BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dari sifat manusia inilah maka akan timbul suatu interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya. Namun terkadang interaksi sosial tersebut tidak selalu berjalan ke arah positif. Setiap manusia memiliki sifat, kepribadian, cara berfikir, kepentingan dan tujuan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain dalam menjalani kehidupan. Hal inilah yang terkadang menimbulkan suatu pertentangan atau perbedaan paham di dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat.
Perbedaan paham tidak akan tumbuh menjadi sebuah perselisihan apabila pihak yang dirugikan hanya mengambil sikap diam terhadap rasa ketidakpuasannya atau kekecewaannya. Bila pihak yang dirugikan telah menyatakan rasa ketidakpuasannya atau kekecewaannya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain, maka perbedaan paham tersebut berubah menjadi suatu sengketa. Dengan demikian mereka masuk ke dalam tahap mencari atau menginginkan penyelesaian.
keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara umumnya diselesaikan melalui pengadilan untuk mendapat keadilan yang seadil-adilnya (Sarwono, 2012: 7).
Penyelesaian perkara di pengadilan dimulai dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan juga harus memperhatikan surat gugatan yang bisa diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri atau oleh hakim itu sendiri. Apabila dalam pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri tersebut dinyatakan diterima oleh pihak Pengadilan Negeri, maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata akan diusahakan perdamaian terlebih dahulu sebelum pemeriksaan perkara dilakukan. Seperti yang tercantum dalam Pasal 130 HIR/154 RBg.
Usaha perdamaian yang dilakukan di lingkungan peradilan memang sangatlah penting mengingat tingginya intensitas upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara mulai dari banding, kasasi maupun peninjauan kembali karena rasa ketidakpuasannya pada putusan yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama. Hal ini tentu menyebabkan terjadinya penumpukan perkara di dalam Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung sehingga untuk menyelesaikan satu sengketa saja membutuhkan penggunaan waktu yang lama.
menang atau kalah (winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan, dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul. Akibatnya, keberadaan Pasal 130 HIR/154 RBg dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati (M. Yahya Harahap, 2008: 241).
Memperhatikan keadaan yang dijelaskan di atas, Mahkamah Agung terpanggil untuk lebih memberdayakan para hakim menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR/154 RBg tersebut dengan mengelurkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama. Namun, ternyata Mahkamah Agung menyadari bahwa kehadiran (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tersebut tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak, SEMA No. 1 Tahun 2002 belum dapat mendorong para pihak untuk menempuh upaya mediasi di pengadilan dikarenakan bersifat sukarela (voluntary). Kemudian dalam hal ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 yang selanjutnya direvisi menjadi PERMA No. 1 Tahun 2008 dan terakhir menjadi PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
pengadilan merupakan upaya yang cukup memberikan harapan dapat terciptanya pelayanan bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya secara cepat, sederhana, dan murah. Selain itu, dengan adanya konsep mediasi ke dalam proses berperkara, akan membuka kesempatan masuknya para mediator dari kalangan profesional yang memiliki keahlian khusus untuk dapat membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menemukan jalan penyelesaian yang terbaik bagi sengketanya.
Dengan adanya ketentuan Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016 yang memberikan penekanan adanya proses mediasi di pengadilan tersebut, daya ikat mediasi terhadap penyelesaian perkara tersebut menjadi lebih kuat, dan kemungkinan juga untuk mengajukan proses hukum lebih lanjut menjadi semakin menipis sehingga pada akhirnya memberikan dampak yang positif bagi kedua belah pihak dan pengadilan karena dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan.
pengadilan melalui Peraturan Mahkamah Agung yang telah direvisi berulang kali tidak juga dapat memberikan dampak atau manfaat yang nyata.
Berdasarkan uraian, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi
dengan judul “PENGUATAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN (Studi di Pengadilan Negeri Purwokerto)”.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa penyelesaian sengketa melalui mediasi belum dapat berjalan optimal sesuai dengan tujuan lembaga peradilan?
2. Bagaimana penguatan mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Purwokerto?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Hal ini diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Demikian pula dalam penelitian ini memiliki tujuan tertentu yaitu : 1. Mengetahui dan menganalisis penyebab belum optimalnya pelaksanaan
mediasi di dalam pengadilan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai ilmu hukum khususnya tentang penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi di pengadilan.
b. Dapat dipergunakan bagi mereka yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teori-teori yang ada didalamnya.
c. Penelitian ini dapat dijadikan literatur dalam memperluas pengetahuan masyarakat.
2. Secara Praktis
a. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat dalam mengahadapi persoalan mengenai proses mediasi sengketa perdata