• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Perbedaan Kecemasan Pada Siswi SMA yang

Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight

Nur Raudatus Sa’adah, NIM: G0006132, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari , Tanggal

Pembimbing Utama

Nama : Prof. Dr. H.M. Fanani, dr., Sp. KJ

NIP

: 195107111980031001

………

Pembimbing Pendamping

Nama : Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, PhD

NIP

: 195510271994121001

...

Penguji Utama

Nama : I. G. B Indro N, dr., Sp. KJ

NIP

: 197310032005011001

...

Anggota Penguji

Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL

NIP

: 140150259

...

Surakarta, ………. 2010

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

(2)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,22 Oktober 2010

Nur Raudatus S.

(3)

commit to user

iv

ABSTRAK

Nur Raudatus Sa’adah, G0006132, 2010.

Perbedaan Kecemasan Pada Siswi

SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan Overweight.

Banyaknya remaja putri melaporkan bahwa mereka tidak puas dengan tubuhnya

dan berusaha untuk menurunkan berat badannya dengan cara yang tidak sehat.

Perilaku remaja putri ini dapat menempatkan mereka dalam keadaan yang

membahayakan seperti gangguan makan, obesitas, gizi buruk, gangguan

pertumbuhan dan gangguan jiwa seperti depresi. Penelitian ini bertujuan untuk

meneliti perbedaan tingkat kecemasan pada siswi SMA yang memiliki berat

badan normal dan overweight.

Penelitian ini merupakan penelitian

observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional menggunakan fixed exposured sampling. Sampel penelitian adalah

15 siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan 15 siswi SMA yang

overweight. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala L-MMPI dan

TMAS. Analisa data menggunakan uji t.

Hasil penelitian menunjukkan siwi SMA yang

overweight lebih cemas daripada

siswi SMA dengan berat badan normal (mean skor TMAS 25,8 vs 21,2; p=0,022).

Peneliti menyimpulkan terdapat perbedaan kecemasan yang bermakna antara

siswi SMA yang memiliki berat badan normal dan overweight dimana siswi SMA

yang

overweight lebih cemas daripada siswi SMA yang memiliki berat badan

normal.

(4)

commit to user

ABSTRACT

Nur Raudatus Sa’adah, G0006132, 2010. The Differences of Anxiety Between

High-school Student With Normal Weight and Overweight. Medical Faculty of

Sebelas Maret.

High numbers of adolescent girls are reporting that they are dissatisfied with their

bodies and are trying to lose weight in unhealthy ways. These attitudes and

behaviors place girls at a greater risk for eating disorders, obesity, poor nutrition,

growth impairments, and emotional problems such as depression. The research

aims is to know the difference of anxiety between high-school student with

normal weight and overweight.

This research is an analytical observational research by using

cross sectional

approach. The sampling technique uses

fixed exposure sampling. The sample of

research was 15 high-school students with normal weight and 15 high-school

students with overweight. The instruments used in the research were L-MMPI

scale and TMAS. Data analysis using t test.

The result of data analysis shows that students with overweight are more anxious

than students with normal weight (mean TMAS score 25,8 vs 21,2; p=0,022).

In conclusion, there is a difference of anxiety between high-school students with

normal weight and high-school students with overweight. Students with

overweight are more anxious than students with normal weight.

(5)

commit to user

vi

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan karena kasih dan karuniaNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Perbedaan Kecemasan Pada Siswi

SMA yang Memiliki Berat Badan Normal dan

Overweight”. Skripsi ini

disusun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat

sarjana dalam bidang kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Penyelesaian skripsi ini tak lepas dari bimbingan, bantuan, dan dukungan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

bimbingan, bantuan, dan pengarahan materi yang telah diberikan kepada

penulis dalam pelaksanaan dan penulisan skripsi ini.

5.

Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, PhD, selaku Pembimbing Pendamping,

atas segala bimbingan, arahan, dan masukan dalam pelaksanaan penelitian dan

penulisan skripsi ini.

6.

I. G. B Indro N, dr., Sp. KJ, selaku Penguji Utama, yang telah berkenan

menguji, memberi nasihat, koreksi, kritik, dan saran sehingga penyusunan

skripsi ini semakin sempurna.

7.

Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL., selaku Anggota Penguji, yang telah

berkenan menguji, memberi nasihat, koreksi, kritik, dan saran dalam

penyusunan skripsi ini.

8.

Papa, mama, serta adik-adik tercinta yang senantiasa memberikan doa, cinta,

bimbingan, dan motivasi pada peneliti.

9.

Semua pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan

sehingga penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun,

yang berguna bagi kesempurnaan skripsi ini di masa mendatang.

Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi

semua.

Surakarta, 22 Oktober 2010

(6)

commit to user

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA

vi

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

BAB I

PENDAHULUAN

1

A.

Latar Belakang Masalah

1

B.

Perumusan Masalah

2

C.

Tujuan Penelitian

2

D.

Manfaat Penelitian

2

BAB II

LANDASAN TEORI

5

A.

Tinjauan Pustaka

3

B.

Kerangka Pemikiran

13

C.

Hipotesis

13

BAB III

METODE PENELITIAN

14

A.

Jenis Penelitian

14

B.

Subjek Penelitian

14

C.

Lokasi Penelitian 14

D.

Teknik Sampling

14

E.

Variabel Penelitian

14

F.

Definisi Operasional Variabel Penelitian

15

G.

Alat dan Bahan Penelitian

15

H.

Cara Kerja

16

I.

Rancangan Penelitian

17

BAB IV

HASIL PENELITIAN

18

BAB V

PEMBAHASAN

20

(7)

commit to user

viii

A.

Simpulan

22

B.

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

24

(8)

commit to user

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 4.1 Hasil Uji t Tentang Beda Mean Tingkat Kecemasan 18

Antara Siswi SMA yang Memiliki Berat Badan Normal

(9)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

13

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian 17

Gambar 4.1 Garis Regresi Antara Body Mass Index dengan 18

Tingkat Kecemasan

Gambar 4.2 Boxplot Tentang Beda Rata-Rata Tingkat Kecemasan Antara 19

Kelompok Siswi SMA dengan Berat Badan Normal dan

(10)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1. Isian Data Pribadi

26

Lampiran 2. Kuesioner Skala L-MMPI

27

Lampiran 3. Kuesioner TMAS

28

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian

31

Lampiran 5. Data Hasil Penelitian

32

(11)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Kecemasan adalah keadaan suasana-perasaan (mood) yang ditandai

oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran

tentang masa depan yang menyebabkan seseorang mengantisipasi

kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa datang dengan

perasaaan khawatir. Kecemasan mungkin melibatkan perasaan, perilaku, dan

respon-respon fisiologis (Barlow dan Durand, 2007).

Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia.

Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak

menyenangkan dan mungkin juga merasa gelisah. Kecemasan segera

mengarahkan seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk

mencegah ancaman atau meringankan akibatnya (Kaplan dan Sadock, 1997).

Kelebihan berat badan didefinisikan sebagai penumpukan jaringan

lemak tubuh yang abnormal, dengan nilai BMI (Body Mass Index) lebih

besar dari patokan normal (Hidayat, 1989).

Banyaknya remaja putri melaporkan bahwa mereka tidak puas

dengan tubuhnya dan berusaha untuk menurunkan berat badannya dengan

cara yang tidak sehat , seperti menghindari makan, puasa, dan merokok.

Sejumlah kecil perempuan menggunakan cara yang lebih ekstrim, seperti

memaksa dirinya muntah, pil-pil diet dan penggunaan obat pencahar (Eating

Disorders and Obesity Companion Piece (EDOCP), 2003).

Hal ini disebabkan masyarakat menilai lebih perempuan yang

kurus, sedangkan pada remaja putri yang memiliki berat badan sering

dijadikan sebagai subjek diskriminasi, keisengan, dan menjadi korban

ledekan (Stang, 2005).

Perilaku remaja putri ini dapat menempatkan mereka dalam

keadaan yang membahayakan seperti gangguan makan, obesitas, gizi buruk,

(12)

commit to user

Karena perasaan rendah diri, cemas, selanjutnya gangguan kejiwaan ini akan

lebih buruk lagi sehingga pada akhirnya akan menghasilkan orang dewasa

dengan kualitas hidup rendah. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin

mengetahui perbandingan kecemasan sehubungan dengan adanya kelebihan

berat badan pada siswi SMA.

B.

Perumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecemasan pada siswi SMA yang memiliki

berat badan normal dan overweight?

C.

Tujuan Penelitian

Meneliti perbedaan tingkat kecemasan pada siswi SMA yang

memiliki berat badan normal dan overweight.

D.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Teoritis:

a.

Untuk menambah wawasan psikiatri khususnya tentang studi

banding kecemasan siswi SMA yang memiliki kelebihan berat

overweight dan yang memiliki berat badan normal.

b.

Dapat dijadikan dasar bagi penulis lain untuk mengadakan

penelitian lebih lanjut.

2.

Manfaat Aplikatif:

Untuk pihak sekolah dapat sebagai pertimbangan dalam membantu

(13)

commit to user

3

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1.

Kecemasan

a.

Definisi

Kecemasan (anxiety) adalah gangguan alam perasaan

(affective) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang

mendalam dan beerkelanjutan, tetapi kemampuan dalam menilai

realitas (Reality Testing Ability

/ RTA) tidak terganggu, begitupun

kepribadiannya juga masih utuh (tidak mengalami keretakan

kepribadian /

splitting personality), sedangkan perilaku dapat

terganggu walaupun masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006).

Kecemasan adalah salah satu dari empat kelompok besar

perasaan emosional, di samping sedih, gembira, dan marah.

Kecemasan bisa normal dan bisa patologis. Kecemasan normal apabila

mendapatkan ketegangan hidup kemudian dapat segera menyesuaikan

diri dalam waktu yang lebih singkat, apabila terus menerus terjadi

Kecemasan dimana fungsi homeostatis gagal mengadaptasi maka

menjadi Kecemasan patologis (Maramis, 2005).

Kecemasan adalah suatu keadaan patologik yang ditandai

oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik, terutama sistem saraf

otonom yang menjadi hiperaktif (Kaplan dan Sadock, 1991).

Ditinjau dari aspek klinis, kecemasan bisa merupakan suatu

keadaan yang abnormal, suatu gejala dari suatu penyakit lain, suatu

sindrom, atau suatu gangguan yang berdiri sendiri. Sebagai kecemasan

yang normal, setiap orang pernah mengalaminya misalnya waktu

menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi atau penurunan

jabatan. Dalam hal ini, kecemasan dirasakan sebagai akibat dari suatu

(14)

menjadi penyebab kecemasan itu berlalu. Kecemasan juga bisa

merupakan gejala dari gangguan atau penyakit lain misalnya psikosis

atau serangan miokard infark. Dalam hal ini cemas merupakan salah

satu tanda atau gejala dari suatu penyakit. Kecemasan sebagai sindrom

klinik,

misalnya

sebagai

manifestasi

gangguan

kepribadian

menghindar atau fobik. Disini cemas dirasakan menggangu apabila

berdekatan dengan obyek atau situasi yang dilakukan tetapi sebenarnya

tidak berbahaya. Sedangkan kecemasan yang berdiri sendiri adalah

berupa gangguan cemas umum (menyeluruh). Disini kecemasan

dirasakan mengambang (free floating), tidak menentu atau tidak jelas

penyebabnya (Sudiyanto, 2003).

Ditinjau dari aspek dinamika, kecemasan merupakan salah

satu reaksi terhadap stresor psikososial selain depresi. Stresor

psikososial didefinisikan sebagai keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam diri seseorang, sehingga orang itu

terpaksa mengadakan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut maka

timbullah keluhan-keluhan antara lain berupa cemas dan depresi.

Perbedaan dari reaksi tersebut adalah pada kecemasan yang dikeluhkan

pasien terutama adalah keluhan psikis berupa adanya rasa takut atau

khawatir sedangkan pada depresi yang dikeluhkan pasien terutama

keluhan psikis berupa kemurungan dan kesedihan (Hawari, 2006).

b.

Manifestasi Kecemasan

Gangguan kecemasan disebabkan oleh adanya interaksi

faktor-faktor biopsikososial, termasuk faktor genetik yang berinteraksi

dengan situasi, stress, trauma, yang kemudian menghasilkan

gejala-gejala klinis (Yates, 2008).

Banyak

bukti

menunjukkan

bahwa

kita

mewarisi

kecenderungan untuk tegang atau gelisah. Kontribusi-kontribusi kecil

(15)

commit to user

faktor psikologis dan sosial tertentu yang mendukungnya (Barlow dan

Durand, 2007).

Lazarus (Mutmainah, 2005) membedakan perasaan cemas

menurut penyebabnya menjadi dua, yaitu:

1)

State Anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul

pada situasi tertentu yang dirasakan sebagai ancaman,

misalnya mengikuti tes, menjalani operasi atau lainnya.

Keadaan ini ditentukan oleh perasaan tegang yang subyektif.

2)

Trait anxiety

adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam

menghadapi berbagai macam situasi (gambaran kepribadian)

merupakan ciri atau sifat seseorang yang cukup stabil yang

mengarahkan seseorang atau menginterpretasikan suatu

keadaan tersebut menetap pada individu (bersifat bawaan)

dan berhubungan dengan kepribadian.

c.

Patofisiologi

Kecemasan berhubungan dengan sirkuit otak dan sistem

neurotransmitter tertentu. Beberapa tahun terakhir ini semakin banyak

perhatian yang difokuskan pada peran system corticotrophin releasing

factor (CRF) yang sangat penting untuk ekspresi kecemasan (Barlow

dan Durand, 2007). Ini disebabkan karena CRF mengaktifkan

aksis-HPA, yang merupakan bagian sistem CRF ini memiliki efek yang luas

pada wilayah-wilayah otak yang terimplikasi dalam kecemasan,

termasuk otak-emosional (sistem limbik), terutama hipokampus dan

amigdala, lokus sereleus dalam batang otak, korteks prefrontal, dan

sistem neurotransmitter dopaminergik. Sistem CRF juga berhubungan

langsung dengan sistem GABA-benzodiazepin dan serotonergik serta

sistem-sistem neurotransmitter noradrenergik.

Daerah otak yang paling sering berhubungan dengan

kecemasan adalah sistem limbik (Barlow dan Durand, 2007) yang

bertindak sebagai mediator antara batang otak dan korteks. Batang

(16)

fungsi-fungsi jasmaniah kemudian menyalurkan sinyal-sinyal bahasa

potential ini ke proses-proses kortikal yang lebih tinggi melalui sistem

limbik.

d.

Tanda dan Gejala Kecemasan

Hurlock (2004) menyatakan bahwa kecemasan meliputi beberapa

aspek, yaitu:

1.

Adanya rasa khawatir dan gelisah

2.

Adanya perasaan tidak menyenangkan

3.

Rasa kurang percaya diri

4.

Rasa rendah diri

5.

Merasa tidak mampu menghadapi masalah yang ada

Fitur-fitur gangguan kecemasan menyeluruh meliputi kecemasan dan

kekhawatiran eksesif selama 6 bulan atau lebih, tentang sejumlah

kejadian atau aktivitas. Paling tidak menunjukkan tiga di antara

gejala-gejala:

1.

Kegelisahan atau perasaan tegang

2.

Menjadi mudah lelah

3.

Sulit berkonsentrasi

4.

Iritabilitas

5.

Ketegangan otot; gangguan tidur

e.

Mengukur Tingkat Kecemasan

Instrumen sebagai alat bantu diagnosis kecemasan yang

digunakan untuk penelitian ini adalah

The Taylor Manifest Anxiety

Scale (TMAS). Skala ini disusun oleh Taylor untuk menyeleksi

subjek penelitian dengan tingkat kecemasan tinggi dan rendah, guna

mempelajari berbagai situasi eksperimental (Wicaksono, 1992).

TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir

pertanyaan yang kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang

(17)

commit to user

keguncangan, gemetaran, dan lain- lain. Sebagian mengandung

keluhan- keluhan somatik seperti mual, pusing, diare, gangguan

lambung, dan lain- lain. Butir- butir lainnya menunjukkan

konsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak bisa istirahat, menurunnya

kepercayaan diri, sensitivitas ekstra terhadap orang lain, perasaan

akan bahaya dan tidak berguna (Wicaksono, 1992).

Manifest Anxiety dari Taylor (T-MAS) yang telah divalidasi

penggunaannya di Indonesia dengan hasil baik. Dengan nilai batas

pemisah skor 22/23, sensitivitas T-MAS cukup tinggi yaitu 90%,

spesivisitasnya 95%,nilai ramal positif 94,7%, nilai ramal negatif

90,4% dan efektifitas diagnosis 92,5%. Reliabilitas instrumen dengan

KR 20 reliabilitasnya r : 0,86. Butir-butir pernyataan yang sesuai

untuk kecemasan/favorable yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14,

16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39,

40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49 (35 butir). Sedangkan butir-butir

pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan/unfavorable

yaitu

nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, 50 (15 butir).

Sangat praktis dan pasien dapat mengerjakan sendiri dalam waktu

relatif singkat (Sudiyanto, 2003).

2.

Siswi SMA

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia siswi SMA adalah

seorang murid perempuan yang belajar di sekolah umum selepas sekolah

menengah pertama, sebelum perguruan tinggi.

3.

Overweight

a.

Definisi Overweight

Overweight atau kelebihan berat badan didefinisikan sebagai

suatu berat yang sekurang-kurangnya lebih besar 10% dari berat

(18)

b.

Epidemiologi

Di kawasan Asia, jumlah orang

overweight dan

obese makin

meningkat, di Vietnam misalnya, data dari

Monash University dan

Vietnam National Heart Institute,

tahun 2009 menunjukkan bahwa

31,5 % perempuan dan 29,7% laki-laki mengalami overweight.

Penelitian yang dilakukan oleh Padmiari, dkk (2001) di kota

Denpasar, Bali menunjukkan prevalensi obesitas pada anak sekolah

cukup tinggi 13,6%.

c.

Pembagian Tingkat Berat Badan

Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke

dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan.

Keadaan ini menghasilkan berat badan ideal (normal). Cara mudah

untuk menentukan berat badan ideal adalah dengan menentukan

Indeks Masa Tubuh/IMT atau Body Mass Index/BMI.

BMI yang dihubungkan dengan risiko paling rendah terhadap

kesehatan adalah antara 18,5 sampai 25 kg/m

2

. Berat badan lebih

(overweight) adalah bila BMI di atas 25 sampai 30 kg/m

2

, sedangkan

obesitas bila BMI lebih besar dari 30 (Almatsier, 2005).

d.

Penyebab Kelebihan Berat Badan (Overweight)

Penyebab kelebihan berat badan (Hardian, 2008) adalah

dipengaruhi faktor-faktor :

1)

Faktor Makanan

Jika

seseorang

mengkonsumsi

makanan

dengan

kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka tidak ada

energi yang disimpan. Sebaliknya jika mengkonsumsi makanan

dengan energi melebihi yang dibutuhkan tubuh, maka kelebihan

energi akan disimpan. Sebagai cadangan energi terutama sebagai

lemak.

(19)

commit to user

fried chicken, menyebabkan makanan siap saji sangat populer dan

digemari, padahal makanan siap saji cenderung mengandung

lemak tinggi sehingga banyak mengandung kalori. Selain itu

makanan yang tinggi lemak rasanya sangat lezat, sehingga

mengakibatkan dikonsumsi secara berlebihan.

2) Faktor Keturunan

Penelitian pada manusia maupun hewan menunjukan

bahwa obesitas terjadi karena faktor interaksi gen dan lingkungan.

Gen yang ditemukan diduga dapat mempengaruhi jumlah dan besar

sel lemak, distribusi lemak dan besar penggunaan energi untuk

metabolisme saat tubuh istirahat. Beberapa pakar berpendapat

faktor keturunan hanya berpengaruh terhadap bakat seseorang

untuk menjadi gemuk. Jadi kelebihan asupan makanan dan kurang

aktifitas yang menjadi pola kebiasaan hidup tetap merupakan

faktor utama penyebab kegemukan.

3) Faktor Hormon

Menurunya hormon tiroid dalam tubuh akibat menurunya

fungsi kelenjar tiroid akan mempengaruhi metabolisme dimana

kemampuan menggunakan energi akan berkurang.

4) Faktor Psikologis

Pada beberapa individu akan makan lebih banyak dari

biasa bila merasa diperlukan suatu kebutuhan khusus untuk

keamanan emosional (security food). Sebagai contohnya

kadang-kadang stres yang hebat pada seseorang tanpa disadari akan

menyebabkan ia meningkatkan masukan makanan.

5) Gaya Hidup (Life Style) yang Kurang Tepat

Kemajuan sosial ekonomi, teknologi dan informasi yang

global telah menyebabkan perubahan gaya hidup yang meliputi

(20)

beraktifitas fisik. Dengan berbagai kemajuan tersebut orang banyak

berada diluar rumah dan lebih sering makan diluar rumah dengan

mengkonsumsi makanan siap saji yang umunya berkalori tinggi.

Sedangkan untuk melakukan berbagai kegiatan, karena diperlukan

waktu yang cepat, orang lebih banyak menggunakan tenaga mesin

misalnya untuk naik ke lantai atas lebih suka menggunakan lift atau

eskalator. Untuk pergi dengan jarak dekat orang lebih suka dengan

naik mobil daripada jalan kaki dan karena aktifitas sehari-hari yang

sibuk, orang tidak sempat melakukan olah raga. Pola kurang aktif

ini menyebabkan kurang penggunaan energi tubuh.

6) Pemakaian Obat-Obatan

Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan

meningkatnya berat badan, misalnya obat kontrasepsi.

e.

Pendekatan Kombinasi Untuk Menghindari Kelebihan Berat Badan

1) Kurangi lemak tubuh

Bila ingin menghindari kelebihan berat badan pikirkan

bagaimana usaha untuk mengurangi jumlah lemak tubuh dan bukan

sekedar menurunkan berat badan. Masalah utama yang perlu

dipikirkan adalah simpanan kalori dalam jumlah besar yang

terdapat dalam kandungan lemak. Aktivitas metabolisme yang

rendah amat akan mempersulit pembakaran energi dan

pengurangan berat badan.

2) Terus aktif

Untuk menjaga agar metabolisme tubuh tetap tinggi, biasakan

melakukan olahraga tiap pagi. Untuk siang hari, boleh lakukan

jalan-jalan ringan selama sepuluh menit dan sorenya, sepeda santai

dapat membantu mencapai kesehatan yang maksimal (Bergen,

(21)

commit to user

3) Diet rendah lemak

Dengan menyesuaikan jumlah kalori yang harus dikonsumsi

dan tingkat aktivitas, tubuh akan membakar energi lebih efisien.

Konsumsi maksimal lemak yang diperbolehkan adalah 25% dari

total konsumsi tubuh, karena lemak tidak dapat digantikan

fungsinya sebagai penyusun membran sel (Halls, 2008).

4) Ubah kebiasaan

Salah satu prinsip yang harus dipegang untuk mencegah

kelebihan berat badan adalah makan jika lapar dan berhenti

sebelum kenyang.

5) Membuat catatan ringan

Catatan harian tentang konsumsi makanan ini akan membantu

mengarahkan perilaku terhadap makanan. Manfaat lain adalah

mengontrol menu harian (Delva dan Johnston, 2008).

6) Jangan Remehkan Makanan “kecil”

Sepotong makanan “kecil” yang dikonsumsi setiap hari dalam

satu bulan berpengaruh besar terhadap bobot tubuh. Jadi kita harus

yakin untuk mengurangi jatah sepotong makanan “kecil” setiap

(22)

B.

Kerangka Berpikir

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

C.

Hipotesis

Terdapat perbedaan kecemasan antara siswi SMA yang memiliki

berat badan normal dan overweight.

Berat Badan

Faktor yang mempengaruhi:

Kalori

Daya serap tubuh terhadap makanan

Metabolic rate

Kelebihan Berat Badan

Faktor-faktor:

·

Aktivitas terganggu

·

Kurang percaya diri

Berat Badan Normal

Faktor-faktor :

·

Aktivitas normal

·

Lebih percaya diri

Stres lebih

Stres kurang

(23)

commit to user

55

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Kasus Pengajuan Permohonan Kepailitan Atas Dirinya Sendiri oleh PT.

Asuransi Prisma Indonesia

1.

Alur Peristiwa PT. Asuransi Prisma Indonesia Mengajukan

Permohonan Pailit

a.

Menteri Keuangan Cabut Izin Perusahaan dan Pialang Asuransi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencabut izin usaha

satu perusahaan asuransi dan satu perusahaan pialang asuransi. Mereka

adalah PT. Asuransi Prisma Indonesia (dahulu PT. Wataka General

Insurance) dan PT. dMac Indo Asia. Dalam pengumuman Badan

Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nomor

Peng-05/BL/2008 tanggal 5 Juni 2008 disebutkan, PT. Asuransi Prisma

Indonesia dicabut izin usahanya berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan Nomor : KEP-081/KM.10/2008 tanggal 13 Mei 2008.

sedangkan PT. dMac Indo Asia dicabut izi usahanya berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor : KEP-084/KM.10/2008 tanggal

23 Mei 2008. Menurut Ngalim Sawega, Sekretaris Badan

Bapepam-LK, pencabutan izin usaha kedua perusahaan tersebut mulai berlaku

sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan atas

masing-masing perusahaan tersebut.

b.

Asuransi Prisma Indonesia Pailitkan Diri Sendiri

Kondisi perusahaan yang minus izin usaha dan telah dilikuidasi

memicu Asuransi Prisma mengajukan permohonan pailit atas diri

sendiri. Setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dunia asuransi, PT.

Asuransi Prisma Indonesia harus gulung tikar. Sejak tahun 2006,

perusahaan yang didirikan pada tahun 1991 itu memang tidak mampu

(24)

mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Situasi tersebut

semakin membuat perusahaan itu pun semakin runyam. Lantaran terus

diterpa bencana, PT. Asuransi Prisma Indonesia memutuskan

mempailitkan diri sendiri. Permohonan pailit itu diajukan ke

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Persidangan perkara Nomor

01/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST dipimpin oleh hakim Sugeng

Riyono.

Permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi sebenarnya harus

diajukan oleh Menteri Keuangan sendiri. Namun lantaran izin usaha

telah dicabut, PT. Asuransi Prisma Indonesia yakin bisa mengajukan

permohonan pailit sendiri. Pemicu lainnya adalah jumlah utang

perusahaan diperkirakan lebih besar dibanding aset PT. Asuransi

Prisma Indonesia. Total utang perusahaan per 4 Desember 2009

berjumlah Rp. 11, 566 miliar, sedangkan aset PT. Asurasi Prisma

Indonesia diperkirakan senilai Rp. 1, 641 miliar. Dalil itu mengacu dari

Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas. Pasal itu menentukan dalam hal likuidator

memperkirakan bahwa utang perseroan lebih besar daripada kekayaan

perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan pailit perseroan,

kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain, dan semua

kreditur yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui

(25)

commit to user

57

Berikut merupakan daftar kreditur yang disebutkan dalam

permohonan pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia berdasarkan catatan

tahun 2007/2008, yang terdapat dalam bagan di bawah ini :

No.

Nama Perusahaan

Jumlah Tagihan

1.

PT. Dekai Indonesia

Rp. 305.152.000,-

2.

IBS RE Jakarta

Rp. 127.157.000,-

3.

IBS RE Singapore

Rp. 260.897.000,-

4.

Pana Harrison RE

Rp. 514.336.000,-

5.

PT. Parolamas

Rp. 122.486.000,-

6.

PT. Reasuransi Internasional Indonesia

Rp. 276.138.000,-

7.

Trinity RE

Rp. 215.055.000,-

8.

PT. Tugu RE

Rp. 276.507.000,-

9.

PT. Nasre

Rp. 162.965.000,-

10. Korean Reins Company

Rp. 152.309.000,-

11. Tugu Insurance Company

Rp. 222.340.000,-

12. PT. Indoturbine

Rp. 992.665.000,-

13. PT. Bukit Makmur Mandiri

Rp.327.290.000,-

14. PT. Radita

Rp. 251.999.000,-

15. PT. Manunggal Bhakti Suci

Rp. 173.699.000,-

Pasca pencabutan izin usaha pada 13 Mei 2008, PT. Asuransi

Prisma Indonesia secara sukarela melakukan pembubaran diri

(26)

(RUPS) pada 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS lalu dituangkan

dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Asuransi Prisma

Indonesia Nomor 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian,

terhitung sejak tanggal 17 Juni 2008 PT. Asuransi Prisma Indonesia

berada dalam proses likuidasi. Likuidasi itu kemudian diumumkan

dalam surat kabar pada tanggal 12 Juli 2008. Pengumuman itu

menginformasikan bahwa kreditur PT. Asuransi Indonesia memiliki

waktu mengajukan tagihan selama 60 hari terhitung sejak 12 Juli 2008.

Dari situlah muncul banyak tagihan yang melebihi aset, apalagi utang

tersebut telah jatuh tempo. Berdasarkan hal itu, kuasa hukum PT.

Asuransi Prisma Indonesia berpendapat permohonan telah memenuhi

syarat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang., yakni unsur

utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua kreditur

atau lebih.

Sebelumnya, Menteri Keuangan tiga kali mengajukan peringatan

pada PT. Asuransi Prisma Indonesia. Peringatan diajukan lantaran PT.

Asuransi Prisma Indonesia tidak memiliki kecukupan modal sesuai

dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003

sebagaimana

diubah

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

136/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Kesehatan

Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi. Dalam surat

peringatan tersebut, Menteri Keuangan memerintahkan PT. Asuransi

Prisma Indonesia mencari investor baru untuk menambah modal namun

PT. Asuransi Prisma gagal memenuhi hal itu. Setelah peringatan ketiga

gagal dipenuhi, Menteri Keuangan tidak buru-buru mematikan usaha

PT. Asuransi Prisma Indonesia. Meski demikian Menteri Keuangan

(27)

commit to user

59

tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-1199/MK.10/2007

pada 26 September 2007.

Dalam surat tersebut Menteri Keuangan juga memberikan tenggat

waktu selama tiga bulan kepada PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk

memenuhi kecukupan modal, jika tidak bisa maka Menteri Keuangan

akan mencabut izin usahanya. Sanksi ini akhirnya tidak mempan

karena PT. Asuransi Prisma Indonesia tetap tidak bisa memperbaiki

keadaan perusahaan. Menteri Keuangan akhirnya mencabut izin usaha

PT. Asuransi Prisma Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Keuangan Nomor KEP-081/KM.10/2008 pada tanggal 13 Mei 2008.

Sejak itulah PT. Asuransi Prisma Indonesia dilarang melakukan

kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian.

c.

Ditolak Pailit, Asuransi Prisma Ajukan Kasasi

Asuransi Prisma mengajukan memori kasasi atas penolakan pailit.

Perusahaan tersebut agaknya berkukuh mempailitkkan dirinya sendiri.

Sepekan setelah putusan penolakan pailit terhadap PT. Asuransi

dijatuhkan, kuasa hukum perusahaan itu langsung mengajukan memori

kasasi melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan Majelis Hakim

yang dijatuhkan Sugeng Riyono, dinilai keliru dalam menerapkan

hukum. Majelis Hakim tingkat pertama dalam putusannya menyatakan

Pasal 149 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas sifatnya mengatur badan hukum yang bersifat

umum. Pasal itu menentukan jika likuidator memperkirakan jumlah

utang lebih besar daripada aset perusahaan yang dilikuidasi maka

likuidator wajib mempailitkan perusahaan tersebut.

Asuransi Prisma memang secara sukarela membubarkan diri

(likuidasi). Hal itu yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS) pada tanggal 17 Juni 2008. Hasil kesepakatan RUPS

(28)

Prisma Indonesia Nomor 1 tertanggal 11 Juli 2008. Dengan demikian

terhitung sejak tanggal 17 Juni 2008 PT. Asuransi Prisma Indonesia

berada dalam proses likuidasi, meski begitu Majelis Hakim tetap

melirik pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang yang menentukan pemailitan terhadap perusahaan asuransi harus

diajukan oleh Menteri Keuangan. Merujuk pada ketentuan itu Majelis

Hakim berpendapat meski Menteri Keuangan telah mencabut izin

usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia dan telah dibubarkan dengan

RUPS, secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia

masih eksis karena itu maka tetap tunduk pada Pasal 2 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sementara menurut Majelis

Hakim PT. Asuransi Prisma tidak mendapat kuasa atau persetujuan dari

Menteri Keuangan, dengan begitu tim likuidasi tidak berhak bertindak

dan atas nama mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia.

Pertimbangan hukum itu dipertanyakan kuasa hukum pemohon

kasasi, Wiku Krisnamukti. Menurutnya Majelis Hakim tidak

memberikan indikator atau penjelasan di mana letak eksistensi PT.

Asuransi Prisma Indonesia, apakah sebagai perusahaan biasa atau

sebagai perusahaan asuransi. Pertimbangan Majelis Hakim tersebut

dinilai salah dalam penerapan hukum. Menurut Wiku, dengan

pencabutan izin usaha otomatis PT. Asuransi Prisma Indonesia

berstatus sebagai perseroan biasa. Hubungan hukum antara Menteri

Keuangan dan PT. Asuransi Prisma Indonesia pun berakhir, hanya

namanya masih mencantumkan kata asuransi.

Bukti bahwa PT. Asuransi Prisma Indonesia bukan lagi sebagai

(29)

commit to user

61

tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-1199/MK.10/2007

pada tanggal 26 September 2007. Melalui surat tersebut Menteri

Keuangan memberikan tenggat waktu hingga 3 bulan sejak surat itu

diterbitkan agar PT. Asuransi Prisma Indonesia memenuhi aturan

tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, jika

tidak bisa dilakukan maka izin usaha akan dicabut. Faktanya PT.

Asuransi Prisma Indonesia tidak dapat memenuhi aturan tersebut, maka

pada tanggal 13 Mei 2008 Menteri Keuangan resmi mencabut izin

usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Apalagi jumlah utang

perusahaan diperkirakan lebih besar dibandingkan asset perusahaan.

Total utang perusahaan per 4 Desember 2009 berjumlah Rp. 11,566

miliar sedangkan asset PT. Asuransi Prisma Indonesia diperkirakan

senilai Rp. 1, 641 miliar, namun ini tidak dipertimbangkan oleh Majelis

Hakim. Menurut kuasa hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia, sangat

layak apabila Mahkamah Agung membatalkan pertimbangan hukum

tersebut yang dituangkan dalam memori kasasi. Dalam memori kasasi

PT. Asuransi Prisma juga meminta kepada Mahkamah Agung untuk

mengangkat

Balai

Harta

Peninggalan

sebagai

kurator

(http://hukumonline.com diakses pada tanggal 11 Juni 2012, pukul

15.21 WIB).

2.

Analisis Kasus Pengajuan Permohonan Pailit oleh PT. Asuransi

Prisma Indonesia

PT. Asuransi Prisma Indonesia merupakan sebuah perusahaan

asuransi yang berusaha untuk mempailitkan dirinya sendiri dikarenakan

jumlah utang perusahaan diperkirakan lebih besar dibandingkan aset PT.

Asuransi Prisma Indonesia itu sendiri. Ketidakcukupan modal tersebut,

pada akhirnya menyebabkan Menteri Keuangan mangajukan surat

(30)

PT. Asuransi Prisma Indonesia mencari investor baru untuk menambah

modal, akan tetapi PT. Asuransi Prisma Indonesia gagal dalam memenuhi

hal tersebut yang menyebabkan Menteri Keuangan memberi hukuman

berupa sanksi pembatasan kegiatan usaha (PKU) dan larangan melakukan

penutupan pertanggungan baru.

Setelah diberi waktu tiga bulan oleh Menteri Keuangan untuk

memenuhi kecukupan modal, namun itu tetap belum bisa dipenuhi oleh PT.

Asuransi Prisma Indonesia, maka pada akhirnya Menteri Keuangan

mencabut izin usaha PT. Asuransi Prisma Indonesia. Pasca pencabutan izin

usaha ditanggapi dengan gegabah oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia

dengan secara sukarela melakukan pembubaran diri (likuidasi) yang telah

diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham.

Setelah dicabutnya izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha di

bidang asuransi oleh Menteri Keuangan, pihak PT. Asuransi Prisma

Indonesia merasa bahwa dirinya bukanlah menjadi perusahaan asuransi

lagi melainkan sudah menjadi Perseroan Terbatas yang bersifat umum.

Dengan begitu Perseroan Terbatas yang bukan perusahaan asuransi berhak

mempailitkan dirinya sendiri dengan syarat-syarat pembuktian secara

sederhana yaitu ada lebih dari satu kreditur, ada lebih dari satu utang, dan

minimal ada satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Perseroan Terbatas bersifat umum bukan perusahaan yang bergerak di

bidang asuransi, kepailitannya dapat diajukan oleh debitur sendiri.

Berpegang dengan prinsip itu PT. Asuransi Prisma Indonesia mengajukan

permohonan pailit terhadap dirinya sendiri, sedangkan Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung menetapkan lain sehingga

permohonan pemailitan PT. Asuransi Prisma Indonesia yang diajukan oleh

dirinya sendiri ditolak. Upaya mempailitkan dirinya itu ditolak putusan

(31)

commit to user

63

Asuransi tersebut langsung mengajukan memori kasasi ke Mahkamah

Agung, dimana upaya tersebut kembali ditolak di upaya kasasi ini.

PT. Asuransi Prisma Indonesia menganggap dirinya bukanlah

perusahaan yang bergerak di bidang asuransi lagi disebabkan dengan

dicabutnya izin usaha oleh Menteri Keuangan. Sebenarnya di dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak diatur secara jelas apakah

perusahaan asuransi yang telah dicabut izinnya oleh Menteri Keuangan

masih dianggap sebagai perusahaan asuransi atau dianggap sebagai

perusahaan perseroan terbatas yang bersifat umum, tapi bisa ditarik

kesimpulan melalui penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, walaupun Menteri Keuangan telah mencabut izin usaha PT.

Asuransi Prisma Indonesia dan telah dibubarkan dengan RUPS, secara

hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih dianggap ada.

Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit bagi

perusahaan asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan

ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus

sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan

strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Apabila dilihat dari perkembangan kasusnya sehingga bisa

mencapai tingkat kasasi, ini merupakan hal yang seharusnya tidak perlu

terjadi. Menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didapati

kesimpulan bahwa pada awal perkara ini masuk ke Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat, seharusnya pada pemeriksaan permohonan tersebut panitera

(32)

Asuransi Prisma Indonesia ini karena dilakukan tidak sesuai dengan

peraturan yang berlaku bahwa perusahaan asuransi permohonan

kepailitannya harus diajukan oleh Menteri Keuangan dan bukan oleh

dirinya sendiri.

Dengan ketentuan tersebut seharusnya sedari awal perkara ini

tidak perlu menjalani persidangan. Di dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang dikatakan bahwa panitera yang melanggar

ketentuan (penolakan pendaftaran permohonan yang tidak sesuai dengan

peraturan) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian pada Pasal 20 ayat (1) dikatakan bahwa Menteri Keuangan

berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar

perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Upaya ini ditujukan agar

para pemegang polis tetap merupakan pemegang hak utama atas

pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi. Dalam

kasus ini, PT. Asuransi Prisma Indonesia sudah melakukan likuidasi

sebelum diajukannya permohonan pailit oleh Menteri Keuangan. Alasan

diajukan permohonan pailit oleh PT. Asuransi Prisma Indonesia karena

ditakutkan para pemegang polis tidak dijadikan sebagai pemegang hak

utama atas dilikuidasinya perusahaan tersebut.

Setelah pembahasan diatas, penulis menyimpulkan dengan tidak

adanya peraturan yang jelas mengenai status yang diperoleh perusahaan

asuransi tersebut setelah pencabutan izin usahanya apakah masih berstatus

sebagai perusahaan asuransi atau berstatus sebagai perusahaan yang

bersifat umum, membuat perusahaan tersebut bingung akan keberadaan

statusnya sehingga banyak menimbulkan spekulasi atas

(33)

commit to user

65

Kemudian dengan tidak adanya peraturan yang mengatur secara

jelas bahwa setelah dicabutnya izin usaha tersebut kepada perusahaan

asuransi, apakah perusahaan asuransi tersebut masih bisa mendapatkan izin

usahanya kembali dikemudian hari atau tidak. Apabila tidak bisa

memperoleh kembali izin tersebut, untuk apalagi perusahaan itu menjadi

perusahaan asuransi yang tidak bisa menjalankan kegiatan asuransi.

Sedangkan dengan keberadaan PT. Asuransi Prisma Indonesia tersebut

dengan jumlah utangnya lebih besar dari kekayaan yang dimilikinya dan

dirinya juga sudah gagal dalam mencari investor baru, cukup sulit untuk

mendapatkan dana dalam melunasi utang-utangnya. Perusahaan tersebut

pun juga sudah tidak bisa melakukan kegiatan usaha asuransinya lagi,

sehingga perusahaan tersebut tidak mampu melunasi utang-utang itu selain

dengan cara perusahaan tersebut dipailitkan. Namun sekali lagi, pemailitan

perusahaan asuransi ini terpentok lagi dengan diharuskannya permohonan

pailit yang harus diajukan oleh Menteri Keuangan. Inilah beberapa kendala

yang diharapkan dengan peraturan-peraturan baru mendatang mendapatkan

suatu kepastian hukum dimana bisa memberikan sisi keadilan bagi seluruh

pihak sehingga tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan.

B.

Kedudukan Hukum Pihak Tertanggung Jika Terjadi Kepailitan pada

Perusahaan Asuransi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia

1.

Akibat Hukum yang Timbul jika Perusahaan Asuransi Mengalami

Kepailitan

a.

Akibat Hukum yang Timbul terhadap Debitur Jika Terjadi

Kepailitan dalam Perusahaan Asuransi

Sebagaimana halnya dengan bank dan perusahaan efek,

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

(34)

reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang

kepentingan publik dengan debitur lainnya. Jika debiturnya perusahaan

asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang

bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan

pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Adanya perlakuan

berbeda dari debitur lain karena lembaga ini mengelola dana

masyarakat umum. Hal ini juga dilakukan demi untuk melindungi

kepentingan masyarakat sehingga tidak semua orang bisa mempailitkan

lembaga-lembaga tersebut (Nating Imran, http://solusihukum.com

diakses pada tanggal 10 Mei 2012, pukul 14.46 WIB).

Secara umum akibat pernyataan pailit atas suatu perusahaan yang

telah berbadan hukum adalah sebagai berikut :

a.

Kekayaan debitur pailit yang masuk ke dalam harta pailit merupakan

sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit.

b.

Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak

mengenai diri pribadi debitur pailit.

c.

Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan

menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak hari

putusan pailit diucapkan.

d.

Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailit

diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika

menguntungkan harta pailit.

e.

Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua

kreditur dan debitur, sedangkan Hakim Pengawas memimpin dan

mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.

f.

Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus

diajukan oleh/terhadap kurator.

(35)

commit to user

67

sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya

untuk dicocokkan.

h.

Kreditur yang dijamin dengan hak gadai, hak fidusia, hak

tanggungan, atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya

seolah-olah tidak ada kepailitan.

i.

Hak eksekutif kreditur yang dijamin dengan hak-hak di atas serta

pihak ketiga, untuk dapat menuntut hartanya yang berada dalam

penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum

untuk

waktu

90

hari

setelah

putusan

pailit

diucapkan

(www.lexiniustanonestlex.com, diakses pada Kamis tanggal 10 Mei

2012, pukul 15.17 WIB).

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk

mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit

(

boedel pailit

). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit

tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk

melakukan perbuatan hukum (

volkomen handelingsbevoegd

) pada

umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya

untuk

mengurus

dan

mengalihkan

harta

kekayaannya

saja.

Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator.

Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan

pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat

putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh

selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala

perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar

dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan

kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh

karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk

memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam

(36)

dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat

verifikasi. Segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh/terhadap kurator. Begitu

pula mengenai segala eksekusi pengadilan terhadap harta pailit.

Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang

telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan

,

kecuali eksekusi itu

sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan,

dengan izin hakim pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan

tersebut.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua orang atau lebih

kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah

jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan

Pengadilan baik atas permohonannya sendiri (debitur) maupun atas

permohonan satu orang atau lebih krediturnya. Ketentuan Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini bisa menjadi senjata

ampuh bagi perusahaan asuransi yang beriktikad buruk untuk

membebaskan diri dari tanggung jawabnya dengan alasan tidak mampu

membayar utang-utangnya, dan hal ini tentu saja akan merugikan para

tertanggung secara keseluruhan. Akan tetapi kekhawatiran itu

sesungguhnya terlalu berlebihan karena lembaga hukum kepailitan itu

sendiri menurut undang-undang berupaya memberikan keadilan dan

kedudukan yang seimbang antara kreditur dan debitur. Hal tersebut

dimaklumi bila dua asas tersebut menjadi asas utama pembentukan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

(37)

commit to user

69

Akibat yuridis yang dapat timbul sebagai akibat proses kepailitan bagi

debitur dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :

Tabel Berlakunya Akibat Hukum dalam Proses Kepailitan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

No.

Jenis Tindakan

Cara Terjadinya

Dasar Hukum

1.

Cekal

Demi Hukum

Pasal 96

2.

Gijzeling

Harus dimohonkan pada Pengadilan

Niaga

Pasal 93

3.

Penyegelan

Harus dimintakan pada Hakim

Pengawas

Pasal 99

4.

Stay

Demi Hukum

Pasal 56 ayat

(1)

5.

Sitaan Umum atas

Harta Debitur

Demi Hukum

Pasal 1 ayat

(1)

Kepailitan

mengakibatkan

debitur

yang

dinyatakan

pailit

kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta

kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Pembekuan hak

perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal

ini juga berlaku bagi suami atau istri dari debitur pailit dalam persatuan

harta kekayaan.

Kepailitan mempunyai banyak akibat yuridis. Menurut Munir

(38)

terjadi jika debitur dinyatakan pailit. Akibat yuridis tersebut berlaku

kepada debitur dengan dua metode pemberlakuan, yaitu :

a.

Berlaku Demi Hukum

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (

by

the operation of law

) segera setelah pernyataan pailit mempunyai

kekuatan hukum

tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan.

Dalam hal seperti ini,

Pengadilan Niaga, hakim pengawas, kurator,

kreditur, dan siapa pun

yang terlibat dalam proses kepailitan tidak

dapat memberikan andil

secara langsung untuk terjadinya akibat

yuridis tersebut. Misalnya,

larangan bagi debitur pailit untuk

meninggalkan tempat tinggalnya.

b.

Berlaku

Rule of Reason

Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku

Rule of Reason

. Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut

tidak otomatis

berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan

oleh pihak-pihak

tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar

untuk diberlakukan.

Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan

berlakunya akibat-akibat

hukum tertentu tersebut misalnya kurator,

Pengadilan Niaga, Hakim

Pengawas, dan lain-lain (Munir Fuady,

2005:65).

Dari sudut sejarah hukum, Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan

memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang

tidak dapat dibayar (Erman Radjagukguk, 2001:181). Dalam

perkembangannya kemudian, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga

(39)

commit to user

71

usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang. Adanya lembaga

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan perdamaian (

accoord

)

adalah bukti bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga

memperhatikan kepentingan debitur yang tidak mampu membayar

utangnya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dalam hal tindakan

pemberian peringatan dan pembatasan kegiatan usaha tidak berhasil

dilakukan, Menteri Keuangan melakukan pencabutan ijin usaha

perusahaan perasuransian tersebut. Dalam hal Menteri Keuangan

mencabut ijin usaha perusahaan perasuransian, sesuai Pasal 20

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan

tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam peraturan Kepailitan

baik undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1998 maupun undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum

dapat memintakan kepada Pengadilan Niaga agar perusahaan yang

bersangkutan dinyatakan pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 20

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

terlihat bahwa otoritas untuk mempailitkan perusahaan asuransi ke

Pengadilan Niaga hanya diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2

tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian kepada Menteri Keuangan.

Dalam hal perusahaan asuransi tersebut diajukan permohonan pailit,

kekayaan perusahaan asuransi tersebut perlu dilindungi agar para

pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional.

Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri

(40)

perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit sehingga harta

kekayaan

perusahaan

tidak

dipergunakan

untuk

kepentingan

pengurusan atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan

para pemegang polis (Sri Redjeki Hartono, 2001:56).

Dari ketentuan di atas, terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian memberikan perlindungan

kepada pemegang polis dengan medudukkan para pemegang polis

dengan kedudukan yang utama dan lebih tinggi (preferen) dari kreditur

lainnya. Selain itu, dalam kepailitan perusahaan perasuransian, Menteri

Keuangan diberikan kewenangan untuk mencegah berlangsungnya

kegiatan yang tidak sah dari perusahaan perasuransian yang telah

dicabut ijin usahanya tersebut dari kemungkinan terjadinya kerugian

yang lebih luas pada masyarakat.

b.

Akibat Hukum yang Timbul Jika Terjadi Kepailitan pada

Perusahaan Asuransi terhadap Kreditur

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian

antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator (Morgan

Situmorang, 2000:163). Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari

terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan

menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga

kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan

haknya masing-masing.

Sebagaimana telah diketahui bahwa terdapat jenis-jenis kreditur

menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terbagi ke dalam 3 (tiga)

jenis, yaitu :

a)

Kreditur Separatis

Gambar

Tabel 4.1  Hasil Uji t  Tentang Beda Mean Tingkat Kecemasan                          18
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Tabel Berlakunya Akibat Hukum dalam Proses Kepailitan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran yang diajarkan menggunakan Model Siklus Belajar 5E dan

signifikan Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah adanya perlakuan, terdapat perbedaan secara siginfikan antara kemampuan berpikir kritis siswa

Dari beberapa kriteria di atas, hal yang sangat penting adalah bagaimana atau langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keluarga sakinah. Untuk

Dengan ini mengajukan permintaan cuti bersalin untuk persalinan ke 2 sebagaimana surat keterangan dari dokter terlampir, terhitung tanggal 18

KELOMPOK KERJA 10 BIRO LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA TAHUN ANGGARAN 2017 Sehubungan dengan evaluasi penawaran Paket Pekerjaan Peningkatan Jalan Wardo

Desa wisata adalah salah satu bentuk pariwisata berbasis _ masyarakat. Desa Dadapan merupakan satu dari sekian desa _ wisata di Kabupaten Pacitan yang masih dalam

Wasir adalah pembesaran pembuluh darah vena yang menjadi rapuh pada daerah rektum (sisi dalam dari anus) sehingga mudah berdarah2. Buang air besar berdarah

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan untuk mengetahui sejauh mana sikap konsumen terhadap produk rokok Cap Kerbau, berkaitan dengan pengaruh