MENGGALI MAKNA KHATAMAN AL-
QUR‟AN DI PONDOK
PESANTREN GIRI KESUMO DEMAK
(STUDI LIVING QUR‟AN)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh: Samsul Arifin Nim: 215-14-023
JURUSAN
ILMU AL QUR‟AN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Samsul Arifin
NIM : 215-14-023
Fakultas : Ushuludin, Adab dan Humaniora.
Pogram Studi : S1 Ilmu al-Qur‟an danTafsir
Menyatakan bahwa penelitian yang kami tulis ini benar-benar hasil karya ilmiah sendiri, bukan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam penelitian ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 04 April 2018 Yang menyatakan,
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
*****
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH MEREKA YANG BISA
MEMBERI MANFAAT UNTUK ORANG LAIN”
(Al-Hadist)
“ANALISA KEBUDAYAAN BUKANLAH SATU ILMU
EKSPERIMENTAL YANG MENCARI SEBUAH HUKUM, TAPI
ADALAH SATU PENAFSIRAN YANG MENCARI MAKNA”
(Clifford Geertz)
*****
Skripsi ini ku pesembahkan untuk bapak dan ibuku yang selalu berjuang untukku,
Saudara – saudaraku yang selalu mendukungku,
Teman-teman senasib seperjuangan yang setiap saat berbagi semangat dan kebahagiaan
Dan almamaterku IAIN SALATIGA
viii
ix
ATA PENGANTAR
ييولبعلا ةس لله ذوحلا
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Menggali Makna Khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri Kesumo
(Studi Living Qur‟an) .” yang disusun guna melengkapi syarat-syarat penyelesaian
strata 1 Pada Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir (IAT) Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Humainora (FUADAH) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah memberi bantuan baik berupa ide, gagasan, kritik, serta pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Dr. Rahmat Haryadi,M.Pd., selaku rektor IAIN Salatiga.
x
4. Dr. Adang Kuswaya selaku dosen Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir yang telah
memberi arahan, bimbingan serta motifasi kepada penulis selama mengikuti studi.
5. Dr. Agus Ahmad Su‟aidi, L.c., M. A., Selaku dosen pembimbing, yang
telah bersedia meluangkan waktu dan dengan sabar memberi bimbingan, dorongan, semangat, dan inspirasi sejak awal penyusunan hingga selesainya skripsi ini di tengah kesibukanya.
6. Para dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora yang
telah memfasilitasi dan memperlancar proses pendidikan.
7. Orang tua, Bapak Rondi dan Ibu Sugiati yang selalu mendoakan dan
mensuport dalam segala hal yang penulis lakukan. Kakak - kakak dan
adek – adeku, semoga kesuksesan selalu Allah berikan kepada kita, untuk
senantisa berbakti kepada orang tua.
8. KH. Nasihun dan Ibuk Lishoh selaku pengasu pondok pesantren
as-Syafi‟iyah Salatiga. atas bimbingan dan nasihat-nasihat beliau.
9. Kepada Pak Nilam dan Latif yang telah membantu dan memotifasi penulis
dari awal sampai akhir.
10.Keluarga IAT 2014, yang menjadi patner akademis dan teman diskusi,
bunda Bicha, Latif, Da‟i, Sayfun, Neni Nenok, Fatimah, Novita, Laila,
xi
semua teman-teman IAT yang belum bisa penulis sebutkan satu per satu. Terimakasih atas motifasi dan dukungannya, tak lupa saya mohon maaf dengan setulus hati atas khilaf saya telah mendholimi diantara kalian semua, semoga Allah SWT memberikan yang terbaik bagi kita masing-masing.
11.Kepada teman-temanku Lu‟luil Mahnun, Latif, Da‟i, Inay, Bunda Bicha,
Abror, Ocim, Neny, sayfun, Bunda Triyana, Ulik, Rima, Aryana, Leni, mas Sofi dan kepada teman-teman KKN posko 34 Sudimoro Fauzi, Andika, Riska, Tifa, Wahyuni, Zaki, Evi dan Laili terimakasih atas dukungan kalian, teruslah berjuang loyalitas tanpa batas.
12.Serta kepada semua pihak yang barangkali belum tersebutkan, kami
ucapkan terima kasih atas segala kontribusi, baik secara pikiran, waktu, motivasi, saran, materi, dukungan, serta doa.
Akhirnya, kami menyadari bahwa, apa yang penulis kerjakan ini, bukanlah suatu hal yang sempurna dan tidak menuai kritik. Justru berbagai masukan berupa kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca, adalah nutrisi bagi kami dalam rangka mendekatkan diri pada kesempurnaan, walaupun hal itu bersifat mustahil. Selamat membaca.
xii
ABSTRAK
Arifin, Samsul. 2018. Menggali Makna Khataman al-Qur‟an di Pondok
Pesantren Giri Kesumo (Studi Living Qur‟an). Dr. Agus Ahmad Su‟aidi Lc, M.A. Keyword: Khataman, living Qur‟an, metode verstehen.
Penelitian skripsi ini membahas tentang fenomena sosial living Qur‟an, yaitu
khataman al-Qur‟an di pondok pesantren Giri Kesumo yang dilahirkan dari praktik
-praktik komunal yang menunjukan resepsi masyarakat atau kelompok tertentu
terhadapa al-Qur‟an. Dalam hal ini adalah pondok pesantren Giri Kesumo yang
berada di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. Kegiatan ini terbuka untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Adapun surat yang dibacakan dalam
prosesi khataman al-Qur‟an yaitu dari surat ad-D uha hingga surat an-Nas, yang
dibacakan oleh para khufadz.
Fokus pembahasan dari penelitian skripsi ini, adalah terkait bagaimana praktik
khataman al-Qur‟an dan bagaimana penulis dan partisipan memaknai praktik
khataman al-Qur‟an di pondok pesantren Giri Kesumo, berdasarkan metode verstehen
Max Weber, baik itu makna ekspresif maupun makna dokumenter. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, dalam proses pengumpulan data peneliti
mengunakan empat metode yaitu metode verstehen, observasi, interview dan
dokumentasi. Mengenai analisa yang digunakan dalam skripsi ini penulis
mengunakan metode vertehen, yaitu upaya memahami secara kejiwaan kelakuan
orang lain serta karya cipta yakni upaya interpretatif untuk memberikan makna sesuatu yang dianggap pada hakikatnya bersifat fakta obyektif.
Hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu menunjukan bahwa praktik khataman al-Qur‟an di pondok pesantren Giri Kesumo dilaksanakan rutin setiap satu minggu sekali yaitu setiap malam jum‟at. Dalam prosesinya diawali dengan tawasul,
khataman al-Quran, doa khataman al-Quran, rotibul athos, maulid ad-dziba‟iy,
mahalul qiyam, doa maulid ad-dziba‟iy, tausiah dan diahiri dengan doa penutup.
Adapun makna yang diperoleh dari kegiatan khataman al-Qur‟an yaitu makna
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN KEASLIAN TULISAN... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMANPENGESAHAN... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI... vii
KATA PENGANTAR... ix
G. Metodologi Penelitian………... 12
H. Sistematika ………... 18
BAB II KERANGKA TEORI……….. 21
A. Pengertian Living Qur‟an……….. 21
B. LivingQur‟andalam Lintasan Sejarah………... 22
C. LivingQur‟andan Hadis Sebagai Bagian lived Texts, lived Islam……… 24
D. Variasi Respon Umat Islam terhadap al-Qur‟an………... 27
xiv
BAB III SELAYANG PANDANG PONDOK PESANTREN GIRI KESUMO
DEMAK DAN PELAKSANAAN KHATAMAN……….
44
A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak……….. 44
1. Letak Geografi dan Demografi.………... 45
2. Sarana dan Prasarana………... 45
3. Sejarah Beririnya Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak………. 45
4. Visi dan Misi………... 54
d. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat………... 61
e. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Giri Kesumo………... 62
xv
5) Maulid ad-Dziba‟iy………... 74
6) Mahalul Qiyam………... 74
7) Doa Maulid ad-Dziba‟iy………... 76
8) Tausiyah oleh KH. Munif Zuhri………... 76
9) Doa ………... 77
d. Propert atau Alat yang digunakan………... 78
e. Motifasi Pelaksanaan Khataman………... 79
BAB IV ANALISIS MAKNA TERHADAP KHATAMAN AL-QUR‟AN BERDASARKAN METODE VERSTEHEN MAX WEBER………... 80 A. Makna Khataman al-Qur‟an………... 80
1. Makna Ekspresif………... 81
2. Makna Dokumenter………... 86
BAB V PENUTUP………... 88
A. Kesimpulan………... 88
B. Saran………... 89
DAFTAR PUSTAKA………... 91
1
maupun yang bathil. Ayat-ayatnya merupakkan jaminan hidayah bagi manusia dalam
segala urusan dan setiap keadaan serta jaminan bagi mereka untuk memperoleh cita-cita tertingi dan kebahagiaan terbesar di dunia dan akhirat. Barang siapa mengamalkannya, mendapatkan pahala, dan barang siapa menyeru orang lain kepadanya, mendapatkan petunjukkejalan yang lurus. Rasulullah saw bersabda "
Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (al-Qur‟an) dan
Allah merendahkan kaum yang lainnya (yang tidak mau membaca, mempelajari dan
mengamalkan al-Qur‟an”. (HR. Muslim).1
Kajian terhadap al-Qur‟an, dapat menghasilkan pemahaman yang beragam
sesuai kemampuan masing-masing. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan melahirkan perilaku yang beragam pula. Berdasarkan catatan sejarah, perilaku atau
praktik memfungsikan al-Qur‟an dalam kehidupan praktis diluar kondisi tekstualnya
telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana dijelaskan M. Mansur bahwa Nabi SAW. pernah melakukan praktik seperti ini, yaitu ketika surat
1
2
al-fatihah dipakai sebagai media penyembuhan penyakit dengan cara ruqyah, atau
ketika surat al-Muawadatain dibaca untuk menolak sihir.2
Untuk mendapatkan pemaknaan al-Qur‟an terhadap makna hidup mereka,
orang-orang terus ingin mencoba berinteraksi dengan al-Qur‟an tidak melalui
pendekatan teks saja. Akan tetapi, perilaku orang tersebut dalam berinteraksi dengan al-Qur‟an, pada akhirnya akan memunculkan mode of conduct(pola perilaku). Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi orang tersebut terhadap objek yang
dihadapi, yakni al-Qur‟an. Asumsi-asumsi inilah yang kemudian membentuk mode of
trought (pola berfikir). Al-Qur‟an secara teologi diyakini sebagai kitab yang sangat istimewa dimata penganutnya. Hingga keragaman bentuk interaksi yang ada antara al-Qur‟an dan penganutnya adalah juga termasuk sebab keistimewaan selain
pemaknaan yang lahir dari teks itu sendiri.3
Living Qur‟an dalam penelitian agama merupakan suatu gejala sosial yang
disemangati oleh al-Qur‟an. LivingQur‟an dimaksudkan sebagai suatu studi di mana
individu atau sekelompok orang memahami al-Qur‟an (penafsiran). Living Qur‟an
adalah tentang bagaimana al-Qur‟an itu disikapi dan direspon masyarakat muslim.
Oleh karena itu maksud yang dikandung bisa sama, tetapi ekspresi dan ekspektasi
2
Sahiron Syamsudin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: TH-Pres Teras,2007),hlm.3
3Ahmad Anwar, skripsi “
3
terhadap al-Qur‟an antara kelompok satu dengan kelompok yang lain, begitu juga
antar golongan, antar etnis, dan antar budaya.4
Salah satu fenomena sosial living Qur‟an yang terjadi dalam masyarakat Islam
yang menjadi pembicaraan dalam penelitian ini terdapat di pondok pesantren Giri kesumoDemak. Pondok pesantren Giri Kesumo merupakan pondok yang
melestarikan tradisi khataman al-Qur‟an, yang dilaksanakan secara rutin setiap
seminggu sekali.
Khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak dilakukan setiap
hari Jumat setelah sholat isya‟. Penyelengaraanya adalah para khufadz dengan
membaca surat ad-Duha hingga surat an-Nas kemudian dilanjutkan pembacaan
ad-Dziba‟iy. Prosesinya memakan waktu kurang lebih empat jam. Prosesinya sebelum
pelaksanaan khataman diawali terlebih dahulu dengan bertawasul kepada nabi
Muhammad, kepada para sahabat dan para ulama. Setelah itu pembacaan
ad-Dziba‟iy, kemudian dilanjutkan dengan ceramah yang disampaikan oleh pengasuh
pondok dan diahiri dengan pembacaan doa.
Tradisi memang sudah melekat pada setiap individu maupun kelompok. Setiap individu maupun kelompok mempunyai tradisi yang mungin berbeda dari kelompok yang lain. Dapat kita lihat setiap malam Jumat di Pondok PesantrenGiri Kesumo
Demak melaksanakan tradisi khataman al-Qur‟an sedangkan pondok pesantren yang
lain melakukan yang berbeda, misalnya pondok pesantren Darusshalihin Demak
4
setiap pagi setelah sholat subuh melaksanakan mujahadah. Pondok pesantren al-Itqon
Semarang melaksanakan kajian kitab tafsir setiap minggu pagi setelah solat subuh
dan Pondok Pesantren Miftahul Huda Demak melaksanakan pembacaan ad-Dziba‟iy
setap malam Jumat. Semua itu berbeda pada kelompok atau komunitas satu dengan yang lain disebabkan karena maksud dan tujuan.
Pelaksanaan khataman al-Qur‟an di pondok pesantren Giri Kesumo menjadi ciri
khas tertentu dan berbeda di pondok pesantren lain. Sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap khataman al-Qur‟an di Pondok PesantrenGiri Kesumo
Demak. oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui pemaknaan dari khataman al-Qur‟an
serta memaparkan bagaimana prosesi khataman al-Qur‟an berlangsung.
Dalam penelitian ini, untuk mengungkap pemaknaan khataman al-Qur‟an, serta
bagaimana prosesi khataman berlangsung, maka peneliti mengunakan kajian living
Qur‟an. Living Qur‟an merupakan kajian atau penelitian tentang berbagai peristiwa
sosial dan terkait dengan kehadiran keberadaan al-Qur‟an di komunitas muslim
tertentu.5Selain itu pula living Qur‟anadalah salah satu kajian yang menangkap
berbagai pemakanaan atau resepsi masyarakat terhadap al-Qur‟an. Fenomena yang
hidup di tengah masyarakat muslim terkait dengan al-Qur‟an sebagai objek studi
itulah yang dijadikan model living Qur‟an.6
5
Sahiron Syamsuddin, Metodologi penelitian Qur‟an dan Hadis ( Yogyakarta: TH Press, 2007), hlm.8
6
5
Selanjutnya yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti khataman al-Qur‟an
di Pondok PesantrenGiri Kesumo Demak adalah jumlah pesertanya yang relatif banyak yaitu mencapai ribuan orang. Peserta yang banyak tersebut datang dari berbagai daerah dan berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat yang berasal dari sekitar pondok bisa datang dengan berjalan kaki. Bagi peserta yang dari jauh biasanya datang dengan sepeda ontel, sepeda motor, mobil dan bus. Banyak dari mereka yang datang dari jauh karena berasal dari daerah luar kota misalnya saja dari daerah kota Semarang, kab Semarang dan kab Purwodadi. Mereka tentunya tidak bisa di tampung dalam aula sebagai tempat khataman tersebut. Kebanyakan peserta berada didalam masjid dan sekitar masjid dan di depan rumah warga dengan beralas seadanya yang mereka bawa dari rumahnya masing-masing.
Jamaah mulai datang setelah sholat Isya‟ usai, bahkan ada yang datang sebelum
sholat Isya‟ dan berjamaah dimasjid dengan tujuan memperoleh tempat didalam
masjid. Peserta mulai padat pada pukul 19.30, peserta terus berdatangan sapai pukul 21.00, begitu juga ada yang datang terlambat hingga pengajian hampir selesai.
Namun demikian ternyata peserta yang datang ke pengajian tidak semuanya berniat untuk mendengarkan khataman akan tetapi ada juga yang tujuanya sekedar mendengarkan tausiyah dari sang kyai. Ada lagi yang tujuanya untuk berdagang. Biasanya barang yang dijual adalah kitab, buku, lauk pauk, jajanan, minyak wangi,
pakaian dan lain-lain. Ada juga yang datang ke acara khatama al-Qur‟an untuk
6
Dari jumlah yang sebanyak itu dan dengan tujuan yang berbeda-beda tentunya mereka mempunyai persepsi dan penghayatan serta pemaknaan yang berbeda-beda
terkadap khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak. Dengan latar
belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti fenomena besar tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dan agar penelitian ini dapat terarah,maka dibawah ini akan disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri Kesumo
Demak ?
2. Apa pemaknaan tradisi khataman al-Qur‟an dengan membaca surat ad-Duha
sampai surat an-Nas di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui praktik khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri
Kesumo Demak.
2. Untuk mengetahui pemaknaan tradisi khataman al-Quran dengan membaca
surat ad-Duha sampai surat an-Nas di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam
7
2. Kegunaan praktis
Diharapkan menambah wawasan khususnya bagi penyusun dan para pembaca dan pada umumnya menjadi masukan dan acuan bagi para mufasir.
E. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan pembahasan mengenai judul penelitian ini. Terlebih dahulu penulis akan mengemukakan arti istilah yang terkandung dalam judul tersebut.
1. Khataman : kha-tam, tamat; tamat; selesai; habis: al-Qur‟an telah dibaca sampai. Menghatamkan menamatkan; menyelesaikan (tt bacaan, mengaji). Kha-tam-an upacara selesai
menamatkan al-Qur‟an: para santri diundang pada waktu khataman
anaknya.
2. Pesantren : Pesantren/ asrama/ asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji disebut; pondok.
3. Living Qur‟an : Fenomena yang hidup di tengah masyarakat muslim
terkait dengan al-Qur‟an sebagai objek studi, sedangkan menurut Sahiron
Syamsuddinmenyatakan, teks al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat
itulah yang disebutliving Qur‟an, sedangkan manifestasi teks yang berupa
pemaknaan al-Qur‟an disebut dengan living Tafsir, Adapun yang
-8
Qur‟an dalam ranah realitas yang mendapat respons dari masyarakat dari
hasil pemaknaan dan penafsiran.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian maupun karya tulis yang berkaitan dengan kajian living Qur‟an
sejauh pengamatan penulis masih belum banyak dilakukan. Namun baru-baru ini mulai bermunculan dalam kalangan akademisi melakukan penelitian lapangan terkait
dengan respon masyarakat terhadap al-Qur‟an (dan hadist) dalam praktik kehidupan
di masyarakat tertentu.
Di antara karya atau buku yang telah mengkaji fenomena dan resepsi
masyarakat terhadap kehadiran al-Qur‟an dalam praktik kehidupan adalah Skripsi
yang ditulis oleh Vitri Nurawalin dengan judul “Pembacaan al-Qur‟an dalam tradisi
Mujahadah Sabihah Jum‟ah ( Studi Living Qur‟an di pondok pesantren Sunan
Pandanaran Sleman Yogyakarta. Dalam skripsi tersebut dijelaskan mengenai sejarah praktik mujahadah Sabihah Jumu‟ah, dan dijelaskan Mujahadah tersebut memiliki
perbedaan antara komplek satu dengan kompleks lainya. Dalam penelitian ini
mengunakan jenis penelitian kualitatif dengan penyajian data dengan perspektif emic,
9
yaitureduksi, display dan verifikasiteori sosial yang digunakan yaitu mengunakan
teorinya Max Weber dan Karl Mennheim.7
Skripsi yang ditulis oleh Latif Nurkholifah, yang berjudul Tradisi Sima‟an
Jumat legi (studi living Qur‟an) Pondok Pesantren Ali Ma‟sum Krapyak Yogyakarta(
menurut teori fungsionalisme Emile Durkheim). Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Di dalam penelitian ini penyusun ingin mengungkap prosesi sima‟an Jumat Legi Pondok Pesantren Ali
Ma‟sum Krapayak Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif
kualitati. Dalam rangka mengumpulkan data peneliti mengunakan wawancara,
observasi dan dokumentasi. Efektifitas tradisi sima‟an Jumat Legi di Pondok
Pesantren Ali Ma‟sum Krapayak Yogyakarta dapat diketahui dengan observasi
kegiatan antara santri dan para jamaah sima‟an Jumat Legi bagai mana cara mereka
melakukan kegiatan-kegiatan yang ada dalam prosesi sima‟an pada Jumat Legi.8
Selanjutnya Skripsi yang ditulis olehAlifiya Fairuziyahyang berjudul al-Qur‟an
dan Seni Kaligrafi Perspektif Robert Nasrullah(Studi Living Qur‟an tokoh seniman
kaligrafi Yogyakarta)Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. penelitian ini mengambil fokus pada salah satu seniman kaligrafi lukis Yogyakarta. Seniman disini adalah pengiat seni, khususnya
7
Vitri Nurawalin, “Pembacaan al-Qur‟an dalam tradisi Mujahadah Sabihah Jum‟ah ( Studi
Living Qur‟an di pondok pesantren Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta)” Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Yogyakarta 2014.
8
Latif Nurkholifah, Tradisi Sima‟an Jumat legi (studi living Qur‟an) Pondok Pesantren Ali
10
dibidang seni kaligrafi lukis yang juga menyandang predikat hafidz. Maka tidak heran
jika dalam berkarya seniman tidak meninggalkan ayat-ayat al-Qur‟an sebagai materi
karya seni. Berangkat dari hal inilah perlu untuk mengetahui al-Qur‟an dan seni
kaligrafi dalam perspektif seniman, lalu bagaimana al-Qur‟an mampu menjadi
kekeuatan tersendiri dalam perilaku kehidupan seniman dan karya-karyanya. Penelitian ini mengunakan metode indeph-interview dan wawancara secara mendalam dengan mengunakan aestetic reception resepsi seorang seniman terhadap
teks keagamaan. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field reseach),
selanjutnya diolah dan dianalisis mengunakan teori resepsi estetis diakronik.
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Imam Nasichin dengan judul Tradisi Mitoni
Di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan (Studi Living Qur‟an). Jurusan/Program
Studi: Ushuludin dan Dakwah/S1 Tafsir Hadits Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan.Skripsi ini membahas tentang bagaimana pelaksanaan tradisi mitoni di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan dengan alasan bahwa masyarakat Kelurahan Noyontaansari Pekalongan percaya bahwa pasangan yang melakukan
tradisi mitoni akan terhindar dari kesialan, bahaya kehamilan, calon bayi selamat, dan
lain sebagainya dengan tujuan keselamatan. Namun sebaliknya jika pasangan yang
tidak melakukan tradisi mitoni maka akan beranggapan terkena kesialan, calon bayi
tidak selamat, dan hal-hal buruk lainnya. Sehingga mayoritas ibu hamil di Kelurahan
Noyontaansari Pekalongan pasti akan melakukan tradisi mitoni atau yang lebih
11
research). Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini observasi, wawancara dan
dokumentasi. Data peneliti analisis menggunakan deskriptif kualitatif.9
Dari telaah yang telah di uraikan, penulis belum menemukan pembahasan
mengenai Khataman al-Qur‟an berdasarkan metode Verstehen dari Max Weber. Oleh
sebab itu penulis tertarik untuk meneliti kajian Living Qur‟an di atas.
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara yang telah diatur dalam berpikir baik-baik untuk mencapai
sesuatu maksut dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya.10salah satu penggunaanya
adalah dalam menyusun sebuah penelitian. Agar metode yang digunakan dalam penelitian ini menjadi tepat guna, maka peneliti akan menguraikan hal-hal yang terkaitdengan metodologi penelitianini. Di antaranya adalah:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengunakan pendekatan kualitatif diskriptif, yang artinya penelitian yang sistematis yang digunakan untuk mengkaji dan meneliti suatu objek pada latar alamiah tanpa adanya manipulasi didalamya dan
9
Imam Nasichin. Tradisi Mitoni Di Kelurahan Noyontaansari Pekalongan (Studi Living
Qur‟an). Jurusan/Program Studi: Ushuludin dan Dakwah/S1 Tafsir Hadits Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan. 2016.
10
12
tanpa ada pengujian hipotesis, dengan metode-metode alamiah ketika hasil
penelitian yang berdasarkan fenomena yang diamati.11
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai pengumpul data di lapangan dengan mengunakan alat penelitian yang aktif dalam mengumpulkan data-data di lapangann. Peneliti yang dijadikan alat pengumpul data adalah dokumen-dokumen yang menunjang keabsahan hasil penelitian serta alat bantu lain yang dapat mendukung terlaksananya penelitian, serta kamera dan alat perekam.
Oleh karena itu kahadiran peneliti di lokasi penelitian sangat menujang keberhasilan suatu penelitian, alat bantu memahami masalah yang ada, serta hubungan dengan informan menjadi lebih dekat sehingga informasi yang didapat menjadi lebih jelas. Maka kehadiran peneliti menjadi sumber data yang
mutlak.12
3. Metode Pengumpulan Data
Karena jenis penelitian kualitatif (studi kasus), maka dalam mengumpulkan
data penelitian akan mengunakan metode verstehen, observasi (pengamatan
mendalam), interview (wawancara) dan dokumentasi.
11
Andi Prastowo, Metodologi Penelitian dalam Perspektif Rancangan Penelitian, (Yogyakarta, ar-Ruzz Media: 2012) hlm.24.
12
13
a. Metode Verstehen
Metode verstehenatau pemahaman merupakan sebuah pendekatan unik
terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan
manusia ketimbang dengan binatang atau kehidupan non
hayati.13Verstehendapat ditafsirkan sebagai arahan kepada kita untuk
tidak pernah mengabaikan tujuan-tujuan atau sadar akan tujuan akhir dalam pikiran aktor, tidak pernah gagal untuk mengetahui bagaimana dia sendiri “mendefinisikan sesuatu”, dan untuk memperlakukan tujuan
-tujuan dan penilaian-penilaianya sebagai relevan sebab akibat, atau sebagai “variabel-variabel” kunci, dalam menjelaskan tindakanya.14baik
para pendukung atau para pengkritik verstehen sering melihatnya sebagai
sebuah metode khusus untuk memperoleh pengetahuan yang khas bagi
disiplin-disiplin manusia.15sedangkan menurut Dilthey, verstehen adalah
upaya memahami secara kejiwaan, kelakuan orang lain serta karya
ciptanya, yakni upaya interpretative untuk memberika makna kepada
sesuatu yang dianggap pada hakikatnya bersifat “fakta obyektif”.16
13
Max Weber. Sosiologi.(,Yogyakarta: Pustaka pelajar Offiset, 2009).Hlm 66. 14
Dennis Wrong. Max Weber Sebuah Khasanah, (Yogyakarta: Ikon Teralintera, 2003). Hlm 28-29.
15
Dennis Wrong, Max Weber Sebuah Khasanah…,Hlm.27. 16
14
b. Observasi (Pengamatan)
Observasi merupakan salah satu metode utama dalam penelitian sosial keagamaan terutama sekali penelitian kualitatif. Ia merupakan metode pengumpulan data yang alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmiahan tetapi juga dalam juga dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Arti umum observasi adalah pengamatan, penglihatan. Secara khusus adalah mengamati dan mendengar dalam rangaka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial keagamaan selama beberapa waktu tampa mempengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analaisis.
Gunanya, menurut Black dan Champion:
1) Untuk mengamati fenomena sosial keagamaan sebagai peristiwa
aktual yang memungkinkan peneliti memandang fenomena tersebut sebagi proses.
2) Untuk menyajikan kembali gambaran dari fenomena sosial
keagamaan dalam laporan penelitian dan penyajian.
3) Untuk melakukan ekplorasi atau socialsettingdimana fenomena itu
terjadi.17
17
15
Tujuan dari observasi ini mengadakan pengamatan pada pelaksanaan
khataman al-Qur‟an di pondok pesantren Giri Kesumo Demak.
c. Interview (Wawancara)
Interviw merupakan cara mengumpulkan data dengan cara bertanya langsung kepada informan (subyek penelitian). Interview pada penelitian kali ini ditujukan kepada informan yang mengikuti kegiatan khataman secara langsung maupun yang diasumsikan mengetahiu seluk beluk dilaksanakanya tradisi tersebut.
Adapun wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara etnografi dan wawancara terstruktur. Artinya wawancara etnografi bahwa wawancara ini dilakukan dengan cara percakapan atau obrolan biasa selayaknya persahabatan biasa, sehingga informan tidak menyadari, bahwa peneliti sedang mengali data atau informasi, hal tersebut sangatlah penting guna apa orang yang pikirkan dan rasakan mengenai praktik
khataman tersebut.18yang menjadi informan pada wawancara tersebut
adalah para santri, jamaah khataman, pedagang dan tukang parkir. Sedangkan wawancara terstruktur merupakan wawancara dengan mengunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapakan guna
18
16
ditanyakan kepada informan secara langsung.19pada wawancara ini yang
menjadi informan adalah pengasuh, pengurus, imam dan sebagian santi.
d. Dokumentasi
Pada tahap ini, peneliti akan mengambil gambar-gambar yang ada keterkaitanya dengan pelaksanaan khataman. Hal tersebut menjadi penting sebab sebagai penunjang dan penyempurna data-data yang diperoleh dari interview maupun observasi.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dalam skripsi ini adalah pondok pesantren Giri Kesumo yang terletak di desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Sedangkan waktu penelitian lapangan untuk skripsi dimulai bulan November sampai bulan Januari.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian sekaligus sumber data atau informan dalam penelitian ini adalah pengasuh pondokpesantren, imam, pengurus, para santri, jamaah khataman, para pedagang dan tukang parkir. Itu semua merupakan orang-orang yang akan diwawancarai secara langsung guna memperoleh data dan informasi yang lebih detail. Sedangkan yang akan menjadi objek penelitian adalah
Khataman al-Qur‟an di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak.
19
17
6. Sumber Data
Sumber data yang diambil adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data yang dapat memberikan informasi secara langsung serta sumber data tersebut memiliki hubungan dengan masalah pokok penelitian sebagai bahan informasi yang dicari. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kehadiran dan partisipasi penulis serta observasi langsung di Pondok Pesantren Giri Kesumo Demak. Sedangkan data sekunder adalah sumber data yang bersifat untuk melengkapi sumber data primer meliputi buku-buku, arsip dan hasil penelitian lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Analisis Data
Sebagaimana penelitian kualitatif, maka analisis data pada penelitian ini mengunakan tehnik reduksi data, penyajian data dan verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih, menyederhanakan abstraksi dan mentransformasi data kasar yang diperoleh. Penyajian data merupakan diskripsi kumpulan informasi yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengamnil tindakan. Verifikasi adalah mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang
mungkin adadan proposisi.20
20
18
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yaitu rangkaian pembahasan yang tercakup dalam isi penelitian dimana yang satu dengan yang lain saling berkaitan sebagai satu kesatuan yang utuh, yang merupakan urutan- urutan tiap bab.
Bab pertama, pendahuluan, yaitu sebagai gambaran umum mengenai seluruh isi penelitian yang dijabarkan dalam kedalam sub bab yaitu; latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Pada bab kedua, akan memuat tentang kerangaka teori yang didalamnya
memuat tentang definisi living Qur‟an, sejarahliving Qur‟an macam-macam seta arti
penting kajian living Qur‟an.
Pada bab ketiga, akan memuat gambaran umum Pondok PesantrenGiri Kesumo Demak yang didalamnya memuat tentang letak geografis, sejarah berdirinya ponpes, visi, misi dan asas, struktur organisasi dan kondisi pondok pesantren. Kemudian di dalamnya juga memuat praktik/pelaksanaan khataman di Pondok Pesantren Giri Kesumo meliputi sejarah, asal usul pengetahuan khataman, pelaksanaan khataman dan motifasi.
Bab keempat berisi tentang pemaknaan khataman al-Qur‟an di Pondok
19
20
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Living Qur‟an
Banyak definisi yang ditawarkan untuk menentukan arah kajian living Qur‟an,
salah satunya datang dari Sahiron Syamsuddin yang menyatakan, teks al-Qur‟an
yang hidup dalam masyarakat itulah yang disebutliving Qur‟an, sedangkan
manifestasi teks yang berupa pemaknaan al-Qur‟an disebut dengan living Tafsir,
Adapun yang dimaksud dengan teks al-Qur‟an yang hidup ialah pergumulan teks al
-Qur‟an dalam ranah realitas yang mendapat respons dari masyarakat dari hasil
pemaknaan dan penafsiran.21Termasuk dalam pengertian “respon
masyarakat”adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan terhadap hasil
penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap al-Qur‟an dapat ditemui dalam
kehidupan sehari-hari, seperti pentradisian surat atau ayattertentu pada pada acara dan ceremoni sosial keagamaan tertentu. Sementara itu, resepsi sosial terhadap penafsiran terjelma dalam terlembaganya bentuk penafsiran tertentu dalam
masyarakat, baik dalam skala besar maupun kecil.22
Living Qur‟an juga dapat diartikan sebagai “fenomena yang hidup di tengah
masyarakat Muslim terkait dengan al-Qur‟an ini sebagai objek studinya”.23Oleh
karena itu, kajian tentang living Qur‟an dapat diartikan sebagai kajian tentang
21Moh.Muhtador,”
Pemaknaan ayat al-Qur‟an dalam Mujahadah”,Jurnal Penelitian, Vol. 8, no, 1, Februari 2014.
22
Moh.Muhtador,”Pemaknaan ayat al-Qur‟an dalam Mujahadah”,Jurnal Penelitian, Vol. 8, no, 1, Februari 2014.
23
21
“berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur‟an atau keberadaan al-Qur‟an di sebuah komunitas Muslim tertentu”.Dengan pengertian seperti ini, maka
“dalam bentuknya yang paling sederhana” The Living Qur‟an tersebut “pada
dasarnya sudah sama tuanya dengan al-Qur‟an itu sendiri. Dengan kata lain, living
Qur‟an yang sebenarnya bermula dari fenomena Qur‟an in everyday life, yakni
makna dan fungsi al-Qur‟an yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim,
belum menjadi objek studi bagi ilmu-ilmu al-Qur‟an konvensional (klasik). Bahwa
fenomena ini sudah ada embrionya sejak masa yang paling dini dalam sejarah Islam adalah benar adanya, tetapi dalam dunia Muslim yang saat itu belum terkontaminasi oleh berbagai pendekatan ilmu sosial yang notabene produk dunia Barat, dimensi
sosial kultural yang membayang-bayangi kehadiran al-Qur‟an tampak tidak mendapat
porsi sebagai obyek studi.24
Definisi yang ditawarkan di atas semuanya sudah memenuhi ruang lingkup
yang berhubungan denganliving Qur‟an. Dengan bahasa yang sederhana, dapat
dikatakan bahwa living Qur‟an adalah interaksi, asumsi, justifikasi, dan perilaku
masyarakat yang didapat dari teks-teks al-Qur‟an.
B. Living Qur‟an dalam Lintasan Sejarah
Jika ditelisik secara historis, praktek memperlakukan al-Qur‟an, surat-surat atau
ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur‟an untuk kehidupan praksis umat, pada
hakekatnya sudah terjadi sejak masa awal Islam, yakni pada masa Rasulullah Saw.
24
22
Sejarah mencatat, Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat pernah melakukan
praktek ruqyah, yaitu mengobati dirinya sendiri dan juga orang lain yang menderita
sakit dengan membacakan ayat-ayat tertentu di dalam al-Qur‟an. Hal ini didasarkan
atas sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih al-Bukhari. Dari „Aisyah r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah membaca
surat al-Mu„awwidhatain, yaitu surat dan al-Nas ketika beliau sedang sakit sebelum
wafatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa sahabat Nabi pernah mengobati
seseorang yang tersengat hewan berbisa dengan membaca al-Fatihah. Dari
beberapa keterangan riwayat hadis di atas, menunjukkan bahwa praktek interaksi
umat Islam dengan al-Qur‟an, bahkan sejak masa awal Islam, dimana Nabi
Muhammad Saw. masih hadir di tengah-tengah umat, tidak sebatas pada pemahaman teks semata, tetapi sudah menyentuh aspek yang sama sekali di luar teks.
Jika kita cermati, praktek yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Dengan
membaca surat al-Mu„awwidhatain untuk mengobati sakitnya, jelas sudah di luar
teks. Sebab secara semantis tidak ada kaitan antara makna teks dengan penyakit yang diderita oleh Nabi Muhammad Saw. Demikian juga halnya dengan praktek
23
mengobati orang yang terkena sengatan kalajengking. Secara makna, rangkaian
surat al-Fatihah sama sekali tidak ada kaitannya dengan sengatan kalajengking.25
Dari beberapa praktek interaksi umat Islam masa awal, dapat dipahami jika kemudian berkembang pemahaman di masyarakat tentang fadilah atau khasiat serta
keutamaan surat-surat tertentu atau ayat-ayat tertentu di dalam al- Qur‟an sebagai
obat dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk menyembuhkan penyakit fisik. Di
samping beberapa fungsi tersebut, al-Qur‟an juga tidak jarang digunakan
masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi, yaitu sebagai alat untuk memudahkan datangnya rezeki.
Praktek-praktek semacam ini dalam bentuknya yang paling sederhana pada
dasarnya sudah sama tuanya dengan usia al-Qur‟an itu sendiri. Namun, pada periode
yang cukup panjang praktek-praktek diatas belum menjadi obyek kajian penelitian al-Qur‟an. Baru pada penggal sejarah studi al-Qur‟an kajian tentang praktek-praktek ini
diinisiasikan kedalam wilayah studi al-Qur‟an oleh para pemerhati studi al-Qur‟an
kontemporer.26
C. Living Qur‟an dan Hadis sebagai Bagian Lived Texts, Lived Islam
Dalam kajian agama, kajian living Qur‟an dan Hadis adalah bagian dari kajian
„lived Religion, „practical religion‟, „popular religion‟, „lived Islam‟,yang bertujuan
menggali bagaimana manusia dan masyarakat memahami dan menjalankan agama
25
Didi Junaedi. Living Qur‟an:Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur‟an(Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon).dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies Vol. 4, No. 2, (2015). Hlm.177.
26
24
mereka, untuk tidak mengutamakan kaum elit agama (pemikir, otoritas agama, pengkhotbah, dan sebagainya). Metode-metode saintifik sosial memasuki wilayah kajian agama dan para sarjana beralih dari kajian naskah kepada kajian masyarakat
beriman pada masa kini (present-day living communities of faith). Dalam kajian kitab
suci perbandingan (comparative scripture), living Qur‟an dan Hadismenjadi bagian
dari kajian the uses of scripture, yang belum begitu berkembang juga. Kajian-kajian
antropologis umumnya melakukan pendekatan aspek praktis pemahaman dan pengamalan agama, seperti simbol, mitos, ritual, samanisme, magis, tapi belum banyak yang membahas aspek pemahaman, penggunaan, dan pengamalan kitab suci dalam kehidupan sehari-hari. Jika scripture diartikan sebagai tulisan yang diterima
dan digunakan dalam komunitas agama sebagai suci dan otoritatif maka al-Qur‟an
dan Hadis masuk definisi ini, sebagaimana juga kitab-kitab Zoroaster, Yahudi,
Kristen, dan Sikh, yang disebut “agama-agama kitab”(religions of the book). Ada tiga
macam penggunakan kitab suci.27
Pertama, penggunaan kognitif, pemahaman dan pemikiran tentang katadan maknanya. Penggunaan kognitif ini mencakup beberapa macam. Salahsatunya, kitab suci menjadi sumber membangun dan mempertahankan doktrindoktrin atau ajaran-ajaran, kebenaran-kebenaran tentang semesta dan cara yang benar untuk hidup
didalamnya. Ketika kitab suci digunakan untuk membangun doktrin maka „para
penafsir resminya‟ – seperti pendeta, ulama, dan sejenisnya, paling sering
27
25
melakukannya. Merujuk kepada kitab suci sering kali menjadi kata akhir argumen-argumen agama. Termasuk dalam penggunaan kognitif adalah penggunaan teks dalam ritual publik. Kitab suci dibaca, dilagukan, dilingkari, dicium, dihias, diletakkan pada posisi tinggi dan dimuliakan, dalam ritual pengorbanan, dan
sebagainya. Dalam tradisi Kristen, ada istilah biblioatry, penyembahan pada kitab,
ketika orang yang mengimani memberikan penyembahan yang sangat dalam dan menganggap kitab sebagai mutlak. Selanjutnya, penggunaan dalam meditasi dan
kebaktian yang bersifat pribadi dan kelompok.28
Kedua, penggunaan non-kognitif kitab suci terjadi dalam banyak situasi. Kitab suci dipajang di rumah dan bangunan-bangunan publik, dan ditulis dalam kaligrafi.
Selain itu, kitab suci memiliki kekuatan (power) memberikan berkah (barakah,
blessing), menyembuhkan penyakit, menolak bala dan kejahatan, digunakan sebagai mantra dan jimat, ketika diam dan ketika bepergian. Bagiumat Dao, misalnya, kitab suci Dao diletakkan pendetanya di tangan ibu yang sedang melahirkan agar diberi
kemudahan. Dalam tradisi Islam, kitab suci al- Qur‟an atau potongan ayat digunakan
atau dibacakan kepada orang yang sakit. Penggunaan lainnya, disebut Bibliomancy,
ketika kitab suci digunakan untuk memperkirakan masa depan dan membimbing orang bersangkutan bagaimana menghadapi masa depan itu. Orang Sikh misalnya membuka halaman berapasaja dari Kitab Guru Grant Sahib pada satu hari dan menjadikannya sebagai petunjuk kehidupannya hari itu.
26
Penggunaan kitab suci juga bisa dikaji dari segi informativedan segi
performative. Dari segi informatif, kitab suci dijadikan sumber pengetahuan, doktrin, sejarah masa lalu, isyarat ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dari segi performatif, kitab suci dialami, dijadikan sebagai barang suci, misalnya dalam ritual kurban, dijadikan sumber hukum negara atau masyarakat, dijadikan alat untuk memberkahi, dilagukan dan dilombakan, dan sebagainya. Secara umum, kitab-kitab suci memiliki
kekuatan merubah (transformative power) dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakat yang mengimaninya.
27
kelemahan-kelemahan kajian tekstual ditutupi dengan kajian kajian living texts, teks
atau scripture sebagaimana dipahami dan dijalankan penganutnya.29
D. Variasi Respons Umat Islam terhadap al-Qur‟an
Sebenarnya gambaran secara umum bagaimana kaum muslimin merespon
terhadap kitab sucinya (al-Qur‟an) tergambar dengan jelas sejak zaman Rosullulah
dan para sahabatnya. Tradisi yang muncul adalah al-Qur‟an dijadikan obyek
hafalan(tahfiz),listening (sima‟)ke berbagai daerah dalam bentuk majlis al-Qur‟an
sehingga al-Qur‟an telah tersimpan di “dada” (sudur)para sahabat. Setelah umat islam
berkembang ke seluruh dunia, respon mereka terhadap al-Qur‟an semakin
berkembang dan bervariasi, tak terkecuali oleh umat Islam di Indonesia.30
Menurut pengamatan penulis, masyarakat Indonesia khususnya umat islam sangat respek dan penuh perhatian terhadap kitab sucinya, dari generasi ke generasi dan berbagai kalangan kelompok keagamaan disemua tingkatan usia dan etnis. Fenomena yang terlihat jelas, bisa kita ambil beberapa kegiatan yang mencerminkan everyday life of the Qur‟an, sebagi berikut:
1. Al-Qur‟an dibaca secara rutin dan diajarkan ditempat-tempat ibadah (masjid dan surau/langgar/mushola), bahkan dirumah-rumah, sehingga menjadi
acara rutin everyday, apalagi di pesantren-pesantren menjadi bacaan wajib,
terutama selepas sholat Magrib. Khusus malam Jumat yang dibaca adalah
surat Yasindan kadang ditambah surat al-Waqi‟ah.
29Ibid….Hlm.152.
30
28
2. Al-Qur‟an seantiasa dihafalkan, baik secara utuh maupun sebagiannya (1 juz hingga 30 juz), meski ada juga yang menghafal ayat-ayat dan surat-surat tertentudalam juz „Amma untuk kepentingan bacaan dalam sholat dan
acara-acara tertentu.
3. Menjadikan potongan-potongan ayat satu ayat maupun beberapa ayat
tertentu dikutip dan dijadikan hiasan dinding rumah, masjid, makam bahkan
kain kiswahka‟bah (biasanya ayat kursi, al-Ikhlas, al-Fatihah dsb). Dalam
bentuk kaligrafi dan sekarang tertulis dalam ukiran-ukiran kayu, kulit binatang, logam, (kuningan, perak dan tembaga) sampai kepada mozaik keramik, masing-masing memiliki karakteristik estetika masing-masing.
4. Ayat-ayat al-Qur‟an dibaca oleh para Qari‟ (pembaca profesional) dalam
acara-acara khusus yang berkaitan dengan peristiwa-peristwa tertentu, khususnya dalam acara hajatan (pesta perkawinan, khitanan dan aqiqah) atau peringatan-peringatan hari besar Islam.
5. Potongan-potongan ayat al-Qur‟an dikutip dan dicetak sebagai assesoris
dalam bentuk stiker, kartu ucapan, gantungan kunci, undangan resepsi pernikahan sesuai konteks masing-masing.
6. Al-Qur‟an senantiasa dibaca dalam acara-acara kematian seseorang bahkan pasca kematian dalam tradisi “Yasinan”dan “tahlilan” selama 7hari dan 40
29
7. Al-Qur‟an dilombakan dalam bentuk tilawahdan tahfizal-Qur‟an dalam bentuk insidental maupun rutin berskala lokal, nasional bahkan internasional.
8. Sebagian umat Islam menjadikan al-Qur‟an sebagai “jampi-jampi”, terapi
jiwa sebagai pelipur duka dan lara, untuk mendoakan pasien yang sakit bahkan untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu dengan cara membakar dan abunya diminum.
9. Potongan ayat-ayat tersebut dijadikan jimat yang dimana dan kemana saja
pergi oleh pemiliknya sebagai perisai atau tameng, tolak balak atau menangkis serangan musuh dan unsur jahat lainya.
10.Bagi para muballigh/da‟i, ayat-ayat al-Qur‟an dijadikan dalil dan hujah
(argumentasi) dalam rangka memantapkan isi kuliah tujuh menit (kultum) atau dalam khutbah jumat dan pengajian di tengah-tengah masyarakat.
11.Bagi orang yang punya bakat dibidang sastra, al-Qur‟an dibaca dengan
model puisi dan diterjemahkanya sesuai dengan karakter pembacanya.
12.Sementara bagi seniman dan artis, al-Qur‟an terkadang dijadikan bagian
dari sinetron dan film disamping sebagai bait lagu agar beraroma religius dan berdaya estetis, agar memiliki muatan spritualitas yang bersifat dakwah/tabligh (seruan, ajakan, himbauan) bagi pendengarnya.
13.Terlihat juga fenomena dalam dunia politik, menjadikan ayat-ayat al-Qur‟an
30
memiliki daya tarik politis, terutama bagi parpol-parpol yang berbau dan berasaskan keislaman.
14.Fenomena mutakhir adalah munculnya tokoh-tokoh agamawan
(ruhaniawan) dalam cerita-cerita fiksi maupun non fiksi dalam tayangan
televisi, yang menjadikan ayat-ayat al-Qur‟an sebagai wiriddan
dzikir“pengusir jin” atau fenomena kegaiban lainnya (uji nyali, pemburu
hantu, penyembuhan”ruqyah”dsb.).
15.Fenomena lain adalah ayat-ayat tertentu dijadikan wiriddalam bilangan
tertentu untuk memperoleh “kemuliaan” atau “keberuntungan” dengan jalan “nglakoni” (riyadhah) meskipun terkadang terkontaminasi dengan
unsur-unsur mistis dan magis.
16.Terlihat juga fenomena adanya ayat-ayat al-Qur‟an dijadikan bacaan dalam
menempuh latihan beladiri yang berbasis perguan beladiri Islam Tauhidik(misalnya: Tapak Suci, Sinar Putih, dsb.) agar memperoleh
kekuatan tertentu setelah mendapat Ma‟unah(pertolongan) dari Allah Swt.
17.Dalam dunia Entertainment, al-Qur‟an didokumentasikan dalam bentuk
kaset, CD, LCD, DVD, Harddisk, sampai di HP, baik itu secara visual
maupun audio visual yang serat akan muatan hiburan dan seni.
18.Belakangan marak ayat-ayat al-Qur‟an dijadikan bacaan para
praktisi/terapis untuk menghilangkan gangguan psikologis dan pengaruh
buruk lainya (syetan dan jin) dalam praktik ruqyahdan penyembuhan
31
19.Bisa kita lihat juga potongan ayat-ayat al-Qur‟an dijadikan media
pembelajaran al-Qur‟an (TPA, TPQ dsb.) sekaligus belajar bahasa Arab.
Bahkan madrasah al-Qur‟an yang concerndalam bidang tahfidz pun banyak
berdiri secara formal.31
Di samping hal-hal di atas masih ada banyak fenomena lagi sebagai gambaran fakta sosial keagamaan yang keberadannya tidak bisa dipungkiri, sehingga
memperkuat asumsi kita, bahwa al-Qur‟an telah direspon oleh umat Islam dalam
berbagai praktik. Sehinga Fenomena keberagamaan semacam ini seharusnya
memiliki daya tarik tersendiri bagi para pengkaji al-Qur‟an untuk menjadikan obyek
kajian dan penelitian.
Kita ambil contoh, dalam peringatan Maulid Nabi Saw, yang sejak dulu hingga kini masih masih diperingati umat Islam secara kontinyu dan meriah.Dalam kegiatan
ituumat Islam berkumpul bersama-sama sambil membaca bagian-bagian al-Qur‟an,
pembacaan sirahnabi (Biografi) dan hikmah tentang peringatanya. Dalam konteks ini,
dikisahkan dalam Mir‟at az-zamanSibt ibn al-Jauzi berkata:
Seseorang yang pernah hadir dalam perjamuan al-Mudzaffar pada salah satu perayaan maulid berkata bahwa untuk perjamuan itu telah disediakan menu makanan berupa 5000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100 ekor kuda dan 100.000 pingan dan 30.000 manisan. Kemudian ulama dan para sufi ternama berdatangan mendapat hadiah-hadiah berharga dan jubah-jubah kehormatan, dan mengikuti konser sima‟an (al-Qur‟an), kemudian menari-nari
31Muhamad Yusuf, “pendekatan sosiologi dalam penelitian Living Qur‟an”
32
sore hingga shubuh. Perayaan ini setiap tahunnya menghabiskan anggaran 30.000 dirham.
Sebenarnya kasus serupa biasa di teliti, hanya saja yang menjadi persoalan bagi calon peneliti adalah belum memadai dan tersedianya perangkat metodologis secara ilmiah, sehingga peneliti baru sebatas mencoba dengan asumsi-asumsi tertentu, memikirkan dan memutuskan sendiri sesuai dengan kemampuan dansudut pandang
sendiri. Akibatnya, penelitian yang dihasilkan seolah-olah seperti “laporan aktifitas
pengajian” rutian mingguan atau bulanan yang miskin metode dan tidak menemukan
hal-hal yang menaraik (khas), karena hanya melihat struktur luarnya dan belum
kepada struktur dalamnya (Deep Structure)layaknya sebuah penelitian ilmiah bidang
antropologi.
Padahal, idealnya sebuah penelitian ilmiah termasuk bersifat keagamaan diharapkan dapat dapat mengungkap hal-hal yang unik, aneh, khas, karakteristik dari sebuah fenomena yang diteliti. Sehingga penelitian itu akan menghasilkan sebuah
model, karakter, kalau perlu sebagai problem solver.Sehigga lambat laun dapat
dirumuskan aspek metodologisnya yang khas untuk penelitian al-Qur‟an yang
dipraktekkan sehari-hari oleh komunitas masyarakat Islam (everyday life of the
Qur‟an), meski didasari oleh minimnya informasi yang mendukung dalam
33
E. Living Qur‟an Sebagai Religious Research
Living Qur‟ansebagai penelitian yang bersifat keagamaan (Religious Research),
yakni menempatkan agama sebagai system keagamaan, yakni system sosiologis, suatu aspek organisasi sosial, dan hanya dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu
diterima sebagai titik tolak.32jadi bukan meletakkan agama sebagai doktrin, tetapi
agama sebagai gejala sosial.
Living Qur‟an, dimaksudkan bukan bagaimana individu atau sekelompok orang
memahami al-Qur‟an (penafsiran), tetapi bagaimana al-Qur‟an itu disikapi dan
direspon masyarakat muslim dalam realitas kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. Hemat saya, apa yang mereka lakukan adalah merupakan “pangilan jiwa” yang merupakan kewajiban moral-sebagai muslim-untuk
memberikan penghargaan, penghormatan, cara memuliakan (ta‟dzim)kitab suci yang
diharapkan pahala dan berkah dari al-Qur‟an sebagaimana keyakinan umat Islam
terhadap fungsi al-Qur‟an yang dinyatakan sendiri secara beragam. Oleh karena itu,
maksud yang dikandung bisa sama, tetapi ekspresi dan ekspektasi masyarakat
terhadap al-Qur‟an antara kelompok satu dengan kelompok yang lain, begitu juga
antar golongan, antara etnis dan antar bangsa.33
Dalam penelitian model living Qur‟anyang dicari bukan kebenaran agama
lewat al-Qur‟an atau menghakimi (judgment)kelompok keagamaan tertentu dalam
Islam, tetapi lebih mengutamakan penelitian tentang tradisi yang menggejala
32Atho‟ Mudzhar
, pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Hlm. 68.
34
(fenomena) di masyarakat dilihat dari persepsi kualitatif.Meskipun terkadang al-Qur‟an dijadikan sebagai simbol keyakinan (symbolic faith) yang dihayati, kemudian
diekspresikan dalam bentuk perilaku keagamaan. Nah, dalam penelitian living
Qur‟andiharapkan dapat menemukan segala sesuatu dari hasil pengamatan
(observasi) yang cermat dan teliti atas perilaku kominitas muslim dalam pergaulan sosial kegamaanya hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen
terjadinya perilaku itu melalui struktur luar dan struktur dalam (deep structure)agar
dapat ditangkap makna dan nilai-nilai (meaning and velues)yang melekat dari sebuah
fenomena yang diteliti.
Kalau kita coba gambarkan dalam pendekatan historis, sosiologi dan antropologi, maka fenomena keagamaan ituyang berakumulasi pada pola perilaku manusia didekati dengan mengunakan ketiga model pendekatan sesuai posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing, seperti disebutkan di atas.
Sementara kalau kita telah sepakat bahwa living Qur‟anberlidung di bawah
payung sosiologi atau sosiologi agama, maka pendekatan yang lebih tepat adalah antropologi, sehingga bangunan perspektifnya pada umumnya menggunakan perspektif mikro atau paradigma humanistik, seperti fenomenologi, etnometodologi,
meneliti everyday life(tindakan dan kebiasaan yang tetap) dan arkeologi. Nah
analisinya berupa individu, kelompok atau organisasi dan masyarakat, benda-benda bersejarah, buku, prasasti, cerita-cerita rakyat.
35
(other perspective)yang bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi, proses kejadianya, hubungan antar variabel, bentuk dan polanya, (2) Paradigma naturalistik, yakni berdasarkan subyek perilaku yang bertujuan untuk memahami makna perilaku, simbol-simbol dan fenomene-fenomena; (3) paradigm
rasionalistik (verstehen), dengan melihat realitas sosial sebagaimana yang dipahami
oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang ada dan didialogkan dengan pemahaman subyek yang diteliti (data empirik). Paradigm ini sering digunakan dalam penelitian filsafat, bahasa, agama (ajarannya) dan komunikasi yang mengunakan metode semantik, filologi, hermeneutika dan analisis isi.
Ilmu-ilmu agama, pada segi-seginya yang menyangkut masalah sosial , yaitu menjadi bagian yang dapat diteliti, diamati mengunakan piranti ilmiah, atau metodologi ilmiah. Metodologi ilmiah ditentukan oleh obyek yang dikaji.Dalam segi-segi tertentu, Islam adalah fenomena sosial, maka niscaya metode pengkajian terhadap fenomena itu adalah metode-metode sosial.
Living Qur‟anmasuk dalam wilayah kajian keislaman tidak hanya kepada
aspek-aspeknya yang normatif dan dogmatik, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan antropologis.Ilmu-ilmu Islam, meliputi aspek kepercayaan normatif-dogmatik yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir oleh dorongan kepercayaan, menjadi kenyataan-kenyataan
empirik.34
34
36
Oleh karena itu perlu dicari metode ilmiah yang tepat dan relevan, karena obyek studi menentukan metode, bukan sebaliknya metode yang menentukan obyek.Sehingga agama sebagai fenomena kehidupan yang menyatakan diri dalam sistem sosial budaya, bukanlah masalah yang sulit untuk menentukan metode yang relevan bagi peneliti /pengkajinya.Dalam mengkaji fenomenologi agama tidak mengkaji hakikat agama secara filosofis dan teologis, tetapi hakikat agama sebagai
fenomena empiris dari struktur suatu fenomena yang mendasari setiap fakta religius.35
Dalam penelitian fenomenologi sangat mengandalkan metode partisipatif, agar peneliti dapat memahami tindakan religious dari dalam. Sebab kalau tidak demikian hanya akan memberi kesan seolah kita memasuki pikiran orang lain lewat suatu
proses misterius.36dalam konteks ini Max Weber menerapkan metode verstehen, yaitu
pemahaman empatik, tidak simpati dan tidak antipati. Dalam arti, kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif, dan pemikiran-pemikiranyang ada di balik tindakan orang lain.
Barangkali bisa juga mengunakan metode sejarah, yang menekankan pada proses terjadinya sesuatu perilaku manusia dalam masyarakatnya. Proses ini menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan dalam proses itu. Metode sejarah yang dengan teliti mengamati sesuatu proses sosial budaya, dapat digunakan memahami proses persebaran agama keseluruh persekutuan hidup manusia. Pada giliranya proses itu akan sampai pada suatu keadaan yang telah
35Dhavamony, Mariasusai, Phenomenology of Religion, terj. Kelompok Studi Agama
Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hlm.27.
36
37
menyatu dalam sistem sosial budaya, dan menyatakan diri sebagai perilaku berpola, dari sisnilah metode antropologi dapat menyumbangkan peran-peran ilmiahnya.
Misalnya dengan metode pengamatan terlibat (participant observation), yang amat
diakrabi oleh para ahli antropologi untuk memahamiperilaku yang tidak dapat diukur secara kuantitatif, dapat kiranya digunakan untuk memahami berbagai aspek perilaku
manusia beragama secara kuaitatif.37
Dalam kehidupan umat beragama, diketahuai adanya posisi dan peran-peran tertentu dari seseorang, posisi dan peran itu menyatakan diri dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial itu dapat terselengara, melalui hubungan-hubungan fungsional dalam masyarakat yang bersumber dari kedudukan dan peranannya dalam kehidupan umat beragama. Menurut ahli antropologi, dalam upacara keagamaan mengandung empat aspekyang perlu mendapat perhatian, yaitu:1) tempat upacara, 2) waktu upacara,3 ) media dan alat upacara, 4) orang-orang yang melakukan dan memimpin acara.
Dhavamoni, setelah melakukan pembacaan terhadap teori-teori yang ditawarkan Joachim Wach, Nottingham dan Yinger menyimpulkan bahwa pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapanya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamannya dalam tindakan-tindakan, seperti doa, upacara-upacara kurban, mitos,mitos, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan berkenaan dengan yang suci, makhluk
37
38
supranatural dan sebagainya. Bagi Betty. R. Scharf, agama biasa dikaitkan dengan suatu kesatuan masyarakat dalam arti menjadi anggota suatu komunitas berarti melibatkan diri dalam sistem peribadatan komunitas itu, yang bersifat spesifik (khas) bagi komunitas yang bersangkutan.
Dengan demikian, peran sosiologi agama sangat besar dalam memposisikan teori-teorinya ke dalam penelitian keagamaan, karena berkaitan erat bahkan tak terpisahkan dengan masyarakat.Anggapan sosiologi agama bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasandan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial adalah tepat.Jadi, seseorang sosiolog agama bertugas menyelidiki bagaimana tatacara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi
mereka.38Dalam prakteknya, ada beberapa metode yang bisa digunakan
dalampenelitian living Qur‟an ini. Beberapa metode tersebut antara lain:
1. Observasi
Dalam melakukan penelitian, observasi adalah salah satu cara untuk memperoleh data dengan akurat. Secara umum, observasi diartikan dengan pengamatan atau penglihatan. Adapun secara khusus, observasi dimaknai dengan mengamati dalam rangka memahami, mencari jawaban, serta mencari bukti terhadap fenomena sosial tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi.
Observasi adalah mengumpulkan data langsung dari lapangan. Data yang diobservasi bisa berupa gambaran tentang sikap perilaku, serta tindakan
39
keseluruhan interaksi antar manusia. Data observasi bisa juga hanya terbatas pada interaksi antar masyarakat tertentu. Proses observasi dimulai dengan mengidentifikasi tempat yang akan diteliti. Dilanjutkan dengan pemetaan, sehingga diperoleh gambaran umum tentang sasaran penelitian. Kemudian menentukan siapa yang akan diobservasi, kapan, berapa lama dan bagaimana.
Dalam ranah penelitianliving Qur‟an ini, metode observasi memegang peranan
yang sangat penting, yang akan memberikan gambaran situasi riil yang ada di
lapangan.39
2. Wawancara
Wawancara adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab dengan pihak terkait yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan
peneliti.Metode wawancara dalam penelitian living Qur‟an adalah suatu yang
niscaya. Seorang peneliti tidak akan mendapatkan data yang akurat dari sumber utamanya, jika dalam penelitian tentang aktivitas yang berkaitan dengan
fenomena living Qur‟an di suatu komunitas tertentu, tidak melakukan wawancara
dengan para informan atau partisipan. Dalam penelitian living Qur‟an yang
bertujuan untuk mengetahui fenomena interaksi masyarakat dengan al-Qur‟an,
maka metode wawancara ini mutlak diperlukan. Jika seorang penliti ingin melakukan penelitian tentang praktek pembacaan surat tertentu di dalam al-Qur‟an, yang dilakukan suatu komunitas masyarakat tertentu, maka seorang
39
40
peneliti dalam melakukan wawancaradengan para responden dan partisipan yang terlibat langsung dalam pelaksanaanritual tersebut.
Peneliti bisa menanyakan tentang apa latar belakang ritual pembacaan surat
tertentu dalam al-Qur‟an itu, apa motivasinya, kapan pelaksanaannya, berapa kali
dibaca, siapa pesertanya, bagaimana prosesi ritualnya, dari mana sumber dananya, apa faktor pendukung dan penghambatnya, serta bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang relevan dengan maksud dan tujuan peneltian. Untuk mendapatkan jawaban yang akurat dan valid, maka seorang peneliti harus memilah dan menentukan
tokoh-tokoh kunci (key persons) yang akan diwawancarai. Mereka inilah yang
dianggap memiliki data yang akurat dan valid tentang ritual yang menjadi objek penelitian kita. Mereka bisa para tokoh agama, tokoh masyarakat, sesepuh, pendiri kegiatan, pengurus kegiatan ritual tersebut, juga para jamaah yang
mengikuti kegiatan tersebut.40
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik.41Penelitian living Qur‟an tentang fenomena ritual
keagamaan yang terjadi di masyarakat akan semakin kuat jika disertai dengan dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksud bisa berupa dokumen yang tertulis,
40
Ibid…..Hlm.180
41