HIBRIDITAS, SPIRITUALITAS, DAN INTERPRETASI BARU ATAS OMKARA
DALAM SUPERNOVA: AKAR Bramantio
Prolog
Pada akhir 2002 dunia sastra Indonesia menjadi riuh dengan munculnya novel Supernova: Akar
karya Dee. Satu tahun sebelumnya Dee juga sempat menimbulkan kehebohan dengan
menerbitkan novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Hanya saja, berbeda dengan
efek yang ditimbulkan oleh novel Supernova episode perdana yang dianggap menawarkan
estetika baru dalam dunia sastra Indonesia dengan memasukkan unsur science, Supernova:
Akar mendatangkan kontroversi. Kontroversi tersebut berawal dari keberatan yang diajukan
Forum Intelektual Muda Hindu Dharma (FIMHD) berkaitan dengan pemakaian Omkara di
dalam sebuah buku yang dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan agama Hindu.1 Lebih lanjut, mereka menganggap tidak ada relevansi antara Supernova: Akar dan Omkara. Mereka
juga mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman yang mungkin bisa muncul berkaitan dengan
hal tersebut dan dampaknya dalam skala luas.2 Apabila dicermati, segala bentuk keberatan tersebut seolah tampak sebatas pada sampul depan Supernova: Akar. Maksud saya, meskipun
pihak yang keberatan telah mengajukan berbagai alasan, hal tersebut tidak disertai dengan
rujukan pada teks novel itu sendiri. Akibatnya, yang mereka anggap sebagai ketidakrelevanan
antara Supernova: Akar dan Omkara pun menjadi kabur dan benar‐benar menutup peluang
diskusi lebih jauh.3 Lalu, benarkah tidak ada relevansi antara Supernova: Akar dan Omkara?
Dalam kerangka multikulturalisme, fenomena tersebut adalah sejenis gegar budaya. Gegar
budaya di sini tidak hanya dipahami sebagai benturan antara dua atau lebih kebudayaan dalam
sebuah arena, tapi lebih pada benturan antara seni dan agama.4 Ketika seorang seniman memakai simbol‐simbol tertentu di dalam karyanya, dapat dipastikan bahwa mereka memiliki
pertimbangan khusus, baik dari segi filosofi yang diusung oleh karya mereka maupun segi
artistik, yang bertujuan mendukung keseluruhan karya mereka sebagai satu‐kesatuan. Masalah
pun muncul ketika pihak‐pihak yang merasa menjadi pemilik sah simbol‐simbol tersebut
keberatan dan mengharuskan si seniman mencopotnya dari karya mereka. Karya yang
bersangkutan pun, seandainya tetap melanjutkan eksistensinya, mungkin saja hidup dengan
keadaan yang tidak seutuh sebelumnya. Hal itulah yang terjadi pada Supernova: Akar cetakan
kedua dan selanjutnya; tidak ada lagi Omkara di sampul depannya, tidak ada pula simbol
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini bertujuan untuk menggali tanda‐tanda di dalam
Supernova: Akar yang diasumsikan dapat mengarah pada penemuan relevansi antara teks ini
secara keseluruhan dengan Omkara, serta makna Supernova: Akar.
Bodhi, Pencarian Identitas, dan Hibriditas
Supernova: Akar terdiri atas tiga bagian yang langsung menghubungkannya dengan rangkaian
Keping dalam novel sebelumnya, yaitu Keping 34, 35, dan 36. Keping 34 dan 36 lebih
berkedudukan sebagai jembatan antara novel ini dengan novel sebelumnya (Supernova:
Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh) dan selanjutnya (Supernova: Petir), sedangkan esensi novel
ini terdapat pada Keping 35. Keping inilah yang sebenarnya menjadi titik permasalahan utama
dalam kaitannya dengan simbol Omkara. Keping 35 dinarasikan oleh tokoh novel ini, yaitu
Bodhi. Kata kunci dalam kehidupan Bodhi adalah pencarian diri, atau dapatlah dikatakan
sebagai pencarian identitas. Sejak bagian awal Keping 35, tanda‐tanda yang mengarahkan
pembacaan pada tema pencarian identitas sudah tampak jelas. Keping 35 dibuka dengan
ucapan salam dalam Islam oleh salah seorang teman kost “aku” kepada “aku,”
AS‐SALAMU’ALAIKUM! TOLONG YANG DI KAMAR MANDI, MOHON DIPERCEPAT,
...
Suara yang kukenal plus gedoran khas pintunya ... Selalu dibubuhi ‘ass.wr.wb’ seperti di awal surat atau pidato—demi sopan santun—bahkan pada pintu kamar mandi sekalipun.
...
Wa’alaikumsalam, kusahut sapanya ... (hlm. 15)
Hal tersebut menimbulkan tanda tanya ketika pembacaan berlanjut dan menyajikan fakta
tekstual bahwa “aku” bernama Bodhi. Nama tersebut identik dengan Buddha, dan memang
demikianlah adanya Bodhi yang dibesarkan di vihara. Dengan begitu, di sini penganut Buddha
mengucap salam secara Islam. Hal tersebut bisa dibaca sebagai toleransi antaragama. Hanya
saja, segalanya ternyata tidak sesederhana itu apabila pembacaan dilanjutkan pada bagian‐
bagian berikutnya. Tanda‐tanda pencarian identitas pun terus‐menerus muncul secara eksplisit
di Keping 35 ini. Sebuah judul lagu grup ben U2, I Still Haven’t Found What I’m Looking For
(hlm. 17) mengantarkan Bodhi membuka kesadarannya mempertanyakan identitasnya,
Aku tak tahu apa yang kucari, tak tahu berapa lama dan seberapa lama lagi ...
Oke, siapa ‘aku’ ini?
Gun bisa menjawab pertanyaan semacam itu dengan mudah, tinggal buka dompet, keluarkan KTM ... Tapi aku ... harus melisut‐lisutkan kening sampai lecek, ber‐hmm‐eh‐ngg sampai tenggorokan lecet, atau menunggu rambutku tumbuh 2 meter—yang nggak bakal pernah kejadian—dan masih belum ketemu juga jawabannya (hlm. 18).
Secara eksplisit, bagian tersebut menggambarkan kegelisahan Bodhi berkaitan dengan
kepastian jawaban tentang identitasnya. Secara implisit, di sini muncul pernyataan bahwa
identitas seseorang tidak sesederhana yang tercantum di dalam KTM, KTP, dan kartu tanda
pengenal lain. Identitas pada dasarnya bukanlah sekadar sebuah konstruksi yang diterima
begitu saja, tapi diperoleh melalui perjalanan pencarian diri. Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan Bodhi bahwa alamatnya adalah Bumi. Dengan begitu, Bodhi adalah sebuah
konstruksi yang tidak terikat oleh segala bentuk batasan yang bersifat sosial politik.
Pada bagian‐bagian selanjutnya dikisahkan pula perjalanan Bodhi meninggalkan vihara dan
Guru Liong yang membesarkannya untuk melakukan perjalanan ke penjuru Asia Tenggara;
perjalanan Bodhi oleh Guru Liong disebut sebagai pencarian kesejatian (hlm. 39). Masalah
pertama yang dihadapi Bodhi untuk mewujudkan perjalanan tersebut adalah paspor. Sebagai
seseorang yang tidak pernah tahu dan tidak pernah mempermasalahkan tanggal kelahirannya,
pengurusan paspor menjadi hal yang sangat pelik. Pada akhirnya, Bodhi pun memiliki paspor
dengan tanggal lahir “resmi,” yaitu 25 Desember 1978 (hlm. 43). Seperti diketahui, 25
Desember oleh umat Kristen diyakini sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Lagi‐lagi di sini
terjadi persilangan atau hibriditas6 budaya, dalam hal ini adalah Buddha dan Kristen, seperti yang terjadi pada bagian awal Keping 35 antara Buddha dan Islam. Jika pada bagian
sebelumnya hibriditas Buddha dan Islam tampak sebagai sekadar toleransi, hibriditas Buddha
dan Kristen di sini dapat dibaca sebagai universalitas agama. Maksud saya, agama tidak lagi
dipahami sebagai keyakinan atas satu kebenaran tunggal yang dimiliki oleh masing‐masing
agama, tapi lebih ditekankan pada spiritualitas yang tidak lagi mengenal batasan‐batasan
dogmatik.7 Lebih lanjut, ketika “dipaksa” oleh Ompung Berlin, si pembuat paspor palsu, menyebutkan nama belakangnya, Bodhi memilih menggunakan nama Liong. Persilangan pun
kembali terjadi, kali ini antara Indonesia (Jawa) dan Cina. Ompung Berlin sempat dibuatnya
heran, “Ia pun menulis sambil menggerundel. Matamu sebesar mata kerbau, mukamu tak ada
Cina‐cinanya, tapi nama Liong yang kaupilih. Cari hara‐gara ‘kali kawan ini!) (hlm. 44). Hal‐hal
tersebut tentu bukanlah tanpa makna. Ompung Berlin dapat dianggap sebagai seseorang yang
meskipun hidup dari jasa memalsukan identitas, tetap berada di dalam kerangka berpikir yang
sangat konvensional. Baginya, identitas tidak bisa dikonstruksi begitu saja karena tetap harus
mendasarkan diri pada realitas dan kesesuaian; dalam hal ini, Bodhi yang memiliki penampilan
fisik Jawa dianggapnya tidak sesuai meyandang nama Liong yang terkesan sangat Cina. Di sini
tampak adanya hibriditas di dalam diri Bodhi. Hibriditas Bodhi bukan lagi hibriditas yang
ditekankan pada Bodhi sebagai individu yang memiliki konstruksi sedemikian rupa sehingga
dirinya adalah sebuah penyatuan berbagai budaya.
Di dalam perjalanannya berkeliling Asia Tenggara, Bodhi bertemu dengan orang‐orang dari
beragam budaya. Pertemuan‐pertemuan tersebut tidak mendatangkan efek saling
menghancurkan di antara mereka, tapi justru memberikan semacam pencerahan. Banyak
perbincangan yang berkaitan dengan mempertanyakan identitas, khususnya agama, yang
terjadi di antara mereka. Hal tersebut meskipun ada yang disampaikan dengan nada bercanda,
tetap memiliki kedalaman makna. Di dalam pertemuan antara Bodhi dengan Tristan,
backpacker asal Australia, misalnya,
Tristan menyerahkan sebuah buku: Lonely Planet ‘Thailand.’ Travel Survival Kit.
Aku menerimanya setengah tak percaya. Seumur hidup belum pernah punya buku sebagus itu. Tebal, licin, warna‐warni.
This is our ever‐changing bible, Bodhi. Nothing dogmatic, ia tertawa. So, siap‐siap melepaskannya kapan saja! (hlm. 47)
Kata‐kata Tristan memang tampak sebagai canda, tapi apabila ditinjauh lebih jauh dan lebih
dalam, ada makna yang tersembunyi. Bagian tersebut memang tidak memperlihatkan adanya
pembicaraan yang secara langsung berkaitan dengan agama, tapi sebenarnya hal itulah yang
dibidik melalui “permainan” dan “penggantian” travelling guide book dan Bible. Di sini, agama
layaknya pakaian yang bisa dikenakan atau ditanggalkan kapan pun pemiliknya
menginginkannya. Hal tersebut memang tampak ekstrem jika dipahami secara sempit.
Sebaliknya, jika dipahami melalui perspektif yang lebih luas, hal tersebut mengandung
pemikiran bahwa agama pada dasarnya adalah sesuatu yang sederhana, bukan hal besar yang
menakutkan, mengatur, dan membelenggu kebebasan penganutnya. Dengan begitu, agama
menjadi kehilangan maknanya ketika penganutnya justru merasa menderita oleh
keberagamaannya. Perbincangan senada juga terjadi antara Bodhi dengan salah satu pekerja
di perkebunan ganja di Laos,
Kamu ingin selamanya jadi pemetik in this FUCKING EDEN?! Be the God’s loyal gardener?!
Bhua‐ha‐ha‐ha—!! kami tertawa keras sekali.
Enak aja! I’m the Adam! bantahku. Bukan tukang kebun!
Ah! Luca manut‐manut dan menunjuk‐nunjuk mukaku. Adam can never stay forever in Eden. Kamu tahu itu kan, you crazy Buddhist? Cepat atau lambat, Adam pasti terusir keluar!
...
Pada bagian ini tampak semakin kokoh pemahaman tentang keberagamaan yang telah
didiskusikan pada bagian sebelumnya. Memeluk suatu agama seyognya tidak dijadikan suatu
tindakan turun‐temurun antargenerasi, tapi harus disertai dengan kesadaran dan pemahaman
menyeluruh atas tindakan itu sendiri. Segala sesuatu yang pada awalnya bersifat dogmatik pun
pada waktunya akan dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa membuka ruang untuk
dipertanyakan kembali karena manusia bukanlah makhluk yang serba terberi, melainkan
makhluk yang dianugerahi akal pikiran. Pembicaraan seputar agama ini masih berlanjut pada
perbincangan antara Bodhi dan Tristan pada perjumpaan mereka yang kedua,
Dan yang terpenting, tambahku. Kalau bertemu dengan Buddha di jalan, bunuh dia! Kalau enggak, kita cuma berhenti pada tahap mengimitasi, bukan begitu? ...
Have you killed your Buddha before?
Aku menggeleng. But he killed me, gumamku. Ribuan kali ia membunuhku (hlm. 131).
Bagian tersebut dapat dibaca sebagai penegasan atas pembicaraan‐pembicaraan sebelumnya
tentang agama. Keberagamaan pada dasarnya tidak ditentukan oleh pemahaman dan
pelaksanaan aturan‐aturan di dalamnya, tapi lebih pada penginsafan atas kesejatian Tuhan itu
sendiri. Sekali lagi, yang ditekankan di sini bukan lagi agama, tapi spiritualitas.
Tidak berhenti sampai di situ, perjalanan Bodhi berkeliling Asia Tenggara juga
mempertemukannya dengan Kell. Kell adalah manusia abadi. Sama seperti Bodhi, Kell sedang
melakukan pencarian kesejatian. Bedanya, apabila Bodhi mencari kesejatian dalam rangka
menemukan makna hidup, Kell mencari kesejatian dalam rangka membebaskan dirinya dari
derita dunia sebagai manusia abadi. Kell yakin Bodhilah yang akan membebaskan dirinya.
Hanya saja, untuk melakukan itu Bodhi harus terlebih dulu belajar menato karena dengan tato
yang kelak dirajahkan Bodhi ke tubuh Kell itulah Kell memperoleh kebebasannya. Kell pun
mengajari Bodhi menato hingga mencapai taraf yang dianggap Kell pantas untuk merajahkan
tato ke‐618 di tubuhnya. Salah satu pemakai jasa tato Bodhi adalah Star, perempuan
pengembara berdarah Timur Tengah dan Eropa Timur. Di tubuh Star, Bodhi menatokan jalinan
akar yang kemudian oleh Kell disebut sebagai Tree of Life. Dalam beberapa kebudayaan, Tree
of Life secara umum adalah simbol pencerahan yang dialami manusia dari keadaan yang lebih
rendah menuju pembebasan atas segala belenggu duniawi.8 Dengan begitu, tato yang dibuat Bodhi pun selain bermakna akar segala sesuatu, juga mengacu pada tahap “kesempurnaan”
yang dicapai manusia. Dalam keyakinan Buddha, manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan
selama ia masih terikat oleh hal‐hal duniawi yang mengakibatkan mereka senantiasa berada di
hidupnya serba enak dan memiliki enam belas istri yang dengan senang hati membiayainya
(hlm. 50), Kell merasa dirinya berada di dalam samsara. Kell pun pada akhirnya bisa
menemukan kebebasan dari keabadiannya setelah Bodhi menatokan Omkara di tubuhnya,
Not terakhir tadi bergantung sepi. Tak ada yang menyambung. Mesin di tanganku berhenti berderap. Kesunyian rupanya sudah mengendap‐endap naik, mencuri sahabatku dalam selendang niskala yang ujungnya tak bisa ditarik balik. Sahabatku digondol kemerduan kekal yang hadir tanpa lantun. Kemerduan yang belum saatnya kuleburi, tapi dia sudah. Sekarang, dia sudah.
Om.
Karena cuma itu yang kutahu (hlm. 194).
Bagian tersebut dapat dibaca sebagai sebuah usaha pembebasan diri manusia dari samsara.
Pembebasan itu pun ternyata hanya dengan satu cara, yaitu spiritualitas, keimanan yang sejati
atas Yang Mahakuasa, yang disimbolkan dengan Omkara. Pada bagian inilah sebenarnya telah
tampak relevansi antara Supernova: Akar dan Omkara.
Omkara dan Ouroboros
Pada bagian ini pembicaraan akan difokuskan pada simbol‐simbol yang terdapat pada sampul
Supernova: Akar, dan mencari kaitannya dengan keseluruhan isi novel. Secara sederhana,
Omkara dapat dipahami sebagai simbol ketuhanan, yang oleh penganut Hindu disebut sebagai
aksara utama Brahman, yaitu simbol tertinggi dalam Hindu. Berdasarkan pembacaan atas
Supernova: Akar, Omkara yang terdapat pada sampul tersebut memiliki relevansi yang sangat
kuat dengan isi novel secara keseluruhan. Penggunaannya pada sampul pun yang oleh pihak
tertentu dianggap sangat tidak sesuai, justru memperoleh interpretasi dan pemahaman yang
lebih luas dan bermakna lebih dalam daripada sekadar atribut agama tertentu. Omkara, dalam
hal ini dibaca sebagai spiritualitas, adalah pembebas manusia dari segala bentuk penderitaan
atau samsara. Ke mana pun manusia melangkah untuk mencari kesejatian, tidak ada cara lain
untuk menemukannya selain kembali ke akar, ke spiritualitas, ke kesejatian Tuhan. Lebih
lanjut, Omkara ternyata bukan hanya menjadi hak milik Hindu karena Buddha pun juga
menggunakannya.9 Apabila dirunut lebih jauh, di dalam kedua agama tersebut terdapat beberapa persamaan yang juga tampak sangat kuat di dalam keseluruhan teks Supernova:
Akar. Di dalam Hindu dikenal adanya Panca Sradha, yaitu lima keyakinan: (1) Widhi Tattwa,
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya, (2) Atma Tattwa, percaya dengan
adanya jiwa dalam setiap makhluk, (3) Karmaphala, percaya dengan adanya hukum sebab‐
akibat, (4) Purnabhawa, percaya dengan adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi, dan (5)
Moksha, percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia, tidak ada lagi
bersatu dengan hal‐hal yang tidak menyenangkan, berpisah dari hal‐hal yang menyenangkan,
tidak mendapatkan yang diinginkan adalah penderitaan, (2) penyebab penderitaan: segala
nafsu yang mengarahkan manusia pada kelahiran kembali atau siklus samsara, (3) pemutusan
penderitaan: memutus segala nafsu, dan (4) jalan untuk memutus nafsu: delapan jalan
kemuliaan.11 Di dalam Supernova: Akar, Bodhi menyatakan,
Guru Liong menduga karma saya pada masa lalu sangat‐sangat parah, termasuk
garuka karma—lima karma terberat, empat prajika, dan dasa akusala karma— sepuluh perbuatan paling jahat. Atau gampangnya, dulu saya ini bosnya monster segala monster, atau manusia tiga perempat iblis, sampai menangguk dosa‐dosa seberat itu. Guru Liong bilang, karena itulah saya nggak mati‐mati. Saya dihukum nyaris mati, lalu dikembalikan sembuh untuk disiksa lagi. Dunia ini neraka saya (hlm. 37).
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kehidupan Bodhi adalah sebuah
karmaphala, ia pun mengalami purnabhawa atau samsara karena tidak bisa melepaskan diri
dari segala bentuk penderitaan. Pembacaan yang demikian sebenarnya telah diarahkan oleh
novel ini sendiri, “Kell pernah mendongerngkan legenda Sisifus yang dihukum dewa‐dewa
Yunani untuk mendorong batu ke puncak gunung, cuma supaya si batu kembali bergulir jatuh
dan Sisifus terpaksa memulai lagi dari bawah. Begitu terus untuk selama‐lamanya” (hlm. 119).
Lebih lanjut, purnabhawa atau samsara tersebut di sampul novel disimbolkan dengan seekor
naga.
Naga yang melingkar dan menggigit ekornya di dalam sampul Supernova: Akar adalah
Ouroboros. Ouroboros adalah simbol keabadian dan perputaran waktu.12 Di dalam novel ini, pemahaman awal atas Ouroboros sebenarnya telah tersaji secara eksplisit, “Kami berdiri di
dua kutub terowongan waktu. Aku, di tebing ekor. Star, di tepian lidah. Layaknya naga yang
ribuan abad berputar sirkular hanya untuk menemukan ekornya sendiri. Menjilatinya.
Menelannya. Menjadi cincin yang tak berujung pangkal” (hlm. 83). Berkaitan dengan
Supernova: Akar, Ouroboros dapat dimaknai sebagai dua hal. Yang pertama, Ouroboros adalah
Guru Liong; keduanya memiliki unsur naga, Liong adalah naga dalam bahasa Cina. Guru Liong
sebagai seseorang yang membesarkan Bodhi dapat dianggap sebagai “belenggu” pertama yang
dialami Bodhi, termasuk seluk‐beluk kehidupan vihara yang secara otomatis menjadi bagian
delapan belas tahun pertama kehidupan Bodhi tanpa pernah membuka ruang untuk
mempertanyakan dan memikirkannya kembali. Bodhi pun pada akhirnya “bebas” dari Guru
Liong dan mencari jalannya sendiri untuk menemukan kesejatian. Kedua, Ouroboros adalah
keabadian Kell yang mendatangkan samsara tiada akhir hingga ia bertemu Bodhi. Keabadian
yang dirajahkan Bodhi ke tubuh Kell. Dalam skala yang lebih luas, sekali lagi, tiada hal lain yang
dapat mendatangkan kebebasan sejati bagi manusia selain kesejatian spiritualitas.
Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas adanya relevansi signifikan antara Supernova: Akar
dan Omkara. Perjalanan Bodhi ke penjuru Asia Tenggara dan pertemuannya dengan orang‐
orang dari berbagai latar belakang memperlihatkan bahwa pada dasarnya manusia sama.
Mereka memiliki kerinduan untuk menemukan kesejatian dan kedamaian. Hal yang demikian
tampak paling menonjol dalam relasi antara Bodhi dan Kell. Bodhi yang pada awalnya merasa
capek, “Lalu saya datang menghadap Guru Liong, mencium tangannya, dan bilang: Saya capek”
(hlm. 38), berhasil menemukan makna di balik segala bentuk penderitaan hidupnya; ia
kemudian dikisahkan menjadi semacam motivator bagi para remaja yang bergabung di
komunitas punk dengan menceritakan kembali perjalanan hidupnya. Hal senada juga terjadi
pada Kell yang menemukan kebebasan sesungguhnya melalui tato terakhir, yaitu Omkara.
Yang menjadi kunci kesejatian dan kedamaian tersebut adalah spiritualitas. Spiritualitas di sini
bukan spiritualitas sempit yang berakar dari dogma agama, melainkan pemahaman yang
menyeluruh atas hakikat Keilahian. Pada titik inilah sebenarnya akar kontroversi seputar
sampul Supernova: Akar yang memuat Omkara. Apabila melihat konteks yang lebih luas,
Supernova: Akar bukanlah karya‐seni pertama yang menjadikan Omkara sebagai bagian
dirinya.13 Hanya saja, baru pada Supernova: Akar inilah, setidaknya sepanjang pengetahuan saya, hal tersebut menjadi sebuah masalah besar. Pemahaman yang spasial atas simbol‐simbol
tertentu oleh sekelompok orang menjadikan simbol‐simbol tersebut kehilangan makna
terdalamnya. Hal yang demikian kemungkinan besar dikarenakan belum siapnya masyarakat
Indonesia menerima hal‐hal di luar pakem atau konvensi turun‐temurun. Segala bentuk
pemikiran yang menawarkan perspektif berbeda lebih sering dianggap sebagai ancaman dan
ditanggapi dengan kekhawatiran yang berlebihan. Berkaitan dengan seluruh hal tersebut, di
sinilah sebenarnya letak penting Supernova: Akar sebagai teks yang mengusung perspektif
berbeda, atau bahkan bisa disebut baru. Melalui seluk‐beluk para tokohnya dan kehidupan
mereka, novel ini menghadirkan pemikiran‐pemikiran atas realitas kemanusiaan, termasuk
mengenai keberagaman dan keberagamaan. Hal tersebut semakin kuat dengan masuknya
nuansa punk di dalam novel ini. Sebagai sebuah subkultur, punk memiliki ideologi yang
memberikan perhatian pada hak individu untuk memperoleh kebebasan dan gaya hidup yang
tidak terlalu mengekang.14 Lebih lanjut, Supernova: Akar memang bukanlah karya sastra yang bermain‐main dengan simbol yang dianggap sakral tanpa tujuan, tapi mencoba membuka
cakrawala berpikir pembacanya dalam memahami hakikat Keilahian, seperti halnya nama
Epilog
Kontroversi seputar sampul Supernova: Akar yang memuat Omkara pada dasarnya terjadi
karena tiga hal sebagai berikut: pertama, jarak antara novel dan Forum Intelektual Muda
Hindu Dharma (FIMHD). Pada tataran ini, jarak terbentuk karena FIMHD hanya memusatkan
perhatian pada Omkara di sampul novel dan tidak melakukan usaha pemahaman yang lebih
jauh dan dalam terhadap keseluruhan isi novel. Anggapan bahwa tidak ada relevansi antara
Supernova: Akar dan Omkara seolah muncul tanpa disertai alasan yang objektif dan tidak
ditindaklanjuti dengan diskusi yang bersifat lebih terbuka dan kepala dingin. Kedua, perbedaan
perspektif yang diusung novel dan perspektif yang selama ini dianggap mapan oleh masyarakat
Hindu, dalam hal ini diwakili oleh FIMHD. Perspektif di sini berkaitan dengan interpretasi atas
Omkara. Masyarakat Hindu menyatakan bahwa Omkara adalah simbol ketuhanan yang disebut
sebagai aksara utama Brahman. Omkara pun seolah menjadi hak milik mutlak Hindu. Dengan
begitu, FIMHD menganut pandangan esensialis berkaitan dengan identitas; mereka masih
melihat identitas sebagai sesuatu yang tetap. Sebaliknya, Supernova: Akar melakukan
interpretasi baru atas Omkara. Omkara tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang sempit dan
sekadar simbol ketuhanan seperti yang dinyatakan oleh Hindu, tapi dimaknai sebagai
spiritualitas yang menjadi solusi segala bentuk permasalahan kemanusiaan. Lebih lanjut,
berdasarkan keseluruhan ceritanya yang banyak menampilkan berbagai bentuk hibriditas,
Supernova: Akar dapat dianggap mengusung multikulturalisme kosmopolitan; individu‐individu
berusaha mendobrak batas‐batas budaya dan menciptakan masyarakat yang anggotanya tidak
lagi terikat pada satu budaya tertentu dan memiliki kebebasan untuk melakukan eksperimen‐
eksperimen interkultural. Ketiga, ketidaksiapan masyarakat, khususnya Hindu dan umumnya
Indonesia, dalam menerima segala bentuk pemikiran yang sifatnya berbeda dari yang selama
ini telah dianggap mapan. Hal yang demikian nyata terlihat ketika kita membandingkan
fenomena tersebut dengan realitas yang ada di luar Indonesia. Tidak sedikit seniman di luar
Indonesia yang menggunakan Omkara sebagai bagian dari karya mereka atau
menempatkannya dalam kerangka estetis, dan tidak ada kontroversi yang mengikutinya.
Berkaitan dengan hal itu, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya
memiliki pola pikir yang terbuka dalam menanggapi dan menyikapi hal‐hal di sekitarnya. Segala
sesuatu yang tampak berbeda seringkali dipandang dengan perasaan was‐was dan bahkan
dianggap sebagai ancaman atas stabilitas. Lebih lanjut, Supernova: Akar memiliki visi yang
mendahului masyarakat dan tempat kelahirannya. Novel ini tidak lagi berbicara dalam
kerangka ke‐Indonesia‐an yang sempit, tapi telah menjadikan universalitas sebagai pijakannya.
dan hati para pembacanya untuk memahami manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah
entitas, dan spiritualitas sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
1
Berkaitan dengan hal tersebut, A. A. Ngurah Arya Wedakarna M. W. S. selaku Ketua FIMHD menyatakan bahwa beberapa organisasi Hindu juga mencekal kedatangan Dewi Lestari atau kelompok vokal RSD jika datang ke Bali, baik itu pertunjukan musik atau kapasitas pribadi; http://okanila.brinkster.net/adityajaya/ShowFull.asp?ID=100, diakses 20 Mei 2007. Beberapa waktu setelah meredanya kontroversi seputar Omkara pada sampul Supernova: Akar, FIMHD kembali mengajukan gugatan berkaitan dengan pemakaian lambang‐lambang Hindu, yaitu kepada Iwan Fals yang sampul kasetnya memuat gambar Wisnu Kencana. Oleh FIMHD, pemuatan gambar tersebut terkesan menggambarkan “manusia setengah dewa” seperti judul album tersebut. Hal ini dianggap bertentangan dengan ajaran Hindu yang meyakini Wisnu sebagai satu dari tiga dewa utama Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa; Sriwijaya Post, Senin, 7 Juni 2004.
2
Salah seorang pembaca Supernova: Akar, D. Manggala, menyatakan, “Jauh sebelum membaca novelnya, saya tidak setuju dengan sampul novel tersebut yang menampilkan Omkara ... Secara pribadi, ketidaksetujuan saya bukan karena saya merasa harus membela Tuhan atau agama saya, namun lebih disebabkan karena alasan praktis yakni tidak mau terjadi image yang mengasosiasikan Omkara dengan
Supernova. Jangan sampai image yang mengasosiasikan Swastika dengan Nazi terulang lagi di masa sekarang atau nanti; http://www.beranda.net/artikel/supernovareview.htm, diakses 20 Mei 2007.
3
Hal senada juga terjadi dalam kontroversi novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Menurut Said, “Hanya sebagian kecil yang benar‐benar membahas buku itu sendiri, baik yang menentangnya maupun menganjurkan pembakaran buku itu serta menghukum mati pengarangnya, menolak membacanya, sementara mereka yang mendukung kebebasan menulis bagi pengarangnya hanya berargumentasi tentang hak [bukan kandungan bukunya]; Edward Said, ed., Literature and Society (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1980), hlm. 397, dalam Ari Jogiswara Adipurwawidjana, Lien Amalia, dan Lestari Manggong, “Ambivalensi Naratif dan Transisi Sosial: Lady Chatterley’s Lover dan The Satanic Verses,” Jurnal Kalam 22 (2005), hlm. 56.
4
Kontroversi Supernova dan Hindu memiliki persamaan dengan The Satanic Verses dan Islam meskipun dalam tataran yang berbeda. Melalui The Satanic Verses, Rushdie dianggap telah melakukan penghujatan terhadap sosok Muhammad yang sangat dimuliakan dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan peristiwa sejarah seputar kehidupan Muhammad sebagai fakta hadir bersamaan denga rekaan sang pengarang dalam nada yang bersifat memutarbalikkan sumber‐sumber sejarah yang dinilai memiliki otoritas dalam Islam. Menanggapi hal tersebut, Rushdie menyatakan, “The Satanic Verses is not, in my opinion, an anti‐religious novel. It is, however, attempt, to write about migration, its stresses and transformation, from the point of view of migrants from the Indian subcontinental to Britain; Lisa Appignanesi dan Sara Maitland (eds.), The Rushdie File (Syracuse: Syracuse University Press, 1990), hlm. 62, dalam Lina Puryanti, “Ideologi Pengarang pada Representasi Muhammad dalam Novel The Satanic Verses Karya Salman Rushdie,” Jurnal Mozaik, vol. 3, no. 1 (2005), hlm. 13.
5
Dalam kesepakatan antara Dee dan Pihak FIMHD disebutkan bahwa cetakan pertama
Supernova: Akar tidak akan ditarik dari pasaran, namun dalam cetakan kedua dan selanjutnya tidak lagi menggunakan Omkara pada sampulnya; http://okanila.brinkster.net/adityajaya/ShowFull.asp?ID=100, diakses 20 Mei.
6
Hibriditas adalah istilah yang mengacu pada penciptaan bentuk‐bentuk transkultural baru. Hibridisasi tidak hanya dipahami secara sempit seperti di dalam hortikultura, tapi juga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti linguistik, budaya, politik, ras, dan sebagainya; Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, Key Concept in Post‐colonial Studies (London & New York: Routledge, 1998), hlm. 118.
7
Agama mengacu pada sistem komunal yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap segala bentuk pemikiran, hal‐hal yang tak kasat mata, manusia atau objek yang dianggap sebagai supernatural, sakral, dan keberanaran tertinggi; http://en.wikipedia.org/wiki/Religion, diakses 20 Mei 2007. Berbeda dengan agama yang dapat dikatakan mengagungkan sebuah kebenaran dan bersifat dogmatik, spiritualitas adalah pemahaman atas sifat dasar manusia yang mengakui adanya sesuatu yang lebih besar daripada manusia tanpa harus terikat pada dogma tertentu. Spiritualitas pun bersifat lebih personal, terbuka dalam menerima segala bentuk ide, dan meyakini adanya banyak jalan kebenaran; http://en.wikipedia.org/wiki/Spirituality, diakses 20 Mei 2007.
8
Jack Tresidder, The Complete Dictionary of Symbols in Myth, Art and Literature (London: Duncan Baird Publisher, 2004), hlm. 485.
9
fundamental, yaitu Brahma, Wishnu, dan Shiwa sebagai pencipta, pemelihara, dan penghancur;
Tresidder, ibid., hlm. 355. 10
http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu, diunduh 20 Mei 2007. 11
http://en.wikipedia.org./wiki/Buddhism, diunduh 20 Mei 2007. 12 Tresidder, op.cit., hlm. 362
13
Berikut ini adalah seniman dan karya seni yang memuat Omkara, baik dalam bentuk gambar maupun tulisan: The Moody Blues menutup album mereka In Search of the Lost Chord dengan sebuah lagu berjudul “Om”; The Beatles memasukkan Om dalam salah satu lagu di album Let It Be yang berjudul “Across the Universe,” yaitu pada bagian “Jai Guru Deva Om,” yang artinya “Salut, Guru Deva, Om”; George Harrison menggunakan simbol Om sebagai 3 di dalam albumnya Thirty Three & 1/3; ben
heavy metal juga menggunakan simbol Om sebagai 3 di dalam albumnya 3; Tommy Lee, drummer Motley Crue memiliki tato Om; The Prodigy merilis single berjudul “Narayana” yang di dalamnya terdapat lirik “Om Namo Narayanaya,” yang artinya “Segala Kemuliaan bagi Narayan”; Madonna memiliki tato temporer (mehndi) Om di telapak tangannya dalam lagu “Frozen” di album Ray of Light; John Coltrane merilis album berjudul Om pada tahun 1965, yang diawali dengan alusi Bhagawad Gita; David Gahan, penyanyi utama Depeche Mode, memiliki tato Om di dada kanannya; tokoh fiktif Phil yang dimainkan Raviv Ullman dalam serial Disney Channel Phil of the Future memakai kalung Om dalam sebagian besar serial tersebut; ben Australia, John Butler Trio di dalam sampul albumnya Grand National mencantumkan dua Om, tersembunyi di antara rambut wajah John Butler; Brandon Boyd, penyanyi
utama ben Incubus, sering menuliskan simbol Om pada tanda tangannya;
http://en.wikipedia.org/wiki/Aum#Omkara, diunduh 20 Mei 2007. 14