BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Landasan Teori
2.1.1. Teori keagenan (Teory agency)
Agency Theory menjelaskan tentang hubungan antara pihak pemilik (principal) dan manajemen (agent). Hubungan principal dengan agent terjadi apabila tindakan yang dilakukan
seseorang memiliki dampak kepada orang lain. Menurut Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan teori keagenan sebagai hubungan yang didalamnya terdapat suatu kontrak
dimana satu orang atau lebih (principal) memerintah orang lain (agent) untuk melakukan suatu jasa atas nama principal dan memberi wewenang kepada agent untuk membuat keputusan yang
terbaik bagi principal.
Kepentingan manjemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan, hal
tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi manajer tersebut. Pemegang
saham menginginkan agar pendanaan tersebut dibiayai oleh hutang, tetapi manajer tidak
menyukai dengan alasan bahwa penggunaan hutang mengandung resiko yang tinggi. Teori
keagenan mengemukakan jika antara pihak principal (pemegang saham) dan agent (manajer)
memiliki kepentingan yang berbeda akan muncul konflik yang dinamakan masalah keagenan
(agency problem).
Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan pengawasan
memadai. Pengawasan yang diperlukan adalah melalui cara-cara seperti, pemeriksaan laporan
keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang diambil manajemen. Konflik ini dapat
kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut namun, akan menimbulkan biaya juga yang disebut dengan
agency cost. (Houston 2006 dalam Silitonga 2014)
Menurut Brigham dan Houston, (2006) Konflik keagenan terjadi karena manajer
memiliki informasi yang lebih baik tentang prospek perusahaan dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh pemegang saham atau disebut dengan asymetric information. Selain itu, konflik
seperti ini khususnya kemungkinan besar terjadi ketika para manajer sebuah perusahaan
memiliki terlalu banyak uang yang dapat mereka gunakan untuk mendanai proyek-proyek
pribadi para manajer yang tidak memberikan manfaat untuk memaksimalkan harga-harga saham.
Akibat dari konflik keagenan adalah timbulnya biaya keagenan (agency cost) yang
berguna untuk mensejajarkan kepentingan kepentingan manajer dan pemegang saham. Biaya
keagenan dapat dikurangi dengan penggunaan hutang. salah satu alternatif guna mengurangi
kelebihan arus kas adalah dengan mengubah struktur modal ke arah hutang dengan harapan
persyaratan penutupan hutang yang lebih tinggi akan memaksa manajer untuk lebih disiplin.
Ada beberapa alternative untuk mengurangi agency cost yaitu :
1. Meningkatkan pendanaan hutang.
2. Meingkatkan divedend payout ratio.
3. Meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen.
2.1.2. Signaling Theory
Brigham dan Houston (2007) menyatakan bahwa pihak eksekutif perusahaan memiliki
informasi lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi
tersebut kepada calon investor agar harga saham perusahaannya meningkat, Dalam signalling
dengan perusahaan yang tidak memiliki “berita bagus” dengan menginformasikan pada pasar
tentang keadaan mereka, sinyal tentang bagusnya kinerja masa depan yang diberikan oleh
perusahaan yang kinerja keuangan masa lalunya tidak bagus tidak akan dipercaya oleh pasar
Manajer pada umumnya termotivasi untuk menyampaikan informasi yang baik mengenai
perusahaannya ke publik secepat mungkin, misalnya melalui jumpa pers. Namun pihak diluar
perusahaan tidak tahu kebenaran dari informasi yang disampaikan tersebut. Jika manajer dapat
memberi sinyal yang meyakinkan, maka publik akan terkesan dan hal ini akan terefleksi pada
harga sekuritas. Jadi dapat disimpulkan karena adanya asymetric information, pemberian sinyal kepada investor atau publik melalui keputusan-keputusan manajemen menjadi sangat penting.
2.2Telaah Pustaka
2.2. 1. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial yang merupakan persentase kepemilikan saham oleh pihak
manajerial atau sering disebut dengan situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau
dengan kata lain manajer perusahaan tersebut sekaligus pemegang saham perusahaan akan dapat
mensejajarkan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga manajer akan
merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dengan benar dan merasakan kerugian
jika keputusan yang diambil salah, terutama pada pengambilan keputusan mengenai pencarian
dana apakah melalui hutang atau right issue. Jika pendanaan diperoleh melalui hutang berarti rasio hutang terhadap equity akan meningkat, sehingga akhirnya akan meningkatkan resiko (Setiana dan Sibagariang 2013).
2.2.2 Kepemilikan institusional
Riska dan Handayani (2009) dalam Angraini (2013) Kepemilikan institusional yaitu
dengan pemegang saham kelompok lain untuk cenderung memilih proyek yang lebih beresiko
dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang tinggi. Kepemilikan institusional disuatu
perusahaan akan meningkatkan pengawasan agar lebih optimal terhadap kinerja manajemen,
karena kepemilikan saham institusional mewakili sumber kekuasaan yang dapat mendukung atau
sebaliknya.
Semakin meningkatnya kepemilikan institusional dapat mengimbangi kebutuhan terhadap
penggunaan hutang, ini bearti kepemilikan institusional dapat menggantikan peran hutang dalam
memonitor manajer dalam perusahaan dan mengurangi masalah keagenan dalam perusahaan.
Dengan demikian semakin besar persentase saham yang dimiliki kepemilikan institusional dapat
menyebabkan usaha monitoring menjadi semakin efektif karena dapat mengendalikan perilaku
opportunistic yang dilakukan oleh para manajer. Institusi dapat memliki saham mayoritas disebabkan institusi memiliki sumber daya yang lebih besar jika dibandingkan pemegang saham
lainnya yang umumnya peroranagan.
Kepemilikan institusional yang tinggi akan mengakibatkan pihak manajemen berhati-hati
dalam menggunakan hutang karena apabila hutang tersebut digunakan untuk membiayai proyek
beresiko tinggi mungkin dapat pemegang saham institusional menjual saham yang dimilikinya.
2.2.3 Free Cash Flow
Free Cash Flow merupakan dana kas dari hasil operasi yang siap dibagikan kepada pemegang saham maupun kreditur dan tidak digunakan untuk investasi pada modal kerja
maupun aktiva tetapnya. Jadi Free Cash Flow pada prinsipnya merupakan sisa lebih dari hasil operasi perusahaan selama satu periode yang lalu dan siap untuk didistribusikan kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen, kepada kreditur dalam bentuk pembayaran bunga atau
Masalah keagenan akan menguat, ketika perusahaan mampu menghasilkan Free Cash Flow yang tinggi. Dengan adanya free cash flow yang tinggi ada kecenderungan manajer kurang
berhati-hati dalam pemanfaatannya atau bahkan akan muncul moral hazard, dimana manajer akan memanfaatkannya guna kepentingan pribadinya, sehingga tidak sesuai lagi dengan
kepentingan pemilik/pemegang saham.
Perusahaan yang memiliki Free Cash Flow tinggi ada kecenderungan memiliki utang yang tinggi khususnya bagi perusahaan yang memiliki peluang investasi yang rendah. Utang yang
tinggi tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi terjadinya Agency Cost Free Cash Flow yang tinggi tadi. Akibatnya para pemegang saham akan menuntut pembayaran dividen dalam jumlah
yang lebih besar atas Free Cash Flow yang tinggi tersebut. (Syafi’I 2011)
2.2.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan perusahaan dalam
menentukan kebijakan hutangnya. Perusahaan besar memiliki keuntungan lebih dikenal oleh
publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Namun untuk penggunaan hutang lebih banyak
digunakan oleh perusahaan besar dibandingkan dengan perusahaan kecil (Pakhapan 2012).
Syadeli (2013) menentukan besar kecilnya ukuran perusahaan dapat dilakukan
menggunakan total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva,
penjualan, dan kapitalisasi pasar, maka semakin besar pula ukuran perusahaan itu.
Perusahaan-perusahaan dengan ukuran besar cenderung lebih mudah untuk memperoleh
pinjaman dari pihak ketiga, karena kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang
dimiliki berupa aset bernilai besar dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan yang
memiliki ukuran besar akan lebih mudah memasuki asar modal sehingga dengan kesempatan ini
2.2.5 Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang perushaan merupakan kebijakan yang diambil oleh pihak manajer dalam rangka memperoleh sumber sumber pembiayaan dari pihak ketiga untuk membiayai
aktivitas operasional perusahaan. Hal ini berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Struktur
modal adalah perimbangan antara modal asing atau hutang dengan modal sendiri. Pemilik
perusahaan menggunakan hutang pada tingkat tertentu agar harapan pemilik perusahaan dapat
tercapai. Disamping itu perilaku manajer dan komisaris perusahaan juga dapat dikendalikan.
Tambahan dana hutang menyebabkan pemegang saham terpaksa menerima proyek yang
lebih beresiko dengan alasan, jika proyek berhasil, kepentingan kreditur atas bunga dan pokok
pinjaman akan terlindung dari investor eksternal bisa menikmati sisa keuntungan. Tetapi jika
proyek gagal, kreditur akan menanggung biaya resiko yang meningkat, karena pemegang saham
memliki kewajiban terbatas. Kreditur mengantisipasi resiko ini dengan memindahkan resiko
kepada pemegang saham melalui peningkatan biaya hutang. Kebijakan hutang memiliki
pengaruh pendisiplinan perilaku manajer.
Hutang akan mengurangi konflik agensi dan meningkatkan nilai perusahaan.
Peningkatan hutang meningkatkan leverage sehingga meningkatkan kemungkinan kesulitan-kesulitan keuangan atau kebangkrutan. Kekhawatiran akan kebangkrutan mendorong manajer
agar efisien, sehingga memperbaiki biaya agensi. Hutang memaksa perusahaan membayar pokok
hutang dan bunga sehingga mengurangi free cash flow dan menurunkan insentif manajer untuk
berperilaku memuaskan diri sendiri.
Kebijakan hutang sering diukur menggunakan debt ratio yang mencerminkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh
semakin rendah DER (debt to equity ratio), semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya. Pada akhirnya peningkatan hutang akan mempengaruhi tingkat
pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham termasuk dividen yang akan diterima.
(Setiana dan Sibagariang 2013).
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu NO Nama
Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil 1. Sudjana
dan Saifi (2015) Analisis kepemilikan manjerial, kebijkan dividen dan profitabilitas terhadap kebijakan hutang (studi pada perusahaan manufaktur yang tercatat pada BEI periode 2010-2012 Kepemilikan manjerial, kebijakan didviden, dan profitabilitas Regresi berganda Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel kepemilikan manajerial, kebijakan dividen,dan profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan hutang perusahaan.
2. Hasan (2014)
Pengaruh kepemilikan manajerial, free cash flow dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang (pada perusahaan-perusahaan industri dasar dan kimia yang terdaftar di BEI periode 2009-2011
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil menunjukkan bahwa makin besar ukuran perusahaan maka akan makin tinggi nilai debt to equity ratio (DER). Kepemilikan manajerial, free cash flow, dan ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang. 3. Sibagariang
(2013)
Pengaruh free cash flow dan kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
Free cash flow, kepemilikan manajerial Regresi berganda Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial free cash flow
berpengaruh terhadap kebijakan hutang
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil (2012) kepememilikan
manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang pada perusahaan. manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan.
berganda menunjukkan bahwa secara simultan variable independent kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, d an ukuran perusahaan, mempengaruhi variable dependen kebijakan hutang. Sedangkan secara individu, hanya dua variable saja yaitu kepemilikan institusional dan ukuran perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan hutang. 6. Syafi’i
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil (2013) kepemilikan
manajerial, kepemulikan institusional, kebijakan dividen dan ukuran perusahaan terhadap kebujakan hutang (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010 - 2012)
kepemiliakan, kepemilikan institusional kebijakan dividen dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang
berganda ini menujukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang, kepemilikan institusional tidak berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang, sedangkan kebijakan dividen dan ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil perusahaan
basic industry dan chemical di BEI pada tahun 2009-2011 9. Silitonga
(2014) Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas terhadap Kebijakan Hutang (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI) Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Regresi berganda Hasil penelitian mengindikasikan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang, sedangkan variabel kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan terhadap tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang. 10 Purwasih, Restu dan Azhar Analisis pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen, profitabilitas, ukuran perusahaan dan struktur asset terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
NO Nama Peneliti
Judul Penelitian
Variabel Independen
Model
Analisis Hasil Indonesia
periode 2010-2012
profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap
kebijakan hutang. Variabel ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap
kebijakan hutang. Variabel struktur asset
tidak terdapat pengaruh signifikan struktur asset terhadap
NO Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Independen Model
Analisis Hasil 11 Gusti
(2013)
Pengaruh free cash flow dan struktur kepemilikan sahan terhadap kebijaka hutang dengan investmen opportunity set sebagai vareiabel moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI)
Free cash flow, struktur
kepemilikan sahan
Regresi berganda
Free cash flow
berpengaruh signifikan positif terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan dengan arah hubungan negatif sesuai dengan teori terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan hutang pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Hubungan pengaruh free cash flow terhadap kebijakan hutang secara signifikan diperlemah oleh investment opportunity set.
Dalam hal ini
investment opportunity set
dapat dijadikan pemoderasi hubungan antara
NO Nama Peneliti
Judul Penelitian
Variabel Independen
Model
Analisis Hasil dengan kebijakan hutang.
Hubungan pengaruh kepemilikan manajerial terhadap
kebijakan hutang tidak dapat diperkuat oleh
investment opportunity set.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan informasi yang ada Penelitan ini menganalasis kepemilikan manajerial,
kepemilikan institusional, free cash flow dan ukuran perusahaan untuk melihat pengaruhnya terhadap kebijkan hutang pada perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang
terdaftar di BEI sehingga diketahui apakah perusahaan tersebut mengambil keputusan kebijakan
hutang untuk operasional perusahaan.
2.3.1 Kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang
Pada teori agensi menerangkan kepemilikan manjerial menimbulkan konflik keagenan
karena terdapat perbedaan kepentingkan antar kepemilikan saham manajerial dan kepemilikan
saham institusonal. Peningkatan dari kepemilikan saham oleh pihak manajerial akan membuat
manajer lebih berhati-hati dalam menggunakan hutang dan meminimalisir risiko yang akan
ditimbulkan karena pihak manajer merasa memiliki perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena
manajer akan merasakan manfaat langsung dari setiap keputusan yang diambil dan kerugian jika
keputusan yang diambil salah. Dengan demikian menurut teori agensi semakin tinggi
2.3.2 Kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang
Semakin besar persentase saham yang dimiliki institusional dapat menyebabkan usaha
monitoring menjadi semakin efektif. Institusi dapat memiliki saham mayoritas disebabkan
institusi memiliki sumber daya yang lebih besar jika dibandingkan pemegang saham lainnya
yang umumnya peroranagan. artinya kepemilikan institutisional semakin tinggi maka semakin
rendah kebijakan hutang perusahaan karena dapat melakukan pengawasan sehingga pihak
manajer lebih mempertimbangkan mengambil kebijakan hutang (Wahyu 2011 dalam Tjeleni
2013).
2.3.3 Free cash flow terhadap kebijakan hutang
Free cash flow dapat menimbulkan konflik keagenan (agency conflict) kepentingan antara pemegang saham dan manajer. apabila nilai free cash flow mengalami penambahan maka kemungkinan kebijakan hutang pun akan mengalami penambahan nilai. Hal ini berarti bahwa
perusahaan tidak mempunyai kesempatan untuk bertumbuh sehingga manajer sudah tidak
mempunyai kesempatan untuk berinvestasi. Manajer cenderung akan berperilaku opportunistik
dengan tujuan untuk memuaskan kepentingan pribadinya. Dengan meningkatkan hutang maka
manajer harus menyisihkan dana yang lebih besar untuk membayar bunga dan pinjaman
pokoknya secara periodik sehingga dana yang tersisa menjadi kecil (Setiana dan Sibagariang
2013).
2.3.4 Ukuran perusahaan terhadap kebijakan hutang
Ukuran perusahaan merupakan karakteristik perusahaan yang dapat mengklasifikasikan
apakah suatu perusahaan termasuk kedalam ukuran perusahaan kecil, menengah, ataupun besar.
Dalam teori signaling ketika ukuran perusahaan yang terukur kecil maka akan memunculkan
untuk mendapatkan laba yang diinginkan sehingga pihak principal akan cenderung pergi dan memilih perusahaan lain yang lebih meyakinkan. Hal ini dapat memicu perusahaan ukuran kecil
melakukan kebijakan hutang untuk membiayai operasional perusahaannya (Syadeli2013).
Gambar 2.2 Kerangka penelitian
Keepemilikan institusional
(X2)
Free cash flow (X3)
Ukuran perusahaan (X4)
Kebijkan hutang (Y) Kepemilikan manajerial
(X1)
H1 (-) H2 (-)
H3 (+)
2.4 Hipotesis Penelitian
2.4.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kebijakan Hutang
Peningkatan kepemilikan saham pihak manajerial akan membuat manajer
mepertimbangkan dalam menggunakan hutang dan meminimalisir risiko yang akan ditimbulkan
karena pihak manajer merasa memiliki perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena manajer akan
merasakan manfaat langsung dari setiap keputusan yang diambil dan kerugian jika keputusan
yang diambil salah. Dengan demikian menurut teori agensi semakin tinggi kepemilikan saham
yang dimiliki oleh pihak manajer maka hutang yang akan digunakan suatu perusahaan akan
semakin rendah.
Hasil penelitian Hasan (2014) menyatakan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap kebijakan hutang hasil tersebut didukunng oleh Syafi’i (2011), Murtiningtyas (2012)
dan Indiana (2015) yang menyatakan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap
kebijakan hutang, adapun hasil yang bertentangan yang dinyatakan oleh Indiana (2015)
Indhaningrum ,Handayani (2009) Purwasih, Agusti dan Azhar (2014) menyatakan kepemilikan
manajerial berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang Berdasarkan uraian di atas maka
hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
H1 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. 2.4.2 Pengaruh Kepemilkan Institusional terhadap Kebijakan Hutang
Besarnya persentase saham pada kepemilikan institusional dapat menyebabkan usaha
monitoring menjadi efektif karena dapat mengendalikan perilaku opportunistic yang dilakukan oleh para manajer. Institusi dapat memiliki saham mayoritas disebabkan institusi mempunyai
sumber daya yang lebih besar jika dibandingkan pemegang saham lainnya yang umumnya
hutang perusahaan karena dapat melakukan pengawasan sehingga pihak manajer lebih
mempertimbangkan mengambil kebijakan hutang.
Berdasarkan Penelitian Yeniatie dan Destriana (2010) dan Rokhman (2015) menyatakan
bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang. hasil
tersebut didukung oleh Murtiningtyas (2012) dan Indiana (2015) Kepemilikan institusional
berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan hutang, adapun hasil yang bertentangan
dinyatakan oleh Phakapan (2012), Purwasih, Agusti dan Azhar (2014), Naini (2014) menyatakan
kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Berdasarkan uraian
tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap Kebijakan Hutang.
2.4.3 Pengaruh Free cash flow terhadap Kebijakan Hutang
Free cash flow berpontensi menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham dan
manajer yang disebut konflik keagenan (agency theory). Hal tersebut terjadi karena adanya
perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak. yaitu pemegang saham menginginkan sisa
dana tersebut dibagikan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Manajer cenderung akan
berperilaku memuaskan kepentingan pribadinya. Dengan meningkatkan hutang maka manajer
harus menyisihkan dana yang lebih besar untuk membayar bunga dan pinjaman pokoknya secara
periodik sehingga dana yang tersisa menjadi kecil.
Hasil penelitian Syafi’I (2011) free cash flow berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang
hasil tersebut didukung oleh Susilawati, Agustina dan Tien (2012), Astuti dan Nurlaelasari
Syafitri (2013), Junaidi (2013) dan Suryani dan Khafid (2015) yang menyatakan free cash flow
berpengaruh negatif terhadap kebijkan hutang. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dibuat
hipotesis sebagai berikut :
H3 : Free Cash Flow berpengaruh positif terhadap Kebijakan Hutang
2.4.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang
Ukuran perusahaan merupakan keseluruhan dari aktiva yang dimilki oleh suatu
perusahaanyang dapat dilihat dari sisi kiri neraca. pada Signaling Theory menjelaskan ukuran
perusahaan yang relatif kecil akan memunculkan sinyal negatif pada principal.
Ukuran perusahaan yang terukur kecil tidak menjamin pada principal untuk mendapatkan
laba yang diinginkan sehingga pihak principal akan cenderung pergi dan memilih perusahaan lain yang lebih meyakinkan. Hal ini dapat memicu perusahaan ukuran kecil melakukan kebijakan
hutang untuk membiayai kinerja operasionalnya.
Hasil penelitian yang dilakukan Syafi’I (2011) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan
berpengaruh positif hasil penelitian tersebut didukung oleh Syadeli (2013), Agusti, Purwasih,
Azhar (2014), dan Hasan (2014) yang menyatakan ukuran perusahaan berpengaruh postif
terhadap kebijakan hutang terhadap kebijakan hutang, adapun hasil yang bertentengan yang
dinyatakan oleh silitonga (2014), Chasanah dan Kusumaningsih (2015) dan Imanta (2011)
menyatakan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang Berdasarkan uraian
tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :