• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Penggunaan Teknologi Pesawat Siluman (Stealth Fighter) Dalam Kaitannya Dengan Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara Wilayahnya Ditinjau Menurut Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implikasi Penggunaan Teknologi Pesawat Siluman (Stealth Fighter) Dalam Kaitannya Dengan Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara Wilayahnya Ditinjau Menurut Hukum Internasional"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejumlah perkembangan Hukum Internasional memiliki konsep

sederhana di dalam masyarakat internasional, dimana konsep yang

ditawarkan dalam hukum internasional itu sendiri sifatnya setara. Dimana

hal ini bertolak belakang dengan konsep hukum nasional yang kita ketahui,

dimana dalam hukum nasional dikenal adanya upperhand power yang

diwujudkan dalam bentuk badan supranasional. Dengan kata lain

kesetaraan (equality) merupakan nafas utama lahirnya hukum internasional

di lingkungan masyarakat hukum internasional.1

Kebutuhan masyarakat internasional atas hukum internasional itu

sendiri disebabkan oleh kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing

negara yang dibatasi oleh batas wilayahnya yang meliputi batas wilayah

darat, laut dan udara. Dimana batas-batas jurisdiksi ini menyebabkan suatu

kebutuhan aturan bagi masyarakat internasional untuk menjalin hubungan

di luar wilayah kekuasaan masing-masing negara tersebut. Karena seperti

      

1 R.P. Anand., International Law and The Developing Countries.,Boston:

(2)

yang kita ketahui kedaulatan hukum nasional sifatnya sangat absolut dan

tidak ada kompromi sama sekali. Hakekatnya kedaulatan bagi suatu negara

adalah berkaitan dengan persoalan kewenangan.

Kedaulatan memberi kekuasaan dan kewenangan kepada negara

untuk melaksanakan dan menerapkan suatu sistem hukum nasional atas

wilayah-wilayah teritorial, warga negara serta aset-aset yang berada di

wilayah negara tersebut.

Pada lingkungan masyarakat internasional itu sendiri, terdapat

beragam aspek dan kepentingan satu negara dengan kepentingan negara

lain. Dalam tatanan dunia internasional tersebut, segala bangsa dan negara

perlu untuk menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau

negara secara sendiri atau bersama-sama, bertindak tanpa memperhatikan

aspek/kepentingan lain dalam mencapai suatu tujuan dari tindakan tersebut.

Tindakan negara tersebut terkadang dapat menimbulkan

kerugian/perselisihan antar suatu negara dengan negara lain. Oleh karena

itu segala tindakan dan hubungan antara berbagai bangsa/negara itu

dilandaskan pada norma-norma hukum internasional.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan tindakan/jurisdiksinya suatu

negara perlu memperhatikan akibat-akibat yang mungkin terjadi serta

pertanggung jawaban yang ditimbulkan dari akibat-akibat tersebut. Dalam

hukum internasional terdapat Doktrin persamaan derajat negara-negara

(3)

permulaan sejarah hukum internasional modern oleh penulis-penulis yang

menekankan pentingnya hubungan antara hukum bangsa-bangsa dengan

hukum alam. Dukungan ini terlihat dari kutipan karya utama Christian

Wolff berikut ini2:

“Pada dasarnya semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama

satu sama lain. Karena bangsa-bangsa dianggap sebagai pribadi

manusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan alami. Oleh karena

itu, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan

yang sama, maka semua bangsa pun pada dasarnya berkedudukan

sama satu sama lain”.

Dalam Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dirumuskan di

San Fransisco 1945, dinyatakan secara tegas pengakuan atas doktrin

tersebut. Pasal 1 Charter menyatakan penghargaan atas prinsip persamaan

hak dan pasal 2 menyatakan bahwa organisasi dilandaskan atas

prinsip-prinsip persamaan kedaulatan semua anggotanya. Istilah persamaan

kedaulatan juga ditegaskan dalam Deklarasi Majelis Umum tahun 1974

mengenai pembentukan Tata Ekonomi Baru (Establishment of a New

Economic Order).3

      

2 J.G Starke, QC, Pengantar Hukum Internasional Edisi kesepuluh, Jakarta: Sinar

Grafika, 1988, hal 141

(4)

Prinsip-prinsip hukum internasional berkenaan dengan masalah

jurisdiksi teritorial menganut beberapa prinsip hukum yang berlaku secara

universal, diantaranya:

1. Prinsip Teritorial adalah prinsip yang memberi kewenangan kepada setiap negara untuk melaksanakan ketentuan hukum nasional

terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang berlangsung di wilayah

teritorial negaranya, baik privat maupun publik.

2. Prinsip Protektif adalah pemberian kewenangan kepada negara-negara untuk melakukan ketentuan hukum atas tindakan-tindakan

yang dianggap mengganggu dan mengancam keamanan negara,

tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan pada hal ini antara lain

tindakan mata-mata (spionase/spying), pelanggaran ketentuan

imigrasi/batas wilayah, atau tindakan penyerangan terhadap

pemerintahan yang sah.

3. Prinsip Universalitas adalah memberikan wewenang pada Negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional untuk

melaksanakan tindakan sesuai dengan hukum nasional atas

kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan dan perdamaian

dunia sebagaimana yang diungkapkan oleh Michael Akehurst:

(5)

to exercise a universal jurisdiction over certain acts which treaten the international community as a whole and which are criminal in all countries, such as war crimes, piracy, hijacking, and various forms of international terrorism”

(prinsip universal kurang objektif bilamana prinsip tersebut diberlakukan

terhadap tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kejahatan-kejahatan di

semua Negara; bahwa Inggris berpendapat terhadap hukum internasional,

dan menerima bahwa hukum internasional membolehkan Negara-negara

melaksanakan jurisdiksi universal terhadap tindakan-tindakan tertentu yang

dilakukan oleh masyarakat internasional secara keseluruhan dan tindakan

tersebut merupakan kejahatan di semua Negara seperti penjahat perang,

penyelundupan, pembajakan dan terorisme).

Berbagai hambatan teknis dalam pelaksanaan prinsip-prinsip diatas

dalam praktek hubungan antar Negara sering ditemui, karena terjadi

masalah “ekstradisi”. Belum adanya ketentuan internasional yang

mengatur masalah ekstradisi secara eksplisit telah menimbulkan berbagai

persoalan dalam pelaksanaan ketentuan hukum nasional suatu Negara

terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warganegaranya di Negara

lain.4

Seperti yang kita ketahui konsep Hukum Internasional berlaku

apabila telah diterima sebagai suatu ketentuan yang mengatur oleh

(6)

masyarakat internasional itu sendiri. Hal ini dapat berupa suatu kebiasaan

internasional yang telah lama ada, maupun berdasarkan atas suatu landasan

hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu subjek

Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. J.G Starke

menyatakan Hukum internasional dapat didefinisikan5 sebagai keseluruhan

hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan

kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat

untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam

hubungan mereka satu sama lain. Hugo de Groot (1583-1654) menulis

secara sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya,

“De Jure Belli ac Pacis” (The Law of War and Peace=Hukum Perang dan

Damai), membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti

negara-negara pada zamannya.6

Latar belakang pemilihan judul ini erat berhubungan dengan

konsep dan kaedah yang terdapat di dalam Hukum Internasional dengan

mengamati dan meneliti aspek perkembangannya. Saat ini telah dirasakan

pula pentingnya suatu bagian dalam Hukum Internasional tersebut, yakni

mengenai Hukum Udara Internasional yang keberadaannya cukup vital.

Mengingat bahwa wilayah udara telah menjadi suatu sumber daya yang

penting bagi pertahanan dan keamanan, serta bernilai ekonomis dalam

pemanfaatannya.

(7)

Dalam era globalisasi sekarang ini kita ditantang untuk mengikuti

segala perkembangan inovasi yang muncul terus-menerus. Ilmu

pengetahuan yang berkembang pesat, terutama sejak penemuan mesin uap

oleh James Watt yang memberikan terobosan inovasi penggunaan teknologi

untuk melengkapi kehidupan manusia yang melahirkan revolusi industri di

Eropa. Setelah Perang Dunia II berakhir kemajuan teknologi khususnya

teknologi pesawat udara telah memberi dampak yang positif kepada tingkat

kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan penerbangan

hingga bahkan mencapai penjelajahan angkasa luar. Perkembangan

teknologi ini telah membuka mata masyarakat internasional bahwa ruang

udara sama pentingnya dengan wilayah daratan yang ada.

Wilayah ruang udara suatu negara merupakan ruang udara diatas

wilayah daratan dan (apabila memiliki laut) diatas laut teritorial negara

tersebut. Dengan demikian, perbatasan ruang udara antara dua negara

merupakan garis lurus (vertikal) yang ditarik ke atas dari perbatasan

wilayah darat dan laut teritorial antara kedua negara. Akan tetapi, sampai

sekarang belum ada ketentuan yuridis yang mengatur tentang seberapa jauh

ukurannya garis tersebut boleh ditarik. Tidak ada satu pun perjanjian

internasional yang menegaskan perbatasan berapa jauh tinggi ruang udara

suatu negara itu secara pasti.

Karena itu, oleh beberapa ahli dikemukakan beberapa teori,

diantaranya teori ICAO (International Civil Aviation Organization) yang

(8)

ketinggian ruang udara suatu negara dihitung berdasarkan ketinggian

maksimum yang dapat dicapai pesawat udara biasa, yang didefinisikan

sebagai setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfer

dari reaksi udara.7 Dengan demikian menurut teori ini, ruang udara suatu

negara meliputi ruang dimana pesawat masih dapat terbang dengan

mendapat gaya angkat aerodinamis dari udara, bukan dari mesin

pendorong seperti roket. Salah satu teori lagi menyatakan bahwa batas

ketinggian ruang udara suatu negara dihitung berdasarkan kemampuan

negara di bawahnya untuk secara efektif melaksanakan kekuasaannya.

Dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengatur tentang souvereignity

(kedaulatan), yang menentukan: “The contracting States recognize that

every State has complete and exclusive souvereignity over the airspace above its territory.” Dengan demikian, negara peserta Konvensi Chicago

1944 mengakui bahwa semua negara memiliki kedaulatan yang lengkap

dan penuh (mutlak) atas ruang udaranya.

Kedaulatan yang penuh (complete) menyiratkan pengertian bahwa

negara yang bersangkutan memiliki semua hak atas ruang udaranya,

sedangkan kedaulatan bersifat exclusive menyiratkan pengertian bahwa

negara bersangkutan adalah penguasa tunggal ruang udara diatasnya bukan

pihak lain. Implikasi dari prinsip bahwa negara memiliki kedaulatan yang

penuh dan eklusif atas ruang udara di atasnya adalah negara memiliki hak

      

7 E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung,

(9)

untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu untuk dilakukan demi

kepentingan negara yang bersangkutan.

Sehubungan dengan prinsip itu timbul suatu kondisi dimana

pesawat udara negara lain tidak dapat melakukan penerbangan di atas suatu

wilayah negara lain tanpa adanya otorisasi izin dari negara di bawahnya.

Seperti yang kita ketahui pesawat udara merupakan alat transportasi yang

memiliki karakteristik yang istimewa dibandingkan dengan alat transportasi

lainnya. Kecepatan dan sifat bebasnya pesawat udara dari suatu rintangan

di permukaan bumi, menjadikan alat transportasi ini memiliki potensi

penggunaan secara militer yang luar biasa. Selain itu, dalam

perkembangannya kita dapat melihat bahwa ruang udara sebagai media

bergeraknya pesawat udara telah menjelma menjadi akses masuk datangnya

serangan militer yang sangat rawan menimbulkan ancaman pada keamanan

nasional negara tersebut. Sifat tertutup dari ruang udara tersebut juga dapat

dipahami mengingat ruang udara sebagai media gerak sangatlah rawan jika

ditinjau dari segi pertahanan dan keamanan Negara kolong.

Keuntungan-keuntungan serangan militer seperti dalam faktor

kecepatan (speed), jangkauan (range), kejutan (surprise), penyusupan

(penetration) dapat dilakukan dengan optimal hanya melalui media ruang

udara dengan bantuan pesawat udara. Hal ini mendorong setiap negara

memberlakukan standar pengamanan ruang udara di atas wilayahnya secara

ketat dan sangat kaku. Sesuai dengan hal itu suatu pesawat tempur yang

(10)

saat melintasi ruang udara diatas suatu wilayah negara berdaulat diharuskan

melaporkan terlebih dahulu kepada pengontrol lalu lintas udara negara

setempat. Dimana pesawat tempur tersebut dilarang keras untuk melakukan

provokasi, ancaman terlebih melakukan manuver-manuver udara tertentu.

Dalam perkembangannya timbul suatu hal yang mungkin tidak

diperkirakan oleh para ahli hukum internasional itu sendiri, karena

sebagaimana yang kita ketahui keadaan masyarakat internasional juga

selalu berubah dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut terdapat dalam

bidang teknologi yang mendukung pertahanan dan keamanan batas wilayah

ruang udara tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam melakukan

pengawasan terhadap ruang udara yang luas terdapat batasan dalam jarak

pandang kita sebagai manusia. Sebagai jawaban atas masalah ini maka

muncullah teknologi radar. Radar merupakan singkatan radio detection and

ranging yang bisa diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai deteksi dan

penjangkauan melalui gelombang radio. Radar merupakan sistem

gelombang elektromagnetik yang digunakan untuk mendeteksi, mengukur

jarak dan membuat peta benda-benda seperti posisi pesawat terbang,

kendaraan bermotor dan informasi cuaca/hujan.

Dalam perkembangannya teknologi radar banyak digunakan

sebagai alat untuk mendeteksi pesawat-pesawat yang mungkin akan

melewati batas wilayah suatu negara. Selain itu radar juga berfungsi dalam

bidang penerbangan sebagai Air Traffic Control (ATC) yaitu kendali lalu

(11)

terbang yang akan lepas landas, terbang di udara maupun ketika akan

melakukan pendaratan. Radar inilah yang menjadi tulang punggung setiap

negara di dalam melakukan pengawasan terhadap keamanan wilayah

udaranya masing-masing.

Namun perkembangan teknologi itu sendirilah yang menjadi

penyebab masalah bagi pengamanan wilayah udara tersebut. Keampuhan

teknologi radar dalam menjalankan pengawasan keamanan wilayah ruang

udara suatu negara dimentahkan oleh kemampuan teknologi pesawat

siluman (Stealth Fighter).

Pesawat Siluman (Stealth Fighter) merupakan suatu hasil dari

kemajuan teknologi di bidang persenjataan militer saat ini. Dimana

kemampuan pesawat siluman ini tidak dapat dipandang sebelah mata

karena kemampuannya yang dapat menghilang dari pantauan pandangan

radar yang biasa digunakan mengawasi keadaan wilayah udara yang sangat

luas yang tidak mungkin dipantau secara manual. Sehingga dalam

melakukan penyusupan ke suatu wilayah udara suatu negara, pesawat

siluman dapat melakukannya dengan baik, seperti kegiatan spionase bahkan

serangan secara tiba-tiba (Stealth Attack).

Bahkan masih segar di ingatan kita bahwa serangan kilat ke suatu

negara oleh negara lain yang pernah dilakukan oleh Jerman terhadap

Polandia yang bertajuk serangan “blietzkrieg” pada tahun 1939 dapat

(12)

ini menjadi momok yang sangat berbahaya, mengingat kembali bahwa pada

dasarnya wilayah udara suatu negara sifatnya tertutup bagi pesawat udara

dari negara lain.

Teknologi pesawat siluman itu sendiri masih terbatas

kepemilikannya. Jika dilihat dari teknologinya diklaim pesawat siluman

baru dimiliki oleh beberapa negara saja seperti Amerika Serikat, China,

Rusia dan Jepang. Keterbatasan kepemilikan terhadap teknologi pesawat

siluman ini seperti kartu as bagi negara-negara yang telah memilikinya

tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi negara-negara

di dunia ketiga yang rata-rata menyandang status negara berkembang

hingga miskin.

Penyediaan teknologi radar sebagai standar keamanan wilayah

udara tidak dapat dipenuhi oleh negara-negara tersebut, bahkan dengan

munculnya teknologi pesawat siluman yang bahkan telah menjadikan

teknologi radar tersebut seperti saringan yang selalu bocor.

Bahkan kemampuan pesawat siluman itu sendiri tidak terbatas

hanya pada kemampuannya mengelabuhi radar tersebut. Dari informasi

publik yang dikeluarkan oleh Lockheed.Inc (Perusahaan pembuat Stealth

Fighter F-22) mengenai spesifikasi tempur pesawat siluman buatan

perusahaan tersebut, disebutkan adanya poin in capability of releasing

nuclear war head missile (Kemampuan melepaskan peluru kendali dengan

(13)

dihubungkan dengan teknologi nuklir. Kita sudah melihat bukti nyata

pengaruh negatif nuklir pada kasus Chernobyl 1986. Maka dengan

memperhatikan segala uraian diatas penulis ingin lebih mengetahui

mengenai pengaturan penggunaan pesawat siluman (stealth fighter)

tersebut didalam tatanan peraturan Hukum Internasional dan selanjutnya

memilih judul skripsi: “IMPLIKASI PENGGUNAAN TEKNOLOGI

PESAWAT SILUMAN (STEALTH FIGHTER) DALAM

KAITANNYA DENGAN KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS

RUANG UDARA WILAYAHNYA DITINJAU MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka berikut ini dirumuskan beberapa hal yang

akan dijadikan sebagai permasalahan:

1. Bagaimanakah pengaturan Hukum Internasional tentang

Kedaulatan suatu negara atas ruang udara wilayahnya?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai pesawat siluman (stealth

fighter) sebagai pesawat militer ditinjau menurut Hukum

Internasional?

3. Bagaimanakah pelanggaran kedaulatan ruang udara suatu negara

yang telah terjadi dalam penggunaan teknologi pesawat siluman

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan Hukum Internasional mengenai

kedaulatan ruang udara suatu wilayah negara

2. Untuk mengetahui pengaturan tentang pesawat siluman (stealth

fighter) dan statusnya sebagai pesawat militer menurut pengaturan

Hukum Internasional

3. Untuk mengetahui pelanggaran Hukum Internasional yang telah

dilakukan dalam proses penggunaan pesawat siluman (stealth

fighter).

Selain tujuan yang telah disebutkan diatas, berikut beberapa manfaat yang

diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1) Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan bagi

perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum

internasional pada khususnya. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat

memberikan gambaran tentang teknologi pesawat siluman (stealth

fighter) dari segi perspektif yang dapat dipahami dengan mudah

oleh pembaca.

2) Secara praktis

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi

(15)

(Stealth Fighter), dimana penulis sendiri merasa bahwa tulisan

tentang kajian hukum tentang teknologi pesawat siluman ini masih

sangat minim karena itu mudah-mudahan hadirnya skripsi ini bisa

menjadi oase yang memuaskan keingintahuan pembaca yang dalam

tentang teknologi pesawat siluman (stealth fighter) tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Sehubungan dengan topik yang dikaji dalam skripsi ini, penulis

sebelumnya telah menelusuri dan memeriksa arsip skripsi yang ada di

Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, judul skripsi: “Implikasi

Penggunaan Teknologi Pesawat Siluman (Stealth Fighter) Dalam

Kaitannya Dengan Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara

Wilayahnya Ditinjau Menurut Hukum Internasional” tidak ada yang sama

dengan judul skripsi yang lainnya baik yang ditulis sekarang maupun yang

ditulis dahulu pada jauh-jauh hari. Hal ini dapat dibuktikan adanya

persetujuan dari bagian Jurusan. Dengan demikian judul skripsi ini adalah

asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka

Dari etimologi bahasanya, Implikasi menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia8 adalah suatu keterlibatan atau keadaan terlibat yang memberikan

suatu dampak tertentu, sedangkan pengertian pesawat9 diartikan sebagai

mesin yang memiliki kemampuan untuk melayang di atas udara dan kata

      

8 Suharso & Ana Retnonigsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia., Edisi Lux,

Semarang: Penerbit CV.Widya Karya, Tahun 2005, Hal 178

(16)

siluman10 diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya tidak kelihatan. Dari

komposisi kata pesawat dan siluman bisa ditarik suatu pengertian tentang

pesawat siluman yaitu mesin yang memiliki kemampuan untuk melayang di

atas udara dan memiliki sifat yang tidak kelihatan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional ialah

keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau

persoalan yang melintasi batas negara. Sebagaimana yang telah terlihat

sebelumnya, negara-negara merupakan subjek-subjek utama hukum

internasional. Konvensi Montevideo menyatakan bahwa11:

“Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki

syarat-syarat sebagai berikut: penduduk tetap, wilayah yang

tertentu, pemerintah dan kemampuan untuk melakukan

hubungan-hubungan dengan negara-negara lain”.

Salah satu syarat negara yang menyebutkan tentang wilayah

tertentu ini memunculkan adanya konsep “Kedaulatan Teritorial” yang

menandakan bahwa didalam wilayah kekuasaan ini jurisdiksi dilaksanakan

oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan

negara-negara lain.

       10 Ibid., Hal 491

(17)

Pendapat tentang Kedaulatan teritorial dikemukakan oleh Max

Huber (seorang arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration) yang

bunyinya12:

“Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan

kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari

muka bumi adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, terlepas

dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara”.

Menurut Black’s Law Dictionary diartikan jurisdiksi dalam beberapa

pengertian sebagai berikut:13

1) A term of large and comprehensive import and embraces every kind of judicial action (suatu masukan yang sangat besar dan

komprehensif yang mencakup segala jenis tindakan hukum)

2) The authority by which courts and judicial officers take cognizance of and decide case (kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan atau

petugas hukum untuk bertanggung jawab dan menentukan putusan

dalam suatu kasus)

3) The legal right by which judges exercise their authority (Hak

hukum oleh hakim untuk melaksanakan wewenangnya)

4) It exist when courts has cognizances of class of case involved, proper parties are present, and point to be decided is within powers of court (Jurisdiksi hadir ketika pengadilan memiliki tanggung       

12 D.P. O’Connell, International Law.,edisi ke-2, vol.I, London: Stevens and

Sons, 1970, Hal 403; M.N. Shaw, International Law.,London: Butterworths, tahun 1986, Hal 238.

13 Henry Campbel Black, M.A., Fifth edition, St.Paul Minn, West Publishing

(18)

jawab terhadap keterlibatannya dalam kasus tersebut, pihak yang

terkait akan dihadirkan dan hal-hal akan diputuskan dalam kuasa

pengadilan).

5) The right power of a court to adjudicate concerning the subject matter in a given case (Hak kuasa suatu pengadilan untuk mengadili

dengan memperhatikan hal-hal subjektif dalam suatu kasus yang

diperiksa).

Dari beberapa pengertian diatas kita bisa melihat dan

memposisikan bahwa court/judicial officers/judges adalah perwujudan

suatu negara. Dalam encyclopedy International law disebutkan : “Five

general principles on which jurisdiction, and particularly criminal jurisdiction, maybe based have been put forward”14 (Lima prinsip umum

suatu jurisdiksi atau biasanya jurisdiksi kriminal didasarkan atas hal-hal

berikut ini)

1) The territorial principle (Prinsip teritorial/wilayah)

2) The nationality principle (Prinsip nasionalitas/kebangsaan) 3) The passive personality principle (Prinsip kepribadian pasif) 4) The protective principle (Prinsip perlindungan)

5) The universality principle (Prinsip universalitas)

The first two principles apply equally to civil and criminal jurisdiction, the last three to criminal jurisdiction. (Dua prinsip pertama mengacu pada

      

(19)

jurisdiksi sipil dan kriminal, sedangkan ketiga prinsip lainnya hanya

mengacu pada jurisdiksi kriminal).

Black’s sendiri menguraikan kata sovereign (berdaulat) dan

sovereignty (kedaulatan) dalam pengertian yang tersendiri dengan

jurisdiction, dia mengemukakan bahwa15

sovereign is a person, body or state in which independent and supreme authority is vested (berdaulat adalah suatu keadaan di

mana suatu orang, badan atau negara memiliki suatu kemerdekaan

dan haknya dijamin oleh otoritas tertinggi) dan sovereignty is the

supreme, absolute and uncontrollable power by which any independent state is governed with supreme political authority

(kedaulatan adalah kekuasaan terkuat dan absolut yang tidak dapat

dikendalikan oleh negara merdeka lainnya yang diperintah melalui

kekuatan politis) dan paramount control of the constitution and

frame of and it’s administration with the self sufficient source of political power, from which all specific political powers are derived (kedaulatan sebagai kemampuan pengendalian konstitusi

yang menjadi pengelolaan suatu negara dengan sumber kekuatan

politiknya sendiri yang cukup menurut aspek kekuatan politik yang

mencakupnya)

      

(20)

Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai

pengertian hukum udara (air law), kadang digunakan juga istilah hukum

penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation law)

atau hukum penerbangan (aerial law) atau udara-aeronautika

(air-aeronautical law) saling bergantian tanpa dibedakan satu terhadap yang

lain. Istilah-istilah aviation law, aeronautical law atau air-aeronautical

law, pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian air law.

Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum

konstitusi, administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik,

pengangkutan, manajemen dan lain-lain. Verschoor memberi definisi

hukum udara (air law) sebagai berikut: “Air law is a body of rules

governing the use of airspace and its benefit for aviation, the general public and the nations of the world”16

Yang diartikan definisi hukum udara sebagai hukum dan regulasi

yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi

penerbangan, kepentingan umum dan bangsa-bangsa di dunia. Dalam pasal

1 Konvensi Chicago 1944 ditegaskan bahwa setiap negara mempunyai

kedaulatan penuh yang bersifat eksklusif atas ruang udara diatas wilayah

kedaulatannya.

Sehingga setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan

secara penuh dan ekslusif ruang udara nasionalnya dan tidak satupun

      

16 Verschoor, An Introduction To Air Law, The Netherlands, Kluwer Law;

(21)

kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin

terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur di dalam suatu perjanjian

udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun

multilateral.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan pembahasan penulis melakukan penelitian

dengan metode penelitian sebagai berikut:

1) Jenis Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dan

normatif dengan melakukan studi kepustakaan (library research). Selain itu

penulis juga melakukan penelitian terhadap bahan dari media massa

maupun yang berasal dari situs internet dengan menghubungkannya pada

pendekatan yuridis yakni dengan mempelajari ketentuan hukum yang

berlaku.

2) Bahan Penelitian

Materi tulisan ini diambil dari data-data yang terdiri atas:

a) Bahan primer, yaitu:

Berbagai peraturan hukum internasional yang berlaku yang

mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan tulisan ini.

(22)

Bahan-bahan yang memuat tentang bahan primer dan dapat

digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan primer

tersebut. Semua tulisan yang memuat kajian tentang pengaturan

kedaulatan ruang udara suatu negara serta informasi mengenai

teknologi pesawat siluman (stealth fighter), pendapat para pakar

hukum yang dituliskan dalam bentuk artikel dan juga bahan-bahan

dari internet yang berkaitan dengan pembahasan masalah dalam

tulisan ini. Serta kamus bahasa Indonesia dan Inggris yang

berfungsi untuk membantu penulis dalam mencari makna kata yang

agak sulit serta sebagai alat untuk mengalih-bahasakan

artikel-artikel yang ditulis dalam bahasa asing agar lebih mudah untuk

dipahami.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, terdapat lima bab yang saling terkait satu sama

lain. Dimana sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang pemilihan judul oleh penulis,

dimana penulis menguraikan tentang pentingnya

keberadaan kedaulatan negara terhadap ruang udaranya,

sehubungan dengan itu munculnya teknologi pesawat

siluman yang mengusik keekslusifan hak kedaulatan

(23)

masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

KEDAULATAN NEGARA ATAS RUANG UDARA

WILAYAHNYA

Bab ini akan menguraikan lebih jauh tentang pengaturan

kedaulatan suatu negara secara umum dan pengaturan

kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya secara khusus.

Dalam bab ini kita akan melihat segala perangkat hukum

internasional yang mendukung hak-hak negara dalam

wilayah udaranya.

Bab III : PENGENALAN TERHADAP TEKNOLOGI PESAWAT

SILUMAN (STEALTH FIGHTER) DAN SEJARAH

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PESAWAT

SILUMAN (STEALTH FIGHTER)

Dalam bab ini kita akan mengenal lebih jauh tentang

pesawat siluman beserta segala kemampuannya.

Dilanjutkan dengan serangkaian sejarah pengembangan

pesawat siluman hingga kajian peraturan yang berkenaan

dengan pesawat siluman itu sebagai pesawat militer

menurut Hukum Internasional.

(24)

(STEALTH FIGHTER) DALAM LINGKUNGAN

MILITER YANG DAPAT MENIMBULKAN

PELANGGARAN ATAS KEDAULATAN RUANG

UDARA WILAYAH SUATU NEGARA

Bab ini berisikan tentang penggunaan pesawat siluman

tersebut dalam operasi militer yang menunjukkan adanya

pelanggaran kedaulatan ruang udara suatu wilayah negara

menurut Hukum Internasional. Bab ini juga akan mengupas

contoh kasus pelanggaran yang telah terjadi dan dimotori

oleh penggunaan teknologi pesawat siluman tersebut.

Bab V : PENUTUP

Bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari segala

permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya.

Selain kesimpulan pada bab ini juga terdapat saran yang

diutarakan oleh penulis sebagai buah pikir pada saat

melakukan pembahasan pada permasalah yang dibahas

(25)

Referensi

Dokumen terkait

1) Pada saat diawal akad, permohonan fasilitas pembiayaan yang diajukan oleh PT. X adalah fasilitas pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, sehingga ketentuan penyusutan

Dalam menggunakan MONS ini secara bersama ada baiknya regulator yaitu pemerintah dan operator membuat regulasi secara bersama, sehingga MONS ini dapat dilakukan dengan

Hasil penelitian menunjukkan lapisan penyusun bawah permukaan pada lintasan B dan C tidak kontinu dan didominasi oleh lapisan yang tidak memiliki sifat pembawa

Inference engine adalah bagian dari sistem pakar yang melakukan penalaran terhadap isi database pengetahuan (knowledge base) berdasarkan urutan tertentu. Penalaran maju disebut

PROGRAM STUDI D3 MARKETING FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SULTAN

PROGRAM STUDI DIPLOMA III AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS. UNIVERSITAS SULTAN

Dengan melihat data peningkatan dalam kemajuan belajar siswa antara siswa yang menggunakan pembelajaran Modifikasi dan Pendekatan Bermain terhadap Dribble Bola Basket di SMPN

Pemanfaatan teknologi oleh guru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : akses terhadap terhadap teknologi, manfaat yang dirasakan dari penggunaan teknologi,