• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Ekstrak Daun Srikaya (Annona Squamosa) terhadap Larva Aedes Aegypti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efikasi Ekstrak Daun Srikaya (Annona Squamosa) terhadap Larva Aedes Aegypti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NyamukAedes aegypti

2.1.1 Nyamuk Sebagai Vektor Penyakit

Nyamuk adalah serangga yang tersebar di seluruh dunia kecuali antartika.

Nyamuk dapat hidup antara 5.500 meter di atas permukaan laut sampai 1.250

meter di bawah permukaan laut. Nyamuk tidak hanya menghisap darah manusia

dan hewan, tetapi juga dapat menjadi vektor penyakit (Agoes, 2009).

Vektor penyakit adalah suatu organisme yang mentransmisikan patogen

dan parasit dari manusia (atau hewan) yang terinfeksi ke lainnya dan

menyebabkan penyakit yang serius pada populasi manusia. Vektor-vektor tersebut

umumnya adalah serangga penghisap darah yang menerima mikroorganisme

penyebab penyakit saat menghisap darah manusia atau hewan, kemudian

memasukkan mikroorganisme tersebut pada manusia yang lain saat menghisap

darah lagi. Secara global, terdapat lebih dari 1 miliar kasus dan lebih dari 1 juta

kematian akibat penyakit yang ditularkan oleh vektor (WHO, 2014 ).

Nyamuk yang paling penting pada manusia adalah Anopheles, Culex,

Aedes, dan Mansonia (Agoes, 2009). Peran dari nyamuk dalam bidang kedokteran

adalah sebagai vektor dari penyakit Malaria, Filariasis, Demam Berdarah Dengue,

Chikungunya, dan Japanese B ensefalitis (Ideham dan Pusarawati, 2009).

Tabel 2.1 Penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk (WHO, 1997)

No. Vektor Penyakit

1. Anopheles Malaria, Filariasis limfatik

2. Culex Filariasis limfatik, Japanese ensefalitis

3. Aedes Yellow fever, Demam berdarah dengue, Filariasis

limfatik, Chikungunya

(2)

2.1.2Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti

Species : Aedes aegypti(Natadisastra, 2009).

Nyamuk termasuk ke dalam kelas Insekta. Insekta dibagi menjadi

beberapa ordo yaitu ordo Diptera, Anoplura, Sifonaptera, Hymenoptera,

Orthoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Nyamuk termasuk ke dalam

ordo Diptera (Ideham dan Pusarawati, 2009). Nyamuk termasuk ke dalam famili

Culicidae yang kemudian terbagi lagi menjadi 3 tribus, yaitu Tribus Anophelini

(Anopheles), Tribus Culicini (Culex, Aedes, dan Mansonia), dan Tribus

Toxorhynchitini. Nyamuk Aedes aegypti termasuk ke dalam tribus Culicini.

(Agoes, 2009).

2.1.3 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti berukuran 4-13 mm. Nyamuk Aedes aegyptiterdiri

dari kepala, toraks, dan abdomen.

A. Kepala

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata, sepasang antena, proboscis, dan

palpus. Antena terdiri dari 15 ruas dan terdapat rambut. Rambut antena pada

nyamuk jantan lebih lebat dan disebut plumosa, sedangkan rambut antenna

betina pendek dan jarang, disebut pilosa. Proboscis halus dan panjangnya

melebihi panjang kepala, fungsinya adalah untuk menusuk dan menghisap

darah. Pada nyamuk jantan, proboscis digunakan untuk menghisap

(3)

menghisap darah. Palpus terdiri dari 5 ruas dan berambut. Palpus merupakan

petunjuk untuk membedakan tiap spesies (Agoes, 2009).

Gambar 2.1 Bagian kepala Culicinae (Aedes) (WHO, 1995)

B. Toraks

Pada mesonotum (punggung), terdapat gambaran menyerupai bentuk lira

(lyre-form) yang berwarna putih. Toraks terdiri dari bagian mesonotum dan

postnotum. Bagian lateralnya terdiri dari lobus protoraks, propelura,

pronotum posterior, mesopleura, sternopleura, skutelum, mesepimeron,

sklerit metasternal lateral, serta sklerit spirakular. Pada mesonotum terdapat

gambaran menyerupai bentuk lira (lyre-form) yang berwarna putih.

Skutelum terletak pada posterior dari mesonotum dan bentuknya membentuk

tiga lengkungan (trilobus). Pada toraks, terdapat sepasang sayap transparan,

panjang, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi oleh sisik-sisik

sayap (wing scales). Pada pinggir sayap terdapat sederetan rambut yang

disebut fringe. Pada bagian toraks, juga terdapat sepasang halter, dan tiga

pasang kaki bersegmen yaitu femur, tibia, dan 5 buah tarsus. Pada tarsus ke-5

terdapat kuku (Agoes, 2009).

C. Abdomen

Abdomen berbentuk silinder dan terdiri dari 10 segmen. Segmen terakhir

(4)

pada nyamuk jantan disebut hipopigium. Pada nyamuk betina, di bagian akhir

abdomen, terdapat reseptakel sebanyak 3 buah. (Agoes, 2009)

(Hoedojo dan Sungkar, 2008)

Gambar2.2 Morfologi Nyamuk Dewasa

2.1.4 Siklus hidup Aedes aegypti

Siklus hidup serangga terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

a. Ametamorfosis

Serangga pada jenis siklus hidup ini tidak mengalami metamorphosis,

sehingga siklus hidupnya adalah telur yang kemudian menjadi nimfa

(hanya satu stadium) dan menjadi dewasa.

b. Simple metamorphosis (metamorfosis sederhana)

Metamorfosis jenis ini berbeda dengan ametamorfosis karena adanya

perbedaan pada fase nimfa. Pada metamorphosis sederhana, fase nimfa

terdiri dari beberapa stadium.

c. Complete metamorphosis (metamorfosis lengkap)

Pada metamorfosis ini, telur menetas menjadi larva, kemudian menjadi

(5)

Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu serangga yang

bermetamorfosis lengkap, sehingga pada siklus hidupnya terdapat fase telur, fase

larva, fase pupa, dan fase dewasa (Hoedojo dan Sungkar, 2009).

Nyamuk betina Aedes aegypti meletakkan telurnya pada dinding tempat

perindukan 1-2 cm di atas permukaan air. Seekor nyamuk betina Aedes aegypti

dapat meletakkan rata-rata 100 butir per kali bertelur. Kemudian, setelah 2 hari,

telur menetas menjadi larva, lalu melepaskan kulitnya sebanyak 4 kali, tumbuh

menjadi pupa, dan kemudian menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai

dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Djakaria dan Sungkar, 2008).

(Charlesworth, 2008)

(6)

A. Telur Aedes aegypti

Telur Aedes aegypti berukuran 0,8 mm (Kemkes, 2011), berbentuk

lonjong, dan dindingnya berbentuk anyaman seperti kain kasa (Ideham dan

Pusarawati, 2009). Telur yang baru diletakkan berwarna putih, tetapi akan

berubah menjadi hitam setelah 1-2 jam (Hoedojo dan Sungkar, 2009).

Larva Aedes aegypti terdiri dari bagian kepala, toraks, dan abdomen.

a. Kepala

Pada bagian kepala, terdapat sepasang antena dengan rambut antena,

sepasang mata, rambut-rambut mulut (mouth brush), dan

rambut-rambut kepala (Agoes, 2009).

b. Toraks

Bagian toraks terdiri dari segmen-segmen dengan rambut-rambut atau

bulu-bulu rusuk (Agoes, 2009).

c. Abdomen

Bagian abdomen terdiri dari 8 segmen. Sebenarnya terdapat 10

segemen, tetapi segmen ke-8 sampai ke-10 bersatu membentuk

alat-alat abdominal seperti sifon (pipa udara), pekten, dan anal gill. Pada

segmen ke-8 terdapat comb scale yang hanya terdapat satu baris

(Agies, 2009). Sifonnya gemuk dan pendek, dan bulu-bulu sifon atau

(7)

(Hoedojo dan Sungkar, 2008)

Gambar 2.5 Morfologi Larva Aedes aegypti

Larva Aedes aegypti mengalami 4 kali proses pelepasan dan penggantian

kulit luar, proses ini disebut proses ekdisis (moulting). Proses tersebut dibagi

menjadi 4 instar (stadium-stadium pertumbuhan) (Natadisastra, 2009). Larva

instar I berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm. Larva instar II berukuran 2,5-3,8

mm. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II dan

anatominya struktur tubuhnya sudah mulai jelas terlihat. Larva instar IV

berukuran paling besar yaitu 5 mm (Kemkes, 2011).

Pada waktu istirahat, larva Aedes aegypti membentuk sudut terhadap

permukaan air, berbeda dengan nyamuk Anopheles yang sejajar dengan

permukaan air (WHO, 1997).

(Cornstock, 2012)

(8)

C. Pupa Aedes aegypti

Pupa berbentuk seperti koma (Kemkes, 2011). Struktur tubuh pupa terdiri

dari kepala dan abdomen dimana segmen-segmen terlihat jelas pada

abdomen.

Terdiri dari segmen-segmen dan segmen terakhir terdapat paddle, pada

abdomen segmen terakhir terdapat rambut yang halus. Fungsinya

adalah sebagai alat gerak sehingga dapat bernafas (Agoes, 2009).

2.1.5 Habitat Aedes aegypti

Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air

bersih yang letaknya berdekatan dengan rumah penduduk (Djakaria dan Sungkar,

2008). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

a. Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti

drum, tangka, bak mandi, ember, dan tempayan.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti

tempat minum hewan peliharaan, vas bunga, perangkap semut, tempat

pembuangan air kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (ban,

kaleng, botol, plastik).

c. Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang batu, lubang pohon,

tempurung kelapa, dan potongan bamboo (Kemkes, 2011).

2.1.6 Perilaku Aedes aegypti

Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan untuk kelangsungan

hidupnya, sedangkan Aedes aegypti menghisap darah. Darah diperlukan untuk

(9)

menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai

telur dikeluarkan (siklus gonotropik) adalah 3-4 hari. Aedes aegypti mempunyai

kebiasaan menghisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, sehingga

nyamuk dapat menularkan penyakit (Kemkes, 2011).

Aedes aegypti betina menghisap darah manusia di siang hari (day-biters) di

luar (eksofilik) maupun dalam rumah (endofilik). Penghisapan dilakukan dengan

dua puncak waktu yaitu pukul 08.00 sampai 10.00 dan 15.00 sampai 17.00

(Djakaria dan Sungkar, 2008).

Setelah menghisap darah, nyamuk mencari tempat untuk istirahat untuk

menunggu proses perkembangan telur maupun istirahat sementara (Agoes, 2009).

Setelah proses pematangan telur selesai, Aedes aegypti betina akan meletakkan

telurnya di permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada

dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Setiap kali bertelur, Aedes aegypti betina

dapat menghasilkan telur sebanyak 100 telur (Kemkes, 2011).

2.1.7 Membedakan Aedes aegypti dengan spesies lainnya

Aedes aegypti dapat dibedakan dari nyamuk bergenus lain dari bentuk

telur, posisi larva di permukaan air, dan bentuk dewasa. Telur Aedes aegypti

terpisah-pisah dan melekat ke dinding-dinding wadah air, telur Anopheles sp. juga

terpisah-pisah tetapi berada di permukaan air, berbeda dengan telur Culex sp. yang

menyatu berbentuk seperti rakit (raft). Larva Aedes aegypti membentuk sudut di

permukaan air, sama halnya dengan Culex sp., tetapi sifon Aedes aegypti lebih

pendek dari Culex sp. Larva Anopheles sejajar dengan permukaan air. Pupa Aedes

aegypti umumnya lebih kecil dari pupa nyamuk lain. Aedes aegypti memiliki

palpi yang lebih pendek dari proboscisnya sedangkan nyamuk dewasa

Anophelessp. memiliki palpi yang sama panjang dengan proboscis. Nyamuk

Aedes aegypti dan Culex sp. membentuk sudut antara proboscis dan tubuhnya saat

menghisap darah, sedangkan proboscis sejajar dengan tubuh Anopheles spp saat

(10)

(WHO, 1997)

Gambar 2.7 Perbedaan Aedes aegypti dengan spesies nyamuk lainnya

2.1.8 Epidemiologi Aedes aegypti

Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi semua provinsi

yang ada. Walaupun spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang pdat

penduduknya, namun spesies ini masih dapat ditemukan disekitar kota pelabuhan.

(11)

Aedes aegypti yang terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda

berisi air hujan pengandung larva tersebut (Agoes, 2009).

2.1.9 PengendalianAedes aegypti

Pengendalian Aedes aegypti dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

A. Perlindungan perseorangan untuk mencegah gigitan nyamuk

Dilakukan dengan cara memasang kawat kasa di lubang-lubang angin di atas

jendela atau pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah

dengan insektisida malathion dan penggunaan repellent pada kulit (Agoes,

2009).

B. Melakukan tindakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)

PSN dapat dilakukan dengan cara:

a. Kimia

Pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal sebagai

istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Dosis

yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (1 sendok makan) untuk tiap

100 liter air. Abatisasi dengan temefos mempunyai efek residu selama 3

Cara ini dikenal sebagai kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)

yaitu menguras bak mandi, menutup TPA (Tempat Penampungan Air) di

rumah tangga (tempayan dan drum), dan mengubur atau memusnahkan

barang bekas (kaleng bekas dan ban bekas). Pengurasan TPA

sekurang-kurangnya 1 minggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di

(12)

2.2 Larvasida Nyamuk

2.2.1 Defenisi

Larvasida nyamuk adalah suatu zat kimiawi yang digunakan untuk

membunuh larva nyamuk. Beberapa larvasida juga efektif dalam membunuh pupa

dan nyamuk dewasa, tetapi sangat sedikit membunuh telur ( WHO, 2002).

2.2.2 Syarat Larvasida

Banyak bahan kimia yang dapat membunuh larva, tetapi terdapat

syarat-syarat agar suatu bahan kimia dapat digunakan sebagai larvasida. Suatu larvasida

harus dipillih berdasarkan efikasinya, ekonomisnya, dan keamannya pada

pengguna dan organisme non-target. Karakterisitik dari suatu zat kimia yang

diinginkan untuk dapat menjadi larvasida yang layak digunakan adalah sebagai

berikut:

a. Toksisitas tinggi terhadap larva nyamuk

b. Kerja yang cepat dan persisten

c. Kualitas penyebaran yang baik di dalam air

d. Didapatkan dengan mudah dan biaya yang murah

e. Aman dan mudah untuk ditransportasikan dan digunakan

f. Efektif pada kondisi cuaca apa pun

g. Efektif secara primer terhadap larva dan kemungkinan terhadap telur,

pupa, dan nyamuk dewasa

h. Efektif pada jenis air apa pun dimana larva dapat tumbuh (polusi,

asam, basa, keruh)

i. Tidak toksik terhadap mahluk hidup non-target (manusia, makanan,

tumbuh-tumbuhan, ternak, ikan pemakan larva, dan serangga air

pemakan larva)

(13)

2.2.3 Klasifikasi Larvasida

Larvasida nyamuk dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan senyawa

kimianya yaitu inorganik, organik alami, dan organik sintetik. Pengklasifikasian

lain dari suatu insektisida adalah berdasarkan caranya memasuki tubuh serangga,

dimana racun perut dimakan dan diabsorbsi dari sistem pencernaannya; racun

kontak berpenetrasi dari dinding tubuhnya; dan racun pernafasan (fumigant)

memasuki tubuh serangga dari spirakel atau pori nafas (WHO, 2002).

Saat ini, racun perut dan racun pernafasan tidak lagi digunakan sebagai

larvasida melainkan sebagai pestisida. Insektisida yang digunakan sebagai

larvasida saat ini adalah racun konttak. Racun kontak inorganik tidak digunakan

sebagai larvasida karena menyebabkan polusi yang serius pada lingkungan,

misalnya merkuri. Racun kontak organik alami,misalnya pyrethrum dan alkaloid,

merupakan racun pada neuromuskular (WHO, 2002).

Racun organik sintetik yang digunakan saat ini adalah organoklorin,

organofosfat, karbamat, dan piretroid. Organoklorin tidak hanya bekerja sebagai

racun neuromuskular, tetapi juga sebagai racun perut, beberapa lainnya sebagai

fumigant. Contoh insektisida organoklorin adalah metoksiklor, klorden, heptaklor,

dan toksafen. Organofosfat memiliki mekanisme kerja menginhibisi

kolinensterase sehingga menghambat transmisi dari impuls saraf. Organofosfat

sering digunakan sebagai larvasida. Contoh organofosfat adalah malathion,

parathion, temefos, diazion, dan klorpirifos. Karbamat memiliki mekanisme kerja

yang sama dengan organofosfat, namun kurang efektif sebagai larvasida. Contoh

karbamat adalah prolan dan dinitrofenol. Piretroid merupakan racun pada

neuromuscular, tidak digunakan pada larva karena biaya yang tinggi (WHO,

2002) (Hoedojo dan Zulhasril, 2008).

Racun organik alami yang terkenal adalah Piretrum. Piretrum merupakan

suatu senyawa aktif dari ekstraksi Chrysanthemum nerariaefolium (Asteraceae)

yang menjadi awal pembuatan sintetis turunan-turunan piretroid (Omena et al.,

(14)

(Hoedojo dan Zulhasril, 2008)(WHO, 2002)

Gambar 2.8 Klasifikasi Insektisida

2.2.4 Insektisida Temefos

Nama Kimia Temefos :

O,O,OO’-tetramethyl O,O’-thiodi-p-phenylene bis(phosphorothioate) (WHO,

2O11)

Struktur kimia dari temefos adalah :

(WHO, 2011)

(15)

Insektisida temefos adalah insektisida golongan organofosfat yang sering

digunakan untuk pengendalian larva Aedes aegypti di TPA dengan konsenstrasi 1

ppm (1 gram temefos 1% dalam 10 liter air). Temefos dikenal sebagai abate pada

kalangan masyarakat. (Hoedojo dan Zulhasril, 2008)

Temefos banyak digunakan untuk pengendalian vektor dengue karena

biaya yang murah dan dapat diterima oleh masyarakat. Namun, karena

penggunaannya yang sangat luas, resistensi Aedes aegypti terhadap temefos

banyak dilaporkan di Amerika Latin (Brazil, Kuba, Argentina, Peru, dan

Kolombia) (Grisales et. al., 2013), Thailand (Jiranjanakit, 2007), Banjarmasin

(Istiana et al., 2012) , dan Surabaya (Rahardjo, 2006).

Terdapat 3 enzim utama yang berhunbungan dengan resistensi dari Aedes

aegypti terhadap temefos, yaitu glutathione S-transferases (GST), cytochrome

P450 monooxygenases (CYP450) and carboxylesterases (CE) (Marcombe, 2009).

Walaupun diperkirakan paparan temefos kepada manusia melalui makanan

dan air minum rendah, terdapat kemungkinan paparan langsung temefos kepada

manusia melalui air minum ketika temefos diberikan langsung pada wadah

penyimpanan air minum (WHO, 2009). Temefos merupakan insektisida golongan

organofosfat. Keracunan organofosfat pada manusia dapat menyebabkan

gangguan pada sistem neurologis, respiratorik, dan kardiovaskular yang dapat

berakhir kepada kematian (Peter et al., 2014).

(16)

Genus : Annona

Spesies : Annona squamosa (Syamsuhidayat, 1991 dalam CRCC, 2012)

2.3.2 Nama lain Srikaya (Annona squamosa)

Indonesia : Srikaya, atis

Inggris : Sugar apple

Melayu : Buah Nona, Sri kaya (CRCC, 2012)

(Folorunso dan Olorode, 2006)

Gambar 2.10 Buah, ranting, daun, bunga, dan biji Srikaya (Annona squamosa)

2.3.3 Kandungan kimia Srikaya (Annona squamosa)

Srikaya (Annona squamosa) mengandung zat aktif acetogenin. Acetogenin

adalah metabolit sekunder dari poliketida asam asetat. Senyawa ini memiliki

rantai panjang alifatik dengan kelompok fungsional hidroksil, karbonil asetil, dan

(17)

Acetogenin memiliki struktur kimia :

(IUPAC, 2006)

Gambar 2.11 Struktur Kimia Acetogenin

Acetogenin telah diteliti memiliki efektivitas sebagai:

a. Antitumor

b. Antidiabetik

c. Antibakteri

d. Antihelmintik

e. Hepatoprotektor (Saha, 2011)

f. Antikonvulsan (Porwal et. al.,2011)

g. Anti kutu rambut (Intaranongpai et al., 2006)

Bagian-bagian dari pohon srikaya (Annona squamosa) telah digunakan

sebagai insektisida secara tradisional. Biji dan daunnya digunakan untuk

membunuh kutu kepala dan tubuh. Acetogenin yang diekstrak dari daun, batang,

dan biji Annonaceae memiliki aktivitas terhadap serangga (Leatemia dan Isman,

Gambar

Tabel 2.1 Penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk (WHO, 1997)
Gambar 2.1 Bagian kepala Culicinae (Aedes) (WHO, 1995)
Gambar 2.3 Siklus Hidup Nyamuk
Gambar 2.4 Telur Aedes aegypti
+6

Referensi

Dokumen terkait

Saran dari penelitian ini ialah perlunya penelitian lebih lanjut terkait penggunaan bahan aktif ekstrak biji srikaya untuk digunakan sebagai bioinsektisida terhadap Aedes

1) Kombinasi dari dua ekstrak daun yaitu ektrak daun kelor ( Moringa oleifera Lamk) dan ektrak daun tin ( Ficus carica Linn) dapat digunakan sebagai larvasida terhadap

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan berkat, kasih dan sukacita sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Toksisitas Granula

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa daya larvasida berbagai konsentrasi daun kemangi (Ocimum citriodorum) terhadap kematian larva Aedes aegypti adalah

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa ekstrak batang kelor dapat digunakan sebagai larvasida Aedes aegypti dengan

Penyusunan Karya Tulis ini kami ajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi D3 Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa ekstrak heksan daging biji srikaya mempunyai prospek yang cerah untuk digunakan sebagai insektisida botanis dalam menanggulangi myasis

Berdasarkan uraian diatas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan toksisitas ekstrak daun sirih (Piper betle L.) dan LC 50 ekstrak biji srikaya (Annona squamosa