• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UUPTPK), perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK) yang independen dengan tugas dan wewenangnya melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat Tipikor).1

Dasar pembentukan Pengadilan Tipikor ditentukan di dalam Pasal 53 UUKPK.

Sehingga pada tanggal 27 Desember 2002, Pemerintah mengundangkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UUKPK).

2

Ketentuan ini pernah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 19453

1 Konsideran huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UUPTPK).

2 Konsideran huruf c UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(UU Pengadilan Tipikor).

, sehingga diatur kembali Pengadilan Tipikor tersebut

3 Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, hlm. 289.

(2)

dengan undang-undang yang baru yaitu UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (disingkat UU Pengadilan Tipikor).

Salah satu amanat dari UU Pengadilan Tipikor adalah pembentukan Pengadilan Tipikor yang berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.4 Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.5

Konsekuensi dari dibentuknya Pengadilan Tikipor maka terhadap semua perkara tipikor harus diadili di Pengadilan Tipikor.6

Kusuma, dkk. MK dalam putusan tersebut menilai bahwa ketentuan Pasal 53 UUKPK bertentangan dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum dalam sistem peradilan tipikor. Dualisme yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon. Dalam putusan tersebut, MK juga meminta pembuat undang-undang harus sesegera mungkin melakukan penyelarasan UUKPK dengan UUD 1945 dan membentuk UUKPK yang baru sebagai satu-satunya sistem peradilan tipikor, sehingga dualisme sistem peradilan tipikor yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dapat dihilangkan. Untuk itu MK memberikan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan dibacakan. Apabila pada saat jatuh tempo 3 (tiga) tahun Pengadilan Tipikor tidak dibentuk dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tipikor menjadi wewenang Pengadilan Negeri yang berada dalam lingkungan peradilan umum.

4 Pasal 3 UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU

Pengadilan Tipikor).

5 Pasal 4 UU Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU

Pengadilan Tipikor).

6

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d47cfb9172b5/seluruh-perkara-korupsi-diadili-di-pengadilan-tipikor, diakses tanggal 1 Mei 2014. Artikel Lepas (tanpa penulis) yang dipublikasikan pada tanggal 1 Februari 2011 di situs resmi hukumonline, berjudul, “Seluruh Perkara Korupsi Diadili di Pengadilan Tipikor”.

(3)

berkesinambungan yang menuntut peningkatan kapasitas sumber daya, baik kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain, serta mengembangkan kesadaran, sikap, dan perilaku masyarakat antikorupsi agar terlembaga dalam sistem hukum nasional.

Beberapa literatur menyebutkan seputar perkembangan tipikor di Indonesia menjadi sedemikian parah dan akut, bahkan sudah menjadi “penyakit sosial”.7 Modus operandi tipikor selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.8 Tipikor hampir dapat ditemui dimana-mana, mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi, hingga penerima suap (gratifikasi). Masalah tipikor di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pejabat pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini.9

Tipikor disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.10

7 Juniadi Soewartojo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan

Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4.

8 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No.

20 Tahun 2001), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 6.

9

Romli Atmasasmita (I), Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 1.

10 Marwan Effendy, ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi

Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.

(4)

kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap masyarakat yang anti korupsi.

Dampak dari tipikor bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara akan melemahkan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable development).11 Oleh sebabnya, semua elemen haru serius untuk memberantas korupsi dengan melibatkan secara optimal para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).12

Kebutuhan pentingnya Pengadilan Tipikor di Indonesia sudah tidak bisa dibantahkan urgensinya demi terselenggaranya penegakan hukum dan menciptakan keadilan, tanpa upaya pencegahan dan pemberantasannya, penegakan hukum tipikor niscaya sulit untuk diwujudkan. Urgensi Pengadilan Tipikor tersebut ditindaklanjuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010 tanggal 1 Desember 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Negeri Surabaya.

13

Kemudian Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 tanggal 7 Februari 2011 tentang Pembentukan Pengadilan

11 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti

Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.

12 Romli Atmasasmita (II), Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:

Mandar Maju, 1995), hal. 135. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana.

13 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010

(5)

Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, dibentuk Pengadilan Negeri Padang, Pengadilan Negeri Pekanbaru, Pengadilan Negeri Palembang, Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Pengadilan Negeri Serang, Pengadilan Negeri Yogyakarta, Pengadilan Negeri Banjarmasin, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Samarinda, Pengadilan Negeri Makasar, Pengadilan Negeri Mataram, Pengadilan Negeri Kupang dan Pengadilan Negeri Jayapura.14

Terakhir Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 153/KMA/SK/X/2011 tanggal 11 Oktober 2011 tent ang P emb ent ukan Pengadilan Tipikor, dibentuk Pengadilan Negeri Palangkaraya, Pengadilan Banda Aceh, Pengadilan Tanjung Pinang, Pengadilan Jambi, Pengadilan Pangkal Pinang, Pengadilan Bengkulu, Pengadilan Mamuju, Pengadilan Palu, Pengadilan Kendari, Pengadilan Manado, Pengadilan Gorontalo, Pengadilan, Denpasar, Pengadilan Ambon, Pengadilan Ternate, dan Pengadilan Manokwari.

15

Penanganan perkara tipikor dilakukan di wilayah hukum masing-masing Pengadilan Tipikor yang sudah dibentuk tersebut menjadi berbeda dengan sebelumnya. Seluruh perkara tipikor yang ditangani oleh seluruh Kejaksaan di wilayah hukum masing-masing yang telah dibentuk Pengadilan Tipikor-nya akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor tersebut. Dibentuknya Pengadilan Tipikor di

14

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 tanggal 7 Februari 2011.

15 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 153/KMA/SK/X/2011

(6)

daerah kabupaten/kota, tentu akan membawa banyak perubahan yang berarti dalam penegakan hukum dan mencari keadilan.

Sehubungan dengan itu, bahwa Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan asas peradilan yang baik harus dilakukan dengan sederhana mungkin, cepat, dan biaya yang ringan. Asas peradilan yang sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Sedangkan asas peradilan dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.16

Soerjono Soekanto mengatakan, fasilitas atau sarana penunjang merupakan faktor penting dapat mewujudkan tujuan.

Namun demikian, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mesti harus mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Penyelenggaraan peradilan tidak sekedar hakim memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara tetapi bagaimana sistem peradilan itu harus mampu pula memberikan pelayanan yang baik, efektif, sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sebab sistem peradilan pidana yang baik, efektif, sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan, dan lain-lain.

17

16 Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 17 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta:

Rajawali, 1980), hal. 17.

(7)

ditempatkan dalam mencapai tujuan menciptakan keadilan bagi para pencari keadilan di dalam sistem peradilan pidana.

Fasilitas yang dimaksud di sini adalah semua fasilitas dan atau sarana prasarana yang dapat digunakan dalam sistem peradilan pidana semata-mata untuk mencapai tujuan penegakan hukum dan keadilan. Fasilitas tersebut dapat berupa gedung-gedung lembaga, komputer, alat-alat komunikasi, ruang sidang, kendaraan, kertas, karbon, mesin tik, keuangan, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas tersebut meskipun sebagai sarana penunjang, namun perannya sedemikian urgen sangat diperlukan.18

18 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Dilengkapi Dengan 4

Undang-Undang di Bidang Sistem Peradilan Pidana, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hal. 59.

(8)

Urgensi faktor fasilitas atau sarana dan prasarana penunjang di dalam penyelenggaraan peradilan pidana menggambarkan suatu kondisi berikut:19

1. Apa yang sudah ada, tentu harus dipelihara agar setiap saat dapat difungsikan; 2. Apa yang belum ada, maka perlu diadakan dengan memperhatikan kebutuhan

yang medesak;

3. Apa yang kurang, maka perlu dilengkapi; 4. Apa yang macet, maka harus dilancarkan; dan

5. Apa yang telah lama (kolot) dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka perlu ditinggalkan dan diperbaharui.

Chamliss dan Seidman mengatakan tentang faktor ini merupakan salah satu faktor penting di dalam penyelenggaraan peradilan yaitu kendala keadaan yang selalu menekan pada hakim (situation pressure on the judge).20

Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 153/KMA/SK/X/2011, Pengadilan Tipikor di Banda Aceh dibentuk pada tanggal 11 Oktober 2011. Hal ini berarti di wilayah Propinsi NAD untuk seluruh Jumlah Kejaksaan Negeri yang ada Hal ini berarti kebutuhan akan kemampuan hakim-hakim khusus untuk mengangani perkara-perkara korupsi sangat perlu diadakan, sehingga urgensi keberadaan Pengadilan Tipikor mutlak diperlukan. Masalahnya apakah yang terjadi jika Pengadilan Tipikor hanya ada satu di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (selanjutnya disingkat NAD) yaitu Pengadilan Tipikor yang berkedudukan di Banda Aceh.

19 Ibid., hal. 16.

20 William J. Chamliss & Roberto Seidman, Law Order and Proper, (Massachusetts: Addison

Wesley Publishing Company, 1971), hal. 91-107. Dalam buku ini disebutkan bahwa faktor-faktor tersebut adalah: bahan-bahan (the way in which the issues are presenterd), kebijakan yang dipilih (policy), ciri sosial dan pribadi hakim (the personal attribute of the judge), kendala keadaan (situation

pressure on the judge), kendala organisasi (organization pressure in him), dan alternatif-alternatif

(9)

hanya ada satu Pengadilan Tipikornya untuk melimpahkan berkas perkara tipikor yakni Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang berkedudukan di Propinsi NAD.

Amanat Pasal 3 UU Pengadilan Tipikor memerintahkan bahwa Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Berarti bukan hanya berkedudukan di ibu kota propinsi yang dalam hal ini Pengadilan Tipikor Banda Aceh berada di wilayah Propinsi NAD untuk keseluruhan, tetapi harus Pengadilan Tipikor harus berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri.

Bila hanya ada satu-satunya Pengadilan Tipikor Banda Aceh berada di wilayah Propinsi NAD untuk seluruh Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD, akibatnya, kendatipun pelaksanaan penegakan hukum tetap berjalan, namun dalam kondisi ini terdapat beberapa hal yang menjadi kendala seperti jauhnya jarak antara Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dengan Pengadilan Tipikor Banda Aceh yaitu berjarak ± 473 kilometer. Kondisi ini juga berakibat pada sulitnya menghadirkan saksi-saksi disebabkan jarak yang cukup jauh tersebut. Selain itu, tentu biaya operasional yang diperlukan cukup besar untuk setiap kali mengikuti persidangan.

(10)

Dibandingkan dengan sebelum berdirinya Pengadilan Tipikor, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang hanya melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri setempat (Pengadilan Negeri Kuala Simpang).

Kendala-kendala itu juga dapat dirasakan akibatnya bagi aparatur kejaksaan terutama bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari kejaksaan negeri lainnya karena jarak Kejaksaan Negeri dengan tempat Pengadilan Tipikor Banda Aceh cukup jauh. Bahwa di Propinsi NAD terdapat satu kantor Kejaksaan Tinggi dan 2 2 (dua puluh dua) kantor Kejaksaan Negeri yaitu: Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Sabang, Kejaksaan Negeri Sigli, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Langsa, Kejaksaan Negeri Takengon, Kejaksaan Negeri Meulaboh, Kejaksaan Negeri Tapaktuan, Kejaksaan Negeri Kutacane, Kejaksaan Negeri Bireun, Kejaksaan Negeri Lhoksukon, Kejaksaan Negeri Idi, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, Kejaksaan Negeri Sinabang, Kejaksaan Negeri Calang, Kejaksaan Negeri Singkel, Kejaksaan Negeri Blangkejeren, Kejaksaan Negeri Jantho, Kejaksaan Negeri Balngpidie, Kejaksaan Negeri Suka Makmue, Kejaksaan Negeri Simpang Tiga Redelong, dan Kejaksaan Negeri Meureudu.21

Jumlah kasus tipikor sebelum Pengadilan Tipikor Banda Aceh didirikan pada tahun 2011, yakni antara tahun 2008 s/d tahun 2011, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Kuala Simpang sebanyak 11

21 Sumber diperoleh dari Panitera Kejaksaan Tinggi Aceh, lihat juga di:

(11)

(sebelas) perkara.22 Jumlah kasus tipikor setelah tahun 2011 atau setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang memiliki perkara tipikor yang dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Banda Aceh yaitu 18 (delapan belas) perkara yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tipikor Banda Aceh.23

UU Pengadilan Tipikor mengamanahkan pembentukan Pengadilan Tipikor pada setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia, namun untuk sementara Sebelum disahkannya UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor (UU Pengadilan Tipikor), Kejaksaan Tinggi Aceh beserta 22 (dua puluh dua) Kejaksaan Negeri tersebut melimpahkan perkara tipikor ke lingkungan Pengadilan Negeri sesuai dengan masing-masing wilayah hukumnya. Namun sejak disahkannya UU Pengadilan Tipikor dan dibentuknya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh dan seluruh Kejaksaan Negeri yang berada di Propinsi NAD harus melimpahkan perkara Tipikor ke Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

Pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah merupakan amanah dari UU Pengadilan Tipikor yaitu pengadilan khusus yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus perkara korupsi. Seluruh perkara korupsi hanya dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor dan bagi penyidik kepolisian, penyidik kejaksaan penyidik KPK harus melimpahkan seluruh perkara tipikor ke Pengadilan Tipikor.

(12)

berdasarkan surat keputusan MA tersebut di atas terlebih dahulu dibentuk Pengadilan Tipikor di 33 (tiga puluh tiga) ibu kota propinsi di Indonesia. Untuk itulah di Propinsi NAD dibentuk Pengadilan Tipikor di Banda Aceh tersebut untuk seluruh Kejaksaan Negeri yang ada di seluruh wilayah Propinsi NAD.

Berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh membuat Kejaksaan Tinggi Aceh dan 22 (dua puluh dua) Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD melimpahkan seluruh perkara korupsi ke Pengadilan Tipikor di Banda Aceh. Dibentuknya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh tersebut menimbulkan beberapa permasalahan sehubungan dengan proses penanganan perkara bagi aparatur Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan begitu pula bagi aparatur Kejaksaan Negeri lainnya di NAD. Terutama beberapa kantor Kejaksaan Negeri di Propinsi NAD yang berjarak cukup jauh dengan Pengadilan Tipikor Banda Aceh.

(13)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan tiga hal permalasahan yang diteliti di dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana ketentuan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan wewenang kejaksaan dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor di Pengadilan Tipikor?

2. Bagaimana pelaksanaan penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebelum dan sesudah berdirinya Pengadilan Tipikor Banda Aceh?

3. Apa upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Adapaun yang menjadi tujuan dari pelaksaksanaan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perbedaan proses birokrasi penanganan perkara tipikor di

Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebelum dan sesudah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

(14)

3. Untuk mengetahui upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum yang terdapat di dalam penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Bermanfaat pula menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya untuk menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya bagi Polri, Jaksa Penuntut Umum, advokat, dan para hakim yang menangani perkara tipikor, bermanfaat pula bagi masyarakat betapa pentingnya Pengadilan Tipikor dalam penyelenggaraan penegakan hukum di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

(15)

untuk menghindari plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:

1. Tesis atas nama Raja Oberlin, NIM: 067005038, judul tesis “Analisis Komparatif Kewenangan Kejaksaan dan KPK Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Analisis Kontradiktif dan/atau Koordinatif)”. Fokus kajian di dalam penelitian ini difokuskan pada kewenangan kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana koripsi.

2. Tesis atas nama Susilawati, NIM: 982105028, judul tesis, “Peranan Hakim Dalam Pengimplementasikan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Memberantas Korupsi (Studi Kasus Dalam Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara)”. Fokus kajian di dalam penelitian ini membahas masalah peranan hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi di Sumatera Utara, walaupun tentang peranan hakim, tetapi bukan membahas masalah Pengadilan Tipikornya.

Sedangkan judul pada penelitian ini adalah “Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah” dan permasalahan yang akan dibahas adalah:

(16)

2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh aparatur Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dalam proses penanganan tipikor setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh?

3. Apa upaya-upaya progresif yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang sebagai langkah strategi pemberantasan korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh?

Dari perbandingan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penelitian ini berarti menunjukkan keaslian, terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak memiliki kemiripan sam sekali dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

(17)

a. Teori Sistim Hukum

Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari basaha Yunani yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.24 Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.25

JH. Merryman, mengatakan, “Legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules”.

Hal ini menggambarkan kondisi penegakan hukum termasuk sistem peradilan pidana berada dalam sistim besar yaitu teori sistim hukum (legal system theory).

26

Dalam teori JH. Merryman ini sistem hukum merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum. Menurut Lawrence Milton Friedman, bahwa dalam sistem hukum harus meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.27

Jika membicarakan teori sistim hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen yang dilibatkan, sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman, masing-masing yaitu:28

1) Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.

24 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2004), hal. 4.

25 Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal.

71.

26 JH. Merryman dalam Ade Maman Suherman, Loc. cit.

27 Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah

Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

28 Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:

(18)

2) Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

3) Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.

Bagian penting yang dibicarakan dalam sistem hukum adalah masalah prosedur (dalam JH. Merryman) dan struktur hukum (dalam Lawrence Milton Friedman). Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan struktur hukum bahwa prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum (law inforcement) tipikor di dalam Pengadilan Tipikor.

Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut

penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.29

29

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 40. Dalam tahapan-tahapan itu, hukum pidana substantif memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

(19)

Sedangkan full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement yang dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Kemudian dalam actual enforcement, menurut Joseph Goldstein actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Di mana bahwa full enforcement dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.30

Dalam konteks kajian di dalam penelitian ini, sehubungan dengan pendapat Muladi, yang mengemukakan, “Penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana) dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum”.31

Dalam ranah penegakan hukum, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum itu sendiri yaitu: struktur, substansi dan kultur.

Maka perlu ditindaklanjuti upaya pelaksanaan penegakan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.

32

30 Ibid.

31

Ibid., hal. 35.

32 Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai

Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Artikel pada Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun 2003/2004.

(20)

kemanfaatan, dana kesejahteraan bagi masyarakat, maka perlu kiranya kinerja komponen dalam sistim peradilan pidana dikoreksi guna efektifitas kinerja aparat penegak hukum itu sendiri.

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.33

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

34

Sistim peradilan pidana memiliki tujuan untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas dengan keadilan yang telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

33

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

34 Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita (III), Sistem Peradilan Pidana Perspektif

(21)

mengusahakan agar pelaku yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.35

Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Lembaga tersebut sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai proses interaksi di mana para aktor dalam litigasi berperan menegakkan hukum, serta bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan.

Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara Pengadilan memainkan peranan penting dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku.

36

Komponen sistim peradilan pidana harus selalu saling berhadapan dengan lingkungannya. Komponen itu tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya mengingat begitu besar pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan masyarakat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan hukum, meliputi: interaksi, interkoneksi dan interdependensi.

37

35 Mardjono Reksodiputro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat pada Kejahatan dan

Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi”, Makalah dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Universitas Indonesia, (Jakarta: FHUI, 1993), hal. 1.

36 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2006), hal. 212.

(22)

Teori sistim peradilan pidana juga dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.38 Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.39

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut berada dalam satu sistem yang terintegrasi.

40

Adapun pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.

41

Sistim harus lebih luas dari hukum acara pidana karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek substansinya saja. Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan struktur juga budaya hukum. Artinya hukum dilihat tidak

38 Romli Atmasasmita (IV), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Grup, 2010), hal. 6.

(23)

saja yang diatur secara eksplisit dalam buku (law in the books) tetapi juga bagaimana konteks dan dalam prakteknya (law in actions).42 Dalam bahasa Jimly Ashshidiqy, proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal maka liar dan bertindak semaunya dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany.43

Sistem terpadu diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional di antara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Aktivitas pelaksanaan sistim peradilan pidana merupakan fungsi gabungan dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan dan petugas penjara serta badan yang berkaitan dengan baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau diluarnya. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka sistim hukum adalah untuk menegakkan dan melaksanakan hukum.

44

b. Teori Hukum Progresif

Adanya konsep hukum progresif muncul saat ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia yang menimbulkan skeptis negatif terhadap keleluasan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kelemahan aparat penegak hukum saat berhadapan dengan hukum cenderung menimbulkan perlakuan yang tidak adil sehubungan dengan adanya anggapan yang menganggap keunggulan dari institusi sebagai penegak hukum yang diberikan

42 Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46.

43 Ibid.

44 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

(24)

kewenangan untuk melakukan diskresi. Wewenang diskresi dalam praktek cenderung berpotensi tidak sesuai dengan penerapan penegakan hukum sehingga hak-hak tersangka, saksi, maupun korban terkadang terabaikan.

Sehubungan dengan kondisi penegakan hukum tipikor dalam kaitannya dengan teori hukum progresif, maka terdapat suatu hubungan yang saling bertentangan di mana bahwa asumsi dasar teori hukum progresif mengatakan ”hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya”.45 Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.46

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, Satjipto Raharjo mengatakan, ”Para profesional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat dan para yuris yang bekerja di pemerintahan, akan melihat dan mengartikan hukum sebagai suatu bangunan

Dalam kondisi penanganan perkara tipikor setelah dibentuknya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, maka terdapat suatu kondisi yang saling dihadapkan pada dua aspek penting, yaitu pertama pada satu sisi dihadapkan pada penegakan hukum yang bersifat represif (memaksa) sedangkan di sisi lain hukum progresif memberi hak-hak luas bagi para pencari keadilan.

45 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009), hal. 5.

(25)

perundang-undangan”.47

Gagasan hukum progresif berupaya untuk mengubah paradigma hukum dalam konteks hukum adalah hukum. Hukum dalam gagasan progresif adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Hukum harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan lebih besar, maka setiap kali ada masalah dalam penegakan hukum, hukumlah yang semestinya ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.

Artinya hukum itu tampil dan ditemukan dalam wujud perundang-undangan.

48

Teori hukum progresif tidak lepas dari gagasan Satjipto Rahardjo yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal dan hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru.49

Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu “hukum untuk manusia”, dengan demikian manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggara hukum.50

47 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007),

hal. 1.

48

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah…Op. cit., hal. 5.

49 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), ( Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 212.

50 Ibid.

(26)

dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya, bukan manusia untuk hukum.51

Faktor penyebab munculnya pemikir-pemikir hukum progresif menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick disebabkan karena ketidakmampuan hukum otonom mengakomodasi perubahan sosial yang terus bergerak secara dinamis.52 Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya terus melakukan penolakan dan ingin mematahkan status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja (business as usual).53

Hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolok ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.54

51

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), hal. 61.

52 Philippe Nonet dan Philip Selznick diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Hukum

Responsif, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 59-61. Lihat juga: Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2008), hal. 134.

53 Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),

hal. 114.

54 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum…Op. cit., hal 62.

(27)

peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.55

Menurut Satjipto Rahardjo konsep hukum yang progresif hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.56 Sehingga harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia.57 Para penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan peraturan secara hitam-putih.58 Maka dengan demikian penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) dituntut mencari dan menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan dalam hukum progresif.59

Hukum progresif menggamarkan hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

55 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum…Op.cit.,

hal. 213.

56 Ibid., hal. 217. 57

Ibid., hal. 214.

(28)

mengabdi kepada manusia. Hukum progresif selalu berada dalam proses untuk terus terjadi, membangun dan mengubah absolutivisme hukum menuju tingkat kesempurnaan yang lebih baik.

Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat hukum yang selalu dalam proses terjadi (law is process, law in the making). Hukum tidak untuk hukum itu sendiri tetapi untuk manusia.60 Sehingga upaya untuk menerapkan asas peradilan yang baik harus dilakukan dengan sederhana mungkin, cepat, dan biaya yang ringan, tanpa mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan,61

2. Landasan Konsepsional

merupakan suatu wujud dari pelaksanaan teori hukum progresif, memberikan kemudahan bagi tersangka, saksi-saksi, maupun bagi aparatur hukum dalam menjalani mekanisme proses hukum.

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan, maka di dalam penelitian ini digunakan landasan konsepsional yaitu:

a. Ketentuan Perundang-Undangan adalah ketentuan perundang-undangan yang terdapat di dalam UUD 1945, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UUPTPK, UUKPK, dan UU Pengadilan Tipikor, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010 Tanggal 1 Desember 2010, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik

60 Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum....Op. cit., hal. 6.

(29)

Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 Tanggal 7 Februari 2011, dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 153/KMA/SK/X/2011 Tanggal 11 Oktober 2011.

b. Wewenang Kejaksaan adalah wewenang Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dalam melakukan penuntutan terhadap perkara tipikor di Pengadilan Tipikor Banda Aceh.

c. Penuntutan adalah serangkaian tindakan penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Kuala Simpang untuk melimpahkan perkara tipikor ke Pengadilan Tipikor di Banda Aceh yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan UUPTPK dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan Tipikor.

d. Pelaksanaan penanganan perkara adalah pelaksanaan penanganan perkara tindak pidana korupsiyang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh.

e. Kejaksaan Negeri Kuala Simpang adalah salah satu kejaksaan negeri dari sebanyak 2 2 (dua puluh dua) kantor Kejaksaan Negeri yang berada di bawah satu kantor Kejaksaan Tinggi di Propinsi NAD.

(30)

2015 saat ini masih sebagai satu-satunya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh untuk seluruh wilayah NAD.

g. Upaya-Upaya Progresif adalah tindakan-tindakan yang dapat dilakukan sebagai strategi pemberantasan korupsi setelah berdirinya Pengadilan Tipikor di Banda Aceh dengan mengedepankan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya yang ringan.

h. Strategi Pemberantasan Korupsi adalah suatu cara atau metode pemberantasan korupsi dengan menggunakan upaya-upaya hukum progresif tanpa harus menerapkan KUHAP secara kaku.

(31)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.62 Penelitian hukum normatif menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.63 Juga meneliti terhadap kaedah-kaedah dan asas-asas hukum.64 Penelitian normatif selain mengacu pada teori-teori, juga mengacu pada doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan.65

Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan dan menguraikan serta sekaligus menganalisis mengenai fakta-fakta melalui pendekatan peraturan perundang-undangan.

66

62

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51.

63 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2,

(Bandung: Alumni, 1994), hal. 12.

64 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13.

65

Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282.

66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005), hal. 96.

(32)

progresif, asas-asas dan prinsip-prinsip peradilan yang baik dalam menciptakan keadilan serta menjunjung tinggi HAM.

2. Sumber Data

Sebagai data dalam penelitian ini yang digunakan adalah data sekunder, meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu: UUD Tahun 1945, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK), dan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 191/KMA/SK/XII/2010 Tanggal 1 Desember 2010, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/2011 Tanggal 7 Februari 2011, dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 153/KMA/SK/X/2011 Tanggal 11 Oktober 2011.

(33)

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

Selain menggunakan data sekunder tersebut di atas, juga digunakan wawancara terhadap para jaksa di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan hakim-hakim di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, dengan tujuan untuk memperkuat argumentasi normatif di dalam penelitian ini. Namun penelitian ini bukan berarti menggunakan metode yuridis empiris melainkan hanya menggunakan salah satu alat pengumpul data empiris yakni wawancara saja.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) di perpustakaan, dan studi lapangan (field research) melalui wawancara mendalam dengan cara mengumpulkan bahan-bahan hukum tentang fakta-fakta yang relevan dengan masalah penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh (objek penelitian).67

Informan yang diwawancari antara lain: Kasi Pudsus Kejaksaan Negeri Kuala Simpang, Para JPU yang pernah menangani perkara tipikor di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, para saksi yang sudah pernah mengikuti persidangan tipikor di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Alasan pemilihan informan ini adalah karena secara

67 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(34)

langsung menghadapi kendala-kendala penanganan tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang termasuk para saksi juga merasakan hal yang sama.

Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet. Semua data yang diperoleh akan dipilah-pilah dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh.

4. Analisis Data

Semua data terkait dengan penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh akan dianalisis secara kualitatif, bukan secara kuantitatif.68

Fokus analisis dalam penelitian ini mengenai penanganan perkara tipikor di Kejaksaan Negeri Kuala Simpang dan di Pengadilan Tipikor Banda Aceh. Apakah penanganan perkara tipikor di daerah tersebut telah sesuai dengan teori-teori, doktrin-doktrin, asas dan prinsip, serta kaidah-kaidah hukum yang mengatakan suatu peradilan yang baik adalah peradilan yang dilaksanakan sesederhana mungkin, cepat dan berbiaya ringan, sehingga tidak menyulitkan di dalam proses penegakan hukum dan keadilan.

Analisis secara kualitatif lebih memfokuskan pada analisis menggunakan teori-teori, doktrin-doktrin, asas dan prinsip, serta kaidah-kaidah hukum yang relevan.

(35)

Dalam menganalisis permasalahan ini sekaligus memberikan argumentasi-argumentasi hukum, yang dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus) pada setiap uraian diungkapkan secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data, memberikan penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut teori teori sistem hukum dan teori hukum progresif, termasuk menurut doktrin-doktrin yang ada, asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan yuridis dalam perundang-undangan, sehingga permasalahan dalam penelitian ini dapat terjawab.69

Referensi

Dokumen terkait

Dengan alasan tersebut penulis memutuskan untuk membuat sebuah program feature televisi tentang kebudayaan berjudul “Pusaka Nusantara” Eps Sekaten Solo.. Sekaten

Oleh karena itu karena banyaknya barang yang di jual dan juga banyaknya para konsuman yang datang,maka penulis akan mencoba membantu mengolah data-data tersebut dengan

However, in the event of requisition for 103 title or use without the prior execution of a written agreement by the Assured, such automatic termination 104

[r]

Pendidikan mengenai pengenalan huruf dan angka kepada anak-anak sangatlah penting tetapi cara penyampaian oleh para orang tua dan guru yang terkadang tidak menarik atau kaku

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan Panitia pengadaan barang jasa Dinas Koperasi perindustrian dan perdagangan Kabupaten Bondowoso

Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin dengan Metode Ekstraksi.. Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik, Jurusan Tekni Kimia:

Program Lesson Study telah berhasil diidentifikasi dan dikembangkan melalui kegiatan Lesson Study di tiga LPTK (FPMIPA UPI, FMIPA UNY dan FMIPA UM) dan dirasa perlu