• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Identitas Tionghoa melalui PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekonstruksi Identitas Tionghoa melalui PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu dari

kemajemukan yang tampak dari masyarakat Indonesia. Suryadinata (1997:9)

membagi etnis Cina di Indonesia menjadi dua kelompok, berdasarkan tingkat

asimilasi dengan kebudayaan pribumi, yakni Peranakan dan Totok. Secara umum

Cina Peranakan mengacu pada kelompok Cina yang telah banyak mengadopsi

kebudayaan lokal dan sudah tidak terikat kuat dengan kebudayaan Cina. Sementara

Cina Totok mengacu pada kelompok Cina yang masih memegang teguh banyak aspek

kebudayaan Cina. Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak abad ke-4. Orang Cina

pertama yang datang berkunjung ke Indonesia bernama Fa Hien, seorang pendeta

agama Buddha yang singgah di pulau Jawa tahun 413 (Lubis 1995:33). Fa Hien dapat

dikatakan pembuka pintu bagi lalu lintas Tionghoa menuju kepulauan Nusantara

karena sejak itulah arus masuk etnis Tionghoa ke Kepulauan Nusantara melalui laut

dimulai dan dalam jumlah yang semakin lama semakin besar selama beberapa ratus

tahun kemudian. Dengan kedatangan Fa Hien ke Indonesia membuat banyak orang

Cina berpindah tempat keluar dari negera Cina dengan berbagai alasan seperti

mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik dimana mereka seorang buruh yang tidak

memiliki tanah yang hendak mencari peluang dengan merantau ke daerah orang,

menghindari perang saudara yang sedang terjadi pada waktu itu (Lubis, 1995).

Pada mulanya, para imigran dari Cina tersebut tidak berencana menetap

selamanya di wilayah baru. Mereka hanya menetap sementara untuk mencari

(2)

berulang-ulang. Oleh karena itulah mereka sering disebut Huaqiao, yang menurut

terminologi Cina berarti Tionghoa yang merantau dan akan kembali lagi.Mereka para

imigran meruapakan Imigran yang melakukan diaspora esensialis. Diaspora Tionghoa

inilah yang antara lain kemudian menjadikan masyarakat Nusanatara menjadi

masyarakat yang makin majemuk, plural dan multikultur serta tidak lagi homogen.

Ketika akhirnya mereka menetap di wilayah di wilayah baru dan bercampur dengan

penduduk setempat, sebagian dari mereka melakukan proses asimilasi dengan

penduduk setempat dengan cara melakukan perkawinan dengan gadis Indonesia.

Kemudian mereka berkembang menjadi komunitas sendiri yang disebut dengan

kelompok-kelompok minoritas yang terbentuk karena proses akulturasi. Meski pada

gilirannya melahirkan generasi yang baru yang tidak mengenal Tionghoa atau tidak

sepenuhnya etnis Cina asli namun tidak dapat dibantahkan isu tentang etnisitas dan

etnis dalam konteks Indonesia yang multikultural masihlah bersifat kodrati dan

alamiah.

Dengan banyaknya orang Cina yang menetap di Indonesia menyebabkan

munculnya daerah yang dikenal “Pecinan”. Munculnya daerah Pecinan disebabkan

oleh 2 faktor yaitu faktor politik dan faktor sosial. Faktor politik, pemerintah

menginginkan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu

supaya mudah diorganisir. Kondisi ini sudah dijumpai masa kolonial Belanda. Faktor

sosial, muncul keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok

karena adanya persamaan aman dan saling bantu-membantuh.(Hakim,2015).

Akibatnya terbentuk identitas dan karekteristik etnis Tionghoa itu sendiri yang enggan

bergaul dengan lingkungan sekitar karena sistem sosial yang menjadi tertutup.

Sehingga memunculkan stigma buruk, kecurigaan, prasangka (stereotipe) dari

(3)

tetap masih ada dan hal ini juga merupakan titik awal tumbuhnya sikap eksklusifitas

etnis Tionghoa.

Citra tersebut sebenarnya bukan keinginan masyarakat Cina (Tionghoa) tetapi

dari bentukan pada masa kolonial Belanda yang melokalisasikan pemukiman

orang-orang Tionghoa untuk hidup terpisah dari masyarakat Bumiputra, supaya tidak lagi

terjadi peristiwa “Geger Pecinan” tahun 1740-1743, pemberontakan yang

mengakumulasikan kekuatan etnis Tionghoa dan Bumiputera dalam melawan

penjajah atau Belanda. Sebelum insiden ini terjadi, adanya pembantaian etnis

Tionghoa oleh Belanda di Batavia yang menewaskan kurang lebih 10.000 orang etnis

Cina karena etnis Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap Belanda, insiden

tersebut dikenal “Batavia Massacre”. (Daradjaji,2013)

Kehidupan istimewa etnis Cina yang dibentuk pada masa kolonial tersebut

membuat keberadaan mereka menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan

keberadaan orang asing lainnya seperti Arab, India, dan sebagainya. Di samping itu

kelompok etnis Cina pula lah yang memiliki jumlah yang paling banyak dibanding

dengan etnis pendatang lainnya. Mereka hidup dengan gaya eksklusif dan mereka

juga yang paling dominan menguasai lingkungan ekonomi dan perdagangan di

Indonesia, pada kelompok etnis ini jugalah yang paling sering dijumpai pertikaian

dengan kelompok etnik pribumi, sehingga penyelesaian masalah etnik Cina tetap

menjadi isu yang menarik (Lubis 1995:6). Belum diterimanya secara penuh etnis Cina

sebagai bagian dari bangsa, kemungkinan juga disebabkan oleh tidak adanya istilah

yang baku bagi orang Cina yang telah menanggalkan akar-akar kultural mereka dari

negeri asal. Diaspora Cina, sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan tentang

orang Cina yang menyebar ke berbagai belahan dunia, tidak dapat diterima oleh etnis

(4)

mereka tinggal, namun pemerintah masih memperlakukan mereka sebagai orang asing

(Raharjo, 2005: 15).

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa

Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru. Pada awal

kemerdekaan tahun 1945 hingga 1959, pemerintah belum mengambil kebijakan

makro yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimana diantaranya banyak

etnis Tionghoa diangkat menjadi menteri, anggota kabinet bahkan menjadi anggota

TNI.Dan Pada 14 Mei 1959 menjadi awal mulainya kebijakan diskriminasi

pemerintah Orde Lama terhadap etnis Tionghoa, pemerintah mengeluarkan PP No.

10/1959 yang isinya “Indonesianisasi bidang ekonomi”. Kebijakan ini bertujuan untuk

mengembangkan dan melindungi pengusaha-pengusaha pribumi dan untuk menekan

kekuasaan ekonomi yang berada di tangan etnis Cina. Alhasil, semakin mengeraslah

perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia. Bahkan sebagai akibat dari PP

No. 10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa

meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak

kesengsaraan.

Dengan kebijakan tersebut bukan membuat Indonesia menjadi membaik

melainkan memperparah kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis ekonomi.

Krisis ekonomi dan hutang luar negeri yang menumpuk membuat pemerintah

mengambil langkah-langkah dengan menaikan harga. Krisis ini juga menandai

berakhirnya era Soekarno. Berakhirnya era Soekarno ditandai munculnya 3 kekuatan

yang mempengaruhi Indonesia yakni PKI, Soekarno dan militer. Pada tanggal 30

September 1965 terjadi pembantaian para petinggi di TNI AD yang dilakukan oleh

(5)

dipandang sebagai antek komunis yang menyebarkan paham komunisme di Indonesia

karena pada saat itu Presiden Soekarno sangatlah dengan negara komunis Rusia dan

RRC (Vinia, 2005). Pemilihan Etnis Tionghoa untuk dijadikan kambing hitam dengan

pertimbangan bahwa mereka adalah golongan yang secara politis sangat lemah, tanpa

perlindungan dan mudah dipermainkan. Kenyataan ini begitu menyakitkan dan akan

membekas dalam setiap orang Etnis Tionghoa yang mengalaminya (Agus wawancara

tanggal 18 April 2005).

Runtuhnya Orde Lama dan bergantinya Orde Baru merupakan babak baru bagi

pemerintahan Soeharto. Pada masa Orde Baru kepemimpinan Soeharto (1966-1998)

mengeluarkan program-program dengan kebijakan asimilasi yang menyeruluh pada

Keputusan Presidium Kabinet no. 127/U/KEP/12/1966 yang baru diterapkan antara

lainnya dengan dikeluarkannya kebijakan dan perundang-undangan kewarganegaraan

dan pengantian nama dan merupakan titik awal penghapusan identitas etnis Tionghoa.

Akan tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut malah membuat akses yang diberikan

negara kepada etnis Tionghoa semakin berbau keterasingan dan terbatas baik dalam

politik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Setelah itu, kebijakan terus silih

berganti dengan dikeluarkannya PP No.14/1967 yang berisi tentang pelarangan

aktivitas ritual keagamaan. Melalui serangkaian kebijakan tersebut 3 pilar utama

eksistensi Tionghoa dihapuskan yaitu media masa berbahasa Cina, sekolah

berpengantar bahasa Cina, dan organisasi kemasyarakatan Tionghoa.

(Suryadinata,2003).

Akibatnya masyarakat Tionghoa merasa jauh dari dan terasing dari

kebudayaannya yang selama ini menjadi identitas mereka. Keterasingan etnis

Tionghoa dari kehidupan nyata terjadi karena adanya pembatasan-pembatasan yang

(6)

munculnya istilah “benteng” antara etnis Tionghoa dengan Negara dan pribumi.

Insecurity (rasa tidak aman) terhadap Negara dan pribumi kemudian disebut-sebut

sebagai penyebab eksklusif nya etnis Tionghoa dibandingkan dengan pribumi dan

etnis lainnya. Eksklusifitas ini yang kemudian mulai berkembang menjadi pola hidup

dan kebiasaan, bahkan budaya bagi beberapa lapisan etnis golongan Tionghoa itu

sendiri. Maka tidak mengherankan timbul gesekan-gesekan di dalam masyarakat

karena ini lah yang merupakan akar permasalahan dari kecemburuan sosial,

kesenjangan ekonomi maupun stereotipe yang selama ini melekat pada etnis Tionghoa

pada masa berakhirnya Orde Baru Mei 1998 (Tim UGM,2014).

Berakhirnya Masa Orde Baru merupakan babak baru persoalan Tionghoa.

Melalui Instruksi Presiden Habibie dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 26

tahun 1998 menjadi titik awal kebijakan ini dan merupakan Politik Penerimaan.

Kebijakan tersebut berisi tentang penghapusan penggunaan istilah pribumi dan non

pribumi. Dengan kebijakan tersebut pembedaan status sosiologis dan golongan

terhadap Tionghoa, secara de jure tidak ada lagi. Disamping itu, presiden B.J. Habibie

memberikan kebebasan yang sama kepada semua masyarakat untuk berorganisasi dan

bebas mengeluarkan pendapat dan tentunya ini merupakan angin segar bagi etnis

Tionghoa yang telah terbebaskan dari pembedaan yang selama ini mereka rasakan.

Kebebasan etnis Tionghoa dan adanya politik penerimaan yang dibuat oleh

presiden B.J.Habibie pada masa berakhirnya Orde Baru yang diganti dengan masa

Reformasi, Ketionghoaan di Indonesia mengalami rekonstruksi, sebab identitas

Tionghoa baik historis dan budayanya kini diperbolehkan untuk diekspresikan secara

terbuka. Kedudukan etnis Tionghoa mengalami perubahan yang cukup mendasar

dengan terhapusnya berbagai diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Dalam keadaan

(7)

organisasi kemasyarakatan pada masa runtuhnya Orde baru, yakni (1) semakin

berbeda dengan kelompok etnik lainnya di Indonesia (semakin “Tionghoa”), (2)

semakin terasimilasi, dan (3) mengalami transformasi bertahap hingga menjadi

anggota bangsa Indonesia yang setara dengan etnis lain sebagai wujud konstruksi

identitas etnis Tionghoa dalam kaitannya mempertahankan identitasnya

(Kunriawan,2015).

Di masa reformasi, eksistensi Tionghoa kemudian dipulihkan kembali 3 pilar

utama yang telah diruntuhkan pada masa Orde baru yaitu Organisasi Kemasyarakatan

Tionghoa, media massa berbahasa Cina, sekolah berpengantar bahasa Cina.

Masyarakat Tionghoa kemudian membentuk partai berbasis etnis dan tercatat sebagai

partai yang aktif masa tersebut yaitu Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, Partai

Pembauran Indonesia dan Partai Bhinneka Tunggal Ika. Sebagian tokoh Tionghoa

yang sejak awal tidak setuju dengan berdirinya partai etnis, memilih bergabung

dengan partai bentukan masyarakat Indonesia non Tionghoa atau mendirikan

organisasi masa yang lebih berfungsi sebagai presure group. Ini dapat dimaknai

bahwa mereka (etnis Tionghoa) adalah masyarakat tidak homogen, tetapi multi etnik

dan multi budaya yang memiliki orientasi politik sebagai cerminan orientasi budaya

yang berbeda-beda dan beragam. (Suryadinata,2003).

Walaupun bermacam-macam tujuan dan kegiatannya namun memiliki

kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya yaitu beranggotakan warga

Tionghoa. Beberapa organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial Marga

Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia.

Beberapa tokoh PSMTI kemudian memisahkan diri dan membentuk perkumpulan

INTI, disusul dengan beberapa organisasi lainnya seperti LSM yang digerakkan oleh

(8)

Dengan munculnya organisasi-organisasi sosial inilah budaya Tionghoa yang dulunya

sudah pudar mulai dipulihkan kembali. (Suryadinata,2010).

Dengan berhimpunnya masyarakat Tionghoa dalam berbagai organisasi dan

bahkan partai politik adalah sebuah praktek representasi untuk menunjukkan posisi

atau kemampuannya menyatakan diri sebagai pihak yang bebas dan merdeka. Itu

muncul karena adanya perasaan untuk mempertahankan etnisnya dan untuk

mepertahankan identitas sosialnya. Sehingga dapat memberi upaya pemberian ruang

bagi yang lain (identitas yang berbeda/kaum minoritas) untuk dapat tumbuh

berkembang dan mengartikulasi dirinya tanpa rasa takut dan tertekan. Disinilah,

identitas Tionghoa maupun bukan Tionghoa menampakkan eksistensinya. Dengan

representasi tersebut, akan didapatkan pengakuan keberadaan identitas etnis Tionghoa

dan budayanya. (Lubis, 2015: 188)

Pada Era Reformasi perjuangan etnis Tionghoa berlanjut dalam memulihkan

identitasnya tepatnya tanggal 28 September 1998 Organisasi Kemasyarakatan

Tionghoa yaitu Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia atau disingkat PSMTI

didirikan mengambil Momentum “Era Reformasi” yang “Demokratis” ini. PSMTI

mendata ada 14 (empat belas) peraturan serta perundang-undangan yang bersifat

diskriminatif terhadap etnis Tionghoa setelah mendata PSMTI mengajukan

permohonan kepada Lembaga dan Instansi yang berwenang agar peraturan serta

perundang-undangan yang diskriminatif tersebut dicabut, hasilnya sebagian besar

peraturan dan perundang-undangan tersebut diatas sudah dicabut, tetapi masih ada 1

(satu) surat yang dirasakan masih mengganjal oleh Masyarakat

Tionghoa yaitu : Surat edaran Presidenan Kabinet AMPERA Nomor SE 06 / PRES.K

(9)

terhadap “Golongan Tionghoa”. (http://psmti.org/buletin_psmti/upload_buletin_psmti

/Buletin_Edisi_4_Februari_2015.pdf

Pada tanggal 1 Desember 1999 Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia

(PSMTI) mengajukan Permohonan Pencabutan 14 Peraturan Diskriminatif terhadap

“Etnis Tionghoa” ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. PSMTI mengajukan

permohonan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Surat Edaran

Presidium Kabinet AMPERA. PSMTI tidak berjalan sendiri dalam memperjuangkan

haknya, tokoh masyarakat Tionghoa seperti Murdaya Poo, Sugeng Pranoto (Ketum

Hakka) dan organisasi kemasyarakatan lainnya turut membantu dalam mengajukan

permohonan Pencabutan surat Edaran tersebut. Pada tanggal 12 Maret 2014,

perjuangan etnis Tionghoa akhirnya berbuah hasil, Presiden Republik Indonesia

DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan: Surat Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014. Tentang Pencabutan Surat Edaran

Presidium Kabinet AMPERA Nomor SE-06/PRES. KAB/6/1967 tanggal 28 Juni

1967 Tentang Masalah “Tjina”. ).

Hal tersebut yang membuat peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam

tentang perjuangan etnis Tionghoa dalam mempertahankan identitas etnis yang

mempunyai makna yang sangat luas dan multi dimensi dan juga dapat dilihat dari

berbagai sudut mulai dari historis, kultur dan budaya nya. Sehingga melalui kehadiran

PSMTI dapat menjadi sebuah jembatan dalam mempertahankan identitas yang

(10)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana PSMTI (Paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia) dalam

rekonstruksi Identitas Tionghoa?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan

tentang bagaiamana peran PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa

Indonesia) dalam merekonstruksi identitas etnis Tionghoa.

1.4. Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian diharapakan dapat memberikan manfaat yang baik baik bagi

peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang diberikan adalah sebagai

berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi

mahasiswa, khususnya mahasiswa Sosiologi akan pemahaman tentang peran

PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) dalam merekonstruksi

identitas etnis Tionghoa serta juga dapat memberi referensi kepada peneliti

selanjutnya yang mengkaji persoalan yang terkait dengan penelitian ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini secara praktis diharapakan dapat

(11)

ilmiah, serta hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak baik

sebagai bahan bagi peneliti berikutnya yang ingin mengetahui lebih dalam

penelitian sebelumnya atau sebagai referensi yang berkaitan dengan identitas

etnis Tionghoa.

1.5.Definisi Konsep

1. Rekonstruksi Identitas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rekonstruksi berarti pengembalian

ke keadaan semula. Rekonstruksi Identitas ini dapat dikatakan sebagai upaya

memulihkan kembali identitas suatu kelompok, etnik atau masyarakat tertentu.

Dalam hal ini kelompok tersebut akan berusaha merepresentasi kembali identitas

mereka sebagai wujud dari eksistensi yang ada dalam kelompok, etnik atau

masyararakat tertentu.

2. Identitas

Identitas adalah tanda-tanda, ciri-ciri, atau jati diri yang melekat pada seseorang

atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Terbentuknya identitas itu

didasari pada kesamaan suku bangsa, persamaan agama yang dianutnya, dan juga

kebudayaan dan bahasa yang digunakan untuk berinteraksi.

3. Masyarakat Plural

Masyarakat plural (plural society) merupakan suatu masyarakat yang hidup

berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah

dan tidak terintegrasi dalam satu kesatuan politik. Masyarakat Indonesia pada

(12)

unit-unit ekonomi dimana unit-unit ekslusif hidup menyendiri pada

pemukiman-pemukiman tertentu dengan sistem sosial masing-masing.

4. Etnik

Etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang

mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa,

dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan

dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak),

sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.

5. Etnis Tionghoa

Tionghoa adalah salah satu etnis pendatang di Indonesia yang berasal dari RRC.

Biasanya mereka menyebutnya dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien),

Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka

disebut Tangren atau lazim disebut Huaren. Disebut Tangren dikarenakan sesuai

dengan kenyataan bahwa Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok

bagian Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang

Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han.

6. Paguyuban Sosial

Paguyuban sosial merupakan kelompok sosial yang anggota-anggotanya

terbentuk dari persamaan ikatan yang kuat antar anggota baik bersifat hubungan

darah, hubungan kekerabatan maupun tempat asalnya yang memiliki tujuan

Referensi

Dokumen terkait

Presentasi diri informan sebagai mahasiswi dan ayam kampus menunjukkan hasil dimana adanya perbedaan dari masing-masing informan dalam mengelola peran dan kesan yang

Pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara elektronik, dengan mengakses aplikasi Sistem. Pengadaan Secara Elektronik (aplikasi SPSE) pada alamat website

(3) Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kampas rem mobil dengan memanfaatkan serat bambu sebagai salah satu bahan penyusun mempunyai performansi

abnormal, dan benih yang belum tumbuh), laju perkecambahan, indeks vigor, bobot segar kecambah, dan bobot kering kecambah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    Dalam melihat perkaitan antara salah laku pelajar dengan gaya keibubapaan yang diamalkan hasil kajian menunjukkan bahawa faktor gaya keibubapaan yang diamalkan oleh para ibu

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di

Identifikasi Dan Aplikasi Strain Azolla Asal Bondowoso Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah ( Oryza sativa L ) Fakultas Pertanian: Universitas Muhammadiyah

Pandangan MUI NTB yang tidak menyalahkan intervensi Pemerintah provinsi NTB melalui SE Gubernur yang mengatur tentang batas usia minimal menjadi 21 tahun syarat usia menikah