• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi pengarang dalam novel kitab omong kosong karya Seno Gumira Ajidarma pendekatan ekspresif - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ideologi pengarang dalam novel kitab omong kosong karya Seno Gumira Ajidarma pendekatan ekspresif - USD Repository"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana S-1

Disusun oleh Maria Bekti Lestari

NIM: 034114026

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 1 Juli 2008 Penulis

(6)

vi ABSTRAK

Lestari, Maria Bekti. 2008. Ideologi Pengarang Dalam Novel Kitab Omong Kosong

Karya Seno Gumira Ajidarma: Pendekatan Ekspresif. Skripsi S-1. Yoyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma dengan pendekatan ekspresif. Analisis struktur dibatasi pada alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Langkah- langkah yang ditempuh adalah menganalisis alur, tokoh utama, penokohan tokoh utama, dan pengarang implisit, kemudian menggunakan pendekatan ekspresif untuk memahami ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong.

Tokoh utama dalam novel Kitab Omong Kosong adalah Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. Tokoh-tokoh utama dalam sebuah karya sastra menjadi alat penting pengarang dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga biasa menjelma sebagai orang lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa disebut sebagai pengarang implisit. Keberadaan pengarang implisit merupakan jalan untuk memaha mi ideologi pengarang. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.

Penelitian mengenai pengarang implisit mengkaji keberadaan pengarang nyata sebagai sosok lain dalam karyanya. Pengarang implisit berusaha menyampaikan pandangannya mengenai dunia dan kekompleksannya. Melalui analisis mengenai pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong, didapat enam pokok ideologi pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi penga rang mengenai kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.

(7)

vii

Written By Seno Gumira Ajidarma: An Expressive Approah. An Undegraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters, Sanata Dharma University.

This study examines the author’s ideology in the novel Kitab Omong Kosong

written by Seno Gumira Ajidarma using expressive approach. The structural analysis is limited on the plot, the main charaters, and the characterization of the main charaters. The step which are done are analyzing the plot, the main charaters, the characterization of the main charaters, and the implied authour. Thus, using expressive approach to understand the author’s ideology in the novel Kitab Omong Kosong.

The main charaters are Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. The main charaters in a literary work becomes an important tool of the author to convey his idealism. The author usually take a role as the other person behind his work or usually called as implied author. The existence of implied author is a way to understand the author’s ideology. The plot, the main charater, the characterization of the main charaters, and the implied authour becomes a tool to know the author’s ideology.

The study about implied author examines the existence of the author as the other character in his works. The implied author try to explain the perspective about the world and its complexity. After analyzing the implied author in the novel Kitab Omong Kosong, there are six primary ideologies of the author. Those six primary ideologies are the author’s ideology about authority, about marginal people, about women, about love, about freedom, and about knowledge.

(8)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta :

Nama : Maria Bekti Lestari Nomor Mahasiswa : 034114026

demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA JIDARMA PENDEKATAN EKSPRESIF

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 30 Juni 2008 Yang menyatakan,

(9)

viii

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi ini. Penulis menusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi menyempurnakan skripsi ini. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada pihak-pihak yang penulis sebutkan sebagai berikut:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum selaku pembimbing I yang sudah membimbing penulisan skripsi ini dan menjadi sosok yang bisa dijadikan tempat mengadu.

2. Ibu S. E. Peni Adjie, S.S, M. Hum selaku pembimbing II yang telah memberikan spirit pada penulis untuk maju dan tidak berhenti di tengah jalan. Selamat atas kelahiran putrinya.

3. Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum selaku pembimbing akademik angkatan 2003 yang selalu setia ngopyak-opyak dan memberikan dukungan.

(10)

ix

5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk rasa nyaman dan persahabatan yan indah.

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf secretariat Fakultas Sastra, Mbak Ros dan Mas Tri, untuk pelayanannya.

7. Bapak, Mamak, Mbak Ari, Apri. Terima kasih atas kepercayaan, dukungan, dan cinta yang membuat penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat-sahabatku, Dhita, Erlita, dan Surya, yang selalu mendorong penulis

untuk cepat lulus. Terima kasih atas persahabatan indah kita yang telah terjalin 10 tahun ini. Heheheheh…akhirnya aku lulus!!!

9. Pour mon coeur R. Adhitya Respati Maulidarma, terima kasih atas segala rasa sayang, cinta, dukungan dan doanya. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal untuk bertahan dalam setiap cobaan.

10.Teman-teman di Sastra Indonesia 2003 yang telah mengisi kisah hidupku dan memberi kenangan indah dalam kehidupanku di bangku kuliah. Ayo kita lulus bareng! Semangat!

11.Astri, Aning, Anton, Aic, Bayu, Dita, Doan, Diar, Ecix, Emak, Epita, Firla, Gondhez, Helen ‘Teteh’, Icha, Jati, Rinto, Simply, Uci, Nenex, dan Yeni.

(11)

x

13.Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan skripsi ini. Tidak ada kata yang mampu mengungkapkan syukur ini selain ucapan terima kasih yang tulus dari dalam hati.

Semoga Tuhan Yang Maha Kasih membalas semua kebaikan dan kasih sayang yang telah diberikan. Penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam penulisan skripsi ini. Segala bentuk kesalahan yang terjadi dalam penulisan skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 8

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Hasil Penelitian... 9

1.5 Tinjauan Pustaka ... 10

1.6 Landasan Teori... 12

1.6.1 Alur ... 12

1.6.2 Tokoh dan Penokohan... 15

(13)

xii

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data ... 21

1.7.2 Pendekatan ... 21

1.7.3 Metode... 22

1.8 Sumber Data ... 22

1.9 Sistematika Penyajian ... 23

BAB II ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ... 24

2.1 Alur ... 25

2.2 Tokoh Utama ... 40

2.3 Penokohan Tokoh Utama ... 42

2.3.1 Maneka... 42

2.3.2 Satya ... 46

2.3.3 Hanoman ... 50

2.3.4 Walmiki... 57

2.3.5 Rama ... 61

(14)

xiii

BAB III PENGARANG IMPLISIT DALAM NOVEL KITAB OMONG

KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ... 68

3.1 Pengarang Implisit... 68

3.2 Rangkuman Pengarang Implisit ... 79

BAB IV IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ... 81

4.1 Ideologi Pengarang... 82

4.1.1 Ideologi Pengarang Mengenai Kekuasaan... 83

4.1.2 Ideologi Pengarang Mengenai Kaum Pinggiran ... 89

4.1.3 Ideologi Pengarang Mengenai Perempuan... 93

4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta ... 95

4.1.5 Ideologi Pengarang Mengenai Kebebasan... 99

4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan... 105

4.2 Rangkuman Ideologi Pengarang ... 112

BAB IV KESIMPULAN ... 115

5.1 Kesimpulan... 115

5.2 Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(15)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelahiran suatu karya sastra tidak bisa dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah dicerap oleh sang sastrawan (Pradopo, 1987: 228). Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan dikembangkan oleh berbagai penulis (http://www.karatonsurakarta.com/ ramayana.html). Salah satu contoh bentuk akulturasi Ramayana adala h wayang yang banyak menggunakan pakem atau cerita Ramayana. Ramayana juga diadaptasi oleh R.A. Kosasih sebagai dasar cerita dalam komiknya yang berjudul Ramayana. Sindhunata mengangkat cerita Ramayana dalam novelnya yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. Novel Kitab Omong Kosong (selanjutnya disingkat KOK) karya Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya Seno) juga menjadikan Ramayana sebagai dasar cerita.

(16)

2

bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.

Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin setia menggali cerita

Ramayana sesuai dengan pakem-nya, tetapi diekspresikan melalui bahasa yang indah dan puitis. Karena gaya bahasa sastranya yang khas, karena imajinasi simboliknya yang kaya, dan karena penggalian makna- makna filosofis yang dalam, buku ini tak dapat dianggap sebagai sekadar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah kisah sastra (www.gramedia.com). Seno mengeksploitasi cerita Ramayana dengan cara yang lebih unik. Seno memilih bahan dari kitab Ramayana yang tidak popular, yaitu tragedi keluarga Rama setelah perang besar dengan Rahwana. Seno juga memberi tafsir baru dalam cerita Ramayana. Rama yang biasanya merupakan tokoh

hero bagi masyarakat Jawa ditelanjanginya sebagai pemimpin yang tak menghargai kesetiaan, ambisius, dan haus akan kekuasaan. Di tangan Seno, cerita-cerita dari parwa terakhir Ramayana menjadi sangat membumi. Hal ini diwujudkan dengan ditampilkannya dua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai penggerak cerita. kehadiran Satya dan Maneka membuat cerita Ramayana tidak lagi terfokus pada tokoh-tokoh raja dan ksatria.

(17)

dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai sebuah karya seni (Nurgiyantoro, 1998: 3). Dalam proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra, seorang sastrawan tidak begitu saja menuliskan semuanya. Melalui hasil pengamatan dan penghayatan terhadap lingkungannya seorang sastrawan menciptakan sebuah karya yang bisa dipertanggungjawabkan. Tidak jarang pula apa yang ditulis seorang sastrawan merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh dialaminya sendiri.

Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, USA pada tanggal 19 Juni 1958. Dia menyelesaikan program diploma dan S-1 dalam bidang film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seno menempuh jenjang S-2 dalam bidang Filsafat di FIB UI. Dia meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dengan disertasi berjudul Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan.

(18)

4

metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Metode yang digunakan Seno dalam KOK

adalah dengan mengungkapkan kehidupan kaum terpinggirkan sebagai bentuk penyampaian aspirasinya. Pemikiran Seno diaktualisasikan dengan memunculkan tokoh Satya dan Maneka. Kedua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai tokoh utama dalam alur Ramayana merupakan cara Seno mengungk ap sisi lain sebuah cerita.

Rasa seni atau sense of art pengaranglah yang sebenarnya membuat kenyataan menjadi kisah yang menarik dalam fiksi. Dalam rasa ini, kreativitas mengambil peranan. Seorang pengarang yang memiliki rasa seni tinggi atau kreatif, tidak akan melihat kenyataan sebagai kenyataan begitu saja. Kenyataan yang ia lihat tidak ia beri makna umum sebagaimana masyarakat kebanyakan mengartikannya. Namun, ia dapat melihat dengan sudut pandang yang berbeda, menciptakan dunia makna yang tersendiri sehingga kenyataan atau pengalaman tersebut menjadi suatu hal yang mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran (Dahana, 2001: 59-60). KOK

sebagai karya sastra memuat ideologi Seno sebagai pengarang. Hal tersebut tentu saja berhubungan erat pula dengan proses kreatif yang dilalui Seno sebelum menulis

KOK. Kreativitas itu tampak pada penambahan tokoh sentral Maneka dan Satya, selain Rama dan Sinta. Adanya beberapa perbedaan ini menunjukkan hasil pengendapan pengarang atas cerita Ramayana.

(19)

jika ditemui beberapa bagian ya ng dirasa tidak sesuai sama sekali dengan cerita aslinya. Salah satu ketidaksamaan itu salah satunya terdapat dalam kutipan berikut:

Perempuan itu merangkak.

“Tidak juga Rama, titisan Batara Wisnu yang maha Dan maha menghancurkan….” (Ajidarma, 2004:26)

Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa di balik sifatnya yang perkasa, Rama titisan Batara Wisnu juga maha menghancurkan. Dalam budaya Hindu, Wisnu adalah dewa pemelihara alam semesta, sedangkan dewa penghancur adalah Siwa. Penjungkirbalikkan yang dilakukan Seno ini tentu berkaitan pula dengan ideologi dan kepercayaan yang dianutnya. Ada maksud lain yang hendak disampaikan lewat cerita ini. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 42) mengatakan bahwa dengan mengatakan semua ini, saya bukannya ingin menjadi pahlawan. Saya hanya ingin menjelaskan gagasan-gagasan macam apa yang ada di kepala saya ketika menulis cerita-cerita itu.

(20)

6

berpengaruh pada karyanya, tetapi kelogisan alur cerita harus dipertahankan oleh sastrawan (Lubis, 1997: 4, 5, 7). Bukan tanpa sebab Seno menggambarkan tokoh Rama sebagai dewa penghancur. Semula Rama seorang yang bijaksana dan lemah lembut. Akan tetapi dia dibutakan oleh rasa cemburu dan kehilangan kepercayaannya kepada Sinta sehingga Rama pun menjadi brutal dan kejam. Gelembung Rahwana pembawa benih-benih kejahatan itupun mampu merasuk ke dalam diri Rama dan membuatnya menjadi penghancur.

(21)

disebut sebagai pengarang implisit. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.

Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114). Dalam perjalanan ceritanya, para tokoh mengalami konflik dan tegangan yang membuat karakter maupun pemikirannya ikut berkembang pula. Dalam hal ini alur atau plot cerita berpengaruh pada perkembangan pola pikir atau ideologi tokoh.

Ideologi merupakan suatu kerangka berpikir dalam menanggapi suatu permasalahan. Seorang pengarang memiliki suatu ideologi yang terkandung dalam karyanya. Ideologi pengarang adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut dan dipercayai oleh seorang pengarang ketika dia hendak menuangkannya dalam karya sastra. Althusser (dalam Barker, 2005: 76) mengatakan bahwa ideologi membentuk kondisi-kondisi nyata kehidupan manusia, membentuk pandangan dunia yang dipakai orang untuk hidup dan mengalami dunia.

Penelitian ini memfokuskan masalah ideologi pengarang dalam novel KOK

(22)

8

studi sastra yang ideal seharusnya tidak hanya tertuju pada karya sastra semata, tetapi harus pula memperhatikan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan proses penciptaan karya sastra tersebut. Salah satu aspek yang selama ini kurang mendapat perhatian peneliti sastra adalah penelitian terhadap karya sastra sebagai proses kreatif yang telah dituliskan pengarang, padahal terdapat banyak kemungkinan informasi yang dapat digali untuk mendukung penelitian terhadap karya sastra.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma?

1.2.2 Bagaimana pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma?

1.2.3 Bagaimana ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

(23)

1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan pengarang implisit dalam novel

Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan ideologi pengarang dalam novel

Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebut di atas, penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut.

1.4.1 Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya dalam telaah sastra dengan pendekatan ekspresif.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca, peneliti, maupun sastrawan dalam memahami ideologi pengarang yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh dalam karya sastra dengan ideologi pengarangnya.

(24)

10

1.4.5 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh dalam karya sastra dengan perkembangan alur.

1.4.6 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun sastrawan dalam memahami proses kreatif seorang pengarang dan keterkaitannya dengan karya yang dihasilkan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Mursidi (2005) dalam artikel berjudul Epik Ramayana dalam Berbagai Narasi mengatakan bahwa setelah Walmiki tiada, kisah Ramayana lalu menjelma menjadi ilham bagi para pujangga untuk menyalin serta menyadurnya dalam cerita yang terus memikat sepanjang zaman. Menurutnya Seno bisa dikategorikan menulis cerita Ramayana dengan ”versi lain”. Dalam KOK, Seno tak saja membongkar alur cerita Ramayana dan mencoba menjadikan kisah Ramayana sebagai entry point, untuk merangkai peristiwa demi peristiwa, tetapi juga memberikan sisipan cerita dengan menambahkan dua tokoh sentral, Maneka dan Satya.

Mursadi (Ibid) juga menyebutkan bahwa meski terdapat perbedaan jalan cerita, antara satu versi dengan versi yang lain, tetap saja inti dari kisah Ramayana

(25)

yang baik. Apalagi, ”gelembung kejahatan” Rahwana —meminjam istilah Seno— sampai kapan pun membumbung terus sebelum bumi ini kiamat, dan tugas kesatria adalah menumpas kejahatan, berlaku adil, dan bijak.

Widijanto (2007) dalam tulisannya yang berjudul Membongkar Mitos Wayang

Kitab Omong Kosong Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa pengarang mencoba mengukuhkan kembali mitos pewayangan Ramayana sekaligus, pada beberapa hal, mencoba memberontak dan membongkar mitos dan nilai- nilai tentang

Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat.

Dalam tulisan Widijanto juga dipaparkan keberpihakan Seno kepada kaum yang selama ini dipandang sebelah mata, yakni mereka yang tidak pernah dicatat bahkan cenderung disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan. Widijanto mengungkapkan bahwa munculnya tokoh baru, Satya dan Maneka, merupakan upaya Seno untuk membongkar dan memberontak terhadap mitos pewayangan di Jawa. Mitos pewayangan Jawa adalah kebudayaan ksatria, dalam arti bahwa konsep manusia ideal dalam budaya wayang adalah satriya pinandita, cita-cita ksatria. Munculnya tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh protagonis dari rakyat jelata yang berhasil menyelamatkan kebudayaan dunia, maka robohlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia dari rakyat jelata. Rama, Laksmana, Wibisana, Sugriwa, tak lebih luhur, lebih unggul, dan lebih mulia dibanding Satya anak petani atau Maneka seorang pelacur.

(26)

12

Karya Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa karya Seno ini seolah merupakan penjelasan pasca-Ramayana. Dengan demikian, pertanyaan tentang bagaimana kisah Ramayana berlanjut seolah terjawab. Pengetahuan yang dicari dalam Kitab Omong Kosong disebut Narendra pada praktiknya menjadi proyeksi pemenuhan hasrat manusia, yang disalahfungsikan sebagai alat untuk merayu, mengorupsi, menipu, serta menggoda. Hal itu akan terjadi jika pengetahuan dihubungkan secara intim dengan hasrat. Namun hasrat manusia tidak selalu “jahat”. Terkadang hasrat itu muncul semata karena keingintahuan manusia akan masa depannya. Suatu hal yang tubuh manusia tak sanggup lakukan adalah mengetahui masa depan dan hal itulah yang menjadi kelemahan utama tubuhnya, dengan berbagai kelengkapan indera yang ada. Pengetahuan seolah menjadi jawaban manusia untuk mengatasi tubuhnya. Lebih lanjut lagi, semakin manusia mengekplorasi pengetahuan, semakin pula ia mengetahui bahwa masih sangat banyak hal yang belum diketahuinya, dan semakin merasa terkurunglah ia dalam penjara tubuhnya.

(27)

Dengan demikian, dari paparan penelitian yang pernah dilakukan terhadap novel KOK di atas, topik penelitian mengenai ideologi pengarang belum pernah dibahas.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Alur

Nurgiyantoro (1998: 111) mengatakan bahwa untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1998:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

(28)

14

Menurut Aristoteles untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end).

1. Tahap awal

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Pada tahap awal cerita, di samping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.

2. Tahap tengah

Tahap tengah cerita yang dapat juga dicebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antar tokoh cerita, antara tokoh tokoh) protagonist dan tokoh (-tokoh) antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, ya itu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi.

3. Tahap akhir

Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.

(dalam Nurgiyantoro, 1998:142-146) Tasrif membedakan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut.

1. Tahap situation: tahap penyituasian

2. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik 3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik

4. Tahap climax: tahap klimaks

5. Tahap denouement: tahap penyelesaian

(29)

kedua adalah sorot-balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut sebagai regresif.

Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa ya ng dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh (atau:menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian), sedangkan urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 1998:154).

1.6.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 1988: 165).

(30)

16

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 176).

Pada novel- novel lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian, atau tak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan, dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 1998: 177).

Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama (Nurgiyantoro, 1998: 177).

1.6.3 Pengarang Implisit

(31)

penulisan, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya (Taum, 1997:29).

Implied author atau pengarang adalah seseorang yang ada di balik pengarang dan dipakai pada saat menulikan karyanya (Taum, 1997: 28). Yang dimaksud implied author ialah sebuah instansi yang tersembunyi diandaikan oleh erita dan yang lain daripada juru cerita. Setiap cerita merupakan hasil sebuah seleksi, evaluasi dan merupakan perpaduan dari unsur- unsur sosial, moral dan emosional. Implied author berdiri di tengah-tengah si juru cerita dan pengarang sendiri. Juga disebut persona poetica yang lain dari persona practica (pengarang sendiri) (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 64).

1.6.4 Ideologi

Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan,sedemikian rupa sehingga orang menganggapnnya sah, padahal tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi (Magnis-Suseno,2001: 22)

(32)

18

kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan (Pujiharto 2001: 9).

Lebih lanjut Pujiharto (2001: 9) menyatakan bahwa dalam praktiknya, ideologi ini dijabarkan kaum intelektual dalam rangka mengemban tugas melaksanakan reforma si moral dan intelektual. Tugas yang dilaksanakan itu bukan dalam ruang kosong. Sifat perjuangan ideologi tidaklah sepenuhnya dari permulaan. Perjuangan itu adalah proses transformasi beberapa unsur untuk disusun kembali dan dikombinasikan dengan cara yang berbeda dengan inti baru atau prinsip pokok. Sistem ideologi tidak bisa dibuat sekali jadi sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin partai politik. Ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui perjuangan politik dan ekonomi dan karakternya akan bergantung pada hubungan berbagai kekuatan yang ada selama ia dibangun.

(33)

pendidikan, kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut Cicero dan kaum Humanis juga mengandalkan suatu ideologi. Sastra pun dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa. Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi tertentu (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 62).

Menurut Magnis-Suseno (1992: 43), ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai- nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk menyikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

(34)

20

yang diambil tokoh-tokoh cerita untuk melihat di dalam atau di luar dirinya (Budiman, 1994: 46).

Berdasarkan berbagai teori mengenai ideologi yang telah diungkapkan di atas, penulis membatasi pengertian ideologi sebagai sistem kepercayaan, kerangka berpikir, pandangan dunia yang menjadi acuan seseorang dalam menerangkan setiap permasalahan hidup.

1.6.5 Pendekatan ekspresif

Pendekatan ekspresif menurut Ratna (2004:68) lebih banyak memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Menurut Taum (1997: 28) teori ekspresif adalah pendekatan yang digunakan dalam berpedoman atau berpegang pada biografis pengarang.

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsinya, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya (Pradopo, 1988: 32).

(35)

pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan dan penggubahan yang mulia (Ibid).

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik catat atau library search. Teknik catat atau library search dilakukan dengan mempelajari berbagai literasi mengenai topik yang diangkat. Teknik catat atau library search yaitu teknik penyediaan data dengan cara mencatat data-data yang dijadikan objek penelitian. Menurut Ratna (2004: 39) penelitian ini terbatas pada pemanfaatan teknik kartu data. Pelaksanaannya yaitu dengan menelaah data-data kepustakaan yang berhubungan dengan objek penelitian ini, yaitu ideologi pengarang dalam novel KOK karya Seno dengan menggunakan pendekatan ekspresif.

1.7.2 Pendekatan

(36)

22

melalui pendekatan struktural digunakan untuk mendeskripsikan alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK.

1.7.3 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Menurut Keraf (1981) metode analisis merupakan cara membagi suatu objek yang berupa gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur maupun proses ke dalam komponen-komponennya. Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat. Sedangkan metode deskriptif adalah metode melukiskan sesuatu yang digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang dilakukan.

1.8 Sumber Data

Novel : Kitab Omong Kosong

Pengarang : Seno Gumira Ajidarma Tahun terbit : 2004

(37)

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Sistematika penyajian dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

Bab III berisi analisis pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma.

Bab IV berisi analisis ideologi pengarang yang terdapat dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

(38)

24 BAB II

ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Alur dan tokoh merupakan bagian penting dalam sebuah cerita. Melalui tokohlah sebuah cerita dapat disampaikan kepada para pembaca. Melalui watak dan kebiasaannya, tokoh meleburkan diri dalam penceritaan. Melalui tokoh-tokoh pula, seorang pengarang menyampaikan ide dan gagasannya. Berbagai hal yang mewakili pikiran pengarang disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam karyanya. Melalui alur, dapat dilihat perkembangan karakter tokoh. Perkembangan alur membuat tokoh memiliki cara berpikir yang juga ikut berkembang.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165) tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dalam drama yang oleh pembaca akan ditafsirkan secara moral. Penafsiran ini cenderung melihat pada ekspresi, ucapan, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Menurut Sudjiman (1988: 30) sesungguhnya pengaluran adalah pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi beberapa tuntutan. Dengan demikian peristiwa-peristiwa dapat juga tersusun dengan memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat).

(39)

antara tokoh utama dengan tokoh lain serta lingkungannya dalam perkembangan alur membuat seorang tokoh memiliki pola pikir atau pandangan tertentu dalam memahami masalah- masalah kehidupan. Interaksi tokoh utama dengan tokoh lain maupun lingkungannya terjalin dalam satu kesatuan alur.

Analisis ideologi pengarang dalam KOK dapat dilakukan setelah melihat bagaimana alur, tokoh utama dan penokohan kelima tokoh utama, yaitu Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang cara berpikir, karakter dan ideologi para tokoh utama melalui ekspresi, ucapan, dan tindakan yang dilakukannya. Melalui tokoh dan penokohan dapat dilihat bagaimana tokoh-tokoh utama menuangkan ideologi ataupun pemikirannya. Melalui penelusuran alur, dapat dilihat bagaimana perkembangan pola pikir maupun karakter para tokoh utama.

2.1 Alur

KOK beralur maju. Cerita dalam KOK disusun urut dari awal sampai akhir. Peristiwa dalam KOK disusun secara kronologis. Di bagian tengah novel ini, diselipkan beberapa dongeng dan cerita yang dituturkan Satya. Akan tetapi, kehadiran cerita lain ini tidak mengubah alur KOK.

(40)

26

meragukan kesetiaan Sinta. Sinta meyakinkan Rama dan seluruh rakyat Ayodya bahwa dirinya masih suci dan cintanya tetap kepada Rama. Akan tetapi, rakyat Ayodya tidak mempercayainya. Rama yang masih mencintai Sinta akhirnya terpengaruh omongan rakyatnya, dan ia memilih keinginan rakyatnya untuk mengusir Sinta. Cinta dan kuasa, dilema bagi Rama, tetapi kuasalah akhirnya yang dipilih oleh Rama.

Rama yang mulai terpengaruh Gelembung Rahwana melakukan Persembahan Kuda untuk menaklukkan anak benua. Persembahan Kuda adalah upacara memantrai kuda, kemudian melepaskan kuda tersebut lari sebebasnya. Daerah-daerah yang dilewati oleh kuda yang telah dimantrai tersebut harus tunduk dan takhluk pada negara atau raja yang melakukan Persembahan Kuda. Akibatnya, hancurlah semua wilayah yang dilalui oleh pasukan tersebut. Kuda ya ng digunakan untuk Persembahan Kuda tersebut berasal dari rajah di punggung seorang pelacur. Bab ini juga menceritakan perpecahan yang mulai terjadi antara Rama dan Hanoman. Bab ini berjalan terus hingga pasukan Ayodya dan balatentara Gua Kiskenda dikalahkan oleh dua orang anak kembar berusia belasan tahun bernama Lawa dan Kusa yang tak lain adalah anak kandung Rama. Bab ini ditutup dengan kematian Rama dan Sinta.

(41)

berdua melakukan petualangan berkeliling negeri untuk mencari Walmiki sang pendongeng yang konon sang pembuat cerita Ramayana.

. Bab ini berisi perjuangan Maneka dan Satya, dua orang anak muda yang berusaha mengubah nasibnya. Satya menemani Maneka yang ingin menggugat Walmiki atas nasibnya yang malang. Dalam perjalanannya, mereka mengalami banyak petualangan. Selama petualangan itulah lebih banyak kisah pewayangan diungkap. Selama perjalanan ini pula mereka menemukan sebuah misi baru, yaitu mencari Kitab Omong Kosong yang terbagi menjadi lima bagian. Bab ini ditutup dengan ditemukannya bagian pertama Kitab Omong Kosong.

Bab III dimulai dengan pertemuan Maneka-Satya dengan Hanoman. Setelah melalui perjuangan panjang keduanya berhasil mencapai Gunung Kendalisada dan bertemu Hanoman yang menyimpan Kitab Omo ng Kosong. Selama pertemuan itu, Hanoman memberi petunjuk tentang pencarian Kitab Omong Kosong. Setelah itu Satya dan Maneka melanjutkan perjalanan untuk mencari bagian-bagian lain dari Kitab Omong Kosong. Bab ini menceritakan penemuan-penemuan bagian Kitab Omong Kosong oleh Satya dan Maneka. Bab ini ditutup dengan kematian Hanoman dan kelanjutan hidup Maneka-Satya.

(42)

28

Ayodya akan dibumihanguskan. Peristiwa ini merupakan tahap pengenalan dalam

KOK, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

(1) Dari atas bukit, anak-anak itu melihat seekor kuda putih berlari melintasi padang rumput (Ajidarma, 2004: 9)

(2) Balatentara yang membuat bumi berge tar itu menyapu para jagabaya dan penduduk desa bagaikan air bah. Orang-orang itu mati dilindas kaki-kaki kuda tanpa sempat berteriak lagi, yang masih berdiri dihujam sekian banyak tombak begitu rupa sehingga tubuhnya terpancang tidak menyentuh bumi. Sejuta pasukan kuda yang perkasa masuk desa, memburu siapa pun yang masih berlarian dengan panah, tombak, maupun kelewang. Tanpa ampun desa itu dibakar. Rumah-rumah diambrukkan, patung-atung dilempar ke dalam api, tempat pemujaan dihancurkan, segalanya dilenyapkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Sapi, kambing, kucing, dan ayam pun dimusnahkan. Ketika desa itu mereka tinggalkan, semuanya sudah rata dengan tanah. (Ajidarma, 2004: 13)

Cerita berlanjut dan dikisahkan Shinta yang terlunta- lunta di hutan setelah dirinya pergi dari Ayodya karena kesetiaannya pada Rama diragukan rakyat Ayodya dan oleh Rama sendiri. Sinta yang sedang mengandung putra Rama, menjadi pemaisuri yang terusir dari negerinya sendiri. Ia tersaruk-saruk di hutan, meratapi nasibnya seperti telihat dalam kutipan (3). Para siluman pun merasa iba dengan keadaan Sinta yang sangat menyedihkan itu. Mereka membawa Sinta keluar dari hutan dan meletakkannya di rumah seorang pertapa bernama Walmiki. Bagian ini mulai menampilkan konflik

(3) Dari hari ke hari, dari malam ke malam, perempuan itu berjalan tersaruk-saruk kadangkala bahkan merangkak-rangkak dan merayap-rayap. (Ajidarma, 2004: 23)

(43)

terbang melayang menembus rimba raya. Para siluman meletakkannya di tepi sebuah sungai di luar rimba, tak jauh dari pondok seorang pertapa. (Ajidarma, 2004: 33)

Konflik berlanjut ketika Hanoman dan Rama mulai berselisih paham. Hanoman yang tidak setuju dengan tindakan Rama mengusir Sinta dan melakukan Persembahan Kuda, memutuskan untuk pergi dari Ayodya seperti terlihat dalam kutipan (5). Pada bagian awal cerita juga mulai ditampilkan tokoh Satya dan Maneka sebagai korban Persembahan Kuda. Pada bagian ini juga mulai diceritakan pengenalan konflik pada diri Satya dan Maneka.

(5) ”Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku Hanoman tidak akan datang. Sejak semula sudah kukatakan seluruh Ayodya bersalah ketika kesucian Sinta dipersoalkan. Aku sendiri yang membawa cincin kesetiaan itu ke Alengka. Kita semua sudah membuktikan sekali lagi kesucian seorang perempuan, dengan pembakaran. Apalagi yang harus dibuktikan? Lagi pula, di dalam cinta, kesucian tidak usah dipersoalkan...” (Ajidarma, 2004: 76)

(44)

30

mempertanyakan kesucian Sinta. Sinta marah sehingga dia moksa ke dalam bumi. Rama pun akhirnya menemui ajalnya dan moksa.

(6) Ketika melihat Lawa dan Kusa, Sugriwa merasa sangat kecewa. Balatentara Ayodya dikalahkan dua remaja? (Ajidarma, 2004: 70) (7) Di istana Ayodya, Lawa dan Kusa menembangkan Ramayana.

(Ajidarma, 2004: 79)

(8) Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan Sinta melayang ke bawah tanpa suara. (Ajidarma, 2004: 89)

Cerita beralih pada Maneka, seorang pelacur yang malang. Maneka memiliki rajah kuda di punggung. Rajah kuda itu adalah kuda yang digunakan Rama untuk Persembahan Kuda. Setelah Persembahan Kuda berakhir, kuda itu kembali ke punggung Maneka. Akibatnya, seisi kota, pria maupun wanita, ingin tidur dengan Maneka. Maneka mengalami konflik batin karena hal tersebut. Dia sebenarnya tidak ingin menjadi seorang pelacur. Karena ayahnyalah dirinya menjadi pelacur. Maneka dijual ke rumah bordil dan dijadikan pelacur karena ayahnya sangat miskin dan membutuhkan uang. Maneka semakin tersiksa ketika penduduk kota berebut ingin tidur dengannya, hanya karena dirinya memiliki rajah kuda yang digunakan untuk Persembahan Kuda.

(9) Semenjak peristiwa itu kehidupan Maneka penuh dengan penderitaan. Hampir semua pria maupun wanita di kota itu ingin tidur dengan Maneka. Maneka sang pelacur muda yang penuh pesona kini menjadi perempuan yang paling menderita. (Ajidarma, 2004: 105)

(45)

kejaran pemilik rumah bordil, tetapi Sarita dan pria bersorban mati dan menjadi korban. Maneka bertemu Satya yang menyelamatkannya dari derasnya arus sungai. Maneka memutuskan untuk mencari Walmiki, empu yang meriwayatkan Ramayana, dan berniat menggugat jalan cerita yang telah dituliskan untuknya. Satya mulai mengalami konflik batin karena dirinya jatuh cinta pada Maneka, tetapi Maneka tidak menanggapinya. Karena rasa sayangnya pada Maneka, Satya memutuskan untuk menemani Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki.

(10) Dari jendela terlihat sesosok tubuh semapai melompat langsung masuk ke dalam keranjang di punggung keledaiitu. Kemudian muncul sesosok lagi, juga semampai, lantas masuk juga ke dalam keranjang. Lelaki bersorban itu lantas menutupi keranjang-keranjang itu dengan tumpukan sabut kelapa. (Ajidarma, 2004: 110)

(11) ”Jadi kau mau mencari Walmiki ke mana pun dia pergi?”

”Ya, aku ingin mengubah nasib yang telah ditulisnya untukku.” (Ajidarma, 2004: 123-124)

(46)

32

Maneka mengetahui perasaan yang dipendam Satya untuknya, tetapi masa lalunya tidak memberinya celah untuk menerima cinta seorang pria.

(13) ”Inilah jalan ke arah senja, jika kita masih mau mencari Walmiki.” (Ajidarma, 2004: 131)

(14) ”Lihat,” kata Satya, ”itu orang-orang yang kehilangan keluarganya. Tidak ada seorang pun di seluruh anak benua yang tidak kehilangan keluarganya karena Persembahan Kuda. Banyak keluarga yang habis musnah seluruhnya, meninggalkan rumah-rumah kosong.” (Ajidarma, 2004: 155)

(15) Maneka dengan segala kepahitan pengalamannya, tak pernah mampu mengarahkan perasaan dan pikiran ke arah percintaan. Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya terkadang bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri dan menjaga kepribadian.” (Ajidarma, 2004: 161)

Selama perjalanan, Satya banyak menuturkan cerita seperti kisah Lubdhaka, Siwaratrikalpa dan lain sebagainya. Maneka sangat senang mendengarkan kisah-kisah yang dituturkan Satya, sehingga Maneka selalu meminta Satya untuk mendongeng untuknya. Maneka yang bodoh selalu ingin belajar membaca dan menulis, sehingga dia tidak malu- malu meminta satya untuk mengajarinya. Konflik lain terjadi ketika keduanya mulai kehabisan ongkos dalam perjalana n mencari Walmiki. Satya berhasil bekeraja di sebuah perpustakaan sebagai penyalin buku. Tugasnya adalah menuliskan kembali buku-buku yang masih tersisa setelah bencana Persembahan Kuda.

(16) Setelah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi tim penyalin naskah di perpustakaan negara. (Ajidarma, 2004: 159)

(17) Maka, berceritalah Satya tentang Lubdhaka...(Ajidarma, 2004: 168)

(47)

yang menjadi rebutan yaitu Kitab Omong Kosong. Kitab Omong Kosong disebut-sebut sebagai kitab yang berisi segala ilmu pengetahuan sehingga mampu mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang musnah akibat Persembahan Kuda. Barangsiapa berhasil mendapatkan kelima bagian dari Kitab Omong Kosong, dia akan mampu menguasai dunia. Maneka merasa bahwa mereka berdua harus mencari kitab tersebut. Sementara itu, Satya mengingatkan Maneka untuk fokus ke tujuan awal mencari Walmiki. Maneka bersikeras bahwa mencari kitab terlebih dahulu, kemudian mencari Walmiki. Mereka pun memutuskan untuk mencari kelima bagian Kitab Omong Kosong, walaupun arah yang mereka tempuh berlawanan dengan arah perginya Walmiki.

(18) ”Tanda-tanda silang ini pasti suatu tempat yang penting, kalu tidak mengapa ia harus menyelamatkannya sampai kehilangan nyawa?” Satya bertanya-tanya.

”Ke selatan katanya,” Maneka menyahut, ”apa maksudnya?” ”Mungkin tempat-tempat ini ada di arah selatan.”

”Mungkin bukan selatan, tetapi orang yang harus menerima peta ini ada di selatan.”

”Mungkin bukan semuanya, tapi ia meminta kita membawanya ke selatan.”

”Tujuan kita ke arah matahari terbenam, apakah kita akan berbelok ke selatan?” (Ajidarma, 2004: 194-195)

(48)

34

(19) ”Kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman yang bijaksana. Persoalan yang muncul kemudian, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana Sang Hanoman bersemayam.”

”Bukankah ia tinggal di Gunung Kenalisada?”

”Memang, tapi di manakah Gunung Kendalisada itu? Kita hanya mengetahui nama gunung yang menjadi tempat pertapaannya itu dari cerita Walmiki. Dalam kenyataannya, tidak seorang pun pernah mengetahui adanya Gunung Kendalisada itu.” (Ajidarma, 2004: 201)

(20) Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara ini sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya. Walmiki pergi ke arah matahari terbenam, ia pergi ke selatan. (Ajidarma, 2004: 207)

(21) Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-kluntung, Satya bercerita... (Ajidarma, 2004: 209)

Bagian yang menceritakan riwayat Hanoman ini beralur mundur karena cerita kembali ke masa sebelum Persembahan Kuda dan konflik antara Rama dan Hanoman terjadi. Dikisahkan Hanoman yang perkasa berusaha membebaskan Sinta dari tangan Rahwana. Hanoman berhasil mengobrak-abrik dan membakar Alengka serta membawa Sinta kembali ke Ayodya. Akan tetapi, Rama justru meragukan kesetian dan kesucian Sinta.

(49)

berkuasa. Syarat agar suku mereka bisa kembali berkuasa adalah dengan mengorbankan seorang perempuan yang memiliki rajah kuda di punggung yang digunakan untuk Persembahan Kuda. Maneka sangat ketakutan seorang diri berada di tengah-tengah bandit. Dirinya kembali menyesalkan rajah kuda yang dimilikinya. Karena rajah kuda itulah dirinya kembali mengalami peristiwa yang memb uatnya sengsara. Ketika Maneka hampir dibunuh untuk dijadikan korban persembahan, Hanoman datang menolongnya.

(23) Maneka dibekap dengan tangan. Setelah itu jalan darahnya ditotok, sehingga ia menjadi lumpuh. Ia masih sadar,bisa berpikir, dan melihat semuanya, tapi terkulai seperti seonggok karung, tidak bisa berkata-kata. Sosok-sosok berbaju hitam seperti sosok yang memanggulnya itu berkelebat cepat di antara semak belukar dan pepohonan yang terdapat di tepi danau. (Ajidarma, 2004: 301)

(24) ”Saudara-saudaraku, kita akan menguliti punggung perempuan ini, memajang gambar kuda itu di kuil pemujaan kita sebagai tolak bala, dan mengubur perempuan ini hidup-hidup di puncak gunung, sebagai persembahan kepada para dewa!” (Ajidarma, 2004: 310)

(25) Sang Hanoman datang dari angkasa tepat pada waktunya. Pisau melengkung itu sudah terayun menuju punggung Maneka. (Ajidarma, 2004: 314)

Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut dan menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang terhukum. Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang Gurun Thar tanpa ampun.

(26) Mereka melepaskan pisau-pisau terbang mereka, namun Hanoman cukup mengibaskan tangan untuk menepisnya.

”Laknat! Nyahlah Kalian!”

(50)

36

biadab itu ditelan bumi. Lolongannya terdengar jauh dan tidak menerbitkan rasa iba. Tiga ratus manusia, termasuk perempuan dan kanak-kanak yang berkemungkina n besar menjadi iblis pengacau dunia terkubur seketika. Lubang yang direncanakan untuk mengubur Maneka masih terbuka. Hanoman mengangkat tangannya dan tertanamlah sebuah totem di lubang itu, tinggi menjulang di puncak bukit, berkisah tentang 300 manusia jahat yang terhukum. (Ajidarma, 2004: 315)

Sementara itu, Satya kebingungan mencari Maneka. Satya mengikuti jejak Maneka, menyusuri lembah, bukit, dan sungai. Dalam pencariannya Satya tiba di sebuah desa yang mengetahui kisah bandit Gurun Thar yang menculik Maneka. Satya tersentak karena mengetahui bandit-bandit tersebut berniat menjadikan Maneka sebagai korban. Dia kembali terkejut karena ternyata mereka mencari perempuan berajah kuda untuk dijadikan korban berdasarkan cerita Walmiki. Tanpa disengaja Satya berhasil bertemu Walmiki di pasar. Satya pun mulai bercerita tentang Maneka yang ingin menuntut nasibnya pada Walmiki sang penulis cerita. Walmiki terharu dengan kisah Satya, padahal dirinya sendiri pun lupa telah menuliskan kisah yang begitu mengharukan tentang seorang pelacur bernama Maneka.

(27) Satya bangkit. Ia berjalan menuju ke tepi danau. Dengan segera tujuan hidupnya menjadi lebih pasti, yakni mencari Maneka sampai ketemu, meski ia tak tahu apakah mungkin. (Ajidarma, 2004: 322)

(28) Cerita Satya sangat lama, Walmiki bagaikan tenggelam dalam dunia yang dibangunnya sendiri. (Ajidarma, 2004: 365)

(51)

mereka sendiri. Walmiki pun menemui Maneka. Perbincangan antara Walmiki dan Maneka berlangsung lama sekali karena banyak hal yang dijelaskan Maneka dan Walmiki tidak mengerti. Maneka pun akhirnya berhasil undur diri dari cerita yang ditulis Walmiki.

(29) ”Apakah engkau tidak pernah bahagia, anakku?”

Maneka teringat Satya. Ia mengangguk. Walmiki melihat cahaya kabahagiaan di matanya, dan tersenyum.

”Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan itu,” katanya. Maneka ternganga.

Engkau harus mencarinya sendiri.”

Maneka dan Satya akhirnya bertemu dan keduanya berhasil menemukan Kitab Omong Kosong bagian pertama, Dunia Seperti Adanya Dunia. Setelah pertemuan Walmiki dan Satya, ternyata Walmiki menuntun Satya agar dapat menemukan Maneka dan demikian pula sebaliknya. Keduanya pun bertemu dalam suasana haru. Dalam pertemuan itulah, tanpa sengaja keduanya berhasil menemukan Kitab Omong Kosong.

(30) Maneka berlari ke luar dari hutan pinus dan melihat Satya. Ah, benar-benar Satya! Ia sudah mengira! Satya menunggang kuda zanggi yang perkasa dan sedang menuju ke arahnya. Keduanya makin dekat. Angin menghembuskan bau tanah basah. Satya melompat turun dan berlari. (Ajidarma, 2004: 378)

(31) Cahaya senja yang menipis berakhir pada sebuah keropak di atas kotak batu setinggi satu meter. Satya mendekatinya, dan membaca lembarannya yang pertama tanpa menyentuh.

Kitab Omong Kosong Bagian Pertama: Dunia Seperti Adanya Dunia. (Ajidarma, 2004: 381-382)

(52)

38

banyak hal. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Gunung Kedalisada dan mencari keempat bagian Kitab Omong Kosong yang lain.

(32) Untuk sesaat keduanya masih ragu. Rasanya mereka telah mengambil terlalu banyak hal tanpa pernah memberi. Namun kehadiran Sang Hanoman tidaklah seperti sosok yang membuat mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang penuh kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat Satya dan Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke piring dan memakannya dengan lahap. (Ajidarma, 2004: 388)

(33) Mereka masih ingat apa yang dikatakan wanara berbulu putih keperak-perakkan itu, bahwa mereka harus mencari empat bagian Kitab Omong Kosong. (Ajidarma, 2004: 400)

Penyelesaian terjadi ketika Satya dan Maneka menemukan semua bagian Kitab Omong Kosong dan berhasil memahami isinya. Bagian kedua adalah Dunia Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang dikatakan manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa disadari manusia, keberadaan sebuah benda sebenarnya tidak pernah ada. Dunia menjadi ada, karena manusia memandangnya dan memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah omong kosong bila manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di dalamnya dan masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari bagian ketiga, Dunia Yang Tidak Ada.

(53)

sesungguhnya masih dipertanyakan ada atau tidaknya. Hal ini merupakan penjelasan bagian keempat, Mengadakan Dunia.

Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab Keheningan. Kitab Keheningan berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apa pun di dalamnya. Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa yang dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat menghancurkan dan membangunnya kembali.

(34) Maneka berhenti. Dari kantong dalam rompinya, Satya mengeluarkan sebuah bungkusan. Maneka membuka bungkusan itu. Ternyata sebuah keropak. Tak lain dan tak bukan Kitab Omong Kosong Bagian Dua: Dunia Seperti Dipandang Manusia. (Ajidarma, 2004: 450)

(35) Satya mulai mempelajari Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada. (Ajidarma, 2004: 520)

(36) Kitab Omong Kosong Bagian Empat berbicara tentang bagaimana mengadakan kembali dunia, bagaimanakah caranya dunia bisa ada? (Ajidarma, 2004: 582)

(37) Ia teringat Kitab Keheningan yang tidak berhuruf itu, dan seketika Satya mendapat pencerahan. (Ajidarma, 2004: 613) Selesaian juga terjadi pada Walmiki. Tokoh-tokohnya bermunculan dan menuntut untuk lepas dari cerita Walmiki. Walmiki pun memberi kebebasan pada mereka untuk undur diri dan menulis cerita sendiri. Walmiki pun akhirnya meninggal. Selesaian juga terjadi pada Hanoman. Hanoman yang sudah tua akhirnya moksa.

(54)

40

juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan kemanakah ia kan pergi? (Ajidarma, 2004: 600)

(39) Setelah mati tubuh Hanoman menyatu dengan tanah. Ia moksa tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang langitnya kemerah- merahan manjadi saksi kematiannya. (Ajidarma, 2004: 616)

2.2 Tokoh Utama

Tokoh-tokoh utama dalam KOK adalah Rama, Satya, Maneka, Hanoman dan Walmiki. Pemilihan tokoh-tokoh utama sebagai bahan penelitian karena melalui tokoh utamalah biasanya seorang pengarang menjelmakan diri. Melalui tokoh utama pula pengarang bebas berbicara tentang hal- hal yang disetujui maupun ditolaknya.

Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki intensitas kehadiran yang tinggi dalam sebuah cerita. Tokoh utama selalu diutamakan penceritaannya. Tokoh utama biasanya hadir dalam peristiwa-peristiwa penting dalam cerita dan mengambil bagian dalam peristiwa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki digolongkan sebagai tokoh utama karena mereka mengambil peranan penting dalam cerita. Tokoh-tokoh ini juga mendapat porsi paling banyak dalam penceritaan.

(55)

Dilihat dari hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, Satya dan Maneka tidak berhubungan secara langsung dengan Rama, tetapi memiliki hubungan secara tidak langsung. Walaupun memiliki hubungan secara tidak langsung dengan Rama, Satya dan Maneka mendapat imbas dari Persembahan Kuda yang dilakukan Rama. Karena kehancuran yang diakibatkannya, Satya dan Maneka bertekad mengubah nasib mereka. Maneka bahkan memiliki rajah kuda yang digunakan Rama untuk Persembahan Kuda.

Rama merupakan tokoh utama, karena kehadiran Rama dalam cerita adalah sebagai penyebab segala kejadian lain dalam KOK. Walaupun Rama diceritakan pada awal saja, tetapi dia adalah tokoh yang menentukan perkembangan plot. Persembahan Kuda yang dilakukannya menyebabkan Satya dan Maneka menderita, Hanoman bahkan meninggalkan Ayodya karena tidak sejalan lagi dengan Rama. Sinta yang terlunta- lunta juga menjadi korban keragu-raguan Rama yang mulai terpengaruh Gelembung Rahwana.

Hano man juga menempati posisi sebaga i tokoh utama. Hanoman banyak diceritakan dalam KOK, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun tidak muncul dalam setiap bab, Hanoman merupakan tokoh yang berpengaruh besar dalam perkembangan plot. Dialah pemegang Kitab Omong Kosong yang selama ini menjadi rebutan. Hanoman dicari-cari orang banyak, termasuk Satya dan Maneka.

Walmiki merupakan tokoh utama. Walmiki adalah empu yang meriwayatkan

(56)

42

2.3 Penokohan Tokoh Utama

Penokohan merupakan cara penggambaran tokoh baik secara fisik maupun kejiwaannya. Penokohan menjadi salah satu cara pemaknaan tokoh dalam sebuah karya fiksi. Melalui penokohan pula dapat diungkap sikap-sikap yang mendasari suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang tokoh.

2.3.1 Maneka

Maneka adalah perempuan berusia 20 tahun. Saat usianya masih belia, dia dijual ke rumah bordil. Semenjak itu Maneka menjalani kehidupan sebagai pelacur. Secara fisik, Maneka digambarkan sebagai pelacur muda yang cantik dan menawan. Kulitnya putih dan rambutnya panjang.

(40) Seorang pelacur memutar badan Maneka, dan di punggungnya yang terbuka, setelah menyampingkan rambut panjangnya, memang terlihat rajah seekor kuda yang berlari. (Ajidarma, 2004: 104)

(41) “Tahukah kamu mengapa kita dijual ayah kita?”

“Tentu, karena kita miskin dan kita bodoh dan kita orang paria.” (Ajidarma, 2004: 107)

Maneka memiliki seorang sahabat bernama Sarita. Maneka dan Sarita sudah saling mengenal sejak keduanya sama-sama dijual ke rumah bordil dan dijadikan pelacur. Bersama Sarita, Maneka melarikan diri dari rumah pelacuran yang selama ini mengurungnya.

(42) Namun Sarita dan Maneka saling menyayangi seperti saudara… (Ajidarma, 2004: 106)

(57)

pelariannya, melainkan harus ikut lari juga. (Ajidarma, 2004: 113)

Maneka adalah perempuan yang memiliki kemauan keras. Dia juga digambarkan sebagai perempuan yang mempunyai rasa ingin tahu yang begitu besar. Walaupun dia bodoh dan tidak bisa membaca maupun menulis, Maneka memiliki keinginan kuat untuk terus berkembang. Maneka juga sangat suka mendengarkan cerita. Maneka sering meminta Satya untuk bercerita. Jika dalam perjalanan Maneka menemukan seorang tukang cerita sedang berkisah, Maneka selalu mendengarkan dengan saksama.

(44) Sepanjang perjalanan Maneka mempelajari huruf- huruf yang diberitahukan Satya. Kata pertama yang ingin diketahuinya adalah cinta, karena begitu banyak kata itu dalam Ramayana. Ia berpikir betapa suatu hari bisa menuliskan cerita. (Ajidarma, 2004: 126)

(45) “Maneka!” Maneka menoleh.

“Kamu jadi makan daging bakarnya atau tidak?” “Aku mau dengar dulu.”

“Terserah, aku sudah lapar sekali, aku makan dulu.”

Maneka memerhatikan tukang cerita lagi. (Ajidarma, 2004: 133) (46) “Aku ingin bisa menulis Satya.” (Ajidarma, 2004: 164)

(58)

44

mengubah nasibnya. Didorong oleh keinginan yang kuat pula Maneka berusaha melarikan diri dari rumah bordil. Dibantu seorang pria bersorban yang tak dikenal dan Sarita, Maneka memulai perjalanannya mencari Walmiki untuk mengubah nasibnya.

(47) Maneka menggaruk-garuk seluruh tubuh sebisanya. Ia meringkuk di dalam keranjang seperti seonggok karung. Risiko perempuan yang lari dari rumah pelacuran sudah jelas, hukumannya adalah dirajam. Para pelacur hidup seperti budak belian, tidak memiliki kebebasan, dipergunakan tubuhnya seperti sapi perahan. (Ajidarma, 2004: 111)

(48) Maneka kini mengerti bahwa dunia tidak terbatas kepada apa yang bisa dilihatnya, di balik semesta ada semesta, dan ia tahu bahwa masih terlalu banyak hal bisa dipela jarinya. (Ajidarma, 2004: 123)

(49) Itulah yang membua t Maneka ingin mencari Walmiki. Jika ia bisa menentukan nasib para raja, kenapa ia harus tidak peduli kepada seorang pelacur seperti Maneka? Empu yang baik bukan hanya peduli kepada orang besar, justru terutama mereka harus peduli kepada orang-orang kecil. Maneka percaya, jika memang kehidupannya dituliskan oleh Walmiki, maka Walmiki bisa mengubah suratan takdirnya yang malang. (Ajidarma, 2004: 124) Sebagai pelacur yang telah berpengalaman menghadapi laki- laki, Maneka tahu benar bahwa Satya menyimpan perasaan cinta padanya. Akan tetapi, Maneka lebih suka menganggap Satya tidak lebih dari seorang teman. Masa lalunya membuat Maneka trauma dan lebih berhati- hati dalam menghadapi laki- laki.

(59)

menolongnya di sungai itu, dan kini mengajarinya membaca pula. (Ajidarma, 2004: 125)

Maneka memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang segala hal. Selain itu, dia juga memiliki jiwa petualang yang selalu haus akan pemenuhan. Maneka adalah tipe orang yang percaya bahwa tujuan hidupnya tidak akan meninggalkannya, walaupun dia memiliki keinginan-keinginan lain. Karena itulah, saat Maneka harus memilih antara mencari Kitab Omong Kosong atau mencari Walmiki, Maneka dengan pasti memutuskan untuk mencari Kitab Omong Kosong.

Maneka merasa memiliki tanggung jawab karena memilki peta yang menunjukkan di mana Kitab Omong Kosong berada. Tanggung jawab ini berhubungan dengan masa depan ilmu pengetahuan dan peradaban yang telah hancur lebur akibat bencana Persembahan Kuda.

Maneka sebenarnya bimbang apakah jalan hidupnya benar harus diubah dengan menuntut Walmiki menuliskan cerita yang berbeda atau memang demikian adanya. Saat memutuskan untuk mencari Kitab Omong Kosong, Maneka merasa menemukan sesuatu yang baru dalam dirinya.

(51) “Tapi adanya peta itu pasti bermakna,” ujar Maneka, “kalau tidak, untuk apa peta itu ada?”

Mereka berdua memandangi peta itu.

“Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan peta itu,” kata Satya.

‘Tapi peta itu ikut menentukan nasib kita.” (Ajidarma, 2004: 205)

(52) “Bagaimana dengan Walmiki?”

(60)

46

hidupnya. Namun benarkah garis kehidupan manusia ditentukan seperti itu? Selama dalam perjalanan Maneka merasa sesuatu tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari dalam dirinya, bukan seperti kodrat, bukan seperti takdir, sesuatu yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara itu sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya. (Ajidarma, 2004: 206-207)

Saat Maneka diculik oleh para bandit Gurun Thar, Maneka menunjukkan sikap teguh dan berpegang pada kepribadian. Walaupun dia hanya seorang bekas pelacur, dia tidak mau orang lain meremehkannya. Maneka tidak mau memberikan apa pun pada para bandit itu.

(53) “Tapi karena ia diculik, sama seperti Rahwana menculik Sinta, ia tidak akan pernah sudi memberikan apa pun yang mereka kehendaki.

Berdasarkan analisis penokohan Maneka yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur yang berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk mempelajari segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta.

2.2.2 Satya

(61)

(54) Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pembunuhan. (Ajidarma, 2004:90)

(55) Satya masih 16 umurnya, tapi dia sedang jatuh cinta. (Ajidarma, 2004:125)

Hidup sebatang kara tidak membuat Satya lantas menjadi manusia yang tanpa harapan. Satya adalah gambaran pemuda yang selalu optimis menghadapi masa depannya. Hal ini terbukti saat seluruh sanak saudaranya telah mati, Satya tetap menjalankan kegiatannya sehari- hari seperti mencangkul dan menggembalakan ternak. Kesedihan sebenarnya masih dirasakan Satya, tetapi dia tidak mau larut dalam kesedihan dan berusaha melupakan semuanya. Satya pun berusaha membangun kembali kehidupannya, berusaha mengembalikan keadaan seperti saat sebelum bencana Persembahan Kuda menghancurkan semuanya.

(56) Setelah mencangkul seharian, rasanya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Satya. Untuk pertama kalinya tiba-tiba ia merasa puas. Sudah lama perasaan seperti ini tidak dialaminya. Setidaknya perlu satu tahun setelah bencana Persembahan Kuda itu berlalu, ia merasa mulai bisa merasakan sesuatu yang berhubungan dengan rasa senang. Sebelumnya dunia selalu terasa muram, berat, dan menekan. Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang tercinta dalam seketika karena pemb unuhan. (Ajidarma, 2004:91)

(62)

48

tak pernah menduga bahwa ia kini harus membangun kembali semuanya seperti nenek moyangnya. (Ajidarma, 2004: 91)

Walaupun usianya masih muda, Satya adalah sosok pemuda yang bijaksana dan penuh kesabaran. Hal ini terbukti setiap timbul permasalahan antara Satya dan Maneka, Satya selalu mampu tampil sebagai pemecah masalah. Satya juga mengajarkan banyak hal pada Maneka yang kurang berpengalaman menghadapi dunia luar.

(58) “Barangkali nanti…’’ Satya berpikir tentang keadaan mereka. Penderitaan yang disebabkan Persembahan Kuda telah membuatnya bijaksana. (Ajidarma, 2004:126)

Satya sangat mencintai Maneka. Sejak pertama kali menemukan Maneka terbawa arus sungai, Satya sudah menyimpan rasa cinta yang mendalam pada Maneka. Walaupun ia tahu cintanya tak berbalas, Satya tidak pernah putus asa. Demi rasa cintanya pula, Satya memaksa menemani Maneka berkelana mencari Walmiki. Satya juga selalu menuruti segala permintaan Maneka. Rasa cintanya yang begitu besar pada Maneka membuat Satya sangat kasih dan sayang pada perempuan itu. Satya sangat berhati- hati dalam menjaga Maneka. Dia tidak mau Maneka kembali jatuh ke jalan kelam yang pernah dilaluinya.

(59) Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka

memaksakan diri mengantarnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana perempuan muda seperti Maneka akan mencari Walmiki yang belum jelas ada di mana. (Ajidarma, 2004: 125) (60) Namun Satya tahu bahwa menjadi pelacur adalah pekerjaan

(63)

(61) “Sampai manakah kita akan mencari Walmiki?’’ Maneka bertanya.

“Ke mana pun kamu menghendakinya.” (Ajidarma, 2001:153) (62) … Satya akan melakukan segalanya demi Maneka. (Ajidarma,

2004:206)

Satya adalah pemuda yang sabar dan penuh pengertian. Dia berusaha memahami perasaan Maneka yang menutup diri pada laki- laki. Satya tidak mau memaksakan rasa cintanya pada Maneka. Dia tahu masa lalu Maneka yang suram tidak mudah untuk dihapuskan.

(63) Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri dan menjaga kepribadian. (Ajidarma, 2004:161)

Walaupun hanya seorang pemuda penggembala, Satya memiliki wawasan yang luas. Dia juga gemar bercerita. Satya sering memperdengarkan cerita-cerita kepada Maneka selama dalam perjalanan. Kegemarannya membaca membuat Satya memiliki keropak di dalam peti yang berisi berbagai cerita. Satya juga memiliki kemampuan membaca dan menulis yang cukup mengagumkan. Dengan memanfaatkan kemampuannya ini, Satya bekerja di perpusatakaan sebagai penyalin naskah-naskah yang telah rusak akibat Persembahan Kuda. Dia bahkan sangat menyukai pekerjaan barunya ini, bahkan seandainya tidak merasa bertanggung jawab mengantar Maneka dan rasa cintanya yang begitu besar pada Maneka, Satya memilih tinggal dan bekerja sebagai penyalin naskah di perpustakaan Negara.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Beberapa faktor penting yang sangat perlu diperhatikan agar supaya berhasil dalam budi- daya udang vanamei pola tradisional plus, di antaranya adalah persiapan tambak

E-SPT PPN adalah SPT PPN dalam bentuk program aplikasi yang merupakan fasilitas dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak yang digunakan untuk merekam SPT

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh hasil belajar mata pelajaran produktif akuntansi, program praktik kerja industri, dan self efficacy terhadap kesiapan kerja siswa

Menyangkut masuknya Islam ke Aceh telah diadakan seminar sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978, sebagai kelanjutan seminar yang pernah diadakan sebelumnya di Medan tahun

Kisah-kisah yang diceritakan al-Qur’an umumnya telah dikenal dengan baik oleh masyarakat Mekah, baik sumber-sumber pengetahuan tersebut didapatkan dari tradisi pengetahuan

Hasil perhitungan yang menghasilkan plot tegangan oxide dengan rapat arus terobosan pada gate oxide MOS yang dilakukan dengan metode integrasi Gauss-Legendre dibandingkan

[r]