• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II JAMAN KUNO AWAL ( SAMPAI ± 200 SEB. M)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II JAMAN KUNO AWAL ( SAMPAI ± 200 SEB. M)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

JAMAN KUNO AWAL

( ……… SAMPAI ± 200 SEB. M)

Di dalam Bab II yang menguraikan pemikiran filsafat Cina pada Jaman Kuno Awal ini mencakup pemikiran kefilsafatan: periode sebelum Confucius, tokoh-tokoh Confucianisme, taoisme, Moisme, Logisisme, Mazhab penujum, dan Legalisme. Bab ini sangat relevan untuk dipelajari sebelum mempelajari Bab III, yang menguraikan pemikiran filsafat Cina pada Jaman Kuno Akhir.

Setelah mengikuti proses pembelajaran diharapkan mahasiswa mampu menilai pemikiran filsafat periode sebelum Confucius, tokoh-tokoh Confucianisme, taoisme, Moisme, Logisisme, Mazhab Penujum, dan Legalisme.

A. Periode Sebelum Confucius

Mitologi Cina mengacu kepada jangka waktu yang panjang di masa lampau. Didongengkan bahwa para penguasa yang pertama kali ada terdiri dan tiga kelompok, yakni : penguasa langit, penguasa bumi, dan penguasa berupa manusia, yang masing-masing berkuasa selama ratusan atau ribuan tahun. Kedudukan manusia dipandang penting, sehingga sejak kurun masa pertama ia dipertalikan dengan langit dan bumi, serta merupakan suatu ketritunggalan alam semesta yang diistilahkan dengan San-ts‘ai yang berarti tiga kekuasaan atau tiga kekuatan.

Tulisan mengenai Cina paling dini berasal dan sebuah kata yang menjadi pusat pemerintahan raja-raja Shang (Creel, 1953: 10). Seperti halnya dikemukakan oleh Y.P. Mei (1988: 2) bahwa sejarah yang dapat dipercaya laporannya berawal pada dinasti Shang (1523-1026 Seb. M.), ketika agama dan bukannya filsafat yang masih menguasai pikiran manusia. Para leluhur yang telah meninggal merupakan semacam penengah manusia dengan alam arwah. dan berbagai arwah tersebut dikuasai oleh Shang-ti, Penguasa tertinggi. Meskipun rakyat Shang memiliki kitab-kitab namun sudah lenyap, yang ditinggalkan hanya inskripsi-inskripsi singkat yang tidak cukup untuk memperoleh pengetahuan mengenai filsafat mereka (Creel, 1953: 10).

Rakyat Shang yang sebetulnya sudah berbudaya tinggi kemudian ditaklukkan suatu suku yang dipimpin oleh suatu kelompok yang dikenal dengan nama Chou, yang mendirikan dinasti Chou yang termasyhur. Ketika menggantikan

(2)

Shang, dinasti Chou (1027-256 Seb. M.) membawa serta kepercayaan akan T’ien atau Alam Ketuhanan. Perpaduan pengertian Shang-ti dengan pengertian T’ien menandakan suatu percampuran antara pengertian mengenai Tuhan berbentuk manusia dengan pengertian mengenai daya atau azas terdalam alam semesta.

Raja Chou yang I bernama Wu Wang meninggal dunia karena sakit keras, maka tahta kerajaan diserahkan puteranya bernama Cheng Wang yang masih kecil belurn mampu memegang pemerintahan. Tan yang dikenal dengan nama Pangeran Chou diangkat sebagai patih dan wali dari raja muda itu. Pangeran Chou ini bersifat lunak bijaksana terhadap bangsa Cina dengan mengajarkan filsafat, dan dikemudian hari dikenal sebagai peletak dasar mazhab Confucianisme, hal ini tampak dalam ajaran-ajaran berikut ini. Ajaran mengenai pemerintahan yang baik adalah demi kepentingan rakyat dan bukan rakyat demi kepentingan pemerintah. Ajaran mengenai Keputusan Tuhan, bahwa Tuhan/Sorga memberi keputusan/amanat yang menyerahkan kekuasaan suatu negara kepada orang yang dianggap layak untuk memerintah suatu bangsa. Dengan ini dinasti Chou berhasil mendapat pengakuan rakyat Cina. Ajaran tentang hormat anak terhadap orang tua, isinya mengatakan bahwa kedurhakaan anak terhadap orang tua dianggap dosa yang lebih besar dari pada dosa membunuh, begitu pula orang tua yang tidak berlaku baik terhadap anaknya atau kakak terhadap adiknya, atau adik terhadap kakaknya dianggap dosa yang sangat besar (Lasiyo, 1983a: 4-6). Ketiga ajaran P. Chou tersebut banyak dianut pemikir berikutnya terutama Confucianisme. B. Confucianisme

Kekacauan yang terjadi pada masa dinasti Chou merupakan masalah hangat yang dihadapi para pemikir di Jaman kuno. Untuk memulihkan ketertiban, Confucius mengajar dan memberikan teladan kepada para muridnya, serta membangkitkan kehidupan yang dilandasi sikap pemurah dan adil (Y.P. Mei, 1988: 3). Sebagai sistem kefilsafatan, Confucianisme berpulang kepada pribadi dan ajaran Confucius. Ajaran Confusius kemudian diperluas Mencius. Sebagai imbangan terhadap sayap idealistik yang dipimpin Mencius, timbulah sayap realistik yang dipimpin oleh Hsun Tzu.

1. Confucius (551-479 Seb. M.)

Confucius adalah nama seseorang yang dilatinkan, yang di Cina dikenal sebagai K’ung Tzu atau Empu K’ung. Ia lahir pada tahun 551 Seb. M. di negara Lu. Leluhurnya anggota wangsa bangsawan penguasa negara Sung. Karena

(3)

terjadi kekacauan politik, sebelum Confucius lahir keluarganya kehilangan kedudukan dan pindah ke negara Lu (Fung Yu Lan, 1964: 38). Confucius mengalami sukses besar sebagai guru, dan seluruh hidupnya diabadikan untuk memperbaiki kembali masyarakat Cina.

Confucius bercita-cita mengadakan perombakan bidang politik dan kemasyarakatan. Karena tidak berhasil di mana-mana, ia kembali ke negara Lu dan meninggal pada tahun 479 Seb. M.

Ajaran Confucius secara garis besar adalah sebagai berikut: ajaran perbaikan masyarakat, jen, yi, Tao, cheng-ming, chun tzu, li, chih, intelektual democracy, dan hao. Pada bagian berikut ini akan diuraikan secara ringkas.

Untuk perbaikan masyarakat, Confucius mencoba memperbaikinya melalui pendidikan, yaitu usaha untuk membetulkan kebiasaan keliru dan salah. Jen sering diartikan sebagai kemanusiaan. Jen adalah perasaan hati dan realitas manusia dan keberadaannya di antara manusia-manusia. Ia ada dalam masyarakat, menyusup ke dalam peradaban, tempat manusia mengembangkan dirinya (Piere Do Dink, 1969: 111). Jen juga merupakan kesanggupan untuk mencapai lima hal, yakni: harga diri, rendah hati, taat, tekun, dan baik hati (Lasiyo, 1983: 14). Yi diartikan sebagai kelayakan. Di dalam melakukan suatu perbuatan yang balk hendaknya dilakukan karena perbuatan itu mernang benar-benar baik, bukan karena ingin mendapat imbalan. Yi merupakan pengarah tindakan manusia yang berasal dan dalam diri manusia.

Tao yang pada mulanya berarti jalan kemudian artinya adalah cara berlaku seseorang. Tao oleh Confucius dibedakan menjadi dua. Pertama, Tao sebagai pola pemerintahan yang harus dilaksanakan pemerintah. Kedua, Tao untuk individu, berisi kode etik yang harus dilaksanakan setiap individu dalam tindakan. Agar tercipta pemerintahan yang baik, maka diajarkanlah pembetulan nama-nama atau cheng-ming, bahwa setiap individu harus menvesuaikan dirinya dengan kewajiban-kewajiban dalam masyarakat. Penguasa sebagai penguasa, menteri sebagai menteri, ayah sebagai ayah dan seterusnya.

Manusia ideal yang diidamkan Confucius adalah chun tzü atau orang yang agung (gentlemen), seseorang dapat menjadi pemimpin bukan karena keturunan tetapi karena keagungan watak dan tingkah laku yang baik. Syarat untuk menjadi chun tzü dengan pendidikan li (etiket). Li pada mulanya berarti upacara korban dan arti yang terakhir adalah etiket atau sopan santun.

(4)

Pelaksanaan li harus meliputi sikap lahir maupun batin. Ajaran li dasarnya adalah chih (bijaksana). Chih merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan. Dari chih inilah timbulnya jen, yi, dan li (Lasiyo, 1983a: 25).

Dalam intelectual democracy Confucius mengajarkan murid-muridnya untuk berpikir mandiri. Tidak mudah menerima pendapat orang lain, harus mengadakan analisa kritis. Confucius rela dikritik dan menerima murid bukan atas keturunan dan derajad seseorang. Mengenai ajaran Hao, bahwa yang terpenting dalam adat istiadat adalah bakti terhadap orang tua. Manusia pertama kali harus mencintai familinya terutama orang tuanya, baru kemudian mencintai orang lain.

Walaupun Confucius tidak suka membicarakan hal-hal yang religius, tetapi menurutnya ajaran-ajarannya adalah ilham dari Tuhan (Tien) guna membimbing jalan kesempurnaan (Tao). Kenyataannya ia sangat berpengaruh dalam sejarah dunia terutama filsafatnya.

2. Mencius (372-289 Seb. M.)

Mencius hidup antara tahun 372 sd. 289 Seb. M. Ia lahir di negara Lu yang pada waktu itu sedang mengalami penderitaan karena tindakan kaum feodal. Sebagai penganut mazhab Confucianisme, Mencius belajar dari murid Confucius yang bernama Tzu-ssu. Sebagai seorang filsuf ajaran-ajarannya mendasarkan diri pada dua hal, yakni: yen dan dan yi.

Untuk menopang teorinya mengenai kebaikan alami manusia, Mencius dengan gigih membela pendiriannya mengenai benih-benih dalam diri manusia yang terdiri empat macam kebaiikan pokok, yakni: yen, yi li, chih. Manusia menurut kodratnya adalah baik, dan setiap manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi seperti Yao dan Shun, raja-raja bijaksana jarnan dahulu (Y.P. Mei, 1988: 7). Adapun manusia menjadi jahat disebabkan oleh lingkungan pendidikan dan pergaulan. Dalam bidang pendidikan, Mencius menganjurkan bahwa sekolah-sekolah harus didirikan dan pendidikan harus disesuaikan dengan tujuan negara. Orang harus dididik mengenai hal-hal yang sesuai dengan kodratnya dan bakatnya.

Di dalam bidang etika. Mencius mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat kepribadian yang sangat baik. Oleh karena itu manusia hendaknya merealisasikan potensi itu sehingga memiliki kepribadian yang sempurna. Dalam bidang pemerintahan Ia mengajarkan, bahwa raja harus memperlakukan

(5)

rakyat dengan baik, sehingga rakyat akan setia kepada raja dan mau membela negara dan pemerintahannya. Fung Yu Lan (1964: 75) menulis bahwa menurut Mencius adalah wajar bahwa landasan ekonomi terpenting yang melandasi pemerintahan terletak pada pembagian tanah secara sama luas. Hal ini dikenal dengan “sistem lahan sumur”. Setiap bidang tanah dibagi sembilan. Delapan bagian di pinggir dikerjakan bersama untuk kepentingan keluarga, satu bagian di tengah dikerjakan bersama-sama untuk kepentingan negara.

Mencius menonjol sebagai pembela hak-hak rakyat kebanyakan. Ia menyatakan: “yang mempunyai kedudukan tertinggi ialah rakyat, berikutnya ialah para arwah pelindung tanah dan gandum dan yang terendah ialah penguasa”.

3. Hsün Tzu (298-238 Seb. M.)

Tanggal hidup Hsün Tzu tidak diketahui secara pasti, tetapi mungkin terletak antara tahun 298 dengan tahun 238 Seb. M. Nama pribadinya adalah K’uang, namun juga dikenal dengan nama Hsun Ch’ing. Ia lahir di negara Chao di bagian selatan propinsi Hopei dan Shansi dewasa ini. Di kalangan kaum cendekiawan, buah pikiran Hsun Tzu merupakan antitesa terhadap pikiran-pikiran Mencius. Sejumlah orang mengatakan bahwa Mencius mewakili sayap kiri ma.zhab tersebut, sedangkan Hsun Tzu mewakili sayap kanan (Fung Yu Lan, 1964: 143).

Bagi Hsun Tzu, menurut kodratnya manusia adalah buruk. Apa pun yang baik yang terdapat dalam diri manusia merupakan akibat latihan yang diperolehnya (Creel, 1953: 120). Kebaikan yang ada pada manusia baru kemudian diperolehnya sebagai akibat teguran-teguran yang diberikan oleh gurunya yang bijaksana serta perintah-perintah yang diberikan oleh para raja bijaksana.

Mengenai Supranatural, Hsün Tzu menolak keberadaannya. Alam ketuhanan sesungguhnya hanyalah alam yang berjalan secara teratur yang dapat diramalkan, yang sama sekali tidak berurusan dengan masalah-masalah yang menyangkut manusia. Hal inilah yang dapat dijadikan alasan mengapa manusia seharusnya menolong diri sendiri. Walaupun demikian ia tetap sependapat dengan Mencius, yang menganjurkan manusia mejadikan kesempurnaan atau kebijaksanaan sebagai tujuan hidupnya.

(6)

Tentang emosi, menurut Hsun Tzu tidak boleh dipadamkan. Emosi harus disalurkan kepada hal-hal yang bersifat kerokhanian bukan kejasmanian. Seandainya emosi disalurkan ke hal-hal yang kejasmanian maka manusia akan menuruti kodratnya yang jahat. Jika emosi disalurkan ke hal-hal yang bersifat kerokhanian manusia akan bahagia.

C. Taoisme

Menurut pandangan umum, istilah Tao berarti jalan. Menurut Confucius Tao berarti cara berlaku seseorang yang berisi kode etik individu dan pola pemerintahan. Menurut aliran Taoisme, Tao merupakan suatu pengertian metafisik yang di dalam dirinya mengandung segala hal ihwal yang ada di dunia ini bahkan hal-hal yang bertentangan pun dikandung dan diselaraskannya.

Sebab-sebab timbulnya Taoisme dapat dirunut dari situasi kerajaan Chou yang semakin lama mengalami masa kehancuran dan menyebabkan berbagai penderitaan. Dalam keadaan yang demikian itu, orang-orang yang terpelajar dan yang merasa kecewa Kemudian menyendiri dan hidup sebagai biarawan. Selanjutnya mereka mendirikan aliran filsatat yang dikenal dengan Taoisme atau Tao Te Chia.

Peletak dasar ajaran Taoisme adalah Yang Chu. Kemudian ajaran Taoisme Dipopulerkan oleh Lao Tze. Tokoh-tokoh yang lain dari Taoisme ini adalah Chuang Tze dan Lieh Tze.

1. Yang Chu (440-260 Seb. M.)

Yang Chu yang hidup antara tahun 440-260 Seb. M. merupakan nama lain dari Taschu, Yang Tze atau Yang-Seng (Baskin, 1974: 115). Ia merupakan peletak dasar Taoisrne, yang ternyata dikemudian hari berkembang pesat dan menjadi saingan Confucianisme.

Di dalam Taoisme, Yang Chu merupakan orang pertama yang mengajarkan hidup. Ajarannya dikenal bersifat egoisme dan hedonisme. Manusia hendaknya menghilangkan kesenangan yang bersifat material dan harus selalu mengusahakan kesucian tingkah laku dengan jalan membiarkan hidup ini rnengarah kepada kebebasan, tidak melakukan apa-apa terhadap barang sesuatu (Lasiyo, 1983b: 7).

Yang Chu setiap manusia itu untuk dirinya sendiri. Sifat individualistisnya tampak dalam pernyataannya, bahwa seseorang tidak akan

(7)

mencabut sehelai rambut pun meskipun hal itu berfaedah bagi umat seluruh dunia (Baskin, 1974: 116). Ajaran yang paling terkenal adalah doktrin mengenai penerusan bakat alamiah dan perlindungan terhadap kehidupan. Setiap orang hendaknya mencegah dan mengurangi aktivitas berpesta pora. Orang hendaknya membiarkan hidup menurut kehendak alam, tidak perlu diatur. 2. Lao Tze (± 575-485 Seb. M.)

Kehidupan Lao Tze diliputi oleh misteri, apakah ia disamakan dengan Confucius atau apakah ia adalah guru yang alian dan seoráng wali menurut dokumen-dokumen di negara Ch’u yang selamanya itu berbeda-beda (Baskin, 1974: 53). Menurut Y.P. Mel (1988: 8), Lao Tze hidup ± 575-485 Seb. M.

Lao Tze menulis buku Lao Tzi atau Tao Te Ching yang banyak berpengaruh pada kehidupan spiritual masyarakat Cina. Isi Tao Te Ching diambil dari dasar-dasar kepercayaan yang telah lama dimiliki oleh masyarakat Cina. Ada pandangan dan masyarakat Cina bahwa Lao Tze sebagai figur legendaris.

Mengenai ajarannya, Lao Tze mengembangkan dasar-dasar kesederhanaan dan kesucian bagi umat manusia. Hal ini tampak dalam tiga ajarannya yang terkenal, yakni: Tao, te, dan wu-wei.

Tao menurut Lao Tze adalah “Jalan Tuhan” atau “Sabda Tuhan”. Semua di dunia ini tergantung kepada Tang untuk dapat hidup. Segala-galanya terdiri dan terjadi dari Tao dan akan kembali kepadanya. Tao tidak kelihatan, tetapi dapat mengisi dan menyempurnakan segala makhluk dan benda (Seeger, 1951: 98). Diajarkan pula The Reversal of Tao, yang isinya seperti tercermin dalam alam semesta yaitu perubahan yang selalu terjadi dan ekstrem yang satu kepada ekstrem yang lain. Oleh karenanya untuk hidup berbagia manusia dianjurkan untuk tidak mencari yang ekstrem dan tidak berbuat berlebihan.

Te (kebajikan) merupakan suatu kekuatan moral bagi orang yang memilikinya. Orang yang memiliki kebajikan akan menyinarkan wibawa bagi orang sekitarnya. Orang yang memiliki Te adalah orang yang berbahagia lahir dan batin (Lasiyo, 1983b: 13).

Cara memperoleh te yaitu dengan jalan menyesuaikan diri dengan Tao atau wu-wei. Wu-wei yaitu tidak berbuat apa-apa, yang dimaksudkan ialah tidak hal-hal yang bertentangan dengan alam, orang harus hidup menurut

(8)

pembawaaan alam, dan orang harus bertindak wajar agar benprestasi maksimal. Kebajikan 1 adalah kelemahan yang dilambangkan dengan bayi, perempuan, dan air.

3. Chuang Tze (339-286 Seb. M.)

Nama lain Chuang Tze adalah Tschuang-tse, Chuang Chou atau Kuang-tze. Para sarjana dewasa ini menganggap bahwa Chuang Tze adalah seorang yang sangat pandai di kalangan filsuf Cina. Ia tidak hanya menekankan penyesuaian terhadap alam tetapi juga mempertinggi dan menjunjung tinggi adat istiadat dan adaptasi dengan alam sekitar.

Chuang Tze mengajarkan bahwa kemewahan hidup itu tidak baik. Dalam hal ini ia sangat kuat menahan hawa nafsu terhadap materi dan kedudukan, serta teguh mempertahankan pendiriannya (Lasiyo, 1983b: 22). Manusia yang hidup tidak selaras dengan Iingkungannya dan tidak hidup menurut pembawaan alamiah akan menderita. Oleh karena itu untuk memperoleh kebahagiaan manusia harus hidup dengan wajar dan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam.

Menurut Chuang Tze Tao sebagai alam univerzsal menjelma pada Te atau alam individual yang ada di dalam benda-benda dan di dalam diri manusia. Tao dan Te merupakan dua hal yang dapat menjelma menjadi satu. 4. Lieh Tze (450-375 Seb. M.)

Nama lain Lieh Tze adalah Lieh Tzu, Lieh Yu k’ao dan bahasa latinnya Licius. Menurut tradisi ia dianggap sebagai tokoh setengah legendaris dan bijaksana, yang hidup sejaman dengan Sokrates (Baskin. 1974: 109).

Lieh Tze sebagai seorang tokoh Taoisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini karena Tao pula. kemudian akan kembali kepada Tao pula. Menurutnya kematian adalah penyatuan yang terakhir dan pada Sorga dan Bumi.

D. Moisme

Filsuf tersohor dan sebagai pendiri mazhab Moisme yang ajaran-ajarannya akan dikemukakan secara singkat di sisi adalah Mo Tzu. Di Cina kuno selama berabad-abad Moisme dan Confucianisme secara bersarna-sama dipandang sebagai dua mazhab filsafat yang menonjol.

(9)

1. Mo Tzu (479-381 Seb. M.)

Mo Tzu nama keluarganya ialah Mo dan nama pribadinya ialah Ti. Sejumlah sarjana mengatakan bahwa ia lahir di negara Sung, dan sarjana-sarjana lain mengatakan Ia berasal dari negara Lu, negara seasal dengan Confucius. Masa hidupnya yang tepat tidak dapat dipastikan, mungkin hidup kira-kira antara tahun 479-38 1 Seb. M. (Fung Yu Lan, 1964: 49). Pada mulanya Mo Tzu penganut Confucianisme, tetapi kemudian menolaknya karena di rasakan adanya kekosongan dalam ajaran Confucianisme, yaitu segi religius. Pokok-pokok ajaran Mo Tzu di antaranya tentang: universal love, pemerintahan, emosi, identification with the superior, dan demokrasi. Mengenai universal love atau kasih sayang yang universal, dikatakannya bersifat utilitaris, dapat membawa kepada perdamaian dunia dan kabahagiaan umat manusia. Kasih sayang universal ini menekankan azas kesamarataan, tidak ada perbedaan tingkat di dalam masyarakat, tidak membedakan yang satu dengan yang lain. Untuk mendorong supaya orang mengamalkan prinsip universal love, ia mengajukan sanksi keagamaan dan sanksi politik (Fung Yu Lan, 1964: 56).

Ajaran Mo Tzu tentang pemerintahan menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah demi kepentingan rakyat. Pemerintahan harus dipegang oleh orang-orang yang cakap, kalau perlu diserahkan kepada orang-orang yang bukan famili raja. Untuk memperbaiki keadaan masyarakat, hendaknya segala sesuatu itu dilakukan untuk menghasilkan kemanfaatan.

Emosi harus ditekan, harus dibuang jauh-jauh. Bagi Mo Tzu yang dipentingkan adalah efektifitas tinggi agar dalam waktu yang singkat masyarakat dapat diperbaiki. Walaupun ia sebetulnya menekankan kebahagiaan jiwa untuk mencapai kebahagiaan yang bersifat material.

Ajaran mengenai kemanunggalan dengan atasan dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan filsafat yang utilitaristis. Isinya bahwa orang harus mencontoh pada orang diatasnya, yang pada akhirnya muncul unsur religius yang di dalam ajaran Confucius tidak dibicarakan. Menurut Creel (1953: 65) sistem otoriter mengenai kemanunggalan dengan atasan ini mengakibatkan ajaran Mo Tzu kurang mempunyai daya tarik yang lama bagi bangsa Cina. Memang bagi Mo Tzu demokrasi sebetulnya tidak tepat, karena jika banyak pendapat akan sulit untuk mencapai musyawarah serta usaha mencapai perbaikan akan dihambat.

(10)

Ajaran-ajaran Mo Tzu kurang menarik simpati rakyat Cina di antaranya disebabkan oleh sikap otoriter Mo Tzu, ajaran tentang emosi yang ditindas, dan kebahagiaan hanya dipandang sebagai tujuan jangka pendek.

E. LOGISISME

Para pengamat mazhab logisisme mengambil sikap yang berlawanan dengan sikap suh tak acuh terhadap logika sebagai ajaran sistematik. Meskipun merupakan mazhab kecil tetapi terkenal karena perhatiannya atas masalah-masalah yang bersifat murni akali. Mazhab ini sering disebut Ming Chia atau “para filsuf nama”, karena amat mementingkan masalah nama. Para penganut logisisme ini ialah Hue Shih dan Kung-sun Lung.

1. Hui Shih (350-260 Seb. M.)

Hui Shih hidup kira-kira tahun 350 s.d. 260 Seb. M. Ia dilahirkan di negara Sung, yang terletak di daerah yang kini disebut propinsi Honan. Sayang banyak tulisannya telah hilang, yang dapat diketahui gagasannya hanya dapat disimpulkan dari “sepuluh butir pendirian” (Fung Yu Lan, 1964: 83).

Pertama, “Tidak ada sesuatu pun yang terdapat di luar yang - terbesar, dan ini disebut “Ketunggalan Besar”. Tidak ada sesuatu pun yang terdapat di dalam yang - terkecil, dan ini disebut “Ketunggalan Kecil”. Kedua pernyataan ini mengandung proposisi-proposisi analitik.

Kedua, Sesuatu yang tidak mempunyai sifat tebal tidak dapat ditambah (dalam ketebalannya), meskipun besarnya mungkin meliputi seribu mil”. Bahwa yang besar dan yang kecil hanya nisbi.

Ketiga, “Langit sama rendah dengan bumi; gunung sama tinggi dengan rawa-rawa”. Hal ini menyatakan sifat nisbi.

Keempat, “Matahari pada tengah hari adalah matahari yang sedang menurun, makhluk yang dilahirkan adalah makhluk yang sedang mengalami kematian”. Artinya menyatakan perubahan terus-menerus di dunia.

Kelima, “Persamaan yang banyak berbeda dan persamaan yang sedikit. ini disebut persamaan - dan - perbedaan - kecil. Segala barang sesuatu sama semuanya ditinjau dari satu segi, namun berbeda semuanya ditinjau dari segi yang lain. Ini disebut persamaan - dan - perbedaan - besar”.

(11)

Keenam, “Selatan tidak terbatas, meskipun ada batasnya”. Kemungkinan berarti baik yang terbatas maupun yang tidak terbatas hanya bersifat nisbi.

Ketujuh, “Saya pergi ke negara Yueh hari ini dan tiba di sana kemarin”. Menyatakan kenisbian waktu kini dan lampau.

Kedelapan, “Gelang-gelang yang bertautan dapat dipisahkan”. Karena perusakan serta pembangunan bersifat nisbi, maka “gelang-gelang bertautan dapat dipisahkan” tanpa memisahnya.

Kesembilan, “Saya mengetahui pusat dunia. Pusat dunia ini terletak di utara Yen dan di selatan Yueh”. Dunia tidak terbatas, maka pusatnya ada di mana-mana.

Kesepuluh, “Kasihilah segala barang sesuatu secara sama; Langit dan Bumi merupakan ketunggalan”. Hal ini sesuai dengan pendapat Hui Shih bahwa segala sesuatu nisbi dan selalu berubah, tidak ada perbedaan dan pemisahan mutlak antara yang satu dengan yang lain.

2. Kung-sun Lung (184-259 Seb. M.)

Kung-sun Lung hidup kira-kira tahun 284 s.d. 259 Seb. M. Secara luas ía dikenal karena pendapat-pendapatnya yang sofistik. Diceritakan, ketika ia melewati daerah perbatasan, para pengawal perbatasan berkata: “Kuda dilarang lewat”. Kung-sun Lung menjawab: “Kuda saya putih, dan kuda putih bukan kuda”. Sambil berkata ia lewat dengan kudanya.

Jika Hui Shih menggarisbawahi pendapat bahwa segala sesuatu dalam dunia ini kenyataannya bersifat nisbi serta dapat berubah, maka Kung-sun Lung menggarisbawahi pendapat bahwa nama-nama bersifat mutlak dan tetap (Fung Yu Lan, 1964: 87). Secara demikian sebetulnya sampai pada pengertian yang sama dengan idea-idea Platonisme atau universalia yang amat menarik dalam filsafat Barat.

Menyimak ajaran-ajaran Hui Shih dan Kung-sun Lung tersebut di atas, perlu ditekankan bahwa logisisme hendaknya dipahamkan secara luas, karena yang dipermasalahkan menyangkut dialektika, sofisme, serta paradoks-paradoks maupun logika.

(12)

F. Mazhab Penujum

Dengan diwakili oleh Tsou Yen (± 340-260 Seb. M.), mazhab Penujum meliputi para filsuf yang menyampaikan ajaran Yin-Yang dan mereka yang mengajarkan adanya lima macam unsur. Munculnya pertama kali ajaran Yin-Yang dalam Kitab Klasik mengenai Perubahan serta ajaran mengenai adanya lima macam unsur dalam Kitab Klasik rnengenai sejarah menandai adanya upaya-upaya awal di kalangan bangsa Cina untuk mengembangkan sebuah metafisika dan sebuah kosmologi (Y.P. Mei, 1988: 11- 12).

Yin-Yang merupakan dua prinsip yang saling melengkapi. Ajaran ini berakar cukup dalam bagi penganut Taoisme maupun Confucianisme, walaupun sampai saat ini belum diketahul secara pasti siapakah yang mengajarkan pertama kalinya. Sejak kapan ajaran ini diperkenalkan juga belum diketahui pasti (Lasiyo, 1993: 36).

Sebagai sesuatu pengertian, Yin-Yang terdiri dari dua buah unsur yang saling melengkapi yang semula mengacu kepada bagian yang kelam serta bagian yang cerah, sebuah lembah atau bukit. Kemudian mengacu kepada pasangan-pasangan lain seperti betina-jantan, negatif-positif, dingin-panas, dan lemah-kuat. Kelima macam unsur tersebut di atas terdiri dan api, tanah, logam, air dan kayu. Dalam kedua buah ajaran ini unsur-unsur tersebut tidak dipahamkan sebagai satuan material yang lembam, tetapi sebagai kekuatan-kekuatan dinamis yang senantiasa berubah-ubah yang berkisar antara menghasilkan sesuatu dan mengatasi sesuatu.

Ajaran Yin-Yang dan lima unsur sampai saat ini terkait erat dengan astrologi, alkimia dan peramalan nasib. Ajaran-ajaran mazhab penujum ini tidak semata-mata sebagai sistem yang berdiri sendiri, tetapi juga merembesi kehidupan dan alam pikiran Cina.

G. Legalisme

Legalisme adalah suatu aliran yang timbulnya dipelopori oleh orang-orang yang ahli dalam bidang hukum dan pemerintahan. Mereka menawarkan kepandaiannya kepada para penguasa di berbagai daerah, menjadi penasehat pemerintah dan mengajarkan teknik-teknik pemerintahan serta hukum-hukum. Legalisme atau Fa Chia mengajarkan bahwa pemerintahan yang baik harus didasarkan kepada kitab undang-undang yang tetap, bukan kepada orang yang berilmu baik dalam bidang pemerintahan maupun moral (Lasiyo, 1993: 41).

(13)

Dengan mendasarkan diri pada pandangan bahwa menurut kodratnya manusia adalah buruk dan bahwa pemenintahan adalah penyalahgunaan kekuasaan, di Cina kuno legalisme membela sesuatu sistem pemikiran politik yang tidak berbeda dengan ajaran yang dikemukakan Niccolo Machiavelli. Para juru bicara utama ajaran ini adalah Wei Yang atau Pangeran Yang atau pangeran Shang dan Han Fei Tzu (Y.P. Mel, 1988: 12).

1. Wei Yang (400-338 Seb. M.)

Wei Yang merupakan tokoh legalisme di negara Wei, tetapi Ia sebagai perdana menteri di negara Chin. Sebelum perdana menteri dari negara Wei meninggal dunia telah menyarankan kepada rajanya untuk mengangkat Wei Yang sebagai penggantinya, atau kalau tidak Wei yang dibunuh saja sebab ia cakap dan berbahaya. Kenyataannya raja Wei tidak mengindahkan saran itu, dan terjadi penyesalan karena kerajaan Wei kemudian diserbu oleh negeri Chin. Pada saat negara Wei mau kalah, Wei Yang mengajak raja Wei berunding. Pada waktu raja Wei menuju ke tempat perundingan Ia dimasukkan ke dalam perangkap.

Untuk perbaikan negara dan masyarakat Wei Yang melakukannya melalui berbagai tindakan. Di antara tindakan-tindakan itu misalnya: mengadakan penghapusan perbudakan, memperbaiki organisasi pemerintahan, membuat hukum-hukum, dan membuat penyeragaman bagi semua lapiran masyarakat.

Sumbangannya terhadap legalisme amat jelas jika dilihat dari pendapatnya bahwa negara harus berdasarkan Fa atau hukum yang berada di atas segala-galanya. Selain itu negara juga harus berdasar pada shih atau kekuasaan yang mutlak dan pada shu atau teknik pemerintahan. Dengan ajaran ini Wei Yang dianggap sebagai peletak dasar legalisme.

2. Han Fei Tzu (280-233 Seb. M.)

Mengenai orangnya, ia bukan ahli pidato, karena ia tidak bisa lancar dalam bicara. OIeh karena itu dalam mengemukakan ide-idenya hanya secara tertulis. Sebenarnya Han Fei Tzu menulis ide-idenya untuk negara Han, tetapi raja negara Han tidak mau memperhatikan. Sebaliknya raja dari Chin sangat tertarik, dan keinginannya untuk bertemu Han Fei Tzu terkabul pada waktu Han Fei Tzu pergi ke negara Chin.

(14)

Han Fei Tzu mengajarkan bahwa kodrat manusia jahat dan egois. Raja dalam memimpin rakyatnya harus dengan egois pula. Raja harus menggunakan sistem pahala bagi orang yang berjasa dan memberikan hukuman bagi orang yang menyeleweng. Kebijaksanaan dan contoh hidup yang baik tidak ada gunanya, karena semua orang jahat dan tidak bisa diperbaiki. Para pembantu raja harus diawasi dengan ketat dan kekuasaan mutlak ada di tangan raja.Raja Yao dan Shun yang memerintah dengan kebijaksanaan sudah tidak bisa ditiru lagi. Hal ini dikarenakan jaman yang sudah berbeda. Pada saat itu jumlah penduduk masih sedikit, sekarang jumlah itu semakin besar, hal inilah yang menyebabkan orang sulit diatur dengan baik kecuali dengan disiplin yang ketat dan hukum-hukum yang cermat serta diikuti hukuman-hukuman yang berat.

Sebagai penutup keseluruhan Bab II ini perlu dikemukakan soal-soal tes sebagai berikut:

1. Jelaskan dan berikan evaluasi kritis Saudara tentang pemikiran kefilsafatan P. Chou pada periode Sebelum Confucius!

2. Jelaskan garis besar pemikiran kefilsafatan Confucius, Menciu, dan Hsün Tzu serta berikan evaluasi kritis Saudara!

3. Jelaskan garis besar pemikiran kefilsafatan Yang Chu, Lao Tzu, dan Chuang Tzu serta berikan evaluasi kritis Saudara!

4. Jelaskan pemikran kefilsafatan Mo Tzu dan berikan evaluasi kritis Saudara! 5. Jelaskan pemikiran kefilsafatan Hui Shih dan Kung-sun Lung serta berikan

evaluasi kritis Saudara!

6. Jelaskan pemikiran kefilsafatan Yin-Yang dan berikan evaluasi kritis Saudara!

7. Jelaskan pernikiran kefilsafatan Wei yang dan Han Fei Tzu serta berikan evaluasi kritis Saudara!

Kunci jawaban soal-soal tes tersebut secara berturut-turut dapat dicermati pada Bab II Sab A s.d. sub G Bahan Ajar ini.

Referensi

Dokumen terkait