• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP LPPM IAIN PURWOKERTO 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP LPPM IAIN PURWOKERTO 2015"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap

Tentang

Pengelolaan Barang Milik Daerah

SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

(2)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP

NOMOR …… TAHUN 2015

TENTANG

PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

(3)

D

AFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 15

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik 18

D. Metode Analisis Naskah Akademik 19

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis 21

B. Praktek Empiris 27

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT 35

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis 41

B. Landasan Sosiologis 41

C. Landasan Yuridis 42

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase 44

B. Muatan Materi Peraturan Daerah 49

BAB VI PENUTUP 51

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(4)

4 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Paradigma Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara telah memunculkan optimisme baru, best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, lebih akuntabel, dan lebih transparan ke depannya. Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi, diharapkan akan mampu menjadi pendorong peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara.

Tahun 2006 merupakan babak baru dalam sejarah pengelolaan kekayaan negara Republik Indonesia pada umumnya dan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) khususnya, karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai kelanjutandari 3 (tiga) paket undang-undang yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Dalam konteks tersebut di atas telah dibentuk pula satu unit organisasi setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengelolaan kekayaan negara yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup : 1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran,

(5)

5

4) pemanfaatan,

5) pengamanan dan pemeliharaan, 6) penilaian,

7) penghapusan,

8) pemindahtanganan, 9) penatausahaan, dan

10) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Proses tersebut di atas merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).

2. Roadmap Strategic Assets Management

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai satu-satunya unit pengelola kekayaan negara diharapkan mampu menjadi instansi yang mencanangkan efisiensi pengelolaan kekayaan negara.

Pada tahun 2008 yang lalu, telah dibuat Roadmap Strategic Assets Management oleh DJKN dengan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terciptanya Strategic Assets Management (SAM) dengan ultimate goal-nya, aset negara sebagai indikator penting dalam pelaksanaan anggaran yang efektif.

Sesuai Roadmap yang pernah dibuat pada tahun 2008, DJKN meletakkan fondasi untuk melengkapi atribut organisasi dan memulai penertiban BMN. Selanjutnya, di tahun 2008-2009, DJKN melakukan lanjutan penertiban BMN, penyempurnaan Sistem Pengendalian Internal dan tata kelola pengelolaan aset, dan penatausahaan yang andal dan akuntabel.

Essensi dari Strategic Assets Management (SAM) adalah adanya mindset bahwa untuk mengelola kekayaan negara dengan benar, DJKN harus mempunyai atribut organisasi yang lengkap dan berkualitas, bank data pengelolaan dan penatausahaan Barang Milik Negara (BMN) berikut permasalahannya, serta kesadaran bahwa aset negara adalah indikator penting dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang efektif, efisien, dan akuntabel.

(6)

6

Sampai tahun 2012, integrasi perencanaan anggaran dan perencanaan BMN belum dapat dilaksanakan, penatausahaan BMN masih terdapat masalah, dan penyempurnaan peraturan serta tindak lanjut temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) masih harus diselesaikan, sehingga Roadmap Strategic Assets Management yang pernah dibuat perlu dilakukan penyesuaian.

Sejak tahun 2007 telah diterbitkan peraturan peraturan antara lain ;

 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tatacara Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara,

 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara,

 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Kodifikasi Barang Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 29/PMK.06/2010, dan lain-lain.

Pada tahun 2008 diterbitkan PP Nomor 38 Tahun 2008 yang merupakan Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

3. Penertiban Barang Milik Negara/Daerah

Dalam satu tahun setelah lahirnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) adalah periode yang menuntut DJKN mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya dalam membantu K/L dalam melaksanakan penertiban BMN melalui Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN.

Ada 4 (empat) tujuan utama penertiban BMN, yaitu (i) melakukan pemutakhiran pembukuan BMN pada Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Keuangan BMN (SIMAK BMN), (ii) mewujudkan penatausahaan BMN di seluruh satuan kerja (satker) instansi Pemerintah Pusat, (iii) menyajikan koreksi nilai aset tetap neraca awal 2004 pada Laporan Keuangan K/L, dan (iv) melakukan tindak lanjut penatausahaan dan pengelolaan BMN yang tertib dan optimal.

(7)

7

berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DK/TP), aset yang berasal dari Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS), aset eks BPPN, aset bekas milik Asing/Cina, aset eks Kepabeanan/Bea Cukai, aset Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), barang rampasan, benda cagar budaya/benda berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT), dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai BMN.

Inventarisasi menjadi icon DJKN bermula dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penertiban BMN yang memberikan tanggung jawab kepada Pengelola Barang untuk menyusun pedoman pelaksanaan IP BMN dan pelaporannya dengan mempercepat tercapainya IP BMN yang dilakukan oleh K/L secara tertib, efektif, efesien, dan akuntabel. Meskipun demikian, sebetulnya dalam pasal 6 ayat (2) huruf l, Peraturan Pemerintah (PP) 6 Tahun 2006, disebutkan bahwa K/L sebagai pengguna BMN berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencatatan dan inventarisasi BMN yang berada dalam penguasaannya.

Dalam rangka melaksanakan penertiban BMN, pada tingkat pusat, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Tim Penertiban BMN dengan masa tugas selama 17 (tujuh belas) bulan terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2007 s.d. 31 Desember 2008. Tim yang tugas utamanya melakukan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi BMN ini kemudian diperpanjang lagi dengan Keppres Nomor 13 Tahun 2009. Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi, DJKN melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait seperti BPK, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (APK) dan Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan, serta Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP).

(8)

8

mendukung kelancaran tupoksi pelayanan, dan dimungkinkannya fungsi budgeter dalam pemanfaatan aset untuk memberikan kontribusi penerimaan bagi negara. Penanganan aset negara yang mengikuti kaidah-kaidah tata kelola yang baik/good governance akan menjadi salah satu modal dasar yang penting dalam penyusunan LKPP yang akuntabel.

Adapun subjek penertiban BMN yaitu :

 BMN yang belum dicatat atau disertifikasi atau digunakan/dimanfaatkan;

 BMN yang bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan;

 BMN yang berasal dari Kekayaan Negara Lainnya (KLN);

 Barang Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS).

Penertiban BMN diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi sekarang berapa besar nilai seluruh aset negara, baik itu yang bersumber dari APBN maupun dari sumber perolehan lainnya yang sah. Ketersediaan database BMN yang komprehensif dan akurat pun dapat segera terwujud.

Database BMN akan memainkan peran yang strategis dalam setiap pengambilan keputusan perencanaan kebutuhan barang nasional oleh Pengelola Barang dan usulan alokasi penganggarannya dalam APBN. Akan terjadi hubungan sinergis antara perencana anggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) dengan pengelola barang (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara) untuk duduk satu meja merumuskan dan menentukan besaran rencana kebutuhan barang milik negara secara nasional dalam tahun anggaran, sehingga anggaran belanja modal fisik tersebut dapat lebih dipertanggungjawabkan dan benar-benar mencerminkan kebutuhan barang /aset yang nyata sesuai kondisi di lapangan dan mampu menciptakan anggaran belanja modal yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Tidak hanya bersifat incremental.

Permasalahan dalam pengelolaan aset beserta action yang dapat dilakukan untuk masing-masing identifikasi masalah menurut tim pengelola aset pada kementrian dalam negeri:

(9)

9

tidak bergerak. Masih banyak kelemahan dalam hal ini, antara lain terdapat kesalahan penulisan spesifikasi ataupun ukuran kuantitas pada kontrak, padahal ini menjadi sangat kruisal dan berpengaruh untuk proses selanjutnya.

Kementerian/Lembaga selaku pemilik dan pengelola barang milik negara tidak tertib dalam masalah penilaian pencatatan barang milik Negara. Terdapat peraturan khusus yang mengatur dalam hal pencatatan dan rekonsiliasi barang milik Negara, yaitu PMK No. 102/05.PMK/2009 Tentang Tata Cara Rekonsiliasi Barang Milik Negara. Pentingnya penilaian dan rekonsiliasi ini adalah agar dapat diketahui nilai wajar sesungguhnya dari nilai aset. Pihak pengelola barang milik Negara sering menganggap remeh mengenai penilaian dan rekonsiliasi. Padahal dengan rekonsiliasi dapat diketahui nilai kesesuaian nilai aset dengan nilai wajar.

Dengan demikian dapat diketahui apakah aset tersebut perlu dilakukan penilaian ulang atau tidak. Dan yang penting adalah mengenai rekonsiliasi ini menjadi salah satu komponen yang menjadi obyek pemeriksaan dari instansi pemeriksa (Inspektorat, BPKP, BPK-RI). Apabila tidak terdapat kesesuaian mengenai rekonsiliasi dengan Dirjen Kekayaan Negara, maka hal ini dapat diangkat menjadi temuan. Adanya temuan instansi pemeriksa ini akan bermuara pada penilain Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga. b. Ketidakjelasan status aset yang dikelola.

(10)

10

disiapkan pula mekanisme hibah/penyerahan ke daerah agar tidak terjadi permasalahan di belakang, yang akan bermuara pada opini instansi pemeriksa atas laporan keuangan kementerian lembaga. Mekanisme hibah ini akan menjadikan jelas mengenai status aset (barang milik Negara/Daerah) apakah menjadi milik pusat atau daerah, sehingga alokasi untuk anggaran pemeliharaan dapat diyakini akuntabilitasnya.

Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah masih rendahnya nilai tawar dari instansi pemerintah dalam hal ketika terjadi tukar guling atas aset, terutama aset tidak bergerak. Seperti kita ketahui bersama, banyak aset-aset pemerintah berupa aset tidak bergerak yang menyusut atau bahkan lenyap begitu saja ketika terjadi tukar guling dengan pihak instansi lain ataupun pihak swasta. Dalam hal ini terdapat indikasi adanya tindakan korupsi/suap dari pengelola ataupun pemangku jabatan pada kementerian/lembaga/instansi daerah. Hal lain adalah lemahnya tindakan/pengetahuan hukum dari pengelola aset mengenai tekhnis tukar guling aset. Tukar guling aset adalah hal yang rumit, karena hal ini berkaitan dengan taksiran nilai dan kuantitas. Selain itu untuk aset tidak bergerak juga berkaitan dengan lembaga lain yang berkompeten, yaitu Badan Pertanahan Nasional. Diperlukan kecakapan dari pihak seumber daya manusia pengelola aset, agar tidak terjadi kerugian dalam hal tukar guling ini.

c. Kurang optimalnya penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka mendukung tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Hal ini sering terjadi untuk aset-aset yang dianggarkan di pemerintah pusat namun penggunaan untuk di daerah dengan melalui mekanisme dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan urusan bersama. Misalnya untuk aset-aset bergerak yang membutuhkan jaringan listrik ataupun jaringan internet, di dalam perencanaan seharusnya sudah bisa dipetakan apakah aset yang dianggarkan tersebut bisa digunakan di daerah.

d. Kurang optimalnya pemanfaatan dan

(11)

11

Perlu adanya peningkatan kemampuan tekhnis dari user ataupun pengelola aset agar dapat mengoperasikan aset sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja pemerintahan. Hal ini sering terjadi untuk aset berupa aset bergerak klasifikasi aset tak berwujud, berupa aplikasi computer. Pemerintah mempunyai banyak aset berupa aset tak berwujud, yang mempunyai fungsi guna sebagai tools dalam menunjang kinerja pemenrintahan, namun aset ini sering tidak didayagunakan dengan baik karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, ataupun kurang bagusnya pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Hal ini sering terjadi di daerah. Instansi daerah, sering tidak memperhatikan kekhususan keterampilan dari sumber daya manusia dalam hal penempatan pada wilayah kerja. Ataupun sdm yang menguasai mengenai aset tak berwujud tersebut ditempatkan pada tempat lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan aset tersebut.

Sering terjadi tidak tertibnya dalam hal penguasaan aset, terutama untuk aset dalam penguasaan pejabat yang purna tugas, ataupun aset yang digunakan oleh pihak ketiga. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya dari pihak pengelola aset untuk menarik kembali aset yang telah selesai dalam masa pakai.

e. Meminimalisasi terjadinya kerugian Negara sebagai akibat dari pengelolaan Barang Milik Negara.

Banyak terdapat aset-aset yang mempunyai masa pakai masih sedikit, namun yang banyak mengalamai kerusakan ataupun tidak dapat digunakan. Poin satu, tidak berfungsinya aset-aset yang masa pakai masih sedikit ini sebagai akibat dari kurangnya pemeliharaan dari aset. Apabila hal ini terjadi pada aset tidak bergerak seperti gedung, apabila gedung rubuh tidak hanya terdapat kerugian materiil namun juga kerugian jiwa.

(12)

12

instansi pemeriksa BPK-RI. Permasalahan ini dikarenakan tidak tertibnya pengelola barang pada kementerian/lembaga dan instansi daerah. Hal yang dapat dilakukan adalah menempatkan sdm yang mempunyai kapabilitas yang memadai dalam hal pengelolaan barang milik Negara/daerah, serta meningkatkan kapasitas sdm dengan memberikan kediklatan pengelola barang.

4. BMN Berupa Tanah dan Bangunan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN mengamanatkan agar BMN berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, harus diambil langkah-langkah konkret, terukur, dan inovatif untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi BMN berupa tanah, yang selanjutnya disebut kebijakan sertifikasi aset yang dalam penyelesaiannya selalu berkoordinasi dengan BPN.

Untuk menunjang tugas pengidentifikasian BMN berupa tanah sebagai pendukung proses sertifikasi yang dianggarkan secara On Top pada DIPA BPN, sejak bulan Januari 2012 telah diimplementasikan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pendataan Tanah pemerintah (SIMANTAP). SIMANTAP sekarang ini telah digunakan oleh semua satker. Melalui SIMANTAP ini akan diperoleh informasi mengenai data tanah yang sudah bersertifikat maupun yang belum, lokasi/letak, luas serta penggunaannya. Adapun pengamanan yang dapat dilakukan terhadap barang milik negara/daerah adalah : 1. Barang milik negara/daerah berupa tanah harus

disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan; 2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus

dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan;

3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang;

(13)

13

Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (selanjutnya disebut BMN idle) dan telah diserahkan kepada Pengelola Barang, selanjutnya akan didayagunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Hasil pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian (IP) menggambarkan bahwa terdapat Satuan Kerja (Satker) yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga namun terdapat juga Satker yang memiliki tanah dan/atau bangunan yang berlebih dan tidak digunakan. Untuk hal ini, Pengelola Barang harus menempatkan posisinya untuk mengalokasikan BMN idle kepada K/L yang membutuhkan dan meminta BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari Pengguna Barang.

5. Pengelolaan Barang Milik Daerah

Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) sasaran strategis yang harus dicapai dalam kebijakan pengelolaan aset/barang milik daerah antara lain:

a. Terwujudnya ketertiban administrasi mengenai kekayaan daerah;

b. Terciptanya efisiensi dan efektivitas penggunaan aset daerah;

c. Pengamanan aset daerah;

d. Tersedianya data/informasi yang akurat mengenai jumlah kekayaan daerah.

Strategi optimalisasi pengelolaan barang milik daerah meliputi :

Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah

Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah yang dimiliknya, baik yang saat ini dikuasai maupun yang masih berupa potensi yang belum dikuasai atau dimanfaatkan. Untuk itu pemerintah daerah perlu melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang akurat, lengkap dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah.

(14)

14

Daerah yang akan dilaporkan kepada masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi aset daerah secara lebih objektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa penilai yang independen.

 Adanya sistem informasi manajemen aset daerah. Untuk mendukung pengelolaan aset daerah secara efisien dan efektif serta menciptakan transparansi kebijakan pengelolaan aset daerah, maka pemerintah daerah perlu memiliki atau mengembangkan sistem informasi manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat untuk pengambilan keputusan. Sistem informasi manajemen aset daerah juga berisi data base aset yang dimiliki daerah. Sistem tersebut bermanfaat untuk menghasil laporan pertanggungjawaban. Selain itu, sistem informasi tersebut juga bermanfaat untuk dasar pengambilan keputusan mengenai kebutuhan pengadaan barang dan estimasi kebutuhan belanja (modal) dalam penyusunan APBD.

 Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan aset. Pemanfaatan aset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak terjadi salah urus (miss management), kehilangan dan tidak termanfaatkan. Untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut, peran auditor internal sangat penting.

 Melibatkan berbagai profesi atau keahlian yang terkait seperti auditor internal dan appraisal(penilai).

Pertambahan aset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh penilai yang independen. Peran profesi penilai secara efektif dalam pengelolaan aset daerah antara lain:

1. Identifikasi dan inventarisasi aset daerah;

2. Memberi informasi mengenai status hukum harta daerah;

3. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud;

4. Analisis investasi dan set-up

investasi/pembiayaan;

(15)

15

1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality)

2. Akuntabilitas proses (process accountability) 3. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)

Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power) oleh pejabat dalam penggunaan dan pemanfaatan kekayaan daerah, sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang berlaku. Akuntabilitas hukum juga dapat diartikan bahwa kekayaan daerah harus memiliki status hukum yang jelas agar pihak tertentu tidak dapat menyalahgunakan atau mengklaim kekayaan daerah tersebut.

Akuntabilitas proses terkait dengan dipatuhinya prosedur yang digunakan dalam melaksanakan pengelolaan kekayaan daerah. Untuk itu perlu kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen dan prosedur administrasi. Hal ini penting untuk mewujudkan akuntabilitas kebijakan pengelolaan aset daerah baik secara vertikal maupun secara horisontal.

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap DPRD dan masyarakat luas atas kebijakan-kebijakan perencanaan, pengadaan, pendistribusian penggunaan atau pemanfaatan kekayaan daerah, pemeliharaan sampai pada penghapusan barang milik daerah.

Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) agar pelaksanaan pengelolaan aset daerah dapat dilakukan dengan baik dan benar sehingga dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pengelolaan aset daerah hendaknya berpegangan teguh pada azas-azas sebagai berikut :

1. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan kepala daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing;

2. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;

(16)

16

4. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;

5. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan

barang milik daerah harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada rakyat;

6. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah.

Subagya (1995) menyatakan untuk menghindarkan pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan terhadap perlengkapan dan peralatan. Kebutuhan harus ditentukan secara tepat terutama mengenai tipe dan spesifikasinya. Disamping itu ditentukan pula sumber dan jumlah dari perlengkapan dan peralatan yang akan dibeli, hal ini perlu dilakukan untuk menentukan cara yang akan dilaksanakan dalam pembelian tersebut. Perencanaan proses pengadaan/pembelian sejak dari awal sampai kepada barang diterima ditempat harus telah disusun dan tergambar dengan jelas, baik tahap demi tahap dari kegiatannya sendiri maupun jadwal waktu secara tepat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Nomor 17 Tahun 2007, penilaian barang milik daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik daerah. Penetapan nilai barang milik daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)

(17)

17

Penghapusan dilaksanakan dengan keputusan pengelola atas nama Kepala Daerah untuk barang milik daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan dengan Keputusan Kepala Daerah untuk barang milik daerah yang sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 barang milik daerah yang dihapus dan masih mempunyai nilai ekonomis, dapat dilakukan melalui pelelangan umum/pelelangan terbatas; dan/atau disumbangkan atau dihibahkan kepada pihak lain. Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik daerah meliputi penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan modal pemerintah daerah.

Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010), untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan dan menjamin tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah secara efisien dan efektif maka diperlukan fungsi berikut ini:

1. Pembinaan, yaitu usaha atau kegiatan melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi.

2. Pengawasan, yaitu usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau kegiatan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pengendalian, yaitu usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

B. Identifikasi Masalah

Beberapa yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan barang milik daerah yaitu:

1. Kepala SKPD lebih “merasa” sebagai Pengguna Anggaran (PA) dibandingkan sebagai Pengguna Barang (PB).

(18)

18

Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang.

Dan tentu saja di PP 6/2006 dan Permendagri 17/2007 dengan jelas menyatakan bahwa Kepala SKPD adalah Pengguna Barang.

Jadi, Kepala SKPD dalam melaksanakan tugas pengelolaan keuangan daerah adalah Pengguna Anggaran, dan dalam melaksanakan tugas pengelolaan barang milik daerah adalah Pengguna Barang.

Permasalahannya adalah benarkah Kepala SKPD

dalam keseharian dalam melaksanakan tugas “merasa”

sebagai Pengguna Anggaran sekaligus Pengguna Barang ? Kalau ya, benarkah hal tersebut tercermin dalam kebijakan Kepala SKPD ? Misalnya : terciptanya keseimbangan perhatian Kepala SKPD terhadap Pengelolaan keuangan daerah dan Pengelolaan BMD ?

Pada umumnya, Kepala SKPD lebih “merasa”

sebagai Pengguna Anggaran di bandingkan Pengguna Barang. Salah satunya mungkin disebabkan karena kurangnya pemahaman Kepala SKPD selaku Pengguna Barang.

2. Dukungan Anggaran Untuk Pelatihan, Bintek Pengelolaan BMD Belum Memadai

Sebagaimana diketahui, begitu terbit Permendagri 13/2006 dan Permendagri 59/2007, hampir sebagian Pemerintah Daerah sangat intensif mengadakan pelatihan/sosialisasi Permendagri 13/2006 dan Permendagri 59/2007.

Dan hal tersebut bisa dirasakan dalam 2 tahun setelah terbitnya Permendagri 13/2006 dan Permendagri 59/2007, baik di eksekutif (Bagian Anggaran dan Bagian Akuntansi dan Pelaporan) apalagi di DPRD, sebagaimana kita ketahui mereka memiliki fungsi budgetting dan memiliki anggaran bintek yang banyak sekali.

Mengapa hal tersebut (bintek keuangan daerah) bisa terjadi demikian? Sebagaimana diketahui bahwa dalam penyusunan RKA-SKPD yang paling berperan adalah TAPD dan DPRD. Jadi disetujui atau tidaknya suatu kegiatan sangat tergantung dengan TAPD dan DPRD.

3. Insentif Untuk Pengurus Barang Dan Penyimpan Barang Belum Sebanding Dengan Beban Kerja

(19)

19

tugasnya, artinya insentif ini menjadi motivasi dalam bekerja.

Tetapi tidaklah demikian dengan Penyimpan barang dan Pengurus barang, disebagian besar pemerintah daerah kalaupun ada insentif jarang sekali besarnya insentif tersebut sama dengan bendahara keuangan, apalagi melebihi Bendahara Keuangan.

Bahkan beberapa pemerintah daerah tidak memberikan insentif sama sekali kepada Penyimpan Barang dan Pengurus Barang. Jika Bendahara, PPK-SKPD, semua bekerja dalam periode satu tahun anggaran, setelah tahun anggaran berakhir semua kegiatan dimulai dari awal lagi.

Tetapi tidaklah demikian terhadap Pengurus Barang. Sebab Pengurus Barang melakukan tugasnya untuk semua barang sejak Pemerintah Daerah tersebut berdiri. Artinya pengurus barang bertanggungjawab bukan hanya barang yang berasal dari tahun anggaran berjalan saja tetapi juga tahun anggaran sebelum2nya.

Yang menjadi permasalahan adalah, adakah keseimbangan antara beban kerja Pengurus Barang dan insentif yang diberikan Pemda ? Jadi tidaklah heran jika banyak Pengurus Barang kurang memiliki motivasi, kalaupun memiliki motivasi bekerja belum tentu bisa menyelesaiakan tugas dengan baik karena keterbatasan sumberdaya. Misalnya, ketidaktersediaan aplikasi berbasis IT untuk pengelolaan BMD, pelatihan dan kewenangan yang ada.

4. Insentif Bagi Pengelola Barang Yang Berhasil Meningkatkan PAD Melalui Pemanfaatan Dan Pemindahtanganan Tidak Tegas Aturannya Dan Tidak Sebanding Dengan Resiko Hukum Yang Dihadapi

Secara sekilas banyak sekali aset-aset pemda yang tidak dioptimalkan/dimanfaatkan, misalnya banyaknya tanah, gedung dan barang milik daerah lainnya yang terlantar.

Pertanyaannya, mengapa hal tersebut terjadi ? Salah satunya adalah, bagi pengelola barang milik daerah resiko hukum dan insentif yang diterima, bagi yang berhasil melakukan optimalisasi/pemanfaatan barang milik daerah tidak sebanding.

(20)

20

hasil Pemanfaatan barang milik daerah, para pengelola

“tidak” mendapatkan insentif, walaupun pasal 84 ayat (2)

Permendagri 17/2007 dengan menyatakan

“Pejabat/pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang

milik daerah yang menghasilkan pendapatan dan

penerimaan daerah, diberikan insentif”.

5. Penekanan Audit BPK Terhadap Pengelolaan BMD

Hasil Audit BPK menunjukkan bahwa, disclaimernya hasil audit terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah karena Neraca kurang baik, Neraca kurang baik karena Laporan Barang Milik Daerah kurang baik.

Jadi wajar jika saat ini anggaran, kebijakan dan perhatian Pejabat pemeritnah daerah dan DPRD harusnya mengarah ke pengelolaan barang milik daerah.

Walapun barang milik daerah dari dahulu menjadi objek pemeriksaan BPK, tetapi 2 – 3 tahun terakhir ini bisa dirasakan auditor BPK memeriksa barang milik daerah lebih intensif, jadi tidak heran bila dalam 2-3 tahun terakhir ini banyak pemda (khususnya Kepala Daerah dan DPRD) baru sadar kalau pengelolaan asetnya ternyata amburadul.

6. Proses Penghapusan Tidak Berjalan Dengan Baik

Salah satu sebab kurang baiknya Laporan Barang Milik Daerah adalah, banyaknya selisih antara jumlah barang di buku dengan jumlah barang yang sebenarnya/ yang ada.

Mengapa hal tersebut terjadi ? Diantaranya karena proses penghapusan yang tidak berjalan dengan baik, misalnya, beberapa Pemda dalam setahun belum tentu melakukan penghapusan.

Artinya, dalam setahun akan sangat mungkin banyak barang yang seharusnya dihapus, karena tidak dilakukan penghapusan barang tersebut menjadi semakin rusak bahkan menjadi hilang. Dan hal ini akan mengakibatkan sulitnya melakukan penghapusan (barang rusak telah hilang) dan semakin kesulitan dalam melakukan inventarisasi barang. (menyamakan jumlah barang dibuku dan jumlah barang yang sebenarnya/ yang ada).

Pertanyaan yang mendasar sebenarnya adalah, mengapa proses penghapusan tidak berjalan dengan baik? 7. Belum Tersedianya Aplikasi Berbasis IT Untuk Mendukung

(21)

21

Mungkin kita semua sepakat, kalau administrasi barang milik daerah dibanyak pemda masih amburadul.

Mengapa hal ini terjadi ? Salah satunya, belum adanya aplikasi berbasis IT yang dimiliki Pemda dalam pelaksanaan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pentausahaan, akuntansi aset dan penyusunan laporan barang milik daerah. Dan bila kita bandingkan dukungan Pemda terhadap Aplikasi berbasis IT yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah pasti sangat jauh berbeda. Bisa dikatakan bahwa setiap pemda pasti memiliki aplikasi berbasi IT untuk pengelolaan keuangan daerah tapi belum tentu untuk pengelolaan barang milik daerah.

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

Tujuan penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan barang milik daerah Kabupaten Cilacap ini adalah :

1. Melakukan kajian dan mendiagnosa persoalan-persoalan krusial yang dihadapi dalam pengelolaan barang milik daerah, khususnya di Kabupaten Cilacap.

2. Melakukan paparan ilmiah atas temuan-temuan persoalan pengelolaan barang milik daerah, khususnya di Kabupaten Cilacap, dalam persektif filosofis, sosiologis, dan yuridis.

3. Memberi landasan ilmiah akademik bagi penyusunan rancangan kebijakan pengelolaan barang milik daerah di Kabupaten Cilacap.

Adapun manfaat penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan barang milik daerah Kabupaten Cilacap ini adalah :

1. Secara teoretis menjadi perbandingan kajian-kajian serupa di tempat lain untuk mengukur akurasi pemanfaatan pengetahuan-pengetahuan bantu tersebut dalam rangka penyusunan kerangka solusi atas persoalan yang terkait dengan pengelolaan barang milik daerah.

(22)

22 D. Metode Penyusunan Naskah Akademik

1. Metode Pengumpulan Data

Kajian ini menggunakan informasi yang tersebar pada beberapa sumber, meliputi Dinas, pemangku kepentingan, dan kepustakaan terkait dengan konsepsi dasar dan teori-teori yang berhubungan pengelolaan barang milik daerah. Informasi yang tersebar tersebut dikumpulkan dengan beberapa metode :

a. Metode Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data dengan memfokuskan terhadap dokumen tertulis atau tercetak yang telah terpublikasi atau terdokumentasi oleh orang atau lembaga. Dokumen yang diperoleh melalui metode dokumentasi adalah peraturan dan regulasi terkait pengelolaan barang milik daerah, sejarah dan konsep dasar pengelolaan barang milik daerah, dan data empiris pengelolaan barang milik daerah di Cilacap.

b. Metode Wawancara, yaitu metode dengan menekankan dialog secara langsung dengan sumber-sumber informasi. Metode ini digunakan untuk menggali secara dalam informasi tertentu dari narasumber termasuk opini dan perspektif yang dimiliki oleh narasumber atas informasi tertentu. Beberapa informasi yang diperoleh melalui wawancara ini adalah masalah-masalah yang berhubungan pengelolaan barang milik daerah di Cilacap, hambatan atau masalah yang dihadapi petugas dalam melakukan pengelolaan barang milik daerah, dan opini yang muncul di tengah masyarakat terkait dengan pengelolaan barang milik daerah.

(23)

23

yang kompleks. Semakin kompleks maka isu tersebut membutuhkan FGD sebagai forum klarifikasi.

2. Metode Analisis Data

Dari data-data yang diperoleh, proses berikutnya dalam penyusunan naskah akademik ini adalah analisis data.

Dalam konteks ini, analisis dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu analisis deskriptif (descriptive analysis) dan analisis isi (content analysis).

a. Analisis deskriptif bersifat kualitatif melalui narasi-narasi ilmiah yang bersifat deskriptif. Pengelolaan barang milik daerah dijelaskan secara runtut melalui logika induktif yang berawal dari konteks, masalah yang teridentifikasi, formula teoretis, kajian empiris, dan konstruksi perbaikan. Melalui logika induktif ini, pengelolaan barang milik daerah sebagai lokus kajian naskah akademik ini dideskripsikan secara runtut sesuai dengan data yang ditemukan. Pada dasarnya, analisis deskriptif tidak sampai pada kesimpulan akhir, hal ini karena secara kualitatif, analisis bersifat

on going dan akan berakhir ketika mengalami kejenuhan. Indikator kejenuhan adalah apabila tidak ditemukan data baru dalam satu periode kajian tertentu.

b. Analisis Isi (content analysis) dilakukan mengingat pengelolaan barang milik daerah tidak bisa lepas dari regulasi lain yang mengitarinya. Maka upaya perbaikan pengelolaan barang milik daerah yang akan dijalankan tidak bisa lepas dalam konteks regulasi tersebut. Untuk memastikan kerangka perbaikan tidak lepas konteks, maka analisis dilakukan melalui kajian terhadap isi undang-undang dan peraturan lain yang melingkupinya. Dengan demikian, setiap konsep yang dimunculkan sebagai inisiatif perbaikan pengelolaan barang milik daerah memiliki keterkaitan dengan berbagai referensi atau regulasi-regulasi yang mengitarinya.

(24)

24 BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

I. KAJIAN TEORETIS

I.a. Definisi Aset

Barang Milik Daerah merupakan bagian dari aset Pemerintah Daerah yang berupa barang

berwujud. Pengertian aset secara umum menurut Siregar adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu.1 Dengan

demikian agar sesuatu dapat dikategorikan sebagai aset, maka dia harus memiliki nilai.

Hal ini sepaham dengan definisi aset yang ditegaskan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi

Pemerintahan dimana aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial dimasa depan

diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,

termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.2

Nilai dari suatu aset harus diukur dan dinyatakan dalam satuan moneter (rupiah) sehingga aset tersebut dapat diakui (recognized) dalam laporan keuangan. Dalam sektor pemerintahan mungkin lebih penting untuk menghargai aspek non-moneter dari nilai suatu aset. Istilah potensi manfaat digunakan untuk menjelaskan manfaat/kegunaan dari suatu aset dalam memenuhi tujuan penyediaan

pelayanan dan merupakan suatu konsep yang bermanfaat untuk dipakai di saat aset tidak menghasilkan pemasukan (income). Istilah ini juga ditujukan sebagai manfaat yang akan datang (future benefit) yang diharapkan akan

1Doli Siregar D.,Manajemen Aset, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2004, hlm.178.

2Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar

(25)

25

diperoleh. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi aset tersebut untuk memberikan sumbangan baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan dan penghematan belanja bagi pemerintah.3

Barang Milik Daerah sebagai aset memiliki beragam bentuk. Dalam akuntansi, aset digolongkan berdasarkan masa manfaatnya ke dalam aset lancar dan aset tetap. Dijelaskan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan bahwa Aset lancar adalah aset yang diharapkan segera untuk direalisasikan, dipakai, atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan.4

Barang Milik Daerah berupa aset lancar merupakan barang atau perlengkapan yang dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang-barang yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, yang dicatat dalam neraca daerah sebagai Persediaan.5

Adapun aset tetap dijelaskan sebagai aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau

dimanfaatkan oleh masyarakat umum.6 Aset tetap meliputi

Tanah; Peralatan dan Mesin; Gedung dan Bangunan; Jalan, Irigasi dan jaringan; Aset Tetap Lainnya; serta konstruksi dalam Pengerjaan.7 Dari uraian diatas, yang

tergolong barang Barang Milik Daerah daerah adalah

Persediaan (bagian dari aset lancar) ditambah seluruh aset tetap yang ada di neraca daerah.

I.b. Manajemen Aset

Pengelolaan memiliki padanan kata manajemen, yang diserap dari bahasa Inggris to-manage yang secara leksikal

diartikan “mengurus, mengatur,melaksanakan,mengelola”,8

atau “proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran”.9 Dari segi istilah ditemukan banyak

definisi tentang manajemen. Definisi yang sering digunakan

3Ibid.,paragraf 61.

4Ibid., paragraf 48.

5Ibid., Pernyataan Nomor 05 mengenai Persediaan paragraf 60 huruf a.

6Ibid, paragraf 57.

7Ibid., Pernyataan Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap, paragraf 8.

8John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta:

Gramedia. hlm. 372.

9Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

(26)

26

adalah dari Ricky W.Griffin, dimana manajemen dijelaskan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,

pengkordinasian dan pengendalian atau kontrol sumber daya dalam mencapai sasaran dengan efisien dan efektif.10

Terkait manajemen aset dalam literatur ditemukan

beberapa definisi mengenai manajemen aset. Secara umum Davis menjelaskan manajemen aset sebagai pendekatan yang mencari cara terbaik agar aset dapat mendatangkan manfaat sebenar-besarnya bagi organisasi dan atau

pemangku-pemangku kepentingan dari organisasi.11

Adapun Hastings menjelaskan manajemen aset merupakan serangkaian aktivitas terkait dengan identifikasi tentang aset yang dibutuhkan dan pembiayaannya, proses

mendapatkannya, penyediaan logistik dan sistem untuk pendukung pemeliharaan hingga pemusnahannya dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien.12

I.c. Urgensi dan Tujuan Manajemen Aset

Aset daerah merupakan sumberdaya penting bagi

pemerintah daerah. Aset yang ditata dan dikelola dengan baik dapat menjadi potensi sebagai sumber pembiayaan pelaksanaan fungsi-fungsi Pemerintah Daerah serta dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam jumlah yang signifikan. Namun, jika tidak dikelola dengan

semestinya aset tersebut justru menjadi beban biaya karena sebagian dari aset membutuhkan biaya perawatan atau pemeliharaan dan juga turun nilainya (terdepresiasi) seiring dengan perjalanan waktu. Mengingat pentingnya manajemen aset bagi ekonomi daerah, maka aset daerah perlu dikelola secara tepat dan berdayaguna, dengan didasari prinsip pengelolaan yang efisien dan efektif.

Siregar menyebutkan bahwa tujuan manajemen aset secara umum adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi dan inventarisasi semua aset meliputi bentuk, ukuran, fisik, legal, sekaligus mengetahui nilai pasar atas masing-masing aset tersebut yang mencerminkan manfaat ekonomisnya. (2) Mengoptimalkan pemanfaatan aset, apakah aset

tersebut telah sesuai dengan peruntukkannya atau tidak.

10Ricky W Griffin, Manajemen (terj), Erlangga: Jakarta, 2002, hlm.5.

11Robert Davis, An Introduction to Asset Management :A Simple But Informative

Introduction To The Management Of Physical Assets. United Kingdom:

Capenhurt, 2014,hlm.7.

12Nicholas Anthony John Hastings, Physical Assets Management.

(27)

27

(3) Terciptanya suatu sistem informasi dan administrasi sehingga tercapainya efisien dan efektif dalam pengelolaan asset.13

Sugiama menjelaskan lebih spefisik terkait tujuan efisien dan efektif dalam pengelolaan aset lebih spesifik Sugiama adalah dalam rangka (1) Meminimisasi biaya selama umur aset bersangkutan (to minimize the whole life cost of assets), (2) Menghasilkan laba maksimum (profit maximum) dan (3) Mencapai penggunaan serta pemanfaatan aset secara optimum (optimizing the utilization of assets).14 Dalam hal

pengelolaan Barang Milik Daerah, optimasi aset bertujuan meningkatkan penerimaan daerah bukan pajak.

Selain tujuan inventarisasi dan optimasi, Hambali menjelaskan bahwa manajemen aset bertujuan untuk memperoleh kejelasan status kepemilikan aset,

pengamanan aset dan sebagai dasar penyusunan neraca.15

Adanya kejelasan status kepemilikan aset menjadikan jelas mengenai pihak yang berwenang atas aset dan

pertanggungjawabannya. Manajemen aset juga penting untuk menghasilkan informasi yang valid dan terpercaya bagi penyusunan laporan keuangan (neraca), sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan barang milik daerah. Adanya manajemen aset yang baik pada gilirannya dapat meminimalkan praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan Barang Milik Daerah.

I.d. Proses Manajemen Aset

Mardiasmo menjelaskan ada tiga prinsip dasar pengelolaan kekayaan aset daerah yakni: (1) Adanya perencanaan yang tepat, (2) Pelaksanaan/pemanfaatan secara efisien dan efektif, dan (3) pengawasan (monitoring).16 Pemerintah

daerah perlu membuat perencanaan kebutuhan aset yang akan digunakan/dimiliki. Berdasarkan rencana tersebut, pemerintah daerah kemudian mengusulkan anggaran pengadaannya. Dalam hal ini, masyarakat dan DPRD perlu melakukan pengawasan (monitoring) mengenai apakah aset

13Doli D Siregar, Manajemen Aset..., hlm.776.

14A. Gima Sugiama, Manajemen Aset Pariwisata, Bandung: Guardaya

Intimarta, 2013, hlm.15.

15Hambali, Inventarisasi Barang Milik Negara, Bandung: Politeknik Negeri

Bandung, 2010, hlm.12.

16Mardiasmo, Prinsip-Prinsip Manajemen Dalam Pembiayaan Desentralisasi,

(28)

28

atau kekayaan untuk dimiliki daerah tersebut benar-benar dibutuhkan daerah.

Seandainya memang dibutuhkan, maka pengadaannya harus dikaitkan dengan cakupan layanan yang dibutuhkan dan diawasi apakah ada mark-up dalam pembelian

tersebut. Setiap pembelian barang atau aset baru harus dicatat dan terdokumentasi dengan baik dalam sistem database kekayaaan daerah.

Menurut Siregar manajemen aset pemerintah daerah dapat dibagi dalam lima tahap kerja yang meliputi; inventarisasi aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi pemanfaatan dan pengembangan SIMA (sistem informasi manajemen aset), di mana kelima tahapan tersebut adalah saling berhubungan dan terintegrasi satu dengan yang lainnya.17

Inventarisasi Aset merupakan kegiatan yang terdiri dari dua aspek, yaitu inventarisasi fisik dan yuridis/legal. Aspek fisik terdiri atas bentuk, luas, lokasi, volume/jumlah, jenis, alamat dan lain-lain. Sedangkan aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan. Proses kerja yang dilakukan adalah pendataan, kodifikasi/labelling, pengelompokkan dan pembukuan/administrasi sesuai dengan tujuan

manajemen aset.

Legal audit sebagai lingkup kerja manajemen aset

merupakan inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaann atau pengalihan aset.

Selanjutnya identifikasi dan mencari solusi atas permasalahan legal, dan strategi untuk memecahkan berbagai permasalahan legal yang terkait dengan penguasaan dan pengalihan aset. Masalah yang sering dihadapi dalam legal audit, menyangkut status penguasaan yang lemah, aset dikuasai pihak lain, pemindahan aset yang tidak termonitor dan lain lain.

Kesatuan kerja lanjutan dari manajemen aset, yaitu berupa kegiatan penilaian aset sebagai upaya penilaian atas aset yang dikuasai pemerintah daerah dan biasanya kegiatan ini dilakukan oleh konsultan penilaian independent. Hasil dari nilai tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan maupun informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual.

Selanjutnya optimalisasi asset merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki asset tersebut.Dalam

(29)

29

kegiatan ini aset-aset yang dikuasai Pemda diidentifikasi dan dikelompokkan atas aset yang memiliki potensi dan yang tidak memiliki potensi. Aset yang memiliki potensi dapat dikelompokkan berdasarkan sektor-sektor unggulan yang dapat menjadi tumpuan dalam strategi

pengembangan ekonomi nasional, baik dalm jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

Untuk menentukan hal tersebut harus terukur dan

trnsfaran, sedangkan aset yang tidak dapat dioptimalkan, harus dicari faktor penyebabnya, apakah faktor

permasalahan legal, fisik, nilai ekonomi yang rendah ataupun faktor lainnya, sehinnga setiap aset nantinya memberikan nilai tersendiri. Hasil akhir dari tahapan ini adalah rekomendasi yang berupa sasaran, strategi dan program untuk mengoptimalkan aset yang dikuasai. Kemudian sebagai kegiatan akhir dari manajemen aset yaitu pengawasan dan pengendalian dan hal ini sering menjadi bahan hujatan terhadap Pemda saat ini. Sarana yang paling efektif untuk meningkatkan kinerja aspek ini adalah pengembanan SIMA. Melalui SIMA, transparansi kerja dalam pengelolaan aset sangat terjamin tanpa perlu adanya kekhawatiran akan pengawasan dan pengendalian yang lemah. Dalam SIMA, keempat aspek di atas

diakomodasi dalam sistem dengan menambah aspek pengawasan dan pengendalian. Demikian setiap

penanganan terhadap suatu aset, termonitor jelas, mulai dari lingkup penanganan hingga siapa yang

bertanggungjawab menanganinya. Hal ini akan diharapkan meminimalkan KKN dalam pelaksanaan pelayanan oleh Pemda

Sementara itu Sugiama memerinci proses manajemen aset sebagai siklus kegiatan mulai dari merencanakan

kebutuhan aset, mendapatkan, menginventarisasi, melakukan legal audit, menilai, mengoperasikan,

memelihara, membaharukan atau menghapuskan hingga mengalihkan aset melalui penjualan, penghibahan,

penyertaan modal atau pemusnahan.18

Secara garis umum perencanaan kebutuhan

aset merupakan sebuat rencana tentang barang-barang atau aset-aset apa saja yang dibutuhkan/diperlukan oleh sebuah perusahaan atau instansi. Setelah melalui

perencanaan kebutuhan aset kita memasuki

alur pengadaan aset yang dimana rencana kebutuhan aset

(30)

30

tadi diadakan barangnya dengan membeli barang (aset) tersebut.

Setelah itu semua aset-aset yang dimiliki sebuah perusahaan ataupun instansi harus dicatat

kepemilikannya (inventarisasi aset). Hal ini merupakan proses yang sangat penting karena sebuah perusahaan harus mengetahui aset-aset apa saja yang mereka miliki. Kemudian pencatatan yang mewakili atas barang yang dimiliki perusahaan tersebut harus didukung dengan bukti-bukti kepemilikan atas aset-aset (legal audit aset), seperti tanah dengan buktinya SHM (Surat Hak Milik). Setelah itu,semua aset-set tersebut dapat dinilai (penilaian aset) berdasarkan kegunaan dan fungsinya yang masih dalam keadaan baik. Dari tahun ke tahun aset-aset ini akan berubah peniaian, hal ini dikarenakan penggunaan dari aset tersebut.

Setelah itu, aset-aset ini pun harus dioperasikan dan dipelihara (pengoperasian dan pemeliharaaan aset) dengan efektif dan efisien agar sebuah perusahaan ataupun pemerintah akan mencapai hasil yang optimal. Apabila aset-aset tersebut telah dioperasikan selama bertahun-tahun, diperlukan adanya pembaharuan atau rejuvenasi aset untuk mengoptimalkan kembali fungsi dari aset tersebut. Apabila aset tersebut tidak dapat lagi

diperbaharui atau diperbaiki maka aset tersebut akan melalui alur penghapusan aset yang berupa pengalihan aset (penjualan, penghibahan dan penyertaan modal) atau pemusnahan aset.

II. PRAKTIK EMPIRIS

Selama ini di lingkungan pemerintahan manajemen aset masih dianggap sebagai pengelolaan aset secara fisik saja, sekedar instrumen pengelolaan daftar aset. Realita di lapangan menunjukan banyak kasus yang sebenarnya dimulai dari

salah kelola dan salah urus masalah aset, sehingga berdampak kerugian yang tidak sedikit. Permasalahan ini muncul pada berbagai tahap pengelolaan dan saling berkaitan. Bagian

selanjutnya menguraikan berbagai praktik pengelolaan barang milik daerah (BMD) yang terjadi di lapangan.

II.a. Praktik Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran

Pada praktek perencanaan kebutuhan dan

(31)

31

sering menganggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, sedangkan yang benar-benar dibutuhkan tidak

dianggarkan.” Hal ini menjadikan penggunaan dan pemanfaatannya menjadi tidak optimal. Kerap kali program kerja yang disusun disesuaikan dengan anggaran, bukan sebaliknya, sehingga celah

penyimpangan semakin terbuka untuk dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu.

Hal tersebut banyak terjadi karena adanya

kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente, yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Banyaknya celah penyimpangan

perencanaan kebutuhan dan anggaran yang rawan korupsi tersebut disebabkan karena lemahnya pengelolaan keuangan negara.

Selama ini ada kecenderungan masing-masing SKPD seolah berlomba-lomba untuk mendapat alokasi belanja modal yang besar sehingga kurang memperhitungkan berapa banyak unit BMD yang sebenarnya

dibutuhkan. Akibatnya, pada sebagian instansi terjadi penumpukan BMD sedangkan pada yang lain dapat terjadi hal yang sebaliknya.

Hal-hal tersebut terjadi karena selama ini alokasi dana pemeliharaan belum mempertimbangkan kondisi dan kuantitas BMD, alokasi belanja modal belum

mempertimbangkan jumlah BMD yang dimiliki dan belum dilakukan evaluasi alternatif pembiayaan pengadaan BMD berdasarkan karakteristik kebutuhan BMD.

II.b. Praktik Pengadaan

Pengadaan barang dan jasa di daerah rawan dengan praktik korupsi. Banyak tuduhan bahwa Walikota - Kepala Satuan Kerja – PPK/Pimpro – Panitia Pengadaan dapat menerima “sesuatu” dari peserta/pemenang lelang terutama melalui mekanisme penunjukan langsung. Sistem Penunjukan Langsung dalam pengadaan barang

dan jasa di daerah dianggap paling “aman” dan mudah.

Sistem transaksi seperti demikian rawan terjadi praktek korupsi. Pengadaan Barang dan jasa secara konvensional seperti demikian selain rawan terjadi praktek KKN juga menghambat percepatan pelaksaan proyek. Proses yang berbelit-belit dan terlalu lama mengakibatkan

(32)

32

Akibat dari sistem penunjukan langsung yang demikian adalah masyarakat pelaku bisnis yang menjadi korban, karena hanya yang memiliki koneksi khusus dengan panitialah yang paling mungkin mendapatkan

“duriannya”. Hal tersebut melanggar prinsip adil/tidak diskriminatif dari sistem pengelolaan barang milik

daerah. Tidak jarang pemenang tender berasal dari luar daerah dan/atau yang memiliki hubungan khusus dengan panitia sehingga tidak memihak dan tidak memberikan kesempatan pada perusahaan lokal/daerah.

II.c. Praktik Penggunaan

Terkait penggunaan BMD, persoalan yang sering muncul adalah berupa penggunaan BMD yang tidak sesuai

tupoksi dan terjadinya inefisiensi. Persoalan ini disebabkan karena barang berlebih dan karena kecenderungan melanggar atau kekurangpahaman terhadap penggunaan suatu aset.

Dalam prakteknya penetapan status penggunaan ternyata capaiannya sangat minim, hal ini menjadi kontras apabila kita lihat amanat penetapan status penggunaan dalam PP 27 tahun 2014 dimana pengguna barang melaporkan BMD yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan. Dengan kata lain, terdapat kendala krusial dalam penetapan status penggunaan. Kendala dimaksud dapat berasal dari dua hal: (i)

kurangnya kesadaran pengguna barang terkait ketentuan penetapan status penggunaan dan (ii) belum adanya dokumen kepemilikan (untuk tanah tentu sertifikat) yang menjadi salah satu dokumen pendukung penetapan status penggunaan. Di lapangan juga didapatkan kenyataan adanya Barang Milik Daerah yang belum diserahkan status penggunaannya oleh Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Penggunaan asset milik/dibawah penguasaan pemerintah daerah dinilai kurang/belum maksimal, bahkan masih banyak aset yang berupa bangunan maupun tanah yang terlihat tidak terawat

/kosong/mangkrak/idle yang berada di beberapa tempat. Kemudian yang rawan terjadi adalah asset berupa

(33)

33

status hukum yang jelas maka akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

II.d. Praktik Pemanfaatan

Setelah terjadi perolehan aset, sering tidak difungsigunakan dengan baik oleh pemerintah,

pemanfaatannya kurang sesuai peruntukkan dan belum menguntungkan. Hal ini antara lain disebabkan karena pihak pengelola tidak mempunyai kapabilitas yang baik dalam memfungsigunakan aset. User atau pengelola aset kurang memiliki kemampuan teknis untuk dapat

mengoperasikan aset dan memberikan nilai tambah bagi kinerja pemerintahan. Hal ini sering terjadi untuk aset berupa aset bergerak klasifikasi aset tak berwujud, berupa aplikasi komputer.

Pemerintah mempunyai banyak aset berupa aset tak berwujud, yang mempunyai fungsi guna sebagai tools dalam menunjang kinerja pemenrintahan, namun aset ini sering tidak didayagunakan dengan baik karena

rendahnya kualitas sumber daya manusia, ataupun kurang bagusnya pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri.

Seiring terjadi tidak tertibnya dalam hal penguasaan aset, terutama untuk aset dalam penguasaan pejabat yang purna tugas, ataupun aset yang digunakan oleh pihak ketiga. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya dari pihak pengelola aset untuk menarik kembali aset yang telah selesai dalam masa pakai.

II.e. Praktik Pengamanan dan pemeliharaan

Kabupaten Cilacap saat ini masih mengalami kendala untuk mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari aspek pengamanan dan pemeliharaan hal ini terjadi oleh salah satunya tidak diketahuinya nilai aset khususnya yang berupa tanah dikarenakan tidak adanya kelengkapan administrasi (sertifikat) sehingga hak atas aset tersebut tidak jelas dan rawan terhadap

penyalahgunaan.

(34)

34

membawa mobil/motor yang secara administrasi tercatat sebagai aset pada instansi tempat asal pejabat tersebut bertugas. Tentunya hal ini mempengaruhi kesemrawutan administrasi pada buku inventaris.

Banyak terdapat aset-aset yang mempunyai masa pakai masih sedikit,namun yang banyak mengalamai kerusakan ataupun tidak dapat digunakan. Tidak berfungsinya aset-aset yang masa pakai masih sedikit ini sebagai akibat dari kurangnya pemeliharaan dari aset.

II.f. Praktik Penilaian

Banyak instansi yang belum dapat menyajikan data secara pasti, berapa sesungguhnya nilai aset tersebut. Pencatatan yang ada pada instansi pemakai barang masih banyak yang sudah ketinggalan zaman karena nilai yang tercatat pada umumnya didasarkan atas nilai perolehan yang tentu tidak mencerminkan nilai sesungguhnya. Pihak pengelola barang milik daerah sering menganggap remeh mengenai penilaian dan rekonsiliasi. Padahal dengan rekonsiliasi dapat diketahui nilai kesesuaian nilai aset dengan nilai wajar. Dengan demikian dapat diketahui apakah aset tersebut perlu dilakukan penilaian ulang atau tidak. Apabila terdapat ketidaksesuaian mengenai rekonsiliasi maka hal ini dapat diangkat menjadi temuan. Adanya temuan ini akan bermuara pada penilain Laporan Keuangan.

II.g. Praktik Pemindahtanganan

Secara sekilas banyak sekali aset-aset pemda yang tidak dioptimalkan/dimanfaatkan, misalnya banyaknya tanah, gedung dan barang milik daerah lainnya yang terlantar. Salah satu alasan mengapa hal tersebut terjadi adalah bagi pengelola barang milik daerah, antara resiko hukum dan insentif yang diterima, bagi yang berhasil melakukan optimalisasi/pemanfaatan barang milik daerah tidak sebanding. Artinya, ketika pengelola barang berhasil melakukan pemanfaatan dan pemindahtangan yang akan meningkatkan PAD, jika terjadi dugaan kerugian daerah bisa terjerat korupsi, dan bila terjadi peningkatan PAD dari hasil pemanfaatan barang milik daerah, para

pengelola “tidak” mendapatkan insentif walaupun pasal

84 ayat (2) Permendagri 17/2007 dengan menyatakan

(35)

35

milik daerah yang menghasilkan pendapatan dan

penerimaan daerah, diberikan insentif”.

II.h. Praktik Penghapusan

Dalam praktik pengelolaan barang milik daerah di kabupaten Cilacap masih ditemui persoalan

penghapusan. Masalah penghapusan, dimana barang yang sudah tidak dapat digunakan atau tidak

memberikan kontribusi terhadap kegiatan operasional pemerintah menumpuk di kantor tersebut dan terus membebani biaya pemeliharaan karena tetap diajukan anggaran biaya pemeliharaannya.

Hal ini disebabkan karena alasan tertentu tidak

dilakukannya penghapusan. Pada kondisi lainnya justru terjadi sebaliknya, dimana terdapat barang milik daerah yang telah dipindahtangankan namun tidak melalui proses penghapusan bahkan ada pula instansi yang mengajukan pengusulan penghapusan terhadap barang milik daerah yang sebenarnya masih layak pakai.

Ditemukan pula kenyataan dimana Barang Milik Daerah hasil tukar menukar belum dicatat dalam Laporan Mutasi Barang dan Buku Inventaris Barang sedangkan aset

pengganti untuk proses tukar menukar belum

dihapuskan dari Daftar Barang Milik Daerah Pemerintah Daerah. Demikian pula terdapat beberapa jenis aset dengan kondisi rusak berat yang tidak efisien untuk diperbaiki belum diusulkan untuk dihapuskan.

II.i. Praktik Penatausahaan

Hasil audit yang dilakukan oleh BPK RI atas laporan keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Cilacap hingga tahun 2014 masih terdapat beberapa pengecualian yang sampai saat ini masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyelesaiannya. Beberapa hal tersebut terkait dengan temuan penyajian aset yang belum memadai.

(36)

36

SKPD senilai rp 38,41 milyar.19 Hal ini menunjukkan kegiatan inventarisasi BMD masih belum berjalan optimal. Masih terkait penyajian, ditemukan adanya jumlah

minimal Rp 104,21 milyar tidak tercatat, tidak wajar, tidak rinci diantaranya tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi dan jaringan serta aset tetap lainnya. Selain itu dalam saldo Aset lainnya di neraca per 31 Desember 2014 dan 2013 sebesar Rp 55,24 milyar dan Rp 31,71 milyar, nilai tersebut tidak termasuk kekurangan kas sebesar Rp 7,53 milyar yang belum

ditetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekurangan tersebut.

Adanya persoalan yang menjadi temuan ini terjadi karena SKPD kurang memiliki data yang jelas mengenai BMD yang menjadi tanggung jawabnya. Karena banyak BMD yang tidak teridentifikasi dengan jelas, optimalisasi sumber daya tidak bisa dilakukan secara maksimal. Administrasi barang yang kurang tertib di SKPD juga berakibat menimbulkan persoalan dalam pemeliharaan. Sulit mengetahui apakah suatu alat produksi sudah saatnya untuk diganti atau masih layak untuk

di maintenance, apabila harus di maintenance kapan waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut, apabila harus diganti apakah dengan jenis alat yang sama atau ada alternatif lain yang lebih baik. Keputusan akan pilihan-pilihan dalam pengelolaan aset hanya bisa terjawab dengan tepat bila kita memiliki informasi/data yang jelas tentang aset tersebut.

Administrasi terhadap bukti kepemilikan Aset Daerah masih banyak yang tidak tertib. Ketidakterbitan

administrasi bukti ini memunculkan adanya hasil

pengadaan barang milik daerah yang belum dicatat dalam Laporan Hasil Pengadaan Barang dan ada juga yang

belum dicatat dalam Buku Inventaris SKPD. Proses inventarisasi aset daerah sering terkendala berbagai hal sehingga data mengenai jumlah, nilai, kondisi, dan status kepemilikannya belum

lengkap/menyeluruh. Salah satu kendala yang muncul yaitu berbagai data mengenai kekayaan daerah umumnya baru menunjuk kepada nilai historis. Inventarisasi asset yang belum menyeluruh demikian mengakibatkan tidak

19 BPK RI, “Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan

(37)

37

ada kepastian hukum mengenai berapa sebenarnya nilai aset tersebut.

II.j. Praktik pengawasan dan pengendalian

Berbagai persoalan yang masih terjadi dalam pengelolaan barang milik daerah di kabupaten Cilacap menjadi

indikasi bahwa bahwa pengawasan dan pengendalian barang milik daerah masih kurang memadai. Lemahnya pengawasan dan pengendalian ini terjadi hampir di semua tahap pengelolaan. Secara khusus, dari temuan audit BPK tahun 2014 terhadap laporan keuangan kabupaten

Cilacap diketahui bahwa kelemahan pengawasan dan pengendalian sangat nyata pada kegiatan inventaris dan penyajian laporan keuangan.

(38)

38 BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS UNDANG-UNDANG TERKAIT

Bab ini berisi dasar pertimbangan Pembentukan Barang Milik Daerah hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal.

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output).

Sebagai konsekuensinya, dalam undang undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri / pimpinan lembaga / gubernur / bupati / walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara / lembaga / Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan / kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN / Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secarapribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara

Referensi

Dokumen terkait

`JenisPegawai`varchar(1) NOT NULL, `K arpeg`varchar(25) DEFAULT NULL, `Askes`varchar(25) DEFAULT NULL, `Taspen`varchar(25) DEFAULT NULL, `NPWP`varchar(25) DEFAULT NULL,

PENGARUH PERILAKU BELAJ AR, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN LINGKUNGAN BELAJ AR TERHADAP STRES KULIAH MAHASISWA AKUNTANSI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”.. J

yang terdapat dalam Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Sumatera..

PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI POSYANDU.. LANSIA KELURAHAN

Adapun contoh program software/non fisik, yang termasuk pada pengembangan infrastruktur Bidang Cipta Karya entitas regional antara lain adalah:.. MasterplanInfrastruktur Bidang

Tabel 4.2 Penetapan Lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Berdasarkan Arahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011. No Lokasi Kawasan

Setiap 1 (Satu) saham akan mendapatkan dividen tunai sebesar Rp.115,- (Seratus Lima Belas Rupiah) Berdasarkan pemberitahuan yang kami terima dari Emiten dibawah

Franchise adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hal atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri