TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TANGGUNG JAWAB
SOSIAL KORPORASI
KURSUS HAM – ELSAM - BOGOR, 16 JANUARI 2015 NUR KHOLIS
Special Rapporteur on Human Rights and Business INDONESIAN NATIONAL COMMISSION ON HUMAN
RIGHTS (KOMNAS HAM)
NEGARA DAN KORPORASI
• Dampak globalisasi yang dirasakan terutama dinegara-negara dunia ketiga menimbulkan kekhawatiran tentang menurunnya fungsi Negara untuk mensejahterakan rakyatnya. David Korten (When Corporations Rule The World 1995) menyatakan bahwa dalam paruh akhir abad keduapuluh terjadi perubahan yang luar biasa dari sejarah manusia. Selanjutnya, korporasi telah menjelma menjadi institusi yang sangat dominan mempengaruhi setiap kehidupan bangsa, bahkan melebihi kekuasaan Negara.
• Menguatnya kedudukan korporasi yang digambarkan oleh David Korten (1995), bahkan telah melampaui kekuasaan Negara pada era tahun 1970 an. Perusahaan transnasional maupun lokal dengan segala
kemampuannya yang memiliki modal, teknologi, sumber daya manusia,
network dan kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah telah menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan segala kemampuannya tindakan korporasi justeru
sering menimbulkan konflik tentunya sangat merugikan masyarakat yang berada di daerah sekitarnya.
KOMITMEN INTERNASIONAL
• Menyadari konflik-konflik akibat beroperasinya korporasi, tahun 1974, PBB menyetujui the New International Economic Order, suatu tuntutan dari
Negara-negara miskin atas tata ekonomi dunia saat itu. Eksploitasi dari tatanan ekonomi dunia membawa akibat pada rendahnya pertumbuhan serta melebarnya jurang antara Negara kaya dan miskin. Untuk
menyembuhkannya, mereka (Negara-negara miskin) menuntut accelerated growth atas ekonomi mereka, pemerataan antar negara, dan realokasi
kekuasaan.
• Selain menyetujui the New International Economic Order, pada awal tahun 2011, Komisi HAM PBB, dengan suara bulat dan penuh, mengesahkan Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UN Guiding Principles on Business and Human Rights 2011). Pengesahan
Prinsip-prinsip panduan ini mendapatkan dukungan yang penuh dari 28 negara yang tergabung dalam Dewan HAM PBB dan 12 sponsor lintas regional, serta dilakukan tanpa voting. Sehingga, dapat dimaknai bahwa Prinsip-prinsip panduan ini mendapatkan dukungan universal.Dukungan universal ini sangat penting dalam rangka memberlakukan dan Menerapkan
Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”. Prinsip-prinsip panduan ini menetapkan norma-norma
berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional dan harapan sosial, memberikan landasan tidak hanya untuk masa depan pembuatan aturan oleh negara-negara di tingkat nasional dan global, tetapi juga kerangka otoritatif terhadap perilaku bisnis yang akan dinilai dari titik ini ke depan.
UN Guiding Principles on Business
and Human Rights 2011-UNGP
S
Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan HAM ini disahkan oleh Dewan HAM
PBB pada 16 Juni 2011. Perwakilan pemerintah Indonesia hadir dalam
pengesahan ini dan memberikan dukungan penuh. Prinsip-prinsip panduan
ini pada dasarnya terdiri dari tiga pilar yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu
:
1. Kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia, di mana
pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia
oleh pihak ketiga, termasuk bisnis;
2. Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, yang
berarti tidak melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional
dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari
operasional korporasi; dan
3. Kebutuhan untuk memperluas akses bagi korban mendapatkan pemulihan
yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.
Proses yang sedang berlangsung di forum internasional saat ini adalah
mendorong kekuatan mengikat dari UNGPs ini, terutama bagi korporasi.
Tanggung Jawab Negara dan
Tanggung Jawab Sosial Korporasi
• UNGPs ini menjadi jalan keluar terhadap kondisi sistem hak asasi manusia internasional yang ada saat ini, yang hanya didasarkan pada asumsi utama tentang kekuasaan negara sebagai penanggung jawab utama (duty holder). Sehingga sebuah hal yang logis jika korporasi tidak dapat dituntut tanggung jawab hukumnya untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, junto
pasal 71 UU 39 tahun 1999. Untuk itu, konsep tanggung jawab/kewajiban dalam hukum hak asasi manusia internasional harus diperluas, sehingga dapat juga mencakup korporasi. Selain itu, hal ini juga merupakan kesempatan bagi advokasi hak asasi manusia untuk menuntut tanggung jawab tidak hanya Negara, tetapi juga korporasi. Hal ini jelas diperlukan dengan
mempertimbangkan dampak yang dibuat korporasi dimana mereka beroperasi.
• Komnas HAM sendiri, misalnya pada tahun 2012 telah menerima pengaduan sebanyak 6.284 berkas pengaduan yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Kasus sengketa lahan/ konflik agraria tercata sebagai salah satu kesus yang paling banyak diadukan bahkan selama empat tahun terakhir.
Penguasaan Tanah di Indonesia
• Hingga tahun 2010, sekitar 60% dari seluruh luas daratan di Indonesia, yang jumlah seluruhnya lebih-kurang 190 juta hektar, telah dialokasikan dan atau dikuasai oleh korporasi untuk kegiatan bisnis ekstraksi sumberdaya alam.
Peningkatan jumlah lahan yang dialokasikan untuk kegiatan bisnis ekstraksi sumberdaya alam oleh korporasi khususnya terjadi sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa (Bachriadi dan Wiradi 2011: 12-15 dan 2013: 46-49). Sementara berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013 hanya ada sekitar 23 juta hektar, atau sekitar 12% dari luas seluruh daratan Indonesia, yang digunakan dan tersedia untuk kegiatan pertanian rakyat yang digarap oleh sekitar 26 juta rumah tangga petani (Bachriadi 2014).
• Di kalangan petani sendiri penguasaan tanah yang sangat timpang ditandai dengan tingginya angka rasio gini ketimpangan penguasaan tanah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang selalu menunjukan angka di atas 0,6 (Bachriadi 2014, Bachriadi dan Wiradi 2011 dan 2013). Sementara rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani di Indonesia tidak pernah lebih dari 1 hektar, kecuali pada masa sebelum Orde Baru berkuasa dimana rata-rata penguasaan tanah rumah tangga petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1963 adalah 1,05 hektar (Bachriadi dan Wiradi 2011: 22, dan 2013: 54).
• Rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani yang hanya berkisar 1 hektar pasca kemerdekaan hingga hari ini menunjukan kegagalan Negara untuk memenuhi kewajibannya dalam rangka memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dari sebagian besar warga negara. Undang-undang Pokok Agraria yang berlaku sejak tahun 1960 telah menyatakan bahwa pemerintah (penyelenggara negara) harus berupaya menyediakan/memberikan tanah minimal seluas 2 hektar untuk rumah tangga petani agar mereka dapat mensejahterakan hidupnya Rasio gini ketimpangan tanah adalah suatu formulasi untuk mengukur tingkat ketimpangan penguasaan tanah dalam suatu masyarakat. Angka rasio gini berkisar antara 0 sampai 1. Angka 0 menunjukan kondisi ketiadaan ketimpangan secara absolut, sedangkan angka rasio gini yang semakin mendekati 1 menunjukan semakin kondisi yang semakin timpang (dimana angka 1 menunjukan terjadinya ketimpangan absolut).
• Meskipun terus menunjukan kecenderungan menurun, berdasarkan hasil-hasil Sensus Pertanian (SP) dapat diketahui ada lebih dari 50% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di Indonesia yang masih menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian. Hasil SP-1973 menunjukan angka lebih kurang 80%, SP-1983 hingga 2003 menujukan jumlah sekitar 70% (Bachriadi dan Wiradi 2011: 16-18 dan 2013: 49-51). Sementara hasil SP-2013 yang belum memperhitungkan jumlah rumah tangga buruh tani, prosentase rumah tangga petani disbanding jumlah
JMLAH PENGADUAN SENGKETA
LAHAN
Jumlah berkas pengaduan sengketa lahan
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012
422 Berkas 819 Berkas 1.064 berkas 1.213 berkas
1]
:
Konflik Agraria yang ditangani
Komnas Ham
• Sementara dari jumlah pengaduan masyarakat ke KOMNAS HAM
yang terus bertambah dari tahun ke tahun (2008: 4.843 pengaduan;
2010: dari 6.437 pengaduan, sebanyak 1.018 kasus adalah kasus
konflik agrarian dan konflik ha katas tanah ; 2012: dari 6.284
pengaduan, sebanyak 1.064 adalah kasus konflik agrarian dan ha
katas tanah), maka pengaduan yang terkait dengan sengketa dan
konflik agraria selalu menunjukan jumlah terbanyak. Bahkan sejak
KOMNAS HAM didirikan pada tahun 1993, pengaduan kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terkait dengan sengketa dan konflik agraria
selalu menempati posisi teratas (Lucas dan Warren 2013: 24).
Number of cases in 2013
No
The institutions that subject
of the complaint to the
KOMNAS HAM
The number of
cases
1.
Police Agencies
1785
2.
Corporation
937
3.
Center and Local
Government
828
Apa yang harus dilakukan?
• Identifikasi penerapan UN Guiding Principles on Business and Human Rights 2011
(UNGP) pada perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan serta badan-badan usaha milik negara di Indonesia. Rekam jejak atas praktek-praktek penerapam UNGP di berbagai korporasi di Indonesia ini, akan dijadikan sebagai bahan rencana penyusunan
mekanisme nasional dibidang Bisnis dan HAM;
• Rumusan tentang anatomi perbedaan tanggung jawab Negara dan tanggung jawab social
perusahaan dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, social dan budaya melalui praktek-praktek yang sudah dilakukan, baik oleh korporasi maupun oleh Badan-badan usaha milik Negara;
• identifikasi best practice model penyelesaian kasus-kasus yang dapat dijadikan contoh
untuk penyelesaian kasus-kasus antara masyarakat dengan korporasi dan Negara;
• Rencana tindak lanjut bersama antar multi stakeholders yang dapat direalisasikan bagi
penguatan komitmen dan koordinasi untuk penyelesaian kasus-kasus terkait tanggung jawab Negara dan tanggung jawab sosial korporasi dalam pemenuhan hak-hak ekonomi social dan budaya masyarakat.