• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesesuaian Lahan dalam Rangka Rehabilitasi Hutan Mangrove di Pesisir Kabupaten Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesesuaian Lahan dalam Rangka Rehabilitasi Hutan Mangrove di Pesisir Kabupaten Asahan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Wilayah pantai dan pesisir mempunyai sifat atau ciri yang unik;

merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut; dan mengandung

kekayaan sumberdaya alam yang beranekaragam seperti ekosistem hutan

mangrove. Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting secara

ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional, maupun

global (Fahriansyah dan Yoswaty, 2012).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem

daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai

fungsi spesifik yang keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi

di ekosistem daratan dan lautan. Dalam hal ini, mangrove sendiri merupakan

sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang menyediakan

berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan

pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali

intrusi air laut, mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan

kecepatan arus gelombang, rekreasi, dan pembersih air dari polutan

(Kusmana, 2009).

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi

dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang,

kadar garam yang tinggi, serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi

lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme

yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara

(2)

oksigen bagi sistem perakarannya. Vegetasi mangrove secara khas

memperlihatkan adanya pola zonasi. Beberapa ahli seperti Chapman (1977) dan

Bunt dan Williams (1981) menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan erat dengan

tipe tanah (lumpur, pasir, atau gambut); keterbukaan (terhadap hempasan

gelombang); salinitas; serta pengaruh pasang surut (Noor et al., 2006).

Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove

Disadari bahwa mangrove memberikan banyak manfaat bagi manusia.

Pada masa lalu, saat tekanan penduduk masih rendah, rehabilitasi tidak menjadi

masalah karena manfaat mangrove biasanya langsung disadari oleh masyarakat

dan seringkali kawasan mangrove dilindungi oleh hukum adat. Namun selama 2-3

dekade lalu, tekanan penduduk semakin meningkat dengan tajam sehingga

mengakibatkan permintaan akan sumberdaya pertanian meningkat pula yang

bersamaan dengan kegiatan perikanan dan kehutanan. Untuk merespon hal

tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan

(TGHK) serta beberapa peraturan dalam berbagai tingkat yang berkaitan dengan

pengelolaan mangrove. Peraturan yang paling relevan diantaranya terkait dengan

aturan mengenai kebijakan jalur hijau serta sistem areal perlindungan (Noor et al.,

2006).

Secara konseptual, “buffer zone” atau wilayah penyangga berfungsi untuk

menyangga wilayah utama, mencegah terjadinya kerusakan dan memberikan

lapisan perlindungan tambahan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinyatakan

bahwa daerah penyangga merupakan wilayah yang berada di luar kawasan suaka

(3)

negara maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga

keutuhan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

Zona penyangga sangat penting artinya bagi pelestarian dan perlindungan

kawasan konservasi. Dalam penentuan zonasi, selain mempertimbangkan faktor

biofisik, ekologi dan keanekaragaman hayati suatu kawasan, juga harus

memasukkan unsur kepentingan dan ketergantungan masyarakat terhadap

kawasan yang dilindungi. Pengoptimalan dan perluasan zona penyangga mutlak

diperlukan dalam rangka mengakomodasi ketergantungan suatu masyarakat

terhadap hutan atau kawasan yang dilindungi (Zaitunah, 2009).

Penggunaan lahan merupakan unsur lahan yang mengalami perubahan

sangat cepat. Hal ini disebabkan karena semua aktivitas manusia sangat

bergantung pada lahan. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam perubahan

penggunaan lahan adalah pertambahan penduduk. Pemenuhan kebutuhan manusia

(pangan, sandang, dan papan) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan

(Haumahu, 2014).

Budiyanto (2001), mengemukakan bahwa penggunaan lahan suatu wilayah

sifatnya tidak permanen dan biasanya lahan memiliki kemampuan yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Lebih lanjut menurutnya pula bahwa bentuk

penggunaan lahan dapat berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan

kebudayaan manusia. Perubahan pola pemanfaatan lahan ini akan memunculkan

suatu fenomena dimana satu pemanfaatan lahan dikorbankan untuk pemanfaatan

lainnya. Bentuk perubahan penggunaan lahan ini terjadi dalam dua bentuk, yaitu

perubahan dengan perluasan dan perubahan tanpa perluasan untuk penggunaan

(4)

Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar ada empat bentuk

pemanfaatan hutan mangrove berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh

masyarakat, yaitu tambak; hutan rakyat; budidaya mangrove untuk mendapatkan

hasil selain kayu; dan bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan

untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh

pakan ternak, ikan/kepiting, madu, maupun kayu bakar/arang.

Rehabilitasi Hutan Mangrove

Upaya perbaikan kondisi mangrove dapat dilakukan dengan usaha

rehabilitasi dengan cara penanaman kembali mangrove dan hal ini telah dilakukan

oleh berbagai pihak antara lain Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah

BRLKT), Departemen Kehutanan, juga oleh lembaga-lembaga swadaya

masyarakat, pusat studi lingkungan di perguruan tinggi, serta para pecinta

lingkungan maupun masyarakat umum yang peduli.

Hendrarto (1993) dalam Setyawan et al. (2004) menyebutkan adanya tiga

permasalahan yang perlu diperhatikan dalam upaya rehabilitasi kawasan

mangrove, yaitu upaya penghijauan kembali umumnya hanya menggunakan satu

jenis mangrove saja; program ini mungkin tidak didasarkan pada perhitungan

sistem tata letak/ruang daerah pantai; dan tidak disertakannya program monitoring

untuk mengkaji keberhasilan program ini dalam memulihkan kembali ekosistem

pantai.

Pemulihan mangrove harus dilakukan karena beberapa alasan. Pertama,

kepentingan ekologis dan nilai-nilai lingkungan hutan mangrove telah lama

terabaikan. Kedua, tingginya subsistensi ketergantungan pada sumberdaya alam

(5)

seluruh dunia mengarah ke erosi pesisir, penurunan sumberdaya perikanan, dan

konsekuensi lingkungan lainnya (Kairo et al., 2001).

Kondisi hutan mangrove yang telah pulih dapat dimanfaatkan sesuai

prinsip-prinsip konservasi untuk menjamin keberlanjutannya. Berdasarkan

dinamika ekosistem mangrove dan upaya konservasi, tampaknya kunci untuk

konservasi hutan mangrove tergantung dari jenis aktivitas manusia di daerah

aliran sungai mangrove. Dengan demikian akan muncul sebuah komitmen lokal

terhadap ekosistem di sekitarnya (Wardhani, 2014).

Penanaman mangrove dalam kegiatan rehabilitasi sebaiknya tidak

dilakukan secara langsung melainkan ditanam dengan cara menggunakan anakan

khususnya yang berasal dari persemaian. Hal ini sebaiknya dilakukan karena

penanaman menggunakan bibit dari persemaian memiliki banyak kelebihan

dibandingkan dengan penanaman secara langsung maupun penanaman dengan

menggunakan bibit yang berasal dari alam (Fajar et al., 2013).

Kusmana et al. (2005) mengemukakan bahwa penanaman secara langsung

memiliki keterbatasan waktu yaitu hanya pada musim berbuah masak dan mudah

diganggu oleh kepiting maupun tritip ketika telah ditanam. Adapun keuntungan

penanaman dengan memakai bibit dari persemaian yaitu cukup fleksibel dari segi

jadwal penanaman, kualitas bahan tanam lebih mudah diseragamkan, memiliki

peluang keberhasilan yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih cepat, serta

cukup tahan terhadap gangguan hama.

Tempat ideal untuk perkembangan mangrove terdapat di pantai-pantai

pada teluk yang dangkal, muara sungai, delta, bagian terlindung dari tanjung, selat

(6)

tempat dipengaruhi oleh tinggi pasang surut yang menentukan jauhnya jangkauan

air pasang. Semakin jauh jangkauan air pasang di suatu daerah, semakin luas

mangrove yang dapat dikembangkan atau ditanam (Khazali, 1999).

Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya

pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan, dan

pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan

lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa

hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat

dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir (Rahmawaty,

2006).

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability)

suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas)

lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya,

sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha

pemeliharaankelestariannya (Fauzi et al., 2009).

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan dari sebidang lahan untuk

suatu penggunaan tertentu yang lebih spesifik dari kemampuan lahan. Perbedaan

dalam tingkat kesesuaian ditentukan oleh hubungan antara keuntungan dan

masukan yang diperlukan sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut. Tujuan

daripada evaluasi kesesuaian lahan adalah untuk memberikan penilaian

(7)

evaluasi kesesuaian lahan adalah memberikan pengertian tentang

hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya, serta memberikan kepada

perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat

diharapkan berhasil (Mega et al., 2010).

Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan berdasarkan keadaan lahan

sekarang atau berdasarkan keadaan lahan setelah dilakukan perbaikan

besar-besaran, yang mengubah ciri-ciri lahan dengan sangat tetap dan cukup tetap hasil

pengubahannya. Faktor-faktor pembatas dalam evaluasi lahan dibedakan atas

faktor pembatas yang bersifat permanen dan non permanen. Faktor pembatas yang

bersifat permanen merupakan pembatas yang tidak memungkinkan untuk

diperbaiki dan kalaupun dapat diperbaiki, secara ekonomis sangat tidak

menguntungkan. Faktor pembatas non permanen merupakan pembatas yang

mudah diperbaiki dan secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan

dengan masukan teknologi yang tepat (Nurlailita, 2015).

Sistem Lahan(Land System)

Konsep sistem lahan (land system) yang diperkenalkan oleh Christian dan

Stewart (1968) didasarkan pada prinsip ekologi dengan menganggap ada

hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah, dan

organisme. Sistem lahan yang sama akan mempunyai kombinasi faktor-faktor

ekologi atau lingkungan yang sama. Oleh karena itu, sistem lahan bukan

merupakan sesuatu yang unik untuk satu tempat saja (spesifik lokasi), tetapi dapat

dijumpai di mana pun dengan karakteristik lingkungan yang sama. Lebih lanjut

(8)

tanah, topografi, dan hal ini mencerminkan kesamaan potensi dan faktor-faktor

pembatasnya (Suharta, 2007).

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai dan Perhutanan Sosial nomor P.4/V-Set/2013, spasialisasi kriteria

produktivitas dengan menggunakan unit pemetaan land system pada dasarnya

dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap atribut data spasial land

system. Pada atribut data spasial land system, perlu ditambahkan field baru yang

berisi informasi tentang produktivitas lahan pada setiap unit land system.

Berdasarkan atribut tersebut dilakukan pengelompokan land system yang

mempunyai kesamaan dalam hal produktivitas lahannya.

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.35/Menhut-II/2010

disebutkan bahwa identifikasi habitat mangrove dapat dilakukan melalui

penelitian lapangan dan dapat juga menggunakan data atau informasi peta land

system. Menurut para ahli mangrove yang telah melakukan penelitian menemukan

bahwa vegetasi mangrove dapat tumbuh pada land system tertentu seperti kajapah,

kahayan, puting, dan lain sebagainya. Hasil analisis spasial oleh Direktorat Bina

Rehabilitasi Hutan dan Lahan Ditjen RLPS tahun 2010 terhadap sebaran vegetasi

mangrove seIndonesia dioverlaykan dengan peta land system. Dari analisis

disimpulkan bahwa habitat mangrove paling dominan berada pada land system

kajapah (KJP) kemudian diikuti kahayan (KHY), PGO, lawanguwang (LWW),

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebab kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), dampak kerusakan ekosistem hutan bakau ( mangrove ), program rehabilitasi

Berdasarkan hasil analisis ekosistem mangrove menunjukan bahwa yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove

Tujuan penelitian ini yaitu: untuk mengindentifikasi jenis dan fungsi ekosistem dari luasan hutan mangrove; menghitung nilai ekonomi total yang dihasilkan oleh hutan mangrove;

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove, melakukan penilaian ekonomi ekosistem hutan mangrove di kawasan gampong Kuala

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove, melakukan penilaian ekonomi ekosistem hutan mangrove di kawasan gampong Kuala Bubon,

Berdasarkan hasil analisis ekosistem mangrove menunjukan bahwa yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove

Hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove di pesisir selatan Kabupaten Bangkalan menunjukkan kawasan yang berada pada kategori S1 (sangat sesuai) adalah

Kawasan yang sesuai untuk kawasan konservasi mangrove di pesisir selatan Kabupaten Bangkalan ditunjukkan oleh kawasan yang berada pada kategori S1 (sangat sesuai),