• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB V"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Konsumsi Film Indonesia

Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan hasil wawancara dengan para penonton sebagai pengguna atau ―penikmat‖ film Indonesia. Jika pada bagian sebelumnya telah diuraikan peran pembuat film dalam industri perfilman di Indonesia, maka pada bagian ini akan digali dan dijelaskan bagaimana masyarakat yang menonton hasil karya para film maker tersebut mengapresiasinya. Untuk itu penulis telah mekukan beberapa wawancara terpisah dengan beberapa narasumber yang telah penulis kenal, atau yang baru dikenal saat menonton film yang sama di bioskop. Penulis melontarkan beberapa pertanyaan terstruktur yang telah penulis susun sebelumnya, namun dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber bisa saja bertanya-balik dan melontarkan pertanyaan yang lain. Dengan demikian, bentuk wawancara lebih cenderung bersifat semi-terstruktur.

(2)

Wawancara bertujuan untuk menggali respon konsumen yaitu penonton film layar lebar di Indonesia, dan melihat sejauh mana apresiasi penonton terhadap film Indonesia. Apa saja komentar-komentar dan masukan mereka terhadap perfiman nasional saat ini, dirangkum dan dijelaskan ke dalam beberapa tabel berikut ini.

Apa Kata Penonton?

Wawancara pertama dilakukan dengan teman-teman di Jakarta. Pada awalnya, penulis hanya mewawancarai sahabat-sahabat lama yang dulu satu kuliah di FE Unpar, yaitu Meita, Wifi, Toar, Christine, dan Nelson. Kemudian dilanjutkan dengan teman-teman dan saudara dari sahabat-sahabat penulis tersebut.

Wawancara kedua dan ketiga dilakukan dengan teman-teman penulis yang berdomisili di Lombok dan Bali. Pada awal mula bertanya pendapat mereka tentang film Indonesia, penulis berkomunikasi via whatsapp. Berikutnya ketika penulis berkunjung ke Bali bulan Desember 2015, penulis bisa bertemu langsung dan mengkonfirmasi jawaban-jawaban mereka atas hasil wawancara. Sayang, pada kunjungan tersebut penulis tidak sempat bertemu dengan teman-teman di Lombok.

Wawancara keempat dilakukan penulis dengan keponakan yang sedang kuliah di Jatinangor yaitu Natasha dan teman-temannyavia Line. Hanya sedikit narasumber yang penulis dapatkan, sebelas orang saja. Itupun dari mereka yang diwawancarai sangat sedikit (hampir tidak ada) yang dapat meluangkan waktu nonton film di bioskop, berhubung mereka semua sibuk kuliah. Setiap hari hanya berkutat di asrama dan ruang kuliah saja. Mereka baru punya waktu luang di akhir minggu atau hari libur yang biasanya dimanfaatkan untuk pulang ke Bandung, atau kota lain, berkumpul dengan keluarganya.

(3)

Fakultas Ekonomi Unpar. Selain itu, penulis juga mewawancarai teman-teman yang bekerja di tempat lain seperti Tomas dan Saut, yang dulu sama-sama kuliah di Fakultas Ekonomi Unpar. Cukup banyak responden yang penulis dapatkan, ada sejumlah 55 orang.

Wawancara keenam dan ketujuh penulis lakukan terhadap keponakan penulis yang berdomisili di Kabupaten Sidikalang, Sumatera Utara. Berhubung penulis tidak bisa berkunjung ke sana, wawancara dilakukan melalui whatsapp dan telepon. Cukup banyak responden yang menjawab pertanyaan penulis, ada limapuluh orang. Di Sidikalang rupanya belum ada bioskop, jika ingin menonton mereka harus berangkat ke Kota Medan yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan atau lebih.

Berikutnya penulis melakukan wawancara terhadap Timothy – anak penulis yang pertama—dengan teman-temannya di jurusan Hubungan Internasional UKSW, Salatiga. Di awal, penulis melakukan wawancara via Line (media sosial), kemudian disambung dengan tatap muka ketika penulis kebetulan berkunjung ke kos Timothy bulan November 2015. Sayangnya, di Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop. Timothy dan teman-teman harus berangkat ke Solo untuk menonton film ―The Fifth Wave‖.

(4)

Wawancara dengan Penonton di Jakarta:

tidak punya waktu untuk menonton...

Tabel 5.1. Wawancara dengan 23 Penonton di Jakarta (3-4 Oktober 2015)

No Nama

Kurang inovatif < 10 kali

2 Siska P- FA Drama Alurnya flat/datar < 10 kali 3 Billy Y L- FA Action Kurang Inovatif < 10 kali

4 Yoseph L- FA Action

Kurang inovatif, ending ketebak,

jadul/kuno ending cerita ketebak, udah males

nonton FI

< 10 kali

Keterangan: FA: FilmAsing FI:Film Indonesia

(5)

2015, penulis berkesempatan bertemu dengan Meita dan makan sore di sebuah restoran di Plaza Semanggi, di seberang kantor Meita. Hari itu sebenarnya penulis membuat janji untuk bertemu dengan Wifi dan Sisca juga, hanya saja, keduanya batal ke tempat/restoran yang disepakati berhubung ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.

Penulis pada saat itu berbincang-bincang tentang film Indonesia. Meita tidak menampik bahwa film Indonesia masa kini sudah banyak berbeda dengan masa lalu, namun dalam banyak hal, teknik penggarapan dan lain-lain masih harus dikembangkan dan diperbaharui lagi. Tambahan wawancara berikutnya (dari teman-teman Meita di kantor dan di gereja) didapatkan penulis melalui whatsapp keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 2015.

Dari hasil bincang-bincang dengan Meita dan teman-temannya, penulis menemukan bahwa teman-teman di Jakarta yang sebaya dengan penulis lebih banyak yang menyukai makan bersama ketimbang nonton bersama di bioskop. Alasannya, antara lain karena: menonton tidak harus di bioskop, di rumah via DVD atau siaran televisi swasta juga bisa. Di samping itu, jarak satu lokasi ke lokasi lain di Jakarta cukup jauh, sehingga untuk membuat janji menonton bersama di satu tempat akan menyulitkan orang lain yang lokasinya cukup jauh. Perlu effort dan perjuangan yang cukup besar untuk membuat janji bertemu di Jakarta. Makan bersama sudah pasti menyenangkan, tapi menonton bersama belum tentu menyenangkan jika film yang ditonton ternyata bukan film yang bagus.

Jika ada momen dan kesempatan untuk menonton bersama, mereka biasanya cukup selektif, hanya mau menonton film-film bagus saja. Film yang dikategorikan bagus biasanya film yang sudah ada resensi box office sebelumnya di luar negeri, atau film yang mendapat-kan penghargaan (award). Film asing sudah terbukti lebih bagus menurut mereka ketimbang film Indonesia. Mereka sangat jarang menonton film Indonesia, bahkan beberapa menyatakan tidak pernah menonton film Indonesia.

(6)

dan 10 bioskop dari ―Grup Blitz Megapleks‖ dan ―CGV Blitz‖. Harga tiket masuk bervariasi bergantung pada lokasi dan hari menonton, rata-rata untuk hari biasa (Senin-Kamis) harga tiketnya antara Rp.25.000-40.000, hari Jumat Rp 35.000-50.000, dan hari Sabtu/Minggu antara Rp 40.000-60.000. Untuk bioskop dengan jenis premiere (lux) harga tiket berkisar antara Rp 60.000-100.000 tergantung harinya. Harga tiket masuk di bioskop pinggir Jakarta (Depok, Bekasi) akan lebih murah dari bioskop yang berlokasi di pusat kota Jakarta. Di samping itu, lokasi bioskop di dalam mall terkenal juga akan lebih mahal daripada bioskop yang tidak di dalam mall. Dari semua responden yang diwawancarai tidak ada kesulitan untuk membeli tiket masuk.

Duapuluh tiga responden yang mewakili penonton di Jakarta 100% menyukai film asing. Film-film bergenre action, drama dan thriller merupakan jenis film yang paling disukai. Genre action memi-liki rating tertinggi, yaitu disukai sebanyak 30% penonton, genre drama 26%, dan genre thriller juga 26%. Sisanya menyukai film dengan genre komedi. Responden yang mewakili penonton di Jakarta menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik karena pilihannya terbatas, kurang inovatif, ending cerita sudah bisa ditebak, dan alurnya datar. Menonton bioskop menjadi sebuah kegiatan yang harus diran-cang jauh-jauh hari untuk mereka yang bekerja full-time di Jakarta.

Berikut adalah dokumentasi wawancara dengan Meita, Wifi, dan teman-temannya di Jakarta:

Sumber: Dokumentasi Pribadi

(7)

Wawancara dengan Penonton di Lombok:

film Indonesia... apa itu

?‖

Yaya dan Vivi adalah dua teman penulis yang saat ini berdomisili di Lombok dan pinggir kota Lombok. Yaya dan Vivi merupakan sahabat penulis saat sekolah di SD (SDK Paulus III Bandung) yang kemudian tinggal dan berwirausaha di Kota Lombok – kami berjumpa lagi ketika reuni SD. Berikut adalah hasil wawancara dengan teman-teman di Lombok.

Tabel 5.2. Wawancara dengan 2 Penonton di Lombok: Karyawan, Pengusaha (Tanggal 3 Oktober 2015)

No Nama

Umur / Jns Klmn

FI Atau

FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

24 Yaya L-47 FA Action, Thriller

Kurang inovatif,

skenario jelek. < 10 kali

25 Vivi P-46 FA Drama Kurang inovatif,

akting payah. < 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Baik Yaya maupun Vivi sebagai perwakilan responden di Lombok, keduanya lebih menyukai film asing. Film-film bergenre drama, action, dan thriller (suspense) merupakan jenis film yang paling disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang inovatif, aktingnya payah, dan skenario jelek. Mereka menyatakan jarang menonton film ke bioskop. Tidak ada dokumentasi dalam bentuk foto yang bisa penulis dapatkan dan lampirkan pada laporan ini. Di samping itu, saat penulis melakukan wawancara, belum ada bioskop di Lombok. Baru pada tanggal 13 Oktober 2015 penulis menemukan berita di website Cinema 21 bahwa bioskop ―LEM XXI‖ telah dibuka di Lombok dengan harga tiket seperti bioskop di Jakarta.

Wawancara dengan Penonton di Bali:

rindu film Indonesia, yang benar-benar Indonesia

(8)

penulis sejak kuliah di Unpar, setelah menikah ia tinggal dengan suaminya di Denpasar, Bali. Ia dan rekan-rekan sekerjanya dapat penulis wawancarai pada awal bulan Oktober tahun 2015 melalui komunikasi media sosial (whatsapp) yang disambung dengan pertemuan langsung di akhir bulan Desember di Kuta, Bali.

Di Bali sekarang sudah ada lima bioskop --ketika penulis terakhir menonton sekitar tahun 2012/2013 di Bali baru ada dua bioskop: di ―Galeria XXI‖ Ngurah Rai dan di ―Beach Walk XXI‖ Kuta. Yanthy dan kawan-kawan merupakan responden dari kalangan pekerja dan pengusaha dengan rentang usia 35-55 tahun. Kebanyakan sudah berkeluarga, namun ada beberapa yang belum. Mereka lebih nyaman dengan nama singkatan saja. Berikut adalah rangkuman wawancara dengan mereka:

Tabel 5.3. Wawancara dengan 51 Penonton di Denpasar, Bali: Karyawan dan Pengusaha (Tanggal 2-3 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau

FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

26 YS P-45 FA Drama Kurang totalitas < 10 kali 27 HAH L-49 FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

28 DS P-55 FA Lokasi syuting

FA menawan, akting jempolan, cerita diadaptasi dari novel

< 10 kali

29 PYCOP P-35 FI Drama Justru suka FI < 10 kali 30 SB P-47 FA Drama Wardrobe dan

akting berlebih-an, tdk natural. Gak ada soul. Kurang research.

< 10 kali

31 IGAY P-32 FA Drama Kurang inovatif, kurang

mendidik

< 10 kali

32 AAKS L-33 FA Komedi Sinematografi kurang bagus, kayak sinetron, edit kurang, cerita standar, angle kamera monoton.

(9)

No Nama Umur/ ending ketebak.

< 10 kali sering ke salon?

< 10 kali latah. FA lebih serius membuat

< 10 kali

46 AS P-42 FA Drama Kurang inovatif, ending ketebak

< 10 kali

47 LT P-41 FA Drama Film Asing lebih kreatif dari segi ide maupun animasi

< 10 kali

(10)
(11)

No Nama Umur/ ikutan kalo ada yang lagi Buat cerita yang humanis , mana yang laku itu diulang terus sampai bosan.

< 10 kali

(12)

Sebanyak limapuluh satu responden yang mewakili penonton di Bali memberikan testimony yang unik, karena mereka ternyata cukup kritis (lebih kritis dari penonton di kota lain!) mengemukakan pendapatnya. Cita rasa terhadap seni yang cukup tinggi tercermin dalam jawaban-jawaban mereka. Bukan hanya isi cerita yang masih dianggap kurang mewakili budaya asli Indonesia, namun juga dari sisi penggarapan dan teknik pembuatan banyak dikritisi. Sebanyak 7,8% menyatakan menyukai film Indonesia biarpun sering diulang-ulang sampai bosan 53% menyukai film bergenre drama, sisanya menyukai komedi (18,7%) dan laga/action (19,6%). Sebenarnya mereka senang juga menonton di bioskop, tapi karena harga tiket saat ini Rp 60.000 saja untuk weekday dan Rp 100.000 ketika weekend maka, menurut Yanthy (mewakili teman-temannya) mereka tidak bisa sering-sering menonton di bioskop.

Mengapa responden di Denpasar Bali sangat kritis dengan film Indonesia saat ini? Di samping akting dan wardrobe pemain yang dirasa berlebihan, tidak natural, dan ending cerita yang sering bisa ditebak; mereka memberi banyak masukan untuk film Indonesia. Di antaranya adalah, film Indonesia diminta untuk mengangkat budaya khas Indonesia, ceritanya lebih membumi dan tidak perlu menghakimi (judging). Film Indonesia harus lebih humanis, mengandung pesan yang bermanfaat, pilihan setting lokasi yang lebih baik, angle kamera harus lebih jago, proses editing dan teknologi harus lebih bagus, komedinya harus berkelas dan tidak urakan. Bobot intelektual harus ditingkatkan. Dapat dilihat bahwa, responden di Bali sangat menghargai budaya asli Indonesia. Tidak berarti bahwa mereka tidak menyukai film Indonesia, hanya saja, mereka ingin budaya asli Indonesia dikemas dengan kreatif dan tampilan yang lebih baik.

(13)

Gambar 5.3. Yanthy dkk. Gambar 5.4. Penulis dengan Yanthy-Wijaya

Wawancara dengan Penonton di Jatinangor:

tiket mahal, kuliah padat

Natasha (Tasha) adalah keponakan penulis yang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Unpad, Jatinangor. Ia dan sahabat-sahabatnya adalah penyuka film, namun kurang menyukai menonton film Indonesia. Pada saat Tasha masih SMA di Bandung, ia kerap nonton di bioskop dengan teman-teman atau keluarga. Kondisi berubah ketika Tasha kemudian pindah ke Jatinangor untuk melanjutkan kuliah di Unpad. Berikut adalah petikan wawancara dengan Tasya dan kawan-kawan yang telah dirangkum dalam satu tabel.

Tabel 5.4. Wawancara dengan 11Penonton di Jatinangor: Mahasiswa Kedokteran Unpad (4-5 Oktober 2015)

No Nama Umur/ Jns Klmn

FI Atau FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

77 Natasha P-19 FA Thriller Kurang inovatif < 10 kali 78 Levina

Felicia

P-19 FA Drama Kurang inovatif < 10 kali

79 Dellaneira Setiadi

P-19 FA Drama, Alay < 10 kali

80 Yolanda Ardelia

P-19 Drama, Ending ketebak < 10 kali

81 Reisia P. B.

L-18 FA Thriller, Action

Ending ketebak, kurang Inovatif,

(14)

82 Johanna Regina

P-19 FA Thriller, Drama

Kurang inovatif, Alay

< 10 kali

83 Ali Akbar L-19 FA Komedi, Laga

Kurang inovatif < 10 kali

84 Newa Fauziah

P-19 FA Komedi Ending ketebak, lebay

< 10 kali

85 Yogi Subandra

L-19 FA Laga Kurang inovatif, ending ketebak

< 10 kali

86 Rievanda Ayu N.

P-19 FA Drama, Komedi

Kurang inovatif < 10 kali

87 Dimas Hari

L-21 FA Thriller, Action

Kurang inovatif < 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Sebelas responden yang mewakili penonton di Jatinangor semuanya (100%) lebih menyukai film asing. Film-film bergenre thriller, drama, dan action menempati urutan tertinggi jenis film yang disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik karena kurang inovatif, ending cerita bisa ditebak, dan alay/lebay (dibuat-buat). Semuanya jarang menonton film Indonesia di bioskop, sibuk kuliah.

Salah satu sebabnya, karena bioskop sangat terbatas di Jatinangor, hanya ada satu yaitu yang berlokasi di dalam mall Jatos. Letaknya cukup jauh dari kampus Unpad. Karena mereka rata-rata tinggal di asrama di dalam kampus, maka untuk pergi menonton adalah suatu kegiatan yang butuh pengorbanan, karenanya jarang sekali dilakukan. Pada saat akhir minggu atau hari libur pun, Tasha dan kawan-kawan lebih senang pulang ke Bandung dan kota kelahiran masing-masing yang lain.

Gambar 5.5. Natasha dkk (Jatinangor)

(15)

Wawancara dengan Penonton di Bandung:

film asing masih lebih bagus, tiket mahal, mending unduh

film Korea di laptop...

Penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa penonton di Bandung, yang terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa di Fakultas Ekonomi Unpar. Sisanya, ada beberapa teman sejak kuliah dan beberapa teman pengajar. Wawancara di Bandung, tempat tinggal penulis, ternyata tidak semudah yang penulis perkirakan. Ini disebabkan mayoritas mahasiswa yang menjadi narasumber ternyata tidak semua dapat dan mau menonton film di bioskop. Kendala utama adalah masalah keuangan, juga padatnya jadwal kuliah. Ternyata dari 51 orang mahasiswa yang diwawancarai, menyatakan bahwa mereka lebih suka download film dari youtube dan menonton dari laptop di kampus, berhubung ada fasilitas wifi! Itupun bukan film Indonesia yang ditonton, tapi film Korea. Menonton hanya sesekali jika ditraktir pacar atau teman yang sedang ulang tahun.

Bagi empat narasumber lain yaitu teman-teman penulis yang sudah bekerja tidak ada kendala keuangan untuk pergi menonton film di bioskop. Masalahnya hanya dari segi waktu saja, pekerjaan membuat mereka kekurangan waktu untuk menonton. Itu saja.

Berikut adalah cuplikan wawancara dengan responden di Bandung, yang dirangkum pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.5. Wawancara dengan 55 Penonton di Bandung Mahasiswa dan Karyawan (4-7 Oktober 2015)

No Nama

Umur/ Jns Klmn

FI Atau

FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

88 Herlina Irawati P FI Drama Kurang inovatif <10 kali

89 Febryan Aditya L FI Thriller Kurang inovatif <10 kali

90 Evianna

Dian P. P FA Drama

Kurang mendidik,

jiplak >20 kali

91 Jefry L FA Drama Kurang menarik

(16)

No Nama

Agustina P FA Thriller Kurang inovatif

10 – 20

ketebak <10 kali

94 Theodore L FA Laga /

action Kurang inovatif <10 kali 95 Rinda Yanti P FA Drama Kurang inovatif <10 kali

96 Chrysilla P FA Horror mistis)

Ending-nya

ketebak <10 kali

97 Tasya

action Kurang inovatif <10 kali 101 Benhur

Salaga L FA Drama Kurang mendidik <10 kali

102 Gabriella

Octavianie P FA Drama Kurang mendidik <10 kali 103 Himawan L FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

104 Fita

Fitriana P FA Thriller

Ending-nya

ketebak <10 kali

105 Tari P FA Drama Jadul <10 kali

106 Reni P FI komedi Kurang inovatif <10 kali

107 Alfonsius

Ganesha L FA Thriller Kurang inovatif <10 kali 108 Veronica P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

109 Novelia Santa P FI Drama Ending-ketebak nya <10 kali

110 Angelina Dhini P FA Drama, komedi Kurang inovatif <10 kali

111 Angga

Yogi L FA Thriller

Ending-nya

ketebak <10 kali

112 Celis P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

(17)

No Nama

ketebak <10 kali

117 Delima P FI Drama Kurang inovatif 10 kali – 20

118 Yolanda P FA Laga / action

Ending-nya

ketebak <10 kali

119 Christian L FI komedi Ending-nya

ketebak <10 kali 120 Penina P FA Komedi Kurang inovatif <10 kali

ketebak <10 kali

122 Rery P FA Drama Ending-nya

ketebak <10 kali

123 Agnes P FA Komedi Ending-nya

ketebak <10 kali

124 Evie

Veronica P FI

Laga /

action Kurang inovatif <10 kali 125 Clara P FA Drama Kurang inovatif <10 kali

126 Regina P FA Laga / action

Ending-nya

ketebak >20 kali

127 Michael L FA Laga /

action Suka menjiplak <10 kali 128 Putri

Anastasya P FA Drama

Ending-nya

ketebak <10 kali 129 Yopie L FA Drama Kurang inovatif <10 kali

130 Getha P FA Drama Jadul <10 kali

131 Sofyan

Suryana L FA

Laga /

action Kurang inovatif <10 kali 132 Anita

Irensya P FI

Laga /

(18)

No Nama

Kualitas kurang < 10 kali

141 Pak Albert

FI sudah semakin baik. Kagum

dengan film “SITI” >20 kali

142 Ibu Tiurma

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Dari limapuluh lima responden yang mewakili penonton di Bandung, 20,7% menyatakan menyukai film Indonesia, sementara sisanya (79,3%) menyukai film asing. 13% menyatakan senang menonton film (termasuk film Indonesia) di bioskop, 2% saja yang mengatakan sangat senang menonton film di bioskop, dan sisanya 85% menyatakan jarang menonton di bioskop. Ini disebabkan 51 orang yang menjadi responden adalah mahasiswa yang kebanyakan menonton film di laptop mereka –via youtube atau media internet lain—ketika menggunakan fasilitas wifi di kampus.Yang lebih lucu sekaligus mengenaskan adalah, ketika para mahasiswa ini bertemu dengan Sheila Timothy yang sempat berkunjung menjadi dosen tamu di perkuliahan Kewirausahaan Kreatif, mahasiswa tidak tahu film ―Tabula Rasa‖ yang dibuat oleh Lala, berhubung pengetahuan mereka tentang film Indonesia saat ini sangat kurang. Mereka baru tahu ada film-film Indonesia yang bagus seperti ―Modus Anomali‖, ―Pintu Terlarang‖, dan ―Tabula Rasa‖ yang dibuat oleh Lala Timothy pada saat kuliah umum tersebut. Sayangnya, ketika mau menonton film tersebut di bioskop, filmnya sudah lama tidak ditayangkan lagi.

(19)

seorang responden yaitu Bapak Albert Tobing, yang menyatakan bahwa film Indonesia sudah semakin bagus.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 5.6. dan 5.7. Icha dkk. (Bandung)

Wawancara dengan Penonton di Sidikalang:

film Indonesia sudah bagus, sayang tidak bisa nonton di

bioskop, tapi film asing lebih bagus...

Tabel 5.6. Wawancara dengan 50 Penonton di Sidikalang: Pelajar dan mahasiswa (2-3 Oktober 2015)

No Nama Umur / Jns Klmn

FI Atau

FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun

143 Martha 15 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

144 Bonur 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali 145 Ezra 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali 146 Iren 17 FI Romantis,

komedi

Ending ketebak < 10 kali

147 Mawar 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

148 Shinta 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

149 Antoni 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali 150 Elfandi 17 FA Action Ending ketebak < 10 kali 151 Kelvin 17 FA Action,

komedi

Jadul < 10 kali

152 Putra 17 FA Action, komedi

Jadul < 10 kali

153 Ester 17 FI Romantis, komedi

Ending ketebak < 10 kali

(20)

No Nama Umur

(21)

Patut disayangkan bahwa di daerah-daerah seperti Sidikalang yang masih sangat menghargai budaya asli dan film Indonesia, justru tidak ada bioskop yang bisa mereka datangi. Bioskop terdekat ada di Kota Medan. Mereka hanya bisa menikmati film Indonesia di televisi saja.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Gambar 5.8. Martha dkk (Sidikalang)

Wawancara dengan Penonton di Salatiga:

bioskop jauh, harga tiket mahal, film Indonesia kurang

bermutu

Tabel 5.7. Wawancara dengan 51 Penonton di Salatiga: Mahasiswa HI UKSW (15-21November 2015)

No Nama (Umur 18-25)

FI Atau

FA

Genre yang disukai

Mengapa tidak suka Film Indonesia

Frekuensi menonton setahun & alasan

194 Frisaldy Salama

FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali (tidak ada bioskop di kota saya) 195 Jhon

Megahar-ri N

FA Komedi Jadul >20 kali (tidak ada bioskop)

196 Reni Erlita

FA Komedi Ending ketebak < 10 kali (film Indo

punya kesan “dirty jokes”dan tidak senonoh 197 Putu

Gede

(22)

No Nama setahun & alasan

198 Stevie kurang ciri khas, banyak meniru FA

< 10 kali

204 Dionisius Linardi

FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

205 Atalitha FA Laga Kurang segalanya 10-20 kali (harga tiket bioskop mahal) 206 Gerry FA Komedi Ada yang bagus

(23)

No Nama setahun & alasan

213 Veronica FA Komedi Kurang inovatif >20 kali ada bioskop di sini, ngga punya gebetan untuk ada bioskop di sini)

225 Moni FA Laga Kurang inovatif 10-20 kali (ngga ada bioskop di sini)

226 Christin FA Komedi Kurang inovatif < 10 kali 227 Elizabeth

Eluay

FA Thriller Kurang inovatif, beda dengan dulu

10-20 kali ada bioskop di sini)

230 Dilla FA Horor Ending ketebak < 10 kali (bioskop terdekat jauh sekali)

(24)

No Nama setahun & alasan

233 Joshua ending ketebak

< 10 kali (bioskop terdekat jauh) 236 Isha FA Komedi Kurang inovatif,

ending ketebak

> 20 kali (bioskop terdekat jauh sekali+harga tiket mahal)

237 Teddy FI Komedi, Laga, Thriller

Film Indon sudah mulai

meninggalkan unsur2 seks yang dulu dominan

< 10 kali (ngga ada bioskop di sini, bioskop terdekat XXI jarang putar film Indo)

238 Allifia FA Horor Ending ketebak < 10 kali (di sini ngga ada bioskop) 239 Benedict FA Laga Kurang inovatif < 10 kali

240 Timothy FA Laga, thriller Genre laga sudah mulai bagus, juga film tentang perjuangan bangsa, tokoh semakin dijiwai

> 20 kali

(25)

menonton film di bioskop (bisa lebih dari 20 kali dalam setahun), 8,6% cukup sering ke bioskop (antara 10 sampai 20 kali setahun), dan sisanya jarang menonton ke bioskop. Hal ini disebabkan karena di Kota Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop, sehingga mereka sulit untuk pergi menonton, bioskop terdekat ada di kotas Semarang (XXI) itupun harga tiketnya cukup mahal (berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp 60.000). Sedangkan di Kota Solo dan Yogyakarta (bioskop XXI dan Blitz) harga tiket lebih murah, namun jaraknya lebih jauh, di perjalanan makan waktu dua dan tiga jam.

Responden di Salatiga memiliki karakteristik yang berbeda dengan responden di Bandung, misalnya, biarpun mereka sama-sama mahasiswa. Responden di Salatiga, yaitu para mahasiswa HI ini menunjukkan sikap yang lebih kritis dengan penceritaan di film Indonesia. Menurut sebagian dari mereka ―alurnya gampang ditebak‖ dan ―mengandalkan dirty jokes‖ sehingga orang tua melarang untuk menonton film Indonesia. Ternyata kreatifitas dan inovasi yang dilakukan para film maker Pasca Reformasi belum bisa menghilangkan persepsi penonton di era Orde Baru yang dominan dengan cerita-cerita sex-horor di film-film mereka. Selain itu ditemukan juga bahwa untuk mereka menonton lebih asyik dilakukan jika dilakukan bersama, berama-ramai dengan teman sekelompok, atau bersama dengan pasangan (pacar) bagi yang sudah punya. Tampaknya, tidak ada yang suka menonton film sendirian.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

(26)

Wawancara dengan Penonton di Nias:

film Indonesia sudah bagus, sayang tidak ada bioskop,

kalau mau nonton jauh sekali

Tabel 5.8. Wawancara dengan 9 Penonton di Nias Mahasiswa (26 November 2015)

No Nama setahun & alasan

245 Nirani ending ketebak

10-20 kali (bioskop terdekat jauh sekali) 248 Kristiani

Gulo

FI Horor Suka, tapi jadul 10-20 kali (tidak ada bioskop di kota saya) ada bioskop di kota saya)

(27)

Responden dari Nias yang juga terdiri dari para mahasiswa, ternyata juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan penonton di Bandung atau Salatiga. Ditemukan bahwa sebagian besar dari mereka menyukai film Indonesia, biarpun hanya menonton di televisi saja. Mereka masih menantikan adanya film-film Indonesia yang lain dan dibukanya bioskop di Kota Nias, khususnya daerah tempat tinggal mereka.

Hasil wawancara dengan seluruh penonton tersebut jika dirangkum memberikan gambaran sebagai berikut. Dengan rentang umur antara 17-55 tahun, yaitu para pelajar SMA, mahasiswa, pekerja (karyawan), pengusaha, dan ibu rumah tangga, film Indonesia tampaknya masih cukup disukai dan menjadi primadona –terutama di kota-kota kecil di luar Jawa yaitu Nias dan Sidikalang. Selain menonton di bioskop, mereka lebih senang menonton film dan sinetron Indonesia di televisi. Ini disebabkan kurang atau tidak adanya bioskop di kota mereka atau kalaupun ada harga tiketnya terlalu mahal.

Di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Bali (Denpasar) serta Lombok, juga daerah-daerah tempat belajar seperti Kota Salatiga dan Kabupaten Jatinangor, yang terjadi sebaliknya. Film asing lebih disukai daripada film Indonesia, lebih dari 90% responden menyatakan hal tersebut. Karenanya, bisa dimaklumi mereka hampir tidak ada atau tidak tahu tentang film ―Siti‖ yang menjadi fenomena awal yang diangkat dalam penelitian ini. Sekalipun demikian, teman-teman di Bali tampak masih menaruh harapan akan munculnya film Indonesia dengan penceritaan yang lebih asli dan kemasan yang lebih baik. Hal ini disebabkan mereka sangat menghargai budaya Indonesia.

(28)

Hasil wawancara dengan para penonton tersebut lebih lanjut akan dibandingkan dengan hasil wawancara dari para pembuat film (mavie-maker) berikut ini dan pengusaha bioskop. Dengan begitu, akan didapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dan penafsiran yang lebih kompleks. Pendapat movie-maker bisa mendukung atau berlawanan dengan pendapat penonton.

Kategorisasi Temuan

Hasil wawancara dan rangkuman (dalam bentuk narasi) dikategorisasi ke dalam beberapa temuan pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Kategori Temuan-temuan dari Penonton

Asal Kota Menonton

Film “Siti” Menyukai Film Indonesia

Menyukai Film Asing

Alasan

1. Jakarta Tidak, film apa itu?

Kurang Ya Tidak punya banyak waktu

2. Lombok Tidak Tidak Ya Film Indonesia tidak bagus

3. Bali Tidak, film apa itu?

Ya Ya Suka juga film

Indonesia, tapi film asing lebih baik. Penggarapan ceritanya, teknologi-nya, penokohan/ aktingnya, dll. 4. Jatinangor Tidak Tidak Ya Kurang waktu

menon-ton, sibuk kuliah 5. Bandung Ya (ada) Tergantung

filmnya apa

Ya Film Indonesia sudah mulai bagus

6. Sidikalang Tidak Suka Ya Film komedi dan drama Indonesia paling suka 7. Salatiga Tidak Kurang

suka, tapi ada

Ya Film laga Indonesia sudah lebih bagus, biar pun akting drama

masih “alay”

8. Nias Tidak Suka Tidak Film Indonesia masih sering ditonton biar

pun “jadul” dan kurang

(29)

Jika deskripsi kategorisasi temuan itu digambarkan dalam bentuk grafik, maka bentuknya seperti yang ditampilkan dalam Gambar 5.10.

sumber: Manurung, E.M., 2016

Gambar 5.10. Grafik Responden Penyuka Film Indonesia : Film Asing

0 20 40 60

Jakarta Lombok Denpasar Jatinangor Bandung Sidikalang Salatiga Nias

Suka Film Asing

Gambar

Tabel 5.1. Wawancara dengan 23 Penonton di Jakarta (3-4 Oktober 2015)
Gambar 5.1. Meita dkk.
Tabel 5.2. Wawancara dengan 2 Penonton di Lombok: Karyawan, Pengusaha
Tabel 5.3. Wawancara dengan 51 Penonton di Denpasar, Bali: Karyawan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

Jika jumlah siswa SD Sukamaju 245 orang, berapa orang jumlah siswa

Water is continuously distributed in natural conditions; thus, this paper proposed a new method of water body extraction based on probability statistics to improve the accuracy of

Uraian singkat pekerjaan: Rehab Pasar meliputi pekerjaan Pekerjaan Pondasi, Pekerjaan Beton Bertulang, Pekerjaan Dinding, Pekerjaan Kap/atap, Pekerjaan Plafond,

[r]

Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji kesesuaian, yang bertujuan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian antara pengunjung dan peminjam buku di Perpustakaan

Title : The Implementation of Information Gap Technique in Teaching Speaking in SMPN 13 Banda Aceh (An Experimental Quantitative Research at Grade IX-I at SMPN13 Banda

Pasta gigi Formula berdekatan dengan atribut rancangan produk, hal ini mencirikan bahwa pasta gigi Formula memiliki posisi yang kuat pada atribut rancangan