hari yang pertama. Pius

Dengan posisi tangan terborgol dan mata tertutup, para penculik itu berkata,"Tidak ada HAM dan tidak ada hukum di sini, yang harus kamu lakukan adalah menjawab setiap pertanyaan. Dan ingat, ada orang yang mati setelah keluar dari tempat ini dan ada juga yang hidup. Jadi jika kamu ingin hidup, jawablah yang benar." Setelah itu mereka menginterogasi Pius, dan jika terlambat menjawab atau tidak tahu, mereka menyetrum. Setelah itu mereka membawa Pius masuk ke suatu ruangan. Penutup mata dan borgol dibuka dan melakukan penyiksaan seperti menginjak kepala dan membenamkannya ke dalam bak mandi.

71

Sihol Siagian, Pius Lustrilanang Menolak Bungkam, Jakarta, Grasindo, 1999.

72

(21)

dibebaskan pada 3 April. Pukul 15.00 diantar oleh enam orang ke bandar udara Cengkareng. Tiba di sana, sebelum ia diturunkan dari mobil, lalu penutup matanya dibuka, kemudian diberi tiket pesawat dan mereka minta untuk langsung berjalan memasuki bandara tanpa menengok ke arah mobil. Tetapi Pius sempat menengok sedikit dan melihat bahwa mobil yang digunakan adalah Kijang berwarna abu-abu. Pius berangkat dari terminal B, Cengkareng, tetapi diturunkan di terminal C dan kemudian

memasuki pesawat menuju Palembang.73

2.2.21.Mugiyanto

Mugiyanto lahir pada tanggal 2 November 1973 di Jepara. Beliau pernah

menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Inggris UGM Yogyakarta. Sejak masuk kuliah di UGM pada tahun 1992 kesadaran politiknya mulai tumbuh. Hal ini memang tak lepas dari lingkungannya di kampus, di mana mahasiswa sering melakukan diskusi-diskusi kritis baik masalah ekonomi, sosial, maupun politik. Aksi-aksi demonstrasi juga sering dilakukan dengan isu-isu serupa. Akses untuk membaca buku-buku baru dan kritis juga terbuka lebar. Di samping itu kadang-kadang juga melakukan penelitian. Mulai dari situlah kepala seolah dibenturkan, mata dan telinga nya dibukakan pada realita-realita kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang timpang yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Hingga akhirnya bergabung dengan kawan-kawan SMID di Yogyakarta. Namun untuk itu semua, ia harus mengalami suatu peristiwa sebagai sebuah resiko yang tak akan pernah bisa ia lupakan dalam hidupnya.74

Mugiyanto diculik pada Rabu, 13 Maret 1998, di rumah kontarakannya bersama Nezar Patria, Aan Rusdiyanto, dan Petrus Bima Anugrah. Saat kejadian, Mugiyanto diculik terakhir diantara ketiga temannya, ketiga temannya telah lebih dulu diculik saat berada di rumah kontrakan mereka. Saat sampai di rumah, keadaan rumah yang berantakan dan ketiadaan ketiga temannya membuatnya curiga dan kemudian sebelum

sempat melarikan diri, ia didatangi sekelompok orang yang berpakaian seragam hijau

73

Ibid;

74

(22)

dan preman yang memeriksa dan menuntunnya masuk ke kendaraan mereka. Ia dibawa ke Koramil Duren lalu ke Kodim Jakarta Timur sebelum pada akhirnya dibawa ke tempat penyekapan.

Dalam perjalanan menuju ke tempat penyekapan, matanya ditutup dan mereka menyuruhnya buka baju. Sesampainya di tempat penyekapan, ia mulai disiksa. Dipukuli pada bagian muka dan perut, kemudian di tidurkan telentang di atas tempat, dan

disitulah ia diinterogasi dengan cara disetrum. Disetrum pada bagian kaki, terutama sendi lutut. Interogasi pertama yang mereka ajukan adalah mengenai identitas Nezar,

kemudian mengenai Aan. Setelah itu mereka berganti menginterogasi Nezar dan kemudian Aan. 75

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah mengenai keterlibatan Mugiyanto dalam kerja dan struktur organisasi PRD, nama Mirah Mahardika sebagai koordinator KPP-PRD, dan terutama tentang posisi Andi Arief. Setelah disetrum berkali-kali Mugiyanto menjawabnya dengan jawaban bahwa ia baru saja di Jakarta sehingga tidak tahu banyak tentang hal-hal tersebut. Juga bahwa selama ini kalau ketemu yang lain melalui seorang kawan yaitu Petrus Bima Anugrah jadi tidak tahu nama dan posisi kawan-kawan yang lain. Kemudian mereka mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Andi Arief dan Petrus Bima Anugrah, dengan setruman berkali-kali.76

Mengenai Andi Arief, Mugiyanto menjawab bahwa setelah 27 Juli 1996 dan lulus dari UGM, ia jarang ketemu Andi. Namun karena rumahnya di Lampung, Mugiyanto mengatakan bahwa ia di Lampung. Namun mereka tidak percaya dengan berkata, "Dia tidak ada di sana. Berapa sih luasnya Lampung. Saya telah mencarinya di setiap jengkal tanah di Lampung". Kemudian dengan passport yang mereka dapatkan, mereka memaksa Mugiyanto untuk mengakui bahwa ia adalah pengurus PRD, lalu mereka bertanya tentang kerja internasional PRD dan donator-donatornya. Pada hari kedua, datang beberapa orang yang kemudian mengajak mereka berbicara. Tepatnya

75

Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, op.cit; hlm 110

76

(23)

diskusi masalah program-program PRD khususnya masalah Timor Timur, Aceh dan Irian Barat, serta situasi politik sekarang. Hari kedua ini, penyiksaan fisik sudah tidak banyak, namun mereka hanya menakut-nakuti.

Beberapa hari kemudian, Mugiyanto dibawa ke Polda Metro Jaya. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul empat. Kemudian langsung diperiksa sampai pukul sembilan malam, tanpa pengacara. Dari pemeriksaan tersebut Mugiyanto diduga

melakukan tindak pidana subversi. Setelah pemeriksaan selesai langsung dimasukkan ke dalam sel isolasi masing-masing satu orang. Pada dua bulan pertama bahkan tak

diperbolehkan mengikuti kegiatan senam tiap hari Rabu dan Jumat, demikian juga sholat jumat. Baru satu bulan terakhir diijinkan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Pada hari Minggu tanggal 17 Mei 1998 Mugiyanto bersama Nezar dan Aan diperiksa oleh Puspom ABRI sebagai saksi atas kasus penculikan yang terjadi pada mereka. Setelah delapan puluh tiga hari mendekam di tahanan isolasi ini, saat bersiap-siap untuk menghadapi sidang pengadilan kasus politik pertama "Era Reformasi", tiba-tiba pada hari Jumat tanggal 5 Juni 1998 mereka disuruh menandatangani Surat Perintah Penangguhan Penahanan dari Polda Metro Jaya. Mulai saat itulah, kira-kira pukul 14.00 mereka dibebaskan.77

2.2.22.Aan Rusdiyanto

Aan Rusdiyanto diculik bersamaan dengan Nezar Patria sebelum Mugiyanto. Aan adalah anggota di PRD, dia diculik selama dua hari di suatu tempat. Pada hari Jumat malam, tanggal 13 Maret 1998 Aan dan Nezar dibawa ke sebuah tempat. Langsung mereka disambut pertanyaan tentang siapa, apa aktifitas selama ini, dan di mana Andi Arief, seiring dengan pukulan tangan, tendangan, dan setruman kesekujur tubuh bila mereka menjawab tidak tahu. Yang mereka jawab: "Aan Rusdianto, selama ini di Semarang, sebagai anggota SMID, saya tidak tahu di mana Andi Arief berada."

77

(24)

Kembali pertanyaan diulang. Di mana Andi Arief, apa aktifitas politik selama ini, data pribadi dan keluarga. Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, dipaksa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Nezar, Aan, dan Mugiyanto (datang 2 jam setelah Aan dan Nezar) tidak kuasa menjawab pertanyaan mereka. Apa aktifitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatan mereka di PRD. Bahkan kemaluan Aan sempat disetrum beberapa kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Kronologis pembebasan Aan Rusdiyanto pada hari Minggu pagi, 15 Maret 1998 dibawa ke sebuah mobil dan dibawa ke suatu tempat untuk diinterogasi tertulis. Dari tempat

tersebut kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya dan diinterogasi kembali sampai akhitnya dibebaskan.78

2.2.23. Haryanto Taslam

Haryanto Taslam, Wakil Sekjen DPP PDI versi Munas 1993. Haryanto diculik terkait jabatan politik yang diembannya. Dia hilang selama 40 hari dan selama itu pula kedua matanya ditutup dan diakuinya dia disekap, diberikan beberapa pertanyaan terkait aktivitas politiknya. Awalnya setelah kebebasannya, Haryanto Taslam enggan membeberkan kronologis kasus penculikannya, tapi awal 2011 kemarin, Haryanto mengeluarkan buku yang berjudul “40 Hari Dalam Genggaman Penguasa” yang berisi tentang kronologis selama ia diculik terkait jabatan politiknya. Dugaan keras hilangnya Taslam ada kaitannya dengan kegiatan politik, selain karena aktivitas Taslam yang begitu tinggi di DPP PDI juga karena saat hilang berbarengan dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR. Taslam di DPP PDI dikenal sebagai penghubung utama berbagai kegiatan.79

Haryanto Taslam diculik pada 2 Maret 1998. Ia hilang bersama mobilnya bermerek Mitsubishi Lancer, berwarna biru metalik, nomor polisi B 2863 UO. Saat ia mengendarai mobil, ia diikuti dan kemudian diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah. Dan sekarang Haryanto Taslam tetap aktif dalam politik dengan

menjabat sebagai anggota DPR – RI dari Partai Gerindra.

78

Ibid; hlm 122

79

Kompas, 1998, Terkait Politik, Hilangnya Haryanto Taslam;

(25)

2.3.Tim Mawar

Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatu Grup IV disingkat menjadi Kopassus adalah bagian dari Komando Utama (KOTAMA) tempur yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat, Indonesia. Kopassus memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror. Kopassus memiliki motto Berani, Benar, Berhasil.80

• Penanganan Aksi Terorisme

Fungsi Utama Kopassus :

• Sabotase

• Pembebasan sandera

• Membasmi pergerakan kelompok Separatis • Pengumpulan Informasi Intelijen

Dengan adanya reorganisasi di tubuh ABRI, sejak tanggal 26 Desember 1986, awalnya bernama Kopassandha berubah menjadi Komando Pasukan Khusus yang lebih terkenal dengan nama Kopassus hingga kini. Sejak tanggal 25 Juni 1996 Kopasuss melakukan reorganisasi dan pengembangan grup dari tiga Grup menjadi lima Grup.81

1. Grup 1, Parakomando — berlokasi di Serang, Banten

Dari 5 grup tersebut, di grup 4, dibentuklah Tim Mawar yang pada akhirnya melakukan tugas yang pada akhirnya dianggap bertanggung jawab terhadap kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998. Kelima grup tersebut ialah :

2. Grup 2, Parakomando — berlokasi di Kartasura, Jawa Tengah

3. Grup 3, Pusat Pendidikan Pasukan Khusus berlokasi di Batujajar, Jawa Barat 4. Grup 4, Sandhi Yudha — berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur

5. Grup 5, Anti Teror — berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur

80

Data diperoleh dari situs resmi Kopassus, www.kopassus.mil.id diakses pada 24 Agustus 2013 pukul 01.50 Wib

81

(26)

Pada 6 April 1999, digelar Mahkamah Militer dengan terdakwa 11 orang anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar tersebut. Saat itu Mahkamah Militer Tingkat II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI.

Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka

sebagai anggota TNI. Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggot Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.82

Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu

Hasil persidangan pada akhirnya memutuskan Tim Mawar bersalah karena melakukan kejahatan perampasan kemerdekaan secara bersama – sama dan hanya diputuskan bersalah atas penculikan 9 aktivis yang sudah dibebaskan. Hal ini tentu belum menyelesaikan kasus yang ada, karena masih ada 13 aktivis lagi yang belum kembali. Masih terus dilakukannya upaya mencari keadilan yang dilakukan oleh keluarga korban dan masyarakat.

hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI

jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.

82

(27)

Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Mantan Komandan Puspom

ABRI, Mayjen CHK KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan

tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.83

Profil Tim Mawar dan Danjen Kopassus yang pada akhirnya terbukti terlibat dalam kasus penculikan ini menunjukkan adanya gerakan pemerintah dalam kasus penghilangan orang secara paksa, dimana pemerintahan pada masa Orde Baru

menggunakan alat – alat negara untuk mempertahankan kekuasannya dengan dalih menjaga stabilitas negara. Oleh karena itu, adanya perjuangan keluarga korban pada Namun pada kenyataannya, sampai saat ini belum juga dilakukannya pengadilan mahkamah militer dan ketiganya masih bebas.

Dari profil korban 23 korban dapat dilihat masing – masing mempunyai aktivitas politik yang cukup aktif dan merupakan oposisi dari pemerintahan yang berkuasa saat itu. Bagaimana mereka melalui aktivitas politiknya berusaha mengkritik pergerakan pemerintah dan membuka jalan bagi demokrasi yang sesungguhnya berkembang di Indonesia. Kesadaran politik yang tinggi dan kecintaan untuk membangun negara menjadi bangsa yang demokrasi, bebas dari tirani kekuasaan pada akhirnya memaksa mereka untuk menyuarakan aspirasi dan menjadi oposisi pemerintah pada saat itu.

83

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Pelanggaran tersebut kalau dalam pelaksanaan penuntutannya tidak dilakukan secara bersama-sama, sebetulnya hukuman yang bisa diterapkan kepada pelaku tentu tidak seperti

Penelitian yang menggunakan pendekatan sosio-antropologis ini dengan teori konstruksi masyarakat atas mitos dan tradisi, dan berlatar relasi agama dan budaya lokal, telah

Menuliskan program Bahasa C untuk menginput suatu data dan mencari apakah data tersebut ada di dalam array atau tidak1. Memahami dan memanipulasi program Bahasa C

yang didominasi oleh kelas pendek yang diduga dimanfaatkan spesies tersebut untuk memperoleh mangsa yang berada di tajuk dari permukaan tanah (terestrial) maupun dari

41 Kendati demikian, dalam pemaparan ini, penulis tidak membatasi pengulasan menurut kronologis periodisasi tersebut, namun ~sesuai dengan pendekatan fenomenologis

7.1.3 Spesialisasi KAP ternyata memperkuat pengaruh antara ukuran perusahaan, opini auditor, ukuran KAP, solvabilitas, profitabilitas, kompleksitas operasi perusahaan,

Kesimpulan penelitian ini adalah dalam segi aksesibilitas dan sirkulasi RPTRA belum sesuai dengan kriteria taman terbuka publik dalam suatu wilayah, kualitas RPTRA

Berdasarkan fenomena yang terjadi dan penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan menganalisa lebih lanjut mengenai pengaruh rasio keuangan terhadap pertumbuhan laba dan