• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII - DOCRPIJM de3e105494 BAB VIIIBab VIII Aspek Lingkungan dan Sosial dalam Pembangunan OKE 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB VIII - DOCRPIJM de3e105494 BAB VIIIBab VIII Aspek Lingkungan dan Sosial dalam Pembangunan OKE 1"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VIII

ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM

PEMBANGUNANBIDANG CIPTA KARYA

KOTA PAREPARE

8.1 Aspek Lingkungan

Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang

menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan

(2)

kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup.

Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan

sistemik.

Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.

Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat

(3)

dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih

dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional.

Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.

Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor. 2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha

konservasi tanah.

3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.

5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim

(4)

6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003–2020.

7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap

kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan lainnya).

10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.

11. Meningkatkan diplomasi internasional.

12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.

3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan.

5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani

permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan

(5)

7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.

Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai

penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam lainnya.

8.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual

sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi

pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

(6)

metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).

Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis

pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengan sistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai

internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian

diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia,

(7)

Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS

seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan

dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian

masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam

mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan

menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of

(8)

KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana

tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan

sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”

dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada

4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(9)

KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.

2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan

Hidup(Environmental Appraisal

KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan

KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut

pandang aspek lingkungan hidup.

3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated

AssessmentSustainability Appraisal)

KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilaiatau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya

Alam(Sustainable Natural Resource

Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik

pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbangan-pertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi

(10)

Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.

Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan

atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

 Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya

percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas

bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau

 Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara

termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah

yang berpenduduk padat? dan/atau

 Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah

(11)

 Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan

penghidupan (livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?

Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.

Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk

mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan.

Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.

Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:

 Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,

 Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi

ekosistem.

 Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap

perubahan iklim dan bencana lingkungan.

 Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar

RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan

(12)

Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis

skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.

Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin

dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan

langsung dengan kegiatan masyarakat.

Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam

(13)

penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.

Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen

kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai

kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

8.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

(14)

mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk

(15)

Tabel 8.1 Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL

danpartisipatif untuk memastikan bahwaprinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadidasar danterintegrasi dalam pembangunan suatu wilayahdan/ataukebijakan, rencana, dan/atau program.

Kajianmengenaidampakpentingsuatuusahadan/atau

kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukanbagiproses pengambilankeputusantentang penyelenggaraan usahadan/atau kegiatan.Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampakterhadap lingkungan.

c)Kewajiban

pelaksanaan

PemerintahdanPemerintahDaerah Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang

masukkriteriasebagaiwajibAMDAL(Pemerintah/swasta)

ii.Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau resikolingkungan

Tahap perencanaansuatuusaha dan ataukegiatan

e)Mekanisme pelaksanaan

i.pengkajian pengaruh kebijakan,rencana, dan/

atau program terhadap kondisi lingkungan

(16)

Deskripsi KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS) Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)

hidupdisuatuwilayah;

ii.perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan,rencana, dan/atauprogram;dan

iii.rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau programyang mengintegrasikan prinsip pembangunanberkelanjutan.

ii. DokumenAMDALdinilaiolehkomisipenilaiAMDAL yangdibentukolehMenteri,Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dan dibantu olehTimTeknis.

iii.Komisi penilai AMDAL menyampaikan rekomendasi berupa kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan kepadaMenteri, gubernur, danbupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

iv.Menteri, gubernur, dan bupati/walikota berdasarkan rekomendasikomisi penilai AMDALmenerbitkan KeputusanKelayakanatauKetidaklayakanlingkungan

f)Muatan Studi Lingkungan

i. Isu Strategis terkait Pembangunan Berkelanjutan

ii. Kajianpengaruhrencana/programdengan isu-isu strategisterkait pembangunan berkelanjutan

iii. Alternatif rekomendasi untuk rencana/program

i. Kerangkaacuan;

ii. Andal;dan iii. RKL-RPL.

KerangkaacuanmenjadidasarpenyusunanAndal dan RKL-RPL.Kerangkaacuanwajib sesuaidenganrencana tataruangwilayahdan/ataurencana tataruangkawasan.

g)Output Dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunandalamsuatuwilayah.

KeputusanMenteri,gubernurdanbupati/walikotasesuai

(17)

Deskripsi KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS) Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)

h)Outcome i. RekomendasiKLHS digunakan sebagai alat untukmelakukan perbaikankebijakan, rencana, dan/atauprogram pembangunan yangmelampaui dayadukungdandaya tampunglingkungan.

ii. segalausahadan/ataukegiatanyangtelah melampauidayadukungdan dayatampung lingkungan hidupsesuaihasilKLHStidak diperbolehkanlagi.

i. Dasar pertimbangan penetapan kelayakan atau ketidaklayakanlingkungan

ii. Jumlah dan jenis izin perlindungan hidup yang diwajibkan

iii. Persyaratandankewajibanpemrakarsasesuaiyang

tercantum dalamRKLRPL.

i)Pendanaan APBD Kabupaten/Kota i. Kegiatan penyusunan AMDAL (KA, ANDAL, RKL-

RPL) didanaioleh pemrakarsa,

ii.Kegiatan Komisi Penilai AMDAL, Tim Teknis dan sekretariat PenilaiAMDAL dibebankanpada APBN/APBD

iii. JasapenilaianKA,ANDALdan RKL-RPLolehkomisi

AMDAL dan tim teknisdibiayaiolehpemrakarsa. j)Partisipasi

Masyarakat

Masyarakatadalahsalahsatukomponendalam

kabupaten/kotayangdapatmengaksesdokumen pelaksanaanKLHS

Masyarakatyangdilibatkanadalah:

i. Yang terkenadampak;

(18)

Tabel8.2 PenapisanRencanaKegiatanWajibAMDAL c.Kota sedang dankecil,luas > 100ha d. keperluansettlementtransmigrasi > 2.000 ha

C. Air LimbahDomestik c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah:

- Luas layanan, atau

a. Kota besar/metropolitan, panjang: > 5 km b. Kota sedang, panjang: > 10 km E. Jaringan Air Bersih Di Kota Besar/Metropolitan

a. Pembangunan jaringan distribusi

- Luas layanan > 500 ha b. Pembangunan jaringan transmisi

(19)

JenisKegiatanBidangCiptaKaryayangkapasitasnya masihdibawah batasmenjadikannyatidak wajibdilengkapidokumenAMDALtetapi wajib dilengkapidengan dokumenUKL-UPL.Jenis kegiatan bidang Ciptakaryadanbatasankapasitasnyayangwajibdilengkapi dokumen UKL-UPLtercermindalamtabel8.2

Tabel8.3PenapisanRencanaKegiatanTidakWajibAMDALtapi WajibUKL-UPL

Sektor Teknis CK Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya

a. Persampahan i. TempatPemrosesanAkhir(TPA)dengansystemcontrolled landfill atau sanitary landfill termasuk instansi penunjang:

฀ Luaskawasan, atau <10Ha

฀ Kapasitas total<10.000ton ii. TPA daerah pasangsurut

฀ Luaslandfill,atau<5Ha

฀ Kapasitas total<5.000 ton iii. PembangunanTransfer Station

฀ Kapasitas<1.000ton/hari

iv. Pembanguna Instalasi/Pengolahan Sampah Terpadu

฀Kapasitas<500ton v. PembangunanIncenerator

฀ Kapasitas<500ton/hari

vi.PembangunanInstansiPembuatanKompos

฀ Kapasitas>50s.d.<100ton/ha

b. Air Limbah

Domestik/Permukiman

i.PembangunanInstalasiPengolahanLumpurTinja (IPLT) termasukfasilitaspenunjang

฀ Luas <2ha

฀ Ataukapasitas<11m3/hari

ii.PembangunanInstalasiPengolahanAir Limbah

฀ Luas <3ha

฀ Atau bahanorganik< 2,4 ton/hari

iii.Pembangunan sistem perpipaan air limbah (sewerage/off-site sanitation system) diperkotaan/permukiman

฀ Luas <500ha

฀ Atau debitairlimbah< 16.000m3/hari

(20)

d. Air Minum i.Pembangunanjaringandistribusi:

฀ luaslayanan:100has.d.<500 ha ii Pembangunanjaringanpipa transmisi

฀ Metropolitan/besar,Panjang:5 s.d<10km

฀ Sedang/kecil, Panjang:8s.d.M10 km

฀ Pelayanan masyarakat oleh penyelenggara SPAM: 2,5 lps-<50lps

฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀ ฀฀ Kegiatankomersil:1,0lps-<50 lps e. Pembangunan Gedung i.Pembangunan bangunan gedung di atas/bawah

tanah:

1) Fungsiusahameliputibangunangedung perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan,wisata dan rekreasi,terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2s.d.10.000m2

2) Fungsikeagamaan,meliputi bangunanmasjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunanpura, bangunanvihara,dan bangunankelenteng:5000m2 s.d. 10.000m2

3) Fungsisosialdanbudaya, meliputibangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum: 5000 m2 s.d.10.000m2

4) Fungsi khusus, sepertireaktornuklir,instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenisyangditetapkanolehmenteri

Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk AmdalmakawajibdilengkapiUKL danUPL

ii.Pembangunanbangunangedungdibawahtanah yang melintasi prasaranadanatausaranaumum:

1) Fungsi usaha meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan, perindustrian,

perhotelan,wisata dan rekreasi,terminal dan bangunan gedung tempat penyimpanan: 5000 m2s.d.10.000m2 2) Fungsikeagamaan,meliputi bangunanmasjid termasuk

mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunanpura, bangunanvihara,dan bangunankelenteng:5000m2 s.d. 10.000m2

3) Fungsisosialdanbudaya, meliputibangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, keudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum: 5000 m2 s.d.10.000m2

4) Fungsi khusus, sepertireaktornuklir,instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenisyangditetapkanolehmenteri

Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk AmdalmakawajibdilengkapiUKL danUPL

iii.Pembangunanbangunangedungdibawahataudi atasair: 1) Fungsiusahameliputibangunangedung perkantoran,

(21)

penyimpanan: 5000 m2s.d.10.000m2

2) Fungsikeagamaan,meliputi bangunanmasjid termasuk mushola, bangunan gereja termasuk kapel, bangunanpura, bangunanvihara,dan bangunankelenteng:5000m2 s.d. 10.000m2

3) Fungsisosialdanbudaya, meliputibangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan, laboratorium, dan bangunangedung pelayanan umum: 5000 m2 s.d.10.000m2

4) Fungsi khusus, sepertireaktornuklir,instalasi pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenisyangditetapkanolehmenteri

Semua bangunan yang tidak dipersyaratkan untuk AmdalmakawajibdilengkapiUKL danUPL

f. Pengembangan kawasan permukiman baru

i. Kawasan Permukiman Sederhana untuk masyarakat berpenghasilanrendah (MBR), misalnyaPNS,TNI/POLRI, buruh/pekerja;

฀ Jumlahhunian:< 500 unitrumah;

฀ Luaskawasan:<10 ha

ii. Pengembangan kawasan permukiman baru sebagaipusat kegiatan sosialekonomi lokal pedesaan (Kota Terpadu Mandiri eks transmigrasi, fasilitaspelintas batasPPLB di perbatasan);

denganpendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) pelayanan infrastruktur, tanpapemindahan penduduk; meningkatkan ekonomi lokal(penanganan kawasan agropolitan, kawasan terpilih pusat pertumbuhan desaKTP2D, desapusat pertumbuhanDPP)

฀ Luaskawasan:<10 ha h. Penanganan Kawasan

Kumuh Perkotaan

i. Penanganan menyeluruh terhadap kawasan

kumuhberatdi perkotaan metropolitanyang dilakukandenganpendekatan peremajaan kota (urban renewal), disertaidengan pemindahan penduduk,dan dapatdikombinasikan dengan penyediaanbangunanrumahsusun

฀ Luaskawasan:<5ha

Sumber : Peraturan MenteriPekerjaanUmum No.10Tahun2008

(22)

dokumen UKL-UPL tetapi wajib dilengkapi dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH).

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :

 Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana

usaha dan/atau kegiatan;

 Luas wilayah penyebaran dampak;

 Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

 Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena

dampak;

 Sifat kumulatif dampak;

 Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

 Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan

yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar d an penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

 Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam

 Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak

terbaharu

 Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan

pemborosan, Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

 Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan

alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

 Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi

pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan

cagar budaya;

 Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad

renik.

Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai

(23)

saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri. Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan

pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh

dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu :

1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.

2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI)

untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi

produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.

3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana

(24)

hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.

4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam

hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai

Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.

Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun

1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani

studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyaraka t di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :

1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan pembangunan.

(25)

3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya

aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –budayanya penting, kurang mendapat kajian

yang seksama.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan

perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik b erbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :

 Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,

 Kekuatan institusi ,

 Pelatihan ilmiah dan profesional,

 Ketersediaan data.

Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan

lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan

(26)

program dan kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan

masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “ bottom up ”.

Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan

menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman

hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.

Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan perencanaan lingkungan, serta mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri -sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan

ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk

bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.

Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi

(27)

Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat dalam setiap usulan

pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.

Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.

Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi

berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani

proses Amdal di daerah bersangkutan.

"Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan proses mengenai Amdal hanya satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi

(28)

menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .

Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan

tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai

rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.

Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.

Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan

pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari

(29)

dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.

UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL

dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong.

Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.

Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.

8.2 Aspek Sosial

Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:

 Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan pemeliharaan.

(30)

termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.

 Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.

 Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.

 Memastikan adanya langkah-langkah mitigasiyang memadai.

Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanansosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sbb:

 Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.

 Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.

 Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.

 Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.

 Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.

 Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.

 Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan program.

 Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.

 Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.

 Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.

 Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.

 Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.

(31)

Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.

Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank

Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

a. Proteksi Lingkungan

Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.

b. Jaminan Kerja

Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.

c. Hak Asasi Manusia

Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap aspek lain di luar pekerjaan.

d. Keterlibatan dalam komunitas

Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang, waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber daya lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.

e. Standar bisnis

Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan keuangan,

perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.

f. Pasar

(32)

pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan produk.

g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal, kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.

h. Proteksi Kesehatan

Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting

untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan. i. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan

Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional.

j. Bantuan bencana kemanusiaan

Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana

kemanusiaan. Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep “respon proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya

pemberdayaan.

8.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

(33)

Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana pembangunan infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya kesenjangan antar-kawasan nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, antara kota Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah urbanisasi yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat tingginya mobilitas

penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses pengembangan wilayah terjadi

karena adanya perkembangan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, yang lalu diikuti dengan penyebaran pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga 25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai 65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.

Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh pertumbuhan

penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang telah ada

sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum merata ke semua golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin.

Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial serta ketersedian infrastruktur suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman dapat mendukung pengembangan ekonomi dan wilayah secara

efisien dan efektif.

Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman

ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan

(34)

berkelanjutan di Indonesia ialah menjaga kawasan dan lingkungan hunian yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia semakin penting sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekarang dan di masa

mendatang.

Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif

tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur ke-PU-an dan permukiman selama 10 tahun terakhir belum dilakukan secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh pendanaan infrastruktur yang masih under-investment (< 2% PDB). Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.

Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran mutu pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi. Selain itu, tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan infratruktur bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional: APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway, dan Asia Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena itu upaya untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan

mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja sama pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus infrastruktur, serta dana

preservasi jalan.

Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta delivery system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan

(35)

berupa pengaturan, pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis dalam dalam penguatan kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah. Pelaksanaan pembangunan juga masih diwarnai praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) walaupun melalui kebijakan selama ini telah pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk menghapus praktik-praktik tersebut.

Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun yang

akan datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara

optimal oleh jajaran birokrasi melalui reformasi birokrasi yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan disiplin dan etos kerja yang prima.

Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat. Demikian pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan akan dapat terus mendorong percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan lingkungan.

Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur, khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah kendala alamiah berupa struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi penduduk di Jawa dan luar Jawa; menurunnya kinerja infrastruktur yang menjadi tanggung

jawab pemerintah daerah seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang menyebabkan

terhambatnya kelancaran pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.

Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an diuraikan di bawah ini.

(36)

 Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk

meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota metro/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah yang masih rendah, sementara konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan TPA sampah sampai saat ini masih sering terjadi di samping ketersediaan sarana dan prasarana persampahan

masih belum memadai.

 Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan

terkecil hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi maupun antar kabupaten/kota dan provinsi.

 Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek

kesehatan akan menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan dan standar teknis.

 Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas

fasilitas sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa layanan publik dan kesehatan.

 Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta)

dalam pendanaan pembangunan prasarana air minum.

 Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air

minum baik dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air minum.

 Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat

penambahan keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah,

terdapat backlog perumahan sebesar 6 juta unit.

 Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun

kebakaran melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan administrasi/perizinan.

 Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun

(37)

dapat meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan kriminalitas.

 Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green

building) untuk mengendalikan penggunaan energi sekaligus mengurangi emisi gas dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi dan adaptasi terhadap isu pemanasan global.

 Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya

pemanfaatan ruang bagi permukiman.

 Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan,

besar, menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional.

 Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.

Isu strategis sub-sub bidang ke-Cipta Karya-an

 Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk

kawasan perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih mengutamakan mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar dari konsumen yang sudah cukup tinggi. Potensi swasta dan masyarakat yang sangat besar dalam pengembangan kawasan belum dikelola dengan optimal.

 Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan

persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

 Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat

parsial, sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir

dan genangan secara tuntas.

 Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional

sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan law enforcement-nya.

 Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan

(38)

penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air minum; makin sulitnya penyediaan air baku; serta masih rendahnya cakupan dan kualitas pelayanan penyelenggaraan air minum.

 Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak

konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada.

 Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai

dengan pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan, serta mendorong daerah untuk

lebih optimal dalam pengelolaan gedung dan penataan lingkungan dengan melengkapi Perda tentang Bangunan Gedung; Ruang Terbuka Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK); Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan; dan pengelolaan sanitasi.

 Meningkatkan jumlah bangunan gedung yang andal (keselamatan,

kesehatan, kenyamanan dan kemudahan) serta meningkatkan kualitas pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara.

 Meningkatkan jumlah kawasan/bangunan bersejarah dan tradisional

yang direvitalisasi dan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk penataan lingkungan.

Tantangan pembangunan sub bidang jasa konstruksi

 Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia

(BPKSDM) Departemen PU menerima mandat sebagai pembina jasa konstruksi nasional untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tantangan ke depan pemerintah perlu lebih serius melaksanakan pembinaan jasa

konstruksi mengingat meningkatnya concern terhadap jasa konstruksi. Sementara di lain pihak pembinaan jasa konstruksi yang

selama ini berjalan ditengarai dan dipersepsikan lebih menjadi bagian dari tugas Departemen PU semata dan belum menjadi tanggung jawab semua pihak.

 Meningkatnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan

(39)

601/2006 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi di Daerah dengan membentuk unit kerja yang mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi dan pengalokasian APBD untuk pembinaan jasa konstruksi perlu mendapat apresiasi yang positif. Namun unit struktural pembina jasa konstruksi daerah belum jelas dengan berlakunya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa pembinaan jasa

konstruksi masuk dalam rumpun urusan pekerjaan umum. Selain itu, petunjuk teknis mengenai pembentukan unit struktural pembina jasa

konstruksi di daerah belum tersedia dan Tim Pembina jasa konstruksi di tingkat pusat sesuai PP 30/2000 yang bertugas untuk mengkoordinasikan pembinaan jasa konstruksi antar departemen dan LPND terkait dalam rangka pembinaan jasa konstruksi daerah (provinsi) belum terbentuk.

 Asosiasi konstruksi juga masih lebih cenderung mengutamakan

kepentingan-kepentingan politis, sementara forum jasa konstruksi belum intens dan kurang maksimal melakukan pembinaan.

 Memperkuat pasar konstruksi dan meningkatkan profesionalisme

industri konstruksi. Termasuk perlunya memperkuat para pelaku usaha konstruksi kecil dan menengah antara lain karena lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

 Dari sekitar 115 ribu kontraktor di Indonesia hampir semuanya

memperebutkan 40% pangsa pasar jasa konstruksi nasional yang

umumnya disediakan pemerintah (APBN dan APBD). Sedangkan 60% pasar jasa konstruksi Indonesia lainnya, justru diambil

kontraktor luar negeri terutama sektor migas. Sementara permintaan keterlibatan badan usaha/tenaga kerja konstruksi di luar negeri terus meningkat.

(40)

 Kompetensi SDM Konstruksi Indonesia masih harus ditingkatkan

dalam bersaing di tingkat internasional. Pemerintah perlu meningkatkan kemampuan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan agar dapat menghasilkan keluaran (lulusan) yang memiliki standar internasional.

 Meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) jasa

konstruksi menuju tenaga ahli bidang konstruksi terampil.

 Sumber Daya Manusia (SDM) jasa konstruksi masih menghadapi

permasalahan pada proses sertifikasi yang masih kurang obyektif

dan mahal, sehingga langsung atau tidak langsung menyebabkan tenaga ahli dan tenaga terampil bidang konstruksi masih jauh dari cukup.

 Meningkatkan kualitas prasarana dan sarana pelatihan mengacu

pada kebutuhan pelatihan berbasis kompetensi (kondisi prasarana dan sarana pelatihan saat ini sangat jauh tertinggal dibandingkan beberapa negara tetangga).

 Meningkatkan kualitas sertifikasi dan pelatihan tenaga kerja

konstruksi.

 Penerapan konsep green construction yang merupakan proses

konstruksi yang menggunakan bahan bangunan yang tepat, efisien, dan ramah lingkungan di bidang pembangunan konstruksi dalam rangka merespon pemanasan global.

 Lemahnya penguasaan teknologi dan akses permodalan Badan

Usaha Jasa Konstruksi serta masih seringnya terjadi kegagalan bangunan dan mutu konstruksi yang belum sesuai standar .

 KKN dalam industri konstruksi nasional masih dominan dalam

perilaku bisnis jasa konstruksi. Kondisi ini telah membuat persaingan

di industri konstruksi bukan berdasarkan kompetensi tetapi negoisasi atau lobby (oligopolis).

 Pasar jasa konstruksi nasional masih terdistorsi akibat

Gambar

Tabel 8.1 Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL

Referensi

Dokumen terkait

den gam hol11Ultt dil&gt;eritahu kan1 b!lh:w&amp;l pelmtolw:aru tersebut'da·pat; dilleiuj;Ui:. D.emililitm

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan gratitude pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Surabaya. Gratitude merupakan suatu perasaan yang bersifat

Dengan demikian, pada taraf signifikansi 5% dan 1% hasilnya adalah hipotesis alternatif (Ha) dapat diterima yang berarti bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan

31 Orangtua selalu mengingatkan untuk berhati-hati jika mengendarai sepeda motor. 32 Menurut pendapat saya orangtua selalu memantau prestasi saya

“BSM mobile banking sudah menjadi aplikasi yang sangat penting bagi saya untuk melakukan segala kegiatan transaksi, seperti melalukan pembelian token PLN dll, tapi

Agar dalam penulisan laporan akhir ini tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasannya yaitu Sistem Pengendalain

Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) ditinjau dari Self- Confidence terhadap pemahaman konsep

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh model pembelajaran active learning tipe Group to Group Exchange terhadap