i
Melaksanakan Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Agus Subarjo
029114097
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
SEORANG MANUSIA MENGHARAPKAN “KESENANGAN”
DALAM HIDUPNYA, TAPI BAGAIMANA IA MENCARI
v
KUPERSEMBAHKAN IDE SEDERHANA INI
UNTUK PARA ABDI DALEM KRATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
vii
Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi
Agus Subarjo
ABSTRAK
Desain penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan
abdi dalem Kraton Yogyakarta terhadap tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Peneliti tertarik terhadap fenomena ini karena abdi dalem yang melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi dihadapkan pada tugas yang sangat banyak, kondisi alam pegunungan yang punya potensi bahaya dan honor yang sedikit. Keadaan seperti ini ternyata tidak menyurutkan niat pengabdian. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana sebenarnya makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini sebanyak tujuh orang abdi dalem yang bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Subjek diperoleh dengan teknik theoretical sampling dan saturated. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara yang mendalam. Analisis penelitian ini menggunakan modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Kenn dari Moustakas (1994). Verifikasi data dilakukan dengan proses intersubjective validity yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi timbal balik atau disebut juga back-and-forth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta adalah sebagai bentuk perwujudan tradisi Jawa dalam menghormati leluhur sehingga akan memperoleh ketentraman hidup. Pengabdian terhadap raja dengan harapan mendapatkan berkah menjadikan abdi dalem mengabdi dengan sepenuh hati. Honor yang kecil, medan yang berat dan tugas yang banyak tidak menyurutkan semangatnya untuk bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.
viii
Agus Subarjo
ABSTRACT
This phenomenological research design aimed to figure out abdi dalem’s (Yogyakarta Sultan Palace’s Servants) towards their duty in holding the ritual procession of “labuhan” in Mount Merapi. The researcher is interested to this phenomenon because those servants who held this ritual are faced to excessive duties in mountainous nature which is potentially dangerous only got a very low salary. This kind of condition is in fact do not withdrawing their devotion. Based on that phenomenon, the researcher wanted to figure out the meaning of implementing ritual procession of “labuhan” in Merapi Mountain for those “abdi dalem” of Yogyakarta Palace. The subjects of this study are seven “abdi dalem” who are in charge in performing the ritual procession in Mount Merapi. These subjects were gained through theoretical sampling and saturated techniques. The data were collected through deep interviews. For research analysis in this study, the researcher use modification of Stevick-Colaizzi-Kenn from Moustakas (1994). The data verification was done by intersubjective validity process which re-examined the researcher’s understanding towards the subjects’ understanding through reciprocity interaction which also called back-and-forth. The result of this research shows that the meaning of implementing the ritual procession of “labuhan” in Merapi Mountain for “abdi dalem” of Yogyakarta Palace is a mean of Javanese tradition’s actualization in honoring their ancestors which in their beliefs will bring tranquility in their life. Their devotion to the King with the expectation of getting a blessing make those servants devoted obligingly. Low salaries, heavy environments and excessive duties do not lessen their spirit to serve their King by performing the ritual procession in Mount Merapi.
x
akan hubungan antara masyarakat, alam semesta dan alam adikodrati. Secara umum, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat yang menempati alam semesta ini, begitu juga halnya dengan orang Jawa. Bagi orang Jawa, masyarakat dan alam semesta serta alam adikodrati berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Ketiga hal tersebut diharapkan terjalin dalam sebuah keselarasan untuk mencapai keselamatan hidup. Perjalanan dalam mencapai keselarasan tersebut melahirkan perilaku-perilaku yang khas dan bahkan unik diantara orang Jawa, salah satunya yaitu prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi yang diselenggarakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilaksanakan oleh para abdi dalemnya.
Berawal dari rasa kagum dan rasa keingintahuan akan nilai yang terkandung pada fenomena tersebut, penulis melakukan sebuah penelitian kecil dengan judul “Pemaknaan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta Terhadap Tugas Melaksanakan Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi”. Disamping untuk memenuhi hasrat keingintahuan penulis, penelitian ini terutama sebagai pelengkap salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana psikologi pada program studi psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
xi
panjang untuk memahami dunia Jawa, setidaknya penelitian ini bisa sebagai wacana dan refleksi diri yang berguna dimasa sekarang ini.
Puji dan syukur serta terima kasih kepada Sang Kuasa Penyelenggara Alam Semesta atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk hidup dan melaksanakan penelitian ini hingga selesai dengan baik. Dalam kesempatan ini, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang langsung maupun tidak langsung membantu menyelesaikan penelitian ini. Dengan segenap kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang tak terhingga kepada:
1. P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A. (mBak Etta) sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, energi dan membagi pengalamannya yang berharga untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku dosen penguji sekaligus Ketua Program Studi Fakultas Psikologi serta Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi. selaku dosen penguji yang telah menjadikan penelitian ini layak sebagai salah satu persyaratan kelulusan penulis serta untuk saran dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki penelitian ini.
xii
5. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah dengan sangat baik sekali membagikan pengalaman-pengalaman berharganya. 6. Mas Gandung, mBak Nanik, Pak Giek, Kang Muji, Kang Doni yang selama ini
telah banyak membantu kelancaran proses belajar selama saya hidup di Fakultas Psikologi Sanata Dharma.
7. Bapak Dalijo, Ibu Sukirah, Bapak Walgito dan Ibu Ukasih yang selama ini telah memberikan bimbingan dengan kasih sayang yang tulus. Terima kasih buat doa, semangat, dan senyum serta kerja kerasnya untuk memenuhi semua fasilitas-fasilitas yang selama ini diberikan.
8. Marwanti qw sebagai pendamping hidupku dan sebagai satu alasan untuk segera menyelesaikan kuliah ini. Dengan senyummu, penelitianku ini terasa lebih cepat selesai dan tidak melelahkan. Trimakasih juga untuk semua fasilitas yang diberikan, tanpa itu semua tidak akan berjalan selancar ini.
9. Kawan-kawanku, sudah layak dan semestinya jika ucapan terima kasih yang banyak tertuju pada kalian semua. Kawan-kawan Bunker; Bang Disiplin yang selalu begadang bareng, Dani, Cinta, Danang, Aman, Bonar, Juna, Bima, Veno, Fa Nina, Sata.
xiii
Kreteng tukang distro, Ciput sang pejuang cinta, Kowok sang “Oemar Bakri”, Achonk “the perfectionist”, Sapy sang pekerja Sosial, Itong, Eyank, Alit, Kingkol, Yoga, Klowor, Laura, d’ Sari, Seny, Ayu’, Tita, Missil (Alm), Chyntya (Alm). Tegukan kopi paling enak dan hisapan rokok paling nikmat ketika sedang berada ditengah-tengah kalian.
11. Kawan-kawan seperjuangan dari ’98 sampai ’09 khususnya ’02 yang selalu bisa membuat banyak pengalaman berharga terasa menyenangkan; Adi, Dodi yang menjadi perantara peminjaman buku, Si-B, Andre (Alm), Prima, Si-Thol, Meme, Sani, Vembri, Momo, Kacung, Cuky, Broto, Jaya, Femby sang Vokalis, Lisna, Aan, Bona, Sius, Tissa, Ohaq, Dani, Nining, Nuke, Eny, Hera dan masih banyak lagi yang tidak mampu disebutkan satu persatu.
12. Kawan-kawan penghuni terakhir yang siang malam tanpa merasa lelah berada di depan komputer Doni Gombloh, Tissa, Hany, Ian, Si-Y, Si-B, Windra, Dika, Ching-He, Si-Thol, Dimas, Eyank, Linda, bersama kalian semangat untuk menyelesaikan penelitian ini semakin besar.
13. Kawan-kawan Ngireng Ngireng yang menyenangkan Mami, Galang, Ernest, Ira, Fani, Bambang, Asti, Grace, Ika, keluarga Bapak Sunarjo, meskipun sebentar tapi berkesan.
xiv
saya.
15. Mahkluk-mahkluk yang kurang begitu kasat mata dan para leluhur yang bersemayam di Gunung Merapi khususnya kepada Nyai Gadung Mlati dan Eyang Sapu Jagad atas sapaan dan dukungannya sehingga memperlancar penelitian ini. Mugi sedoyo kemawon pikantuk berkah katentreman saking Pangeran.
16. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu pada kesempatan ini atas dukungannya sehingga penelitian ini bisa terselesaikan dengan baik.
Menyadari bahwa banyak keterbatasan dalam penelitian ini kiranya kritik dan saran untuk menjadikan yang lebih baik sangat terbuka lebar bagi siapa saja. Meskipun hanya kecil, semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita.
Penulis
xv
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR SKEMA ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
xvi
1. Manfaat Teoritis ... 12
2. Manfaat Praktis ... 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
A. Abdi Dalem ... 13
1. Pengertian Abdi Dalem ... 13
2. Jaminan Bagi Abdi Dalem ... 15
B. Tradisi Budaya Jawa ... 17
1. Karakteristik Budaya Jawa ... 17
2. Raja Bagi Masyarakat Jawa ... 18
C. Prosesi Ritual Labuhan di Gunung Merapi ... 21
1. Labuhan ... 21
2. Rangkaian dan Lokasi Labuhan ... 22
3. Tugas Abdi Dalem Dalam Upacara Labuhan ... 24
D. Kerangka Penelitian ... 26
BAB III. METODE PENELITIAN ... 28
A. Jenis Penelitian ... 28
B. Fokus Penelitian ... 31
xvii
E. Metode Pengumpulan Data ... 32
F. Analisa Data ... 33
G. Verifikasi Data ... 34
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Pelaksanaan Penelitian ... 35
B. Pandangan Peneliti ... 37
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 40
D. Analisa Data dan Hasil Penelitian ... 45
1. Hal-hal yang Dialami dan Bagaimana Hal-hal Tersebut Dialami 45 2. Sintesa Data Pengalaman ... 59
E. Pembahasan Peneitian ... 61
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Keterbatasan Penelitian ... 73
C. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76
xviii
xix
xx
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jawa memiliki pemahaman bahwa dunia ini sebagai suatu
harmoni, yang terdiri dari dua bagian kosmos atau alam yang tidak bisa dipisahkan
yaitu mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gede). Pemahaman
terhadap mikrokosmos atau jagad alit adalah sikap dan pandangan hidup terhadap
dunia nyata yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pemahaman
terhadap makrokosmos atau jagad gede adalah sikap dan pandangan hidup
terhadap alam semesta yang mempunyai kekuatan supranatural dan penuh dengan
hal-hal yang bersifat misterius (Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda
Alam. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari
http://www.gatra.com/2006-07-01/artikel.php?id=95843).
Alam semesta tidak hanya terdiri dari bentuk fisiknya saja tetapi juga
mengandung kekuatan supranatural yang dipercaya berasal dari roh-roh atau
arwah-arwah leluhur juga harus mendapat porsi yang seimbang dalam hal
penghormatan. Bagi orang Jawa, roh-roh atau arwah-arwah leluhur tersebut
dipercaya dapat mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, keberuntungan, bahkan
petaka, dan juga dapat menjadi perantara doa-doa yang dipanjatkan kepada Yang
tersebut diwujudkan dalam berbagai upacara-upacara ritual kejawen dan
pemberian sesaji. Dunia bagi orang Jawa tidak sekedar dari apa yang bisa dilihat
saja, akan tetapi juga terdapat unsur metafisik yang tidak kasad mata yang biasa di
sebut sebagai alam gaib (Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda Alam.
Diunduh 24 Agustus, 2009, dari
http://www.gatra.com/2006-07-01/artikel.php?id=95843). Apabila hubungan makrokosmos dan mikrokosmos
beserta pemahamannya terjalin dengan baik atau selaras maka kehidupan di dunia
ini akan menjadi harmonis. Salah satu contoh usaha untuk menyelaraskan
hubungan tersebut yang masih terjaga dari dulu sampai sekarang ini oleh
masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta adalah ritual labuhan di Gunung Merapi
untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata Sri Sultan Hamengku
Buwono sebagai raja Yogyakarta.
Laut Selatan, Kraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi adalah kesatuan
yang tidak dapat di pisahkan dari sebuah pemahaman akan dunia sebagai suatu
harmoni bagi masyarakat Jawa. Keterkaitan akan ketiga tempat tersebut
berhubungan dengan legitimasi pendiri Kerajaan Mataram yaitu Panembahan
Senopati. Ada beberapa versi menyangkut awal mula kenapa diadakan labuhan di
Pantai Selatan dan Gunung Merapi. Salah satu versinya yaitu bermula dari
pertapaan Penembahan Senopati di Watu Gilang yang berada di Parang Kusumo
dan bertemu kali pertama dengan penguasa kerajaan gaib Laut Selatan yang sering
Panembahan Senopati beserta keturunannya akan menjadi penguasa di Jawa
dengan syarat Panembahan Senopati mau menjadi istri dari Ratu Kidul dan makan
telur yang diberinya. Sesampai di kediamannya, Panembahan Senopati tidak
memakan telur tersebut, maka telur itu diberikan pada abdi juru taman untuk
memakannya. Setelah memakan telur tersebut abdi juru taman berubah menjadi
raksasa. Karena kejadian itulah maka Panembahan Senopati memberinya nama Ki
Sapu Jagat dan selanjutnya diperintahkan untuk menjaga Gunung Merapi
(Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari
http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1
19&Itemid=43&lang=id_ID).
Kisah lain yang melatarbelakangi labuhan di Gunung Merapi adalah ketika
penasehat Kerajaan Mataram yang bernama Ki Juru Martani diutus oleh
Panembahan Senopati untuk pergi ke Gunung Merapi meminta kekuatan dari alam
guna menghadapi serangan dari Kerajaan Pajang. Alhasil, pasukan Kerajaan
Pajang yang baru sampai di sekitar Prambanan terkena letusan Gunung Merapi
(Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda Alam. Diunduh 24 Agustus,
2009, dari http://www.gatra.com/2006-07-01/artikel.php?id=95843). Dari
peristiwa-peristiwa tersebut lahirlah sebuah tradisi yang pada masa bertahtanya
Panembahan Senopati sampai sekarang masih terjaga kelangsungannya yaitu
labuhan. Maksud diadakannya labuhan ini adalah wujud dari rasa syukur kepada
mendoakan keselamatan Sri Sultan sebagai raja dari Kraton Yogyakarta serta
keselamatan seluruh rakyatnya.
Labuhan berasal dari kata “labuh” yang bermakna melarung (Syah, R.
2006. Labuhan Alit. Diunduh 15 Juli, 2008, dari
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-article/labuhan-alit/). Ada dua jenis
labuhan, yaitu Labuhan Ageng dan Labuhan Alit. Labuhan Ageng dilaksanakan
delapan tahun sekali berdasarkan tahun Dal, tempat-tempat yang di gunakan untuk
upacara Labuhan Ageng ini adalah Pantai Parang Kusumo, Gunung Merapi,
Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan. Sedangkan labuhan Alit dilaksanakan setiap
tahun yaitu pada tanggal 30 bulan Rajab penanggalan Jawa dan tidak menyertakan
satu tempat yaitu Dlepih Kahyangan. Kedua labuhan tersebut merupakan
rangkaian upacara untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata atau
penobatan Sultan (Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24 Agustus,
2009, dari
http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1
19&Itemid=43&lang=id_ID). Puncak acara labuhan Gunung Merapi bertempat di
Pos II Gunung Merapi, atau sering disebut Pendapa Labuhan Gunung Merapi.
Sedangkan prosesi ritualnya sendiri dipimpin langsung oleh seorang abdi dalem
Kraton Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi yang pada masa ini
dipegang oleh R.Ng. Surakso Hargo atau lebih dikenal dengan sebutan mBah
2009, dari
http://www.indosiar.com/news/sapa/63777/mbah-marijan-pimpin-labuhan-jumenengan-hb-x).
Acara dimulai dengan serah terima uborampe labuhan dari Kraton
Yogyakarta Hadiningrat oleh Camat Depok kepada Camat Cangkringan yang
diteruskan kepada juru kunci Gunung Merapi, R.Ng. Surakso Hargo. Setelah acara
serah terima selesai, uborampe akan disemayamkan di kediaman R.Ng. Surakso
Hargo sebelum dilabuh pada pagi harinya. Perjalanan dimulai dari kediaman
R.Ng. Surakso Hargo menuju Pos I atau disebut juga Srimanganti, tempatnya
berupa undak-undakan dengan gapura putih terdapat batu besar yang disebut Selo
Dampit. Srimanganti dianggap sebagai pintu gerbang Kraton Hargo Merapi. Di
sini uborampe upacara labuhan alit diletakkan diatas batu Selo Dampit, kemudian
R.Ng. Surakso Hargo membakar dupa gondo arum dan menyampaikan maksud
kedatangan mereka, bersamaan dengan itu doa dibacakan oleh seorang abdi dalem
dalam bahasa Arab (Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24
Agustus, 2009, dari
http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1
19&Itemid=43&lang=id_ID).
Setelah acara di Pos I selesai, rombongan menuju Pos II yang merupakan
tempat pelaksanaan inti dari labuhan. Pos II ini sering disebut juga Pendopo
Labuhan. Bagian depan Pos II ini berupa undak-undakan dengan gapura
pendapa yang diapit dua buah cungkup atau bangunan pendopo kecil di sisi kiri
dan kanannya. Setelah semua kelengkapan labuhan diperiksa kesiapan dan
kelengkapannya, dimulailah pemanjatan doa dan puji-pujian yang ditujukan pada
Sang Maha Kuasa. Tidak ketinggalan juga doa-doa diberikan pada para leluhur
yang bersemayam di Gunung Merapi sebagai bentuk penghormatan. Setelah
pemanjatan doa dan puji-pujian selesai dilaksanakan yang kurang lebih
menghabiskan waktu selama satu jam, para abdi dalem segera membagi-bagikan
sesaji kepada para peziarah yang berada di tempat itu. Sesaji yang dibagikan itu
diantaranya bunga dan berbagai makanan yang telah didoakan sebelumnya.
Menurut kepercayaan masyarakat, apabila labuhan ini tidak dilaksanakan akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yang akan menimpa masyarakat, seperti
wabah penyakit dan bencana alam (Sig. (2001, Oktober 19). Ngalap Berkah
Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24 Augstus, 2009, dari
http:www.indomedia.com/bernas/102001/20/UTAMA/20utal.htm).
Sebuah tradisi yang masih terjaga dari zaman dahulu sampai sekarang ini
tidak lepas dari peran banyak pihak. Selain masyarakat itu sendiri yang tetap
menjaga kelangsungannya, juga mereka para abdi dalem kraton yang tetap setia
menjadi fasilitator dalam berbagai acara-acara ritual tersebut. Abdi dalem adalah
orang yang secara suka rela mengabdikan hidupnya sebagai pelayan di kraton dan
kepada Sultan serta keluarganya. Mereka mempersiapkan hampir semua
Jawa baik di luar maupun di dalam kraton (Abdi Dalem Volunteer of Loyalty, Guardian of Javanese Tradition. Diunduh 24 Agustus, 2009,
dari abdi dalem tersebut
mengabdi dengan sepenuh hati kepada rajanya yaitu Sri Sultan, yang mereka sebut
sebagai Ngarso Dalem, bukan karena mengharap imbalan materi yang terbilang
sangat jauh dari UMP, yaitu hanya berkisar antara Rp 5000 sampai Rp 10.000
perbulan tetapi lebih karena ingin mendapatkan berkah dan ketentraman hidup,
dalam bahasa Jawanya adalah ngalap berkah. Seperti mBah Maridjan sebagai abdi
dalem Kraton Yogyakarta yang menjadi juru kunci Gunung Merapi, ia hanya
menerima Rp 8500 perbulan (Pujo Miyono, wawancara, 17 Agustus 2009).
Labuhan yang dilaksanakan di Gunung Merapi banyak melibatkan para
abdi dalem Kraton Yogyakarta, baik yang wanita maupun yang pria, yang tua
maupun yang muda. Mereka dengan penuh pengabdian mempersiapkan segala
sesuatunya dengan baik mulai dari awal sampai akhir upacara. Persiapan yang
dilakukan bukan sekedar mempersiapkan hal-hal yang bersifat fisik seperti
uborampe labuhan, akan tetapi mereka juga mempersiapkan diri mereka sendiri
untuk menjalankan upacara labuhan tersebut, diantaranya adalah puasa dan tirakat.
Jika dilihat dari banyaknya ragam uborampe yang harus dipersiapkan secara detail
dan tidak boleh kurang seperti kain cangkring, semekan bangun tulak gading,
kawung kemplong, kampuh poleng, destar doro muluk, rokok, peningset udaraga,
maka bukan tidak mungkin persiapan tersebut harus dimulai jauh-jauh hari
sebelumnya (Labuhan Merapi. Diunduh 21 Juni, 2009, dari
http://www.disbudpar-diy.go.id/dkb/detil.php?id=27). Belum lagi ketika mereka harus mempersiapkan
diri mereka dengan puasa dan tirakat yang tentunya apabila tidak dilakukan
dengan sepenuh hati akan menjadi hal yang sangat berat.
Bagi para abdi dalem Kraton Yogyakarta, sudah menjadi kewajiban
apabila melaksanakan suatu upacara harus mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu
mengenakan kain jarik dan surjan bagi para pria atau kebaya bagi para wanita (Sig.
(2001, Oktober 19). Ngalap Berkah Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24
Augstus, 2009, dari
http:www.indomedia.com/bernas/102001/20/UTAMA/20utal.htm). Bisa
dibayangkan bagaimana ketika mereka menaiki lereng Gunung Merapi menuju
tempat yang disebut sebagai Pendopo Labuhan sambil membawa berbagai macam
uborampe yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mengenakan pakaian adat
lengkap tentu akan sangat merepotkan sekali. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang sudah berumur 50 tahun sampai 60 tahun, tetapi mereka tampak
bersemangat sekali dan dengan hati yang tulus berjalan menaiki lereng gunung
walaupun sesekali mereka harus mengatur nafas yang mulai tidak teratur dan berat
(Sig. (2001, Oktober 19). Ngalap Berkah Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24
Augstus, 2009, dari
total melaksanakan ritual labuhan yang sudah berlangsung ratusan tahun itu. Pada
waktu terjadi gejolak di Gunung Merapi pun para abdi dalem itu percaya
mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan tetap melakukan upacara
labuhan, seakan-akan tidak memperdulikan bahaya yang sewaktu-waktu bisa
menimpanya (Pujo Miyono, wawancara, 17 Agustus 2009).
Sudah mempunyai niat sebagai abdi dalem maka segala perintah dari
junjungan adalah nomor satu, walaupun itu harus meninggalkan aktivitasnya
dalam rutinitas keseharian. Sebenarnya sebagai abdi dalem ini tidak tiap hari
dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi dalem. Sudah ada jadwal-jadwal
tertentu untuk bertugas. Meskipun begitu, tetap saja harus siap tatkala junjungan
memerintahkan untuk melaksanakan tugas yang diberikan saat itu (Pujo Miyono,
wawancara, 2010). Seperti yang telah diceritakan oleh Pujo Miyono bahwa
menjadi abdi dalem adalah berasal dari niatnya, sehingga ketika melakanakan
tugas dari junjungan harus diutamakan terlebih dahulu. Seperti halnya labuhan
yang dilaksanakan satu tahun sekali ini, para abdi dalem tersebut melaksanakan
kewajiban melangsungkan prosesi ritual labuhan sebagai salah satu pelaksanaan
titah dari junjungannya meskipun pada saat prosesi tersebut harus meninggalkan
aktivitas kesehariannya seperti mengolah ladang dan ternak. Hal senada
diungkapkan oleh Samiyem (wawancara, 24 Januari 2010)
“Ne ngatur papan labuhan niku sing penting ngatur papan kagem
Pengertiannya yaitu mengatur tempat labuhan untuk perayaan Sultan adalah hal
yang penting dan hal tersebut menjadi kewajiban yang diberikan kepada para
abdi. Sudah menjadi kewajiban pula bahwa jauh waktu sebelum prosesi labuhan
dilaksanakan yaitu sekitar dua bulan sebelumnya dalam tiap minggu para abdi
dalem mempersiapkan rute yang akan dilalui saat prosesi berlangsung. Rute yang
akan dilalui yaitu dari kediaman juru kunci Gunung Merapi yaitu mBah Maridjan
sampai di Pos II pendakian Merapi atau sering disebut Pendopo Labuhan.
Berdasarkan berbagai fakta yang ada di lapangan tersebut, peneliti
mencoba untuk mengetahui apa makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan
di Gunung Merapi bagi para abdi dalem Kraton Yogyakarta, sehingga mereka
dapat dengan bebas mengungkapkan pengalaman-pengalamannya. Seperti yang
diungkapkan Frankl (dalam Schultz 1991) bahwa keinginan akan arti atau makna
adalah satu dorongan yang fundamental bagi manusia. Kemauan arti atau makna
sangat penting untuk kesehatan psikologis dan dalam situasi-situasi yang gawat,
kemauan akan arti perlu sekedar supaya tetap hidup. Tanpa arti atau makna untuk
kehidupan, tidak ada alasan untuk meneruskan kehidupan. Metode yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Metode fenomeologi dapat
digunakan untuk menjelaskan arti dari pengalaman-pengalaman hidup yang berarti
dari seseorang (Creswell, 1998). Hal senada diungkapkan oleh Husserl (dalam
Hadiwijoyo, 1980) bahwa pengalaman yang dengan sadar dapat memberikan
utama dari fenomenologi adalah pemaknaan terhadap fenomena, dalam penelitian
ini adalah pemaknaan abdi dalem Kraton Yogyakarta terhadap tugasnya
melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Proses pengalaman yang
dialami oleh para abdi dalem Kraton Yogyakarta dalam menjalankan prosesi ritual
labuhan di Gunung Merapi yang sudah berlangsung lama tersebut melahirkan
suatu sikap tersendiri sebagai perwujudan dari pemaknaan mereka terhadap
prosesi ritual labuhan.
Berbagai macam kejadian dan hal yang mereka alami seperti kondisi alam
pegunungan yang harus mereka hadapi, berbagai macam kemungkinan bahaya
yang mengancam, berbagai macam bentuk ‘laku’ spiritual yang harus dijalani dan
imbalan materi yang terbilang sedikit untuk saat ini, merupakan suatu hal yang
menarik dan fenomena yang sudah jarang ditemui pada masa sekarang ini. Tidak
hanya itu saja, perjalanan yang mereka tempuh bukan hanya saat prosesi labuhan
saja melainkan sebelumnya mereka juga harus menaiki lereng Gunung Merapi
tersebut guna mempersiapkan rute labuhan. Melalui penelitian ini, peneliti
berharap para abdi dalem dapat mengungkapkan pemaknaan mereka akan
pengalamannya melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna tugas
melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menyajikan fakta-fakta
dan wacana guna perkembangan ilmu di bidang sosial dan budaya, baik
untuk psikologi sosial, psikologi kepribadian maupun psikologi budaya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi abdi
dalem itu sendiri untuk lebih memahami keberadaan mereka sebagai abdi
dalem dari Kraton Yogyakarta dan sebagai pelaku tradisi budaya Jawa.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi
pemerintah dan masyarakat tentang pengabdian tulus yang dilakukan oleh
para abdi dalem sebagai salah satu pelaku tradisi budaya Jawa di Kraton
Yogyakarta dan untuk mengembangkan berbagai macam aspek yang
dapat memberikan masukan positif dari diadakannya labuhan di Gunung
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Abdi Dalem
1. Pengertian Abdi Dalem
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1988), pengertian abdi berarti orang yang bekerja sebagai pegawai negeri atau sebagai orang bawahan dan tidak harus menjual dirinya. Bagi masyarakat Yogyakarta istilah abdi dalem sudah akrab terdengar, akan tetapi tugas maupun berasal dari golongan apa belum banyak yang memahami. Menurut RA Maharkesti (dalam Kabare Jogja, edisi XIV 2003), abdi dalem Kraton Yogyakarta adalah semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta, lebih dari sekedar pembantu rumah tangga. Mereka mencakup juga aparat pemerintahan yang mendukung seluruh aktivitas di Kraton Yogyakarta. Pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII, abdi dalem Kraton Yogyakarta secara umum dibagi ke dalam dua golongan. Pertama adalah abdi dalem
perempuan, yang biasa disebut abdi dalem Keparak, dan kedua adalah abdi dalem laki-laki. Khusuh abdi dalem laki-laki tidak ada sebutan khusus, cukup dengan sebutan abdi dalem.
tradisional Jawa baik di dalam kraton maupun di luar kraton. Abdi dalem
diorganisir berdasarkan pelayanan fungsionalnya (Abdi Dalem Volunteer of Loyalty, Guardian of Javanese Tradition. Diunduh 24 Agustus, 2009, da
Menurut KRT Sastroatmodjo (dalam Kabare Jogja, edisi XIV 2003),
abdi dalem tidak sekedar pesuruh atau pembantu, tapi merupakan ujung tombak dalam mempromosikan kraton, mensosialisasikan sejarah kraton, dan mentransformasikan pernak-pernik kraton pada masyarakat. Boleh dibilang bahwa abdi dalem merupakan living monument (monument hidup). Ia menjadi saksi hidup dari rangkaian sejarah yang terukir dari zaman ke zaman, hingga saat ini.
Keterkaitan abdi dalem dengan kraton sudah berlangsung lama yaitu sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan sejak itulah istilah abdi dalem
lahir. Gaji bukanlah ukuran bagi seseorang sehingga ia tertarik menjadi abdi dalem. Bagi mereka, pengakuan sebagai abdi dalem oleh pihak Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman merupakan anugerah karena mereka bisa
ngabehi dan lelabuh kepada raja atau sering disebut Ngarso Dalem (Kabare Jogja, edisi XIV 2003).
Punokawan Puraraksa, sedang bagi wanita mendaftarkan diri di kantor Keparak Para Gusti (Maharkesti, dalam Kabare Jogja edisi XIV, 2003).
Sebelum diangkat menjadi abdi dalem kraton, calon yang memenuhi syarat harus menempuh masa magang terlebih dahulu selama kurang lebih dua tahun. Dalam masa pengabdiannya selama magang tersebut prestasi kerja calon akan dinilai. Para magang yang dinilai memenuhi syarat dan bekerja dengan baik mempunyai kesempatan untuk diangkat secara resmi menjadi abdi dalem
Kraton Yogyakarta.
Pengangkatan seorang magang menjadi abdi dalem resmi di Kraton Yogyakarta, ditandai dengan surat kekancingan yang ditandatangani langsung oleh Sri Sultan yang sedang berkuasa. Surat kekancingan yang dikeluarkan tersebut hanya bersifat sementara. Surat kekancingan yang asli baru akan dikeluarkan pada saat Tingalan Dalem Sri Sultan yang berkuasa pada saat itu (Kabare Jogja XIV, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian abdi dalem tersebut dapat disimpulkan bahwa abdi dalem ialah semua orang yang bekerja untuk mendukung seluruh aktivitas kraton yang pengangkatannya ditandai dengan surat kekancingan yang ditandatangani oleh Sri Sultan yang sedang berkuasa pada masanya.
2. Jaminan Bagi Abdi Dalem
Pralaya atau semacam asuransi jiwa dan Banda Pasinaon atau bantuan dana bagi anak-anak abdi dalem untuk sekolah (Kabare Jogja XIV, 2003).
Bagi abdi dalem yang sakit dan berobat di rumah sakit pemerintah akan mendapatkan jaminan biaya dari kraton. Abdi dalem yang sakit dan berobat di rumah sakit pemerintah ini hanya diberikan bagi mereka yang sakit tidak menahun sebesar seratus persen. Bagi abdi dalem yang meninggal akan mendapat jaminan sebesar Rp. 100.000,00, sementara jika istri abdi dalem yang meninggal akan mendapat bantuan dana sebesar Rp. 25.000,00. Banda Pasinaon diberikan kepada abdi dalem yang anak-anaknya membutuhkan bantuan dana untuk proses belajar mengajar. Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman yang diangsur tanpa bunga, yang besar pinjamannya disesuaikan dengan kedudukan abdi dalem (Kabare Jogja XIV, 2003).
Kraton Yogyakarta memberikan gaji pada abdi dalem sesuai dengan jenjang kepangkatannya. Untuk gaji terendah abdi dalem berpangkat jajar caos sebesar Rp. 8.000,00, untuk abdi dalem berpangkat bupati caos menerima sekitar Rp. 34.000,00 ditambah uang makan sekali sehari sebesar Rp. 150,00 sekali caos (bekerja), sedangkan gaji tertinggi yang diberikan kepada abdi dalem sebesar Rp.40.000,00 untuk abdi dalem yang berpangkat bupati tepas (Kabare Jogja XIV, 2003).
menjalankan tugasnya namun masih menunjukkan kesetiaan kepada kraton digolongkan menjadi Miji Sadana Mulya. Golongan ini mendapatkan 45 persen gaji dengan kalenggahan tetap. Bagi yang tidak melaksanakan tugas atau mengabaikan kewajiban digolongkan ke dalam Miji Tumpukan. Untuk golongan ini mendapatkan 25 persen gaji dengan kedudukan yang tetap, tetapi tidak ada pekerjaan. Status ini akan berlangsung sekitar enam bulan. Apabila selama enam bulam tidak ada klarifikasi atau perbaikan maka pangkat dan kedudukan yang bersangkutan akan ditarik. Pemecatan dilakukan apabila seorang abdi dalem telah mencemarkan nama kraton (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV 2003).
B. Tradisi Budaya Jawa
1. Karakteristik Budaya Jawa
Yang menjadi ciri tradisi budaya Jawa adalah pandangan hidup berdasarkan pola hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Dalam hubungannya manusia dengan Tuhan, manusia mengutamakan tingkah laku batin dengan tidak mengabaikan tingkah laku lahir. Artinya bahwa manusia dengan menggunakan jiwanya selalu diingat atau
menerima apa yang sudah menjadi jatahnya dan berdoa. Usaha tersebut dapat memberikan perasaan menyatu dengan Tuhan (Maharani dalam Soesilo, 2004).
Dalam hubungannya manusia dengan manusia lain berdasarkan prinsip-prinsip kebaikan, keutamaan, keadilan dan kejujuran yang diarahkan demi kesejahteraan bersama. Manusia yang utama adalah manusia yang bisa mengukur perasaan orang lain yang disesuaikan dengan perasaan dirinya sendiri, dalam istilah Jawanya adalah “ojo dumeh lan tepo seliro” (Maharani dalam Soesilo, 2004).
Dalam hubungan manusia dengan alam lingkungannya terkandung pengertian bahwa manusia adalah gambaran kecil dari alam semesta, atau manusia disebut mikrokosmos, sedangkan alam semesta disebut makrokosmos. Kehidupan manusia erat kaitannya dengan kejadian alam semesta. Budaya atau tingkah laku manusia mengarah pada simbolisasi alam semesta. Jika budaya atau perilaku tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dalam pandangan ini maka akan berpengaruh pada keseimbangan alam semesta. Dengan kesadaran tersebut maka manusia berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua (Maharani dalam Soesilo, 2004).
2. Raja Bagi Masyarakat Jawa
alun-alun, pohon beringin dan juga mempunyai struktur pemerintahan tersendiri (Intisari, edisi November 1991). Menurut kisah rakyat Jawa keturunan Panembahan Senopati menjadi raja atas bantuan penguasa Samudra Selatan atau Nyai Roro Kidul yang diakui keberadaanya menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggung jawaban religi yang sifatnya abadi sesuai janji Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh Raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini. Kisah ini sudah menjadi salah satu isi kekayaan kisah klasik di Indonesia. Bahkan Nampak semakin sakral karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan di Parangkusumo yang ditunjukan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tradisi ini dilakukan bukan sekedar gengsi kraton atau kepentingan wisatawan melainkan demi keselamatan raja, kraton dan seluruh rakyatnya (Intisari, edisi november 1991).
dalam posisi tentram jika terjadi kekacauan, seorang raja dapat benar-benar digambarkan sebagai orang yang bisa menyatu dengan Tuhan (Laksono, 1985).
Seorang raja dianggap sebagai anasir mistik paling digdaya dimuka bumi, dipandang sebagai wadah potensi kosmis atau kesaktian. Kekuasaan duniawi raja mencerminkan kharisma mereka, seperti halnya kemampuan mereka menerima wahyu untuk berkuasa. Wahyu menjadi tanda kesaktian seorang raja, yang dianggap memancarkan kekuatan magis dari kepribadian mereka untuk menjadikan rakyatnya sejahtera (Mulder, 2001).
Satu-satunya cara yang dipercaya paling benar bagi seorang raja adalah menunjukkan prestasinya membawa negaranya pada keadaan tentram, dimana
C.Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi 1. Labuhan
Labuhan berasal dari kata “labuh” yang bermakna melarung (Syah, R. 2006. Labuhan Alit. Diunduh 15 Juli, 2008,
dari
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), labuhan berarti upacara tradisional kraton yang dilaksanakan di tepi laut di sebelah Selatan Yogyakarta, merupakan wujud syukur atas kelangsungan kerajaan Mataram, juga untuk mendoakan keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta. Ada dua jenis labuhan, yaitu Labuhan Ageng dan Labuhan
langsung oleh seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi yang pada masa ini dipegang oleh R.Ng. Surakso Hargo atau lebih dikenal dengan sebutan mBah Maridjan (Mbah Marijan Pimpin Labuhan Jumenengan HB X. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari
http://www.indosiar.com/news/sapa/63777/mbah-marijan-pimpin-labuhan-jumenengan-hb-x).
2. Rangkaian dan Lokasi Labuhan
Upacara labuhan di Gunung Merapi ini diawali dengan serah terima ubo rampe labuhan dari utusan Kraton Yogyakarta kepada pejabat Kabupaten Sleman di Kecamatan Cangkringan. Selanjutnya, abdi dalem yang bertugas untuk melaksanakan labuhan ini memeriksa kelengkapan dari semua ubo rampe
yang diterima. Sebelum diserahkan kepada juru kuci Gunung Merapi, ubo rampe labuhan akan dikirabkan. Setelah tiba di kediaman juru kunci di Dusun Kinahrejo, Desa Cangkringan, Kecamatan Umbulharjo, Sleman, ubo rampe
http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id =119&Itemid=43&lang=id_ID).
Menjelang pagi hari, pada pukul 06.00 WIB prosesi labuhan akan berangkat dari halaman rumah juru kunci Gunung Merapi menuju Pos II pendakian atau sering disebut Pendapa Labuhan. Sebelum tiba di Pendapa Labuhan, arak-arakan akan berhenti di Pos I atau sering disebut Srimanganti yang dipercaya sebagai pintu gerbang Gunung Merapi. Di Srimanganti ini terdapat dua buah batu besar yang dinamakan Sela Dampit. Pemberhentian pertama arak-arakan labuhan di Srimanganti ini bertujuan untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar upacara labuhan dapat berjalan lancar serta menyampaikan permisi (Jawa: kulonuwun) dan maksud kedatangan arak-arakkan kepada “penunggu” atau leluhur yang tinggal di Gunung Merapi (Pujo Miyono, wawancara, 9 April 2010).
Setelah acara di Srimanganti selesai, arak-arakan meneruskan perjalanan menuju Pendapa Labuhan. Tempat ini berupa pendapa yang diapit dua buah
cungkup atau pendopo kecil di sisi kiri dan kanannya. Setelah para abdi dalem
Yang Maha Esa, disampaikan pula penghormatan kepada leluhur yang mendiami Gunung Merapi dengan membakar dupa, pemberian bunga dan sesaji serta penyerahan ubo rampe (Pujo Miyono, wawancara, 9 April 2010).
Setelah pemanjatan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan kepada leluhur yang mendiami Gunung Merapi selesai, beberapa
abdi dalem segera membagikan sesaji kepada masyarakat yang ikut dalam upacara labuhan ini. Sesaji yang dibagikan meliputi bunga dan makanan yang telah dibungkus dengan plastik sebelumnya. Sedangkan ubo rampe yang telah diserahkan kepada leluhur yang mendiami Gunung Merapi tersebut akan dibawa turun kembali untuk diserahkan kepada masyarakat yang sudah memesan sebelumnya. Setelah pembagian sesaji selesai, maka selesai pula acara inti labuhan di Gunung Merapi ini (Pujo Miyono, wawancara, 9 April 2010).
3. Tugas Abdi Dalem Pada Upacara Labuhan
yang akan dilalui arak-arakkan upacara labuhan (Jawa: dandan dalan). Rute arak-arakkan labuhan yang dipersiapkan dimulai dari halaman rumah juru kunci Gunung Merapi yang pada masa ini dipegang oleh R.Ng.Surakso Hargo menuju Pos I atau sering disebut Srimanganti dan selanjutnya sampai ke Pos II atau Pendapa Labuhan. Persiapan yang dilakukan meliputi membersihkan jalan dari ranting-ranting dan dahan-dahan pohon yang mengganggu jalan yang akan dilalui serta memperbaiki jalan setapak yang rusak. Kawasan Srimanganti dan Pendapa Labuhan juga dibersihkan dari berbagai kotoran yang ada.
Tugas yang kedua adalah pelaksanaan inti prosesi ritual labuhan. Mulai dari serah terima ubo rampe labuhan sampai pelaksanan prosesi ritual labuhan di Pendapa Labuhan. Pada waktu ubo rampe disemayamkan di pendapa rumah juru kunci selama satu hari satu malam, berbagai sesaji dibuat serta diadakan
kenduri atau selamatan sebagai pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesaji yang dibuat jumlah dan macamnya cukup banyak meliputi
sekul suci ulam sari, golong, tumpeng wajak, jenang abang-putih, blowok piringan, dan sesaji yang akan dibawa ke atas yang kemudian dibagikan kepada masyarakat yang ikut adalah sekul pethak panggang urap. Setiap abdi dalem
melaksanakan inti prosesi ritual labuhan menuju Srimanganti dan Pendopo Labuhan. Ubo rampe labuhan, sesaji dan alat-alat lain seperti payung (songsong) dan tikar ikut dibawa serta (Samiyem, wawancara, 2010).
Bagi sebagian orang, tugas yang ketiga ini tidak cukup dikenal. Tugas ini adalah mendapatkan berbagai benda dari Gunung Merapi sebagai “ angsal-angsal” atau oleh-oleh sebagai bukti kepada Sri Sultan bahwa labuhan telah selesai dilaksanakan dengan baik dan lancar. Benda-benda tersebut meliputi gerpak wesi, gondopuro, kapuroko, sulonjono, dan belerang. Setelah benda-benda tersebut didapatkan kemudian diserahkan ke kraton bersama-sama dengan angsal-angsal atau oleh-oleh dari labuhan Gunung Lawu, labuhan Parangkusuma maupun Dlepih Kahyangan jika pada tahun Dal dalam penanggalan Jawa (Samiyem, wawancara, 2010).
D.Kerangka Penelitian
Untuk mengetahui makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta, grand tour question
dalam penelitian ini adalah apa makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Sub questions
1. Apa pendapat tentang prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi?
2. Bagaimana perasaan ketika melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi?
3. Apa pengalaman yang berkesan ketika melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi?
28
A.Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang pemaknaan terhadap tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi oleh para abdi dalem Kraton Yogyakarta. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif yaitu penelitian yang menekankan pada analisis dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah, cara-cara berpikir formal dan argumentatif (Azwar, 1977).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Metode fenomenologi merupakan suatu metode berpikir tanpa prasangka dan tidak bertitik tolak dari suatu teori atau gambaran tertentu dalam mengetahui isi dari suatu fenomena (Creswell, 1998). Tujuan yang ada di dalam fenomenologi adalah mengungkap pengalaman manusia dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya dengan cara pemaknaannya (Husserl, dalam Hadiwijoyo, 1980).
menyertainya (Creswell, 1998). Ada beberapa proses inti dalam pendekatan fenomenologis, yaitu epoche, phenomenological reduction, imaginative variation dan synthesis of meaning and essences (Moustakas, 1994).
Epoche merupakan bahasa Yunani yang berarti menjauh atau menahan diri. Dalam fenomenologi, epoche berarti menyingkirkan prasangka, bias dan bentuk-bentuk opini tertentu tentang sesuatu dalam penelitian. Dalam memahami proses penerimaan arti kehidupan (perceiving live) yang dialami seseorang memerlukan pengamatan, perhatian, dan kepekaan, tanpa melibatkan prasangka peneliti pada apa yang dilihat, dipikirkan,dibayangkan atau dirasakan. Jadi epoche dalam penelitian fenomenologi merupakan suatu tindakan untuk mencegah intervensi peneliti terhadap apa yang diungkapkan oleh subjek.
Phenomenological reduction adalah menggambarkan pengalaman subjek oleh peneliti dalam bahasa yang terpola (textural language). Pengalaman subjek, hubungan fenomena dengan subjek dan kualitas dari pengalaman subjek menjadi focus utama dari phenomenological reduction ini. Beberapa tahap dalam phenomenological reduction adalah bracketing, yaitu menempatkan fokus dari pengalaman dalam bracket, dan hal-hal yang tidak mempuyai keterkaitan dengan fokus dikesampingkan. Selanjutnya adalah
horizons, yaitu arti tekstural dan unsur pembentuk dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan.
Imaginative variation adalah mengidentifikasi makna yang memungkinkan melalui proses imajinasi, referensi, pengelompokan dan pembalikan serta pendekatan phenomenon dari posisi, peran-peran atau fungsi yang berbeda. Tujuannya adalah mendapatkan deskripsi struktural dari pengalaman serta faktor-faktor dasar dan pengaruhnya dalam melatarbelakangi
pengalaman tersebut. Langkah-langkah dari imaginative variation meliputi : a. Membuat sistematika dari berbagai kemungkinan makna yang tersusun
yang menjadi dasar tekstural dari pengalaman.
b. Mengenali tema-tema dan konteks yang muncul sebagai dasar penyebab munculnya phenomenon.
c. Mempertimbangkan struktur secara keseluruhan untuk menghindari terjadinya pengambilan kesimpulan yang terlalu cepat terhadap perasaan dan pikiran yang berkaitan dengan phenomenon, seperti struktur waktu, ruang, perhatian yang hanya tertuju pada hal utama, materialitas, kausalitas, dan hubungan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Langkah terakhir adalah melakukan synthesis of meaning and essences, yaitu melakukan intregasi dari deskripsi tekstural dan struktural menjadi suatu pernyataan sebagai esensi pengalaman dari phenomenon secara menyeluruh. Esensi mengandung arti sesuatu yang umum atau universal dan tidak menjadi sesuatu itu sendiri. Esensi merupakan suatu bentuk sintesis tekstural dan struktural yang mendasar yang mewakili esensi waktu dan tempat tertentu dari sudut pandang peneliti mengikuti studi imajinatif dan reflekif dari phenomenon yang didapatkannya (Husserl, dalam Moustakas, 1994).
B. Fokus Penelitian
Gejala yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta.
C.Definisi Operasional
D.Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah abdi dalem yang bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Pemilihan subjek berdasarkan
theoretical sampling, yaitu memilih individu yang dapat memberikan kontribusi dalam penelitian hingga individu ke-n, dimana informasi yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan secara jelas sudah tidak ditemukan lagi atau sudah tidak ada informasi-informasi baru yang dihasilkan partisipan yang dapat memberikan kontribusi bagi peneliti. (Creswell, 1998). Berdasarkan theoretical sampling ini maka dipilih abdi dalem yang sampai saat ini masih bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan, sehingga dapat memberikan kontribusi sesuai yang diharapkan bagi penelitian ini.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam. Wawancara yang mendalam bertujuan untuk mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya dan mendalam dalam mengungkap pemaknaan
Proses pengumpulan data akan mengikuti pola “zig-zag” (Creswell,1998), yaitu peneliti akan ke lapangan mencari informasi, informasi tersebut sebagai data yang kemudian akan dianalisis, kemudian peneliti kembali ke lapangan lagi untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak untuk dianalisis lagi dan seterusnya secara berulang-ulang.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dan diinterpretasi menggunakan modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Tahap-tahapannya adalah :
1. Memulai dengan deskripsi pengalaman peneliti terhadap phenomenon. 2. Mencari pernyataan mengenai bagaimana individu mengalami
phenomenon tersebut, membuat daftar dari pernyataan-pernyataan (horizonalization) dan memperlakukan tiap pernyataan dengan seimbang, kemudian mengembangkan daftar dari pernyataan yang tidak berulang (nonrepetitive) atau tidak tumpang tindih (nonoverlaping). 3. Pernyataan kemudian dikelompokkan ke dalam unit-unit makna
(meaning units), kemudian membuat daftar dari unit-unit ini dan menuliskan deskripsi tekstural dari pengalaman, yaitu tentang apa yang terjadi dan disertai contoh-contoh verbatim.
pemahaman dari phenomenon dan membuat deskripsi tentang bagaimana phenomenon dialami.
5. Peneliti kemudian membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman.
6. Dari deskripsi tekstural-struktural individu, berdasarkan pengalaman tiap partisipan, peneliti membuat composite textural-structural description dari makna-makna dan esensi-esensi pengalaman, mengintergrasikan semua deskripsi tekstural-struktural individu menjadi deskripsi yang universal dari pengalaman yang mewakili kelompok (partisipan) secara keseluruhan.
G.Verifikasi Data
35
PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISA DATA, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan pelaksanaan penelitian, temuan penelitian serta analisis data, interpretasi dan pembahasannya. Pemaparan dimulai dari deskripsi pelaksanaan penelitian kemudian pandangan peneliti mengenai subjek penelitian, analisis data secara tematik, sintesa data kemudian pembahasan.
A.PELAKSANAAN PENELITIAN
menyampaikan maksud dan tujuan dalam penelitian ini. Melalui hubungan positif yang terbangun diharapkan adanya sikap percaya dan sikap terbuka diantara dua pihak. Sikap percaya dan terbuka dan akrab sangat mendukung sekali untuk memudahkan mendapat pemaparan pengalaman secara mendalam dan personal.
Pendekatan pertama dimulai pada bulan Agustus 2009 saat prosesi ritual labuhan berlangsung. Kemudian pendekatan dilakukan secara berkala sampai pada akhirnya wawancara dilakukan secara bertahap. Proses wawancara disesuaikan dengan waktu dan aktifitas subjek penelitian. Harapannya adalah proses eksplorasi dapat berjalan dengan baik karena subjek tidak terpisahkan dari konteks lingkungannya serta kesediaan subjek untuk mengungkapkan pengalamannya secara lebih mendalam. Tahap proses wawancara dimulai pada bulan Desember 2009 sampai Juni 2010 yang dilakukan secara berkala. Selama tahap proses wawancara tersebut akhirnya didapatkan 7 orang subjek sebagai sumber data penelitian ini.
Penelitian berlokasi di Dusun Kinahrejo, Desa Cangkringan, Kecamatan Umbulharjo, Kabupaten Sleman. Lokasi tersebut merupakan lokasi tempat tinggal para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang bertugas khusus melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi ini.
berdasarkan situasi yang telah ditentukan oleh subjek, seperti di rumah subjek, saat subjek berjualan maupun saat mencari rumput di ladang.
Setelah proses wawancara selesai, penulis segera memindahkan hasil rekaman dalam bentuk verbatim. Untuk mendapatkan pemahaman yang sama antara peneliti dan subjek penelitian, transkrip verbatim tersebut didiskusikan bersama subjek. Selanjutnya, peneliti memulai analisis dari data yang diperoleh.
B.Pandangan Peneliti Mengenai Abdi Dalem Kraton Yogyakarta Yang Bertugas Melaksanakan Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi
Abdi dalem adalah sebuah prosesi yang dijalankan untuk memenuhi tanggung jawab atas kesanggupanya mengabdi pada Raja. Secara keseluruhan mereka mempunyai tugas bermacam-macam salah satunya adalah melaksanakan tugas di Gunung Merapi ini. Abdi dalem Kraton Yogyakarta yang bertempat tinggal di lereng Gunung Merapi ini berbeda dengan abdi dalem yang sering terlihat di dalam kraton, abdi dalem ini khusus bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.
disetiap minggunya sebelum labuhan. Yang kedua adalah inti prosesi ritual labuhan. Pada malam sebelum pemberangkatan labuhan diadakan tirakat di kediaman juru kunci Gunung Merapi. Berbagai atraksi kesenian dipentaskan sebagai pengiring malam tirakat ini. Selanjutnya sebelum matahari terbit, abdi dalem dengan tugas masing-masing berangkat menuju Pendopo Labuhan Gunung Merapi untuk melaksanakan inti prosesi ritual labuhan. Tugas abdi dalem berikutnya adalah mencari angsal-angsal atau oleh-oleh labuhan untuk diserahkan ke kraton sebagai bukti kepada raja jika labuhan telah selesai dilaksanakan.
Fenomena yang terjadi sekarang ini seperti prosesi ritual labuhan Merapi ini tentunya akan sangat lazim dan tidak begitu menarik perhatian jika berlangsung pada era kerajaan-kerajaan masih berjaya. Namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradapan seperti sekarang ini, prosesi ritual labuhan tersebut akan terasa kurang begitu lazim sehingga justru dapat menarik perhatian bagi sebagian orang.
melihat lebih dalam lagi apa yang sebenarnya dialami dan bagaimana hal-hal tersebut dialami oleh pelakunya. Dalam konteks penelitian ini pelaku ialah abdi dalem Kraton Yogyakarta yang melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.
orang yang sangat spesial. Begitu hormatnya mereka pada raja sehingga apapun yang menjadi tugasnya dijalankan dengan sepenuh hati meskipun harus menunda kepentingan pribadinya. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara
abdi dalem dan masyarakat yang bukan abdi dalem dalam memandang seorang pemimpin. Jika masyarakat umum sering memprotes atau menuntut pemimpinnya dalam hal ini bisa pemuka masyarakat atau bahkan presiden, tetapi beda halnya dengan para abdi dalem, mereka tidak melakukan hal tersebut, raja dipandang sebagai pemimpin sekaligus junjungan. Bagi mereka, cukup melaksanakan semua apa yang diperintahkan oleh raja sehingga dengan begitu akan mendapatkan berkah yang melimpah.
C.Deskripsi subjek penelitian
Dari hasil wawancara dengan tujuh orang subjek, diperoleh beberapa tema yang menjadi struktur dasar pengalaman subjek. Sebelum masuk ke dalam proses analisis, di bawah ini merupakan deskripsi singkat dari subjek.
dari ABRI agar bisa menjalankan tugas kewajibannya sebagai abdi dalem
secara total. Pendapatan keluarganya bersumber dari ladang dan ternak. Bagi beliau, menjalankan tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi ini merupakan bentuk tanggung jawab atas kesanggupanya mengabdi kepada raja. Honor atau kekunceh dalem yang kecil bukan masalah baginya, yang terpenting adalah mendapat berkah dari pegabdianya pada raja. Pada saat rangkaian prosesi ritual labuhan berlangsung beliau bertugas mengawasi dan mengontrol apakah prosesi ritual berlangsung dengan semestinya atau tidak.
Mbah Bm mengawali pengabdiannya sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuono IX, tetapi baru resmi diwisuda setelah pemerintahan Sri Sultan Hamengkubono X. Dahulu beliau mengelola sebuah warung klontong di rumahnya. Pada saat harus bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan, beliau akan meninggalkan warungnya walaupun pada saat itu sedang banyak pembeli. Beliau sering bertugas membuat sesaji berupa makanan baik yang dibawa ke Pendopo Labuhan maupun yang digunakan untuk acara selamatan di rumah juru kunci. Pekerjaan utama beliau adalah bertani dan berternak. Honor atau ”kekuceh dalem” yang kecil tidak menyurutkan semangat pengabdiannya, tugas melaksankan labuhan di Gunung Merapi dirasakannya sebagai bentuk tanggung jawab atas kesanggupannya mengabdi kepada raja.
Meskipun tugas melaksanakan labuhan ini cukup banyak tetapi karena rasa tanggung jawab pada pengabdian tidak membuatnya mengeluh. Pekerjaan utamanya adalah menjadi karyawan disalah satu Universitas di Yogyakarta. Honor atau kekunceh dalem bukan suatu hal yang mutlak dicari akan tetapi berkah dari pengabdian pada raja lah yang terpenting. Pada saat rangkaian prosesi ritual labuhan berlangsung, beliau sering bertugas memimpin doa dalam tata cara Islam.
Ut mengawali pengabdiannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuono X. Niatnya menjadi abdi dalem tumbuh dari dalam hatinya. Gambaran tentang tugas melaksanakan labuhan ini sudah diketahuinya sebelum dirinya magang menjadi abdi dalem, sehingga apapun tugas yang dijalankan akan dijalakannya dengan senang. Pekerjaan sehari-harinya bejualan makanan dan minuman di obyek wisata Bebeng. Meskipun honor atau kekunceh dalem
yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari tetapi dirinya tetap merasa senang. Dalam pengabdian, honor atau kekeuceh dalem bukan hal utama yang dicari akan tetapi berkah berupa rasa tentram yang diterima dari pengabdian tersebut. Selain membantu menyiapkan sesaji makanan, beliau bertugas membawa sesaji bunga-bungaan saat arak-arakkan prosesi ritual labuhan menuju Pendopo Labuhan.
abdi dalem yang datang dari kraton maupun dari daerah-daerah lain. Pada saat arak-arakkan prosesi ritual labuhan menuju Pendopo Labuhan, beliau bertugas membawa ubo rampe labuhan. Pekerjaan utamanya betani dan berternak sapi perah. Honor atau kekunceh dalem yang kecil tidak menyurutkan pengabdiannya. Menurutnya mengabdi kepada raja memberikan berkah yang melimpah yaitu ketentraman batin dan merasa mendapat kemudahan dalam mencari rejeki.
Ty mengawali pengabdiannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuono IX. Pengabdianya muncul dari minatnya sendiri tanpa ada yang menyuruh. Mempersiapkan jalur labuhan dan melaksanakan prosesi ritual labuhan adalah tugas yang dilaksankannya. Pada saat arak-arakkan prosesi ritual labuhan menuju Pendopo Labuhan beliau sering bertugas membawa ubo rampe labuhan. Beliau juga pernah beberapa kali ke puncak untuk mengambil oleh-oleh atau angsal-angsal labuhan yang akan diserahkan ke kraton sebagai tanda bukti labuhan telah selesai dilaksanakan. Honor atau kekunceh dalem
yang kecil tidak menyurutkan niatnya dalam mengabdi, semua tugas dijalankan dengan penuh rasa senang dan iklas. Baginya ketentraman batin dan kelancaran rejeki yang diperolehnya dalam pengabdian merupakan berkah yang melimpah.
tirakat di rumah juru kunci. Selain memiliki ternak di rumahnya beliau juga bekerja disalah satu Universitas di Yogjakarta sebagai petugas lapangan. Honor atau kekunceh dalem yang kecil tidak menyurutkan pengabdiannya. Dalam melaksanakan tugas pengabdiannya dilandasi rasa ikhlas sehingga apapun tugasnya dilaksanakan dengan senang hati. Menurutnya, mengabdi kepada raja sebagai abdi dalem ini dapat mendatangkan berkah berupa ketentraman batin.
Tabel 1 Deskripsi Subjek
Nama Umur Pekerjaan Lama
pengabdian
Deskripsi tugas
Pm 65 Tani 35 tahun Mengkoordinir tugas para
abdi
Bm 60 Tani 30 tahun Membuat sesaji makanan
As 44 Karyawan swasta
& Tani
11 tahun Membawakan doa dalam tata
cara Islam
Ut 28 Pedagang
klontong
11 tahun Membuat sesaji makanan dan
membawa bunga
Sj 45 Tani 24 tahun Membawa sesaji
Ty 52 Tani 23 tahun Membawa sesaji
Ms 41 Karyawan swasta
& Tani
D. Analisis Data dan Hasil Penelitian
1. Hal-hal yang dialami dan bagaimana hal-hal tersebut dialami oleh
abdi dalem Kraton Yogyakarta dalam bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.
Hal-hal yang akan diuraikan dibawah ini adalah bentuk pengalaman-pengalaman yang dialami oleh abdi dalem dalam bertugas melaksanakan ritual labuhan di Gunung Merapi dan bagaimana hal tersebut dialami oleh mereka. Bentuk pengalaman-pengalaman serta proses mengalami ini akan membentuk sistematika analisis fenomenologis dalam penelitian ini dengan menyertakan kutipan-kutipan pernyataan para subjek sebagai hasil penelitian.
Pandangan hidup yang dimiliki abdi dalem ini berdasarkan pola hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pola antar hubungan yang terjalin dengan baik diyakini akan membawa kebaikan juga dalam kehidupan manusia.
Pandangan hidup yang dimiliki abdi dalem berdasarkan pola hubungan antara manusia dengan Tuhan terdapat dalam pernyataan berikut ini.
“Ya iya agama tetep dipakai tapi ya tetep ora ninggalke kejawen. Yo untuk sendiri karo wong liyo nak aku pribadi yo buat Gusti Allah. Ora wedi munggah, munggahe soale niat dadi ra wedi sesuatu sing diawali dengan niat kan ra wedi.” (Ut, 31-34)
“Ning wong sing bekti karo sing Kuwoso mesti eneng imbal balike. Wong sing bekti karo sing ora yo sak ora-orane okeh keslametane wong sing bekti karo sing Kuwoso. Paribasan nek loro gampang ne golek tombo, ning umpomo eneng opo-opo kan sakdurung yo wis ngati-ngati. Nek wong sing ming sak-sakke akhire nek golek bahan, golek obat pirang-pirang ngatus kok ra jodo. Sing Kuwoso ora maringi jampi kok, kenyataane ngono. Mulo wong sing percoyo karo sing Kuwoso ki pancen ditiru. Penak lan orane landesane wong percoyo wis mau budidoyo, yo sak ora-orane iyo to.” (Pm, 287-294)
Pola hubungan antara manusia dengan manusia lebih pada aplikasi norma-norma yang ada dimasyarakat pada umumnya. Pola hubungan antara manusia dengan manusia tercermin dalam penyataan sebagai berikut.
“...tesih sepriki, tesih kulino, mantu, ewuh opo, mriko-mriki, ngandani njemput, tinggalane tasih. Pokoke kabeh nyenengake. Wong kulo nggih bare Peggy Kusuma Melati ijab, ten Bogor, bapakne mriko kulo nggih mriko, bagi-bagi Mas sing penting kene tok golekke kendaraan aku ngono. Dadine nganten niku mBah Hargo bapakne mBah Maridjan, bapak kulo ngriko. Bapak kulo mantu mBah Maridjan mantu mriko nggih mriki sakniki anakke enggih tasih tasih sepriki. Duite nggih pun do golek entuk akeh, ning katresnane rak tasih ra luntur…” (Bm, 49-57)
“Ning nek inti sing tenan, menungso iku landesan siji ki rukun, uwong ki nek rukun dadi sentoso, ning nek crah dadi suloyo. Soale nek wong rukun ki sak ora-orane, arep tuku barang regane larang, arep mbangun opo wae nek agek modal sethithik yo sesuk piye carane duwe modal. Ning janji ora apus-apusan.” (Pm, 411-114)
Pola hubungan antara manusia dengan alam merupakan cara mereka menghormati alam yang telah menjadi sumber kehidupan bagi umat manusia, seperti halnya hasil bumi yang telah dinikmati selama ini. Bagi mereka, menghormati alam sekaligus juga menghormati para leluhur yang tinggal di dalamnya. Harapannya keselarasan akan tercipta diantara keduannya.
“...mulo saiki harus bersatu, gunung nde’e wong sak donyo, wong’o kene nek ngrusak hutan ada hukumnya. Aku segala hasil hutan yo ming edar-edar, umpomo ono wong ngethok kayu, aku ngene wae, aku ra sengit karo wong ngethok kayu, ning nek kok kethok iki nek aku diseneni mantrine aku kondo nek koe opo aku sing ngakoni, aku ngono. Njut nek dihukum sing ngenyangi aku po kowe, aku ngono. dadi wong sing gawene nakal-nakal ngono ki duwe kiro-kiro...” (Pm, 636-641)
“...wong duwe gawe ono sing mbuang sajen bak utowo umbul bebeng misale sajene ra lengkap kuwi yo dadi macet nengo nak lengkap yo banyune lancar apapun hajat tetep nggo sesaji, nak kene nalurine ngono. Pernah terjadi misale saniki mantenan ra pakai genduren acarane kalang kabut nengo nak pakai naluri kejawene isih dingo yo pasti lancar-lancar wae.” (Ut, 27-31)
“...lagi ditebahi wit pring kalih wite klengkong. Niko isine nggih ming klengkong kalih godong-godong pring, ning nek sing ndelok netraning piyantun niko nggih mboten sembarangan lho papane niko. Ha enjih, niko nggih sarwo dipiranteni.” (Bm, 414-417)
Menjalani hidup sesuai dengan aturan dalam masyarakat. Dalam menjalankan prinsip ini sebenarnya bukan hanya dalam predikat sebagai
“...jalaran opo-opo ki nuhoni aturan, ning lha yo wong nuhoni aturan kui abot tenan. Nuhoni aturan ki padane undang-undang ki ngene, kui kudu dienggo. Wong rak yo sok nglanggar undang-undang, kui ne dadi ora kepenak ngono kui. Hayo pancen abot. Lha ne gelem mergo koe kui njikuk intine, ojo njukuk gelare. Dadi nek inti, nggon slamet ki kok pasrahke sopo-sopo nek ra diijinke karo sing Kuwoso ora biso. Mulo opo-opo kui kudune mituhu. Dadi nek iso tuhu karo sak kabehe inssyaAllah sing Kuwoso maringi eling lan iso panjang umur.” (Pm, 121-126)
Dalam prinsip hidup Jawa juga dikenal adanya prinsip “nrimo ing pandum” atau menerima apa yang sudah diberikan untuk dirinya. Begitu juga halnya para abdi dalem ini, mereka melaksanakan hal tersebut dalam menjalani hidupnya.
“…sebabpe aku wis kebacut modale kurang hayo ming ngono kui nek aku, nrimo ing pandum. Ha mosok nek coro aku wong lenang kok gaweane ming ngarit sobo kebon sobo gunung, sing wong wedok we dadi pilot kok, dadi mentri. Ha ning aku rak miturut karo modale, kono kan sekolah, aku kan ra. Nek rak kabeh kudu seimbang. Nek gelar okeh. Kae katokke disetliko klambine disetliko wangun nek dadi dukuh ning urung karuan nek iso ne nindakke, kui angel.” (Pm, 1141-1147)
“Mulone nopo-nopo niku nek narimo ing pandum, opo pernahe, opo printahe okeh apikke. Ning nek sok lumancang okeh le kurang, turene ngoten niku. Kulo sakniki manut mawon, pripun-pripun apik, rasah maido, kulo mendel mawon, engko ndak gelo. Ning nek le opo-opo ora sing ora nuju prono lha yo monggo ha lek kui wani, enggih to, nek sampeyan wani yo riku. Nek kulo kalih mBah kakung niku mbiyen dasare ming wong bodone tek ndablekke ping pitulikur, kere sing ping widak-widakan likur ora ming ping pitulikur, niku rumongso wis keketen niki wis yo mengko arep do mulyo, subur, makmur, enak, kepenak seneng banget, tenan…” (Bm, 639-646)