• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iya, Sa. Setidaknya, gue gak jadi ikan mati yang sia-sia. Abyra berbalik mengelus lengan Brisa. Mungkin, Tuhan hanya memberikan apa yang kita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Iya, Sa. Setidaknya, gue gak jadi ikan mati yang sia-sia. Abyra berbalik mengelus lengan Brisa. Mungkin, Tuhan hanya memberikan apa yang kita"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

… Abyra telah menyelamatkan nyawa Neneknya Raka. Dan kejadian itu memang benar-benar kebetulan. Memang itulah yang baru saja terjadi. Namun apakah perasaannya juga akan terselamatkan? Mungkin untuk saat ini bisa saja terjadi seperti itu. Raka sendiri telah sedikit merubah sikapnya pada Abyra. Tapi apa yang Abyra rasakan? Justru saat ini ia sudah benar-benar lelah dan telah benar-benar melepaskan Raka. Ia tidak lagi berharap. Tidak lagi.

Hari berganti hari, sudah beberapa minggu selang kejadian di rumah sakit itu. Abyra sendiri tidak mengharapkan apa-apa dari situasi tersebut karna ia sendiri tulus membantu sekalipun saat itu yang sedang membutuhkan transfusi darah bukan dari keluarga Raka. Dan perubahan sikap Raka padanya, tentu ia artikan sebagai tanda balas budi karna ia telah menolong Neneknya.

Sayangnya, Abyra terlanjur merasa hampa. Terlanjur hilang semangat. Dirinya sendiripun merasa heran. Seharusnya kan hal ini yang ia tunggu-tunggu. Mengenai perasaan? Masih sama. Perasaannya masih sama. Hanya saja, lelah? Mungkin.

“Bagus, By. Berarti lo udah semakin dewasa ngejalanin hidup. Gue sendiri belum tentu bisa seperti lo. Emang harus tulus.” Brisa mengusap lengan Abyra perlahan. Saat ini mereka tengah menghabiskan sore hari mereka di perpustakaan kampus. Abyra duduk bersama Brisa dalam satu meja yang menghadap ke sebuah jendela besar yang mengarah ke permandangan danau kecil buatan.

“Sabar ya, Tuhan pasti ngasih jalan yang terbaik kok buat lo, walaupun nanti ending-nya gak harus sama-sama. Tapi setidaknya lo udah belajar dari hal ini.” Brisa sudah tahu mengenai kejadian di rumah sakit. Tahu kalau Abyra tidak sengaja menyelamatkan nyawa Neneknya Raka. Tahu kalau sikap Raka berubah sedikit baik kepada Abyra. Tahu kalau Abyra sendiri tidak terlalu memperdulikan perubahan sikap Raka.

“Iya, Sa. Setidaknya, gue gak jadi ikan mati yang sia-sia.” Abyra berbalik mengelus lengan Brisa. “Mungkin, Tuhan hanya memberikan apa yang kita

(2)

inginkan jika kita sudah siap untuk menerimanya. Dan mungkin, gue emang belum siap. Tuhan belum percaya sama gue, mungkin Tuhan takut kalau dia terluka bila sama gue. Belum punya cinta yang cukup untuk mencintainya. Belum punya kekuatan untuk menjaganya…”

“Hah!” tiba-tiba Brisa membentak Abyra. Tapi saat itu juga ia langsung menutup mulutnya sambil menoleh ke belakang. Takut kalau pengunjung perpustakaan yang lain akan terganggu dengan suaranya barusan.

“Hah?” Abyra menunjukan ekspresi kebingungannya. Dan ia semakin bingung ketia ia mulai melihat Brisa mengeluarkan air mata. Dan kali ini Brisa benar-benar menangis. “Kok lo nangis sih, Sa?”

Brisa menghapus air matanya dan tersenyum. “Gak kenapa-kenapa kok. Udah ah. Tugas gue gak selesai-selesai nih.” Brisa kembali meneruskan kegiatannya mengerjakan tugas. Abyra hanya tersenyum kecil. Ia kembali membaca buku yang awalnya sedang dibacanya. Entahlah mengapa Brisa menangis. Mungkin karna kata-katanya barusan. Abyra hanya merasa hatinya sedikit merasa lega. Mungkin ia memang harus mengistirahatkan hatinya untuk beberapa waktu.

***

Langkah ringan Abyra membawanya menyelusuri sepanjang lorong yang menuju pada ruang kesenian. Hari libur membuat gedung perkuliahan tampak sepi. Saat-saat seperti inilah yang paling ia suka ketika sedang ingin menyendiri. Entah apa yang membuatnya ingin mengunjungi ruangan kesenian sementara orang-orang lebih banyak berada di aula untuk mengunjungi pameran lukisan. Abyra merasa ia sudah puas dengan orang-orang yang memandangi lukisannya. Kini saatnya ia menjauh dari kerumunan orang, dan mengambil waktunya untuk menyendiri.

Sore ini perasaannya sedang tenang. Ia sedang tidak memikirkan apa-apa. Abyra hanya berfikir mungkin akan lebih nyaman jika ia berada di ruang

(3)

kesenian dan memandangi langit sore yang kekuningan dari balik jendela-jendela kayu yang menghadap ke hutan kecil di belakang gedung kampusnya. Atau mungkin ia bisa melukis langit sore yang tampak indah saat itu. Sisa-sisa sinar matahari di balik awan tebal dan menimbulkan garis-garis kekuningan memang selalu menjadi favoritnya. Apalagi sehabis hujan seperti ini, pasti langit makin berwarna jingga dan memberikan permandangan senja yang sangat indah.

Tiba-tiba Abyra merasa jika ia ingin sekali bertemu dengan Raka. Ingin melihat wajah Raka sebentar saja sebelum liburan panjang dimulai. Abyra memang telah mengikhlaskan perasaanya. Memang sudah cukup lama ia menyerah tentang Raka, tapi sedikitpun perasaannya pada Raka tidak pernah berkurang. Perasaannya masih sama. Walau hati kecilnya masih ingin mencoba. Masih ingin berusaha, tapi ia sudah memutuskan untuk menghentikan perjuangannya.

Sikap Raka padanya memang membaik padanya semenjak kejadian di rumah sakit. Namun Abyra tidak mau memanfaatkan situasi tersebut untuk kembali mendekati Raka karna pada saat itu ia memang tulus membantu keluarga Raka. Tidak untuk mencari perhatian Raka ataupun memaksa Raka untuk mau menjadi pacarnya. Sikap baik Raka padanya hanya diartikan sebagai ucapan terimakasih karna ia sudah mau menolongnya. Abyra hanya percaya pada satu hal, bila memang Tuhan mengizinkannya memiliki Raka, pasti Tuhan sudah menyiapkan waktu yang tepat. Kalaupun memang bukan Raka orangnya, pasti Tuhan punya rencana lain untuknya. Abyra sudah menyerahkan semua harapannya pada Tuhan.

Kini ia sudah berdiri tepat di depan pintu ruang kesenian. Semua tampak sunyi. Ia ingat, terakhir kali meninggalkan ruangan kesenian, ia tidak mengunci ruang tersebut. Perlahan Abyra meletakan tangannya di atas gagang pintu. Lalu dengan segera ia membuka pintu tersebut. Seluruh ruangan tampak berwarna kuning terang. Rupanya cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela yang terbuka. Sehingga membebaskan ia untuk membentuk garis-garis sinar yang menerangkan ruang kesenian. Ruang tersebut masih tampak sama ketika terakhir kali ia tinggalkan. Masih banyak

(4)

kanvas yang berdiri tegak di atas sandarannya. Beberapa patung model juga berdiri tidak pada tempatnya. Belum lagi perkakas lainnya yang dibiarkan tak terurus di lantai. Beberapa lukisan yang tidak ikut dipamerkan berjejer di pojok ruangan dengan ditutupi kain putih polos agar tidak terkena debu.

Perlahan Abyra kembali menutup pintu itu. Berjalan perlahan menuju jendela yang ada di sudut ruangan paling belakang. Beberapa kanvas yang berdiri tegak dengan sandarannya memang sedikit mengalihkan pandangannya. Abyra mencoba untuk menyingkirkannya sebagian. Sampai akhirnya ia harus terdiam karna melihat ada seseorang berada di ruangan tersebut. Orang itu tengah duduk di kusen jendela yang terbuka. Jendela-jendela tersebut memang rendah sehingga orang-orang dapat mendudukinya bila mereka membuka jendela. Samar-samar Abyra mencoba untuk melihat siapa orang itu. Cahaya matahari yang menerpa sosok tersebut sedikit menghalanginya.

Dadanya berdegup kencang. Ia membayangkan satu nama dalam pikirannya sebelum ia benar-benar yakin siapa yang sedang duduk di jendela itu. Meyakinkan kalau ia tidak sedang berhalusinasi. Abyra membayangkan kalau saat ini ia melihat Raka tengah duduk sambil membawa setangkai bunga matahari berukuran besar di tangannya. Abyra membayangkan kalau saat itu Raka tengah melihat padanya. Tersenyum dan berjalan perlahan ke arahnya. Sebelum Abyra membayangkan kalau itu semua hanya lamunannya saja, tiba-tiba Raka yang ada di bayangannya itu langsung memeluknya dengan erat.

Abyra tersentak. Ia dapat merasakan seseorang memeluknya. Merasakan degup jantungnya. Mencium bau tubuhnya. Dan ia tidak lagi membayangkan karna yang memeluknya saat ini memang Raka. Sekujur tubuh Abyra terasa lemas. Bagaikan telah berjalan ribuan mil dan akhirnya ia menemukan rumah untuk tempatnya beristirahat. Ia merasa seperti hujan turun di dalam hatinya. Menimbulkan kelegaan seolah telah terjadi kemarau yang berkepanjangan. Ia sedang tidak bermimpi. Ini memang Raka. Raka yang masih setia di hatinya. Abyra menangis. Ia seolah sedang merasa takut kalau ternyata ini hanya mimpi.

(5)

Raka yang tengah menyerah, atau Tuhan yang akhirnya menjawab penantiannya. Abyra memang tidak lagi berharap banyak. Namun saat hal ini terjadi tentu ia tidak dapat menutupi perasaan bahagianya. Ia sedang berfikir, apa yang telah ia lakukan sampai-sampai Tuhan begitu mencintainya sehingga ia tidak perlu lagi mengejar kebahagiaannya, tapi justru kebahagiaannya itulah yang tengah datang padanya. Raka benar-benar datang disaat yang tidak pernah ia duga.

“Jangan pernah menghindar lagi karna gue gak akan kemana-mana.” Suara Raka terdengar perlahan di telinga Abyra. Serentak seluruh kejadian dan kenangan yang pernah Abyra lewati, perjuangannya, doa-doanya, suara-suara tawa yang mengejeknya, semua berkumpul dalam ingatannya. Kini semua seolah terbayar. Seolah Raka telah membukakan pintu rumahnya. Mengizinkan Abyra untuk masuk ke dalamnya. Bernaung di dalam hatinya.

Raka melepas pelukannya. Ia memberikan setangkai bunga matahari berukuran besar pada Abyra. Abyra terus saja menangis tanpa berani menatap wajah Raka. Ia sampai tidak tahu harus berkata apa-apa. Saat itu Raka tersenyum sangat lembut.

“Lo udah cape emang? Sepi loh, gak ada yang gangguin hidup gue.” Abyra langsung tertawa disela-sela tangisnya. Ia tahu Raka baru saja meledeknya. Ternyata Raka menyadari kalau sudah beberapa bulan minggu ini Abyra tidak pernah lagi mengganggunya. Abyra mulai menatap wajah Raka. menatap Mata Raka dari dekat. Dari dulu ia selalu ingin melakukan hal ini. Dari dulu ia ingin sekali dapat menatap mata Raka dari dekat.

“Siapa bilang gue cape? Orang gue lagi libur.” Kali ini Abyra yang membuat Raka tertawa kecil. Tidak ada yang lebih bahagia dari ini. Senja. Bunga matahari. Dan Raka. semua yang ada di sekeliling Abyra adalah hal yang paling disukainya. Namun Raka lebih dari segalanya.

“Kalau gitu mulai besok gue bakal nungguin kejutan apalagi dari lo.” “Kalau gitu lo harus siap-siap jadi cepet tua karna lo bakal gue bikin kesel terus.”

(6)

“Saat ini ada gue dan lo. Dan mulai hari ini, lo boleh menyebutnya dengan kata kita.”

Abyra terdiam. Kata-kata Raka barusan seolah membangunkan ribuaan bahkan jutaan kupu-kupu yang di dalam hati Abyra. Kupu-kupu yang seolah berterbangan di dalam hatinya. Matanya kembali berkaca-kaca. Kemudian yang ia rasakan saat ini bibir menyentuh bibirnya. Menyentuhnya dengan lembut. Terasa hangat.

Raka tertawa kecil setelah melepaskan ciumannya. “Lo cengeng banget sih!” Abyra tidak berkata apa-apa. Ia memang menjadi orang yang paling lemah karna Raka. Namun saat ini ia juga menjadi orang yang paling kuat di dunia ini karna ia memiliki Raka. Ia kembali memeluk Raka. sekali lagi meyakinkan bahwa kebahagiaan sedang ada dipelukannya.

(7)

Raka, pasti sembuh… Pasti…

(8)

Sudah hari ke tiga Raka terbaring di rumah sakit, dan sampai saat ini Abyra tidak pernah berhenti berharap akan kesembuhan Raka. Sekalipun setiap ia mendatangi Mariana untuk menanyakan kondisi Raka, namun Mariana selalu menghindarinya dengan halus. Firasat demi firasat datang menghampiri Abyra, tapi ia selalu menentang semua perasaan tidak enak yang datang kepadanya. Abyra memang mengikhlaskan semua kepada yang Maha Kuasa, namun dalam hati kecilnya, ia tidak pernah rela bila Tuhan mengambil nyawa Raka darinya. Juga dari orang-orang yang menyayanginya.

Hari berganti hari. Setiap jam, menit bahkan detik, apapun yang Abyra lakukan, dalam hatinya ia selalu berdoa. Ia selalu mengharapkan kesembuhan Raka. Ia mengharapkan Raka akan segera tersadar dari koma.

Sudah sejak satu jam yang lalu Abyra hanya berdiam diri di taman utama Rumah Sakit. Kursi taman yang ia duduki tampak dipenuhi dengan beberapa daun kering yang berjatuhan dari dahan pohon. Angin berhembus perlahan. Langit tidak terlalu cerah namun juga tidak mendung. Entah kemana perginya burung-burung gereja yang biasa bermain di sekitar air pancuran. Hanya ada beberapa pasien yang sedang berjalan-jalan mengenakan kursi roda yang didampingi oleh suster.

(9)

Saat ini Abyra sedang menenangkan dirinya. Ia masih ingat beberapa jam yang lalu saat keadaan Raka mendadak mengkhawatirkan. Detak jantungnya sempat terhenti. Ia masih ingat bagaimana Mariana dan beberapa dokter lainnya sedang berusaha membuat jantung Raka kembali berdetak. Dan pada saat itu, Abyra dapat melihat dari luar jendela bagaimana Mariana berusaha dengan alat kejut detak jantung yang ia daratkan pada dada Raka sehingga tubuh Raka berkali-kali terangkat. Bahkan layar monitor pun sebentar-sebentar hanya menunjukan garis lurus saja. Namun Mariana dan suster lainnya terus berusaha hingga dengan izin Tuhan detak jantung Raka kembali berdetak. Walau tidak begitu stabil, ternyata Raka masih diizinkan untuk hidup.

Abyra juga mengingat bagaimana Nyonya Rafata sudah sangat pasrah dengan keadaan Raka. Namun ia juga tidak pernah berhenti berharap. Sambil didampingi Rasca ia hanya bisa memandangi keadaan Raka dari balik jendela sambil menangis perlahan. Bagaimana hati seorang Ibu ketika melihat anaknya sedang berada diambang kematian?

Langit mulai menguning menandakan senja telah tiba. Suara burung gagak terdengar lantang mengelilingi langit sore. Abyra masih belum mau beranjak dari kursi taman. Entah mengapa kakinya terasa berat untuk kembali ke kamar rawat Raka. Ia hanya takut bila kejadian tadi terulang lagi. Mendadak semua rasa takut itu muncul dan menguasai dirinya. Ia benar-benar takut bila ia kembali melihat Raka, kejadian seperti tadi akan terulang kembali.

“Abyra. Masuk yuk. Udara udah mulai dingin loh.” Vicko datang sambil memakaikan mantel berwarna hitam milik Abyra yang biasa dipakainya. Ia menutupi punggung Abyra dengan mantel tersebut. Cuaca hari ini memang begitu dingin walau tidak turun hujan.

“Ko, gue takut banget kalau Raka gak bisa sembuh.” Suara Abyra terdengar lirih. Buru-buru Vicko langsung memeluknya dan mengelus kepalanya. “Gue takut banget kalau Raka benar-benar gak membuka matanya lagi.”

(10)

“Sttt…” dengan lembut Vicko mengusap-usap kepala Abyra. Hatinya juga dapat merasakan kesedihan adiknya. “Kok lo jadi pesimis gini, sih? Aby yang gue tau itu, gak pernah pesimis kayak gini. Lo gak boleh ngomong kayak gitu.”

“Kak Mariana aja gak pernah mau ngasih tau gue tentang keadaan Raka.”

“Ya Mariana cuma gak mau bikin lo kepikiran aja, By.” “Berarti keadaan Raka gak baik, kan?”

Vicko melepas pelukannya. Vicko membenarkan posisi mantel yang dipakai Abyra. Wajah Abyra tampak pucat. Matanya sembab karna menangis. Sambil membenarkan rambut Abyra, Vicko berusaha menenangkan adiknya.

“Semua biar Tuhan yang atur. Tuhan yang tau mana yang terbaik untuk Raka.” Vicko juga menghapus sisa-sisa air mata yang ada di pipi Abyra. “Lo malam ini tidur di rumah aja, ya. Mami sama Papi nanti malam tiba di Jakarta. Mungkin ada baiknya kalau lo pulang ke rumah.”

“Gak, Ko! Besok tuh hari ulang tahunnya Raka. pokoknya nanti malam gue harus ada di dekat dia. Gue mau ngerayain ulang tahunnya dia. Gue mau bersama-sama dia pokoknya.” Ucap Abyra antusias. “Walaupun dia dalam keadaan koma, tapi gue yakin kalau dia itu ada di sekitar kita. Gue gak boleh pergi kemana-mana.”

Vicko langsung terdiam. Mungkin ada baiknya untuk saat ini ia tidak membantah permintaan Abyra. Vicko menatap Abyra sedih. Ia sedih karna sebenarnya ia sendiri sudah mengetahui keadaan Raka yang sebenarnya. Namun ia harus tetap menyemangati Abyra. Ia tidak akan pernah lelah untuk memberikan semangat pada Abyra. Tidak akan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang akan disajikan berupa tuturan yang mengandung kekerasan verbal dalam bentuk tindak direktif dan ekspresif dalam film kartun Kiko. Dua belas episode tersebut

Infeksi HPV pada sel epithel dapat menghasilkan proliferasi sel yang tidak terkendali baik berupa tumor jinak seperti kondiloma akuminata, maupun tumor ganas

The assessment of the effectiveness of Jones-Davis type BRD showed that there was significant similarity of prawn catches between BRD and control nets and significantly

Di dalam skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga, perlindungan pihak

Dari 9 macam kegiatan penilaian hasil belajar oleh pendidik maka yang termasuk kegiatan pelaporan hasil penilaian ada 2 macam yaitu: (1) melaporkan hasil

Sedangkan dengan obesitas mendapat kontribusi sumbangan zat gizi dari kelompok bahan energi, protein, karbohidrat .lemak dan pangan kacang-kacangan tidak berbeda

Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan intrakurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Setelah menetapkan harga final, perusahaan harus pula memikirkan taktik perang harga yang sifatnya jangka pendek dan sebagai tindakan reaktif akan serangan kompetitor