• Tidak ada hasil yang ditemukan

TREND PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2001-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TREND PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2001-2010"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

i

TREND

PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2001-2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ekonomi

Oleh:

Darwis Alfonsus

NIM : 05 1324 006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Karya sederhana ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah mendukung dan memberikan banyak perhatian kepada saya selama menempuh masa studi di perguruan tinggi dari awal hingga akhir serta dalam proses penulisan skripsi ini.

Pertama, Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menyertai saya dengan limpahan rahmat dan Roh Kudus yang tiada tara. Sering kali saya terjatuh, gagal bahkan putus asa, namun kasih dan perlindungan-Mu membuat saya kuat dan tetap bertahan menghadapi segala cobaan. Terima kasih Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria.

Kedua, kedua orang tua saya Bapak Ignatius Peem dan Ibu Hilaria Aim yang selalu mendukung aktivitas akademik saya. Meskipun kita hidup dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan, namun kerja keras, doa dan harapan kalian mampu mengantarkan saya meraih cita-cita. Terima kasih atas izinnya meninggalkan sementara keluarga dan kampung halaman demi menuntut ilmu dan mengejar cita-cita di Tanah Sultan. Hal ini saya lakukan demi kemajuan keluarga, masyarakat dan bangsa.

Ketiga, adik-adikku yang tercinta Dirgo, Doyo dan Duta. Terima kasih atas dukungan dan doanya untuk abang selama menyelesaikan masa kuliah.

Keempat, Keluarga Besar Bujang Dare Kayong (Bedayong) Ketapang dan Sekber JC. Oevaang Oeraay Yogyakarta. Terima kasih atas perhatian dan motivasinya selama saya kuliah. Semoga skripsi ini menjadi referensi dan inspirasi kawan-kawan mahasiswa Dayak dalam berkarya demi kemajuan dan perkembangan Provinsi Kalimantan Barat yang kita cintai.

(5)

"Ubahlah Kegagalan Pertama menjadi Kemenangan Terakhir"

(Penulis)

"Gagal itu Baik"

(Nistain Odop)

"Biawak Dudok Labuk Bakalindank"

(

Pepatah Tua Dayak Laor)

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

TREND PERKERMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2001-2010

Darwis Alfonsus Universitas Sanata Dharma

2012

(9)

ix

ABSTRACK

THE TREND OF THE DEVELOPMENT OF PALM OIL PLANTANTION IN WEST KALIMANTAN PROVINCE IN 2001-2010

Darwis Alfonsus Universitas Sanata Dharma

2012

(10)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi berkat, hikmat, dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul "Trend Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010".

Skripsi ini melaporkan hasil penelitian tentang trend perkembangan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010 yang dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2012. Pembuatan skripsi ini adalah salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Ekonomi.

Penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi. 2. Bapak Indra Darmawan, S.E., M.Si. selaku Kepala Program Studi Pendidikan

Ekonomi sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dengan sabar dalam proses penulisan skripsi.

3. Bapak Y.M.V. Mudayen, S.Pd., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing I yang sangat sabar membimbing dan membantu penulis melaksanakan penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan baik.

(11)

xi

5. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi: Bapak Indra Darmawan, S.E., M.Si., Y.M.V. Mudayen, S.Pd., M.Sc., Dra. Catharina Wigati Retno Astuti M.Si., Drs. J. Markiswo dan P.A. Rubyanto. Terima kasih atas jasa-jasa kalian sehingga saya memperoleh gelar sarjana.

6. Teman-teman Mahasiswa PE angkatan 2005. Kalian diibaratkan sebuah gitar yang telah mengiringi langkah penulis selama menempuh studi.

7. PBS-KK yang telah membantu beasiswa selama penulis melaksanakan kuliah. 8. Teman-teman Forum Bedayong, PBS KK, Sekber J.C. Oevaang Oeraay,

GMPPK dan JMPKB yang sesalu memberi semangat dan motivasi saat penulis melaksanakan penelitian.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan manfaat yang besar, bukan hanya untuk penulis saja, tetapi juga bagi semua pihak.

Yogyakarta, 22 Agustus 2012 Penulis,

(12)

xii KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

(13)

xiii

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Analisis Trend/ Analisi Deret Berkala ... 10

1. Arti dan Pentingnya Analisis Trend ... 10

2. Klasifikasi dan Gerakan/Variasi dari Data Deret Berkala... 11

B. Definisi Kelapa Sawit ... 12

C. Klasifikasi dan Ciri-ciri Fisiologis Kelapa Sawit ... 13

1. Akar ... 14

2. Batang ... 13

3. Daun ... 14

4. Bunga ... 15

5. Buah ... 15

6. Biji ... 16

D. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kelapa Sawit Berkembang ... 16

1. Keunggulan Kelapa Sawit ... 16

2. Permintaan Pasar Dunia ... 17

3. Perkembangan Industri Biodiesel ... 17

4. Ketersediaan Lahan ... 18

5. Manfaat Kelapa Sawit ... 18

6. Dukungan Pemerintah ... 19

(14)

xiv

F. Kebijakan Pemerintah Mengenai Pengembangan

Perkebunan Kelapa Sawit ... 21

G. Proses Izin Perkebunan Kelapa Sawit ... 26

1. Izin Informasi ... 27

2. Izin Lokasi ... 27

3. Izin Usaha Perkebunan ... 29

4. Izin Lainnya ... 32

5. Hak Guna Usaha (HGU) ... 37

H. Pola Pemasaran Komiditi Kelapa Sawit ... 41

1. Pola Pemasaran Perkebunan Rakyat ... 41

2. Pola Pemasaran Perkebunan Besar Negara dan Swasta ... 41

I. Kemitraan dalam Pembangunan dan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit ... 42

J. Harga ... 47

1. Pengertian Harga ... 47

2. Tujuan Penetapan Harga ... 48

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga ... 50

4. Fluktuasi Harga ... 54

(15)

xv

L. Produksi Kelapa Sawit ... 62

M. Kerangka Pemikiran ... 67

N. Penelitian yang Relevan ... 68

BAB III METODE PENELITIAN ... 71

A. Jenis Penelitian ... 71

B. Jenis dan Sumber Data ... 71

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 72

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Data ... 72

E. Variabel Penelitian ... 72

F. Teknik Pengumpulan Data ... 73

G. Teknik Analisis Data ... 73

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 76

A. Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Barat ... 76

1. Letak, Luas, dan Batas ... 76

2. Topografi dan Penggunaan Tanah ... 79

3. Kependudukan ... 80

4. Pendidikan ... 81

5. Pertanian Perkebunan ... 82

B. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat ... 83

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 87

A. Analisis Data ... 87

(16)

xvi

BAB VI SIMPULAN, SARAN

DAN KETERBATASAN PENELITIAN ... 146

A. Simpulan ... 146

B. Saran ... 148

C. Keterbatasan Penelitian ... 150

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel II. 1 Harga Rata-rata CPO Dunia ... 60 Tabel III. 1 Perhitungan Trend Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Di Provinsi Kalimantan Barat ... 75 Tabel V.1 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit

di Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 88 Tabel V.2 Pembagian Kelompok Data Perkembangan

Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 89 Tabel V. 3 Perhitungan Semi Total Data Perkembangan Luas Areal

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 90 Tabel V.4 Perhitungan Trend Perkembangan Luas Lahan

Perkebunan Kelapa Sawitdi Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 93 Tabel V.5 Perkembangan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 94 Tabel V.6 Pembagian Kelompok Data Perkembangan Produksi

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 95 Tabel V. 7 Perhitungan Semi Total Data Perkembangan Produksi

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 96 Tabel V.8 Perhitungan Trend Perkembangan Produksi

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 99 Tabel V.9 Perkembangan Jumlah Petani Perkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 100 Tabel V.10 Pembagian Kelompok Data Perkembangan Jumlah Petani

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

(18)

xviii

Tabel V. 11 Perhitungan Semi Total Data Perkembangan Petani Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 102 Tabel V.12 Perhitungan Trend Perkembangan Petani

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 105 Tabel V.13 Perkembangan Harga CPO Perkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 106 Tabel V.14 Pembagian Kelompok Data Perkembangan Harga CPO

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 107 Tabel V. 15 Perhitungan Semi Total Data Perkembangan Harga CPO

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 108 Tabel V.16 Perhitungan Trend Harga CPO Perkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 111 Tabel V.17 Trend dan Persentase Perkembangan Luas Lahan

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 112 Tabel V.18 Trend dan Perkembangan Produksi

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 130 Tabel V.19 Perkembangan Luas Lahan dan Produksi Kelapa Sawit ... 136 Tabel V.20 Trend dan Perkembangan Jumlah Petani

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 137 Tabel V.21 Perkembangan Luas Lahan dan Jumlah Petani Kelapa Sawit ... 139 Tabel V.22 Trend dan Perkembangan Harga CPO

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 142 Tabel V.23 Perkembangan Luas Lahan Kelapa Sawit,

(19)

xix

DAFTAR GRAFIK

Grafik II. 1 Perkembangan Produksi Barang A ... 11 Grafik II. 2 Fungsi Penawaran ... 49 Grafik II. 3 Kurva Permintaan Pasar ... 52 Grafik II. 4 Akibat Terhadap Harga dari Suatu Perubahan yang Tidak

direncanakan Tergantung pada Elastisitas Permintaan ... 55 Grafik II. 5 Pola Reaksi yang Sangat Berbeda Sektor Pertanian

dan Industri dalam Perekonomian ... 57 Grafik V. 1 Trend Perkembangan Luas Lahan

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 112 Grafik V. 2 Trend Perkembangan Produksi

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 131 Grafik V.3 Trend Perkembangan Petani

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2001-2010 ... 138 Grafik V.4 Trend Perkembangan Harga CPO

Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat

(20)

xx

DAFTAR BAGAN

(21)

xxi

DAFTAR PETA

Peta IV. 1 Provinsi Kalimantan Barat ... 78 Peta IV. 2 Penyebaran Perkebunan Kelapa Sawit

(22)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perkembangan Komoditi Kelapa Sawit

di Kalimantan Barat, Tahun 2001-2010 ... 154 Lampiran 2 Perhitungan Trend PerkembanganPerkebunan Kelapa Sawit

di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2001-2010 ... 155 Lampiran 3 Data Perkebunan Kelapa Sawit

(23)

BAB I

PENDAHALUAN

A. Latar Belakang

Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis karena berhubungan dengan sektor perkebunan yang banyak berkembang di negara‐negara beriklim tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit mentah (CPO-crude palm oil) dan inti kelapa sawit (PKO-palm kernel oil) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber pendapatan negara yaitu penghasil devisa non-migas.

Prospek perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini sangat pesat, dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya permintaan pasar dunia. Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetik dan industri sabun.

Sebagai komoditas unggulan, kelapa sawit di Indonesia memiliki peluang bisnis yang sangat menjanjikan di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar yang semakin meningkat dengan diiringi kenaikan harga minyak sawit. Menurut data Oilword 2010 dalam Pandamean (2011: 18), Indonesia berkontribusi sebesar 47 persen terhadap produksi minyak sawit dunia,

(24)

sedangkan Malaysia hanya 39 persen. Negara produsen minyak sawit lainnya adalah Nigeria, Thailand, Kolombia, Ekuador, Papua Nugini, Pantai Gading dan Brasil.

Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Indonesia tahun 2010, selama lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 1.229.709 hektar, yaitu dari 6.594.914 hektar pada tahun 2006 menjadi 7.824.623 hektar di tahun 2010 (Pandamean, 2011).

Pada tahun 1996, pemerintahan Orde Baru merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, yaitu menjadi 5,5 juta hektar pada tahun 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama akan dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Dengan pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit ini, pada awalnya (sebelum krisis ekonomi) diharapkan produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat menjadi 7,2 juta ton pada tahun 2000 dan 10,6 juta ton pada tahun 2005 (Casson, 2000).

(25)

Tahun 2005 wilayah Sumatera merupakan yang terbesar, yaitu sebesar 4.280.094 hektar atau 76,46 persen dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Di wilayah ini provinsi Riau tercatat memiliki areal terbesar, yaitu 1.383.477 hektar dan selanjutnya diikuti provinsi Sumatera Utara seluas 964.257 hektar.

Wilayah lainnya yang juga memiliki areal perkebunan kelapa sawit cukup besar adalah Kalimantan seluas 1.108.288 hektar (19,80 persen). Provinsi Kalimantan Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Kalimantan dengan luas areal sebesar 466.901 hektar, kemudian disusul oleh Kalimantan Tengah seluas 269.043 hektar

(http://www.datacon.co.id/CPO1-2009Sawit.html).

(26)

Faktor pendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia salah satunya adalah ketersediaan tanah atau lahan. Departemen Pertanian Indonesia berpendapat bahwa terdapat sekitar 27 juta hektar wilayah hutan tidak produktif, di luar total luas lahan kering di Indonesia seluas 143.95 juta hektar, yang dapat ditawarkan kepada investor untuk selanjutnya dikonversi menjadi perkebunan. Lahan tidak produktif tersebut adalah wilayah hutan yang dinilai telah terdegradasi karena penebangan, pertanian dan aktivitas perusakan hutan lainnya. Lebih jauh, sebuah penelitian regional yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Departemen Kehutanan Indonesia pada tahun 2001 menyimpulkan bahwa sekitar 4,279,300 hektar dari 11.5 juta hektar lahan gambut di Sumatra telah direncanakan akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (Colchester, dkk., 2006: 27).

(27)

Di masa pemerintahan reformasi, strategi yang paling menonjol dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah penerapan lima (5) pola kemitraan, yaitu pola koperasi usaha perkebunan (KUP), pola patungan koperasi sebagai mayoritas pemegang saham dan investor sebagai minoritas pemegang saham, pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang saham, pola built, operated, and transferred (BOT) dan pola bank tabungan negara (BTN) yang disertai dengan kebijakan perluasan areal perkebunan.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah memberikan dampak positif dalam pembangunan nasional karena kelapa sawit merupakan salah satu penghasil devisa negara. Selain itu, manfaat dari pengembangan kelapa sawit antara lain peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, menyediakan bahan baku untuk industri minyak goreng dan industri hilir lainnya, peningkatan kesempatan kerja dan mendukung upaya pengembangan wilayah agar lebih maju dan berkembang.

(28)

terkait dengan daerah mereka. Perluasan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan di wilayah mereka tentu akan berimbas pada peningkatan pendapatan daerah.

Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dengan pesatnya mengembangkan industri perkebunan kelapa sawit. Dalam penelitian tentang masyarakat dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, diungkapkan bahwa pada tahun 2005 Kalimantan Barat berencana untuk melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit seluas 5 juta hektar, terluas dibandingkan provinsi lain di Indonesia, diikuti oleh Provinsi Riau dan Papua yang keduanya merencanakan ekspansi seluas 3 juta hektar. Kawasan hutan dan lahan pertanian petani kecil tanpa sertifikat tanah seringkali diklasifikan oleh pemerintah sebagai “lahan tidak produktif” atau “lahan kosong”

dan ditargetkan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hingga tahun 2006, 152 perkebunan kelapa sawit telah dikembangkan di Kalimantan Barat dengan luas 3.2 juta hektar (Sirait, 2009).

(29)

Berkembang pesatnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, secara khusus di Provinsi Kalimantan Barat menarik perhatian penulis untuk mengetahui lebih jauh bagaimana trend perkembangannya. Oleh karena itu, judul penelitian yang penulis angkat adalah TREND PERKERMBANGAN PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN

2001-2010”.

B. Batasan Masalah

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat, misalnya luas lahan, jumlah produksi, jumlah petani, harga CPO, jumlah perusahaan dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini hanya dibatasi pada perkembangan luas lahan, jumlah produksi, jumlah petani dan harga CPO. Penulis akan menganalisis trend dari perkembangan luas lahan, jumlah produksi, jumlah petani dan harga CPO di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang dan batasan masalah, maka rumusan masalah yang akan diangkat oleh penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana trend perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit di

(30)

2. Bagaimana trend perkembangan jumlah produksi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010?

3. Bagaimana trend perkembangan jumlah petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010?

4. Bagaimana trend perkembangan harga CPO perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui trend perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010.

2. Untuk mengetahui trend perkembangan jumlah produksi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010.

3. Untuk mengetahui trend perkembangan jumlah petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2001-2010.

(31)

E. Manfaat Penelitian

1. Departemen Pertanian

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan untuk bahan pertimbangan dalam menyusun berbagai kebijakan yang menyangkut pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

2. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Analisis Trend/Analisis Deret Berkala

1. Arti dan Pentingnya Analisis Trend

Data berkala atau yang sering disebut time series, adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu, untuk menggambarkan perkembangan suatu kegiatan (perkembangan produksi, harga, hasil penjualan, jumlah penduduk miskin, dan sebagainya). Analisa data memungkinkan kita untuk mengetahui perkembangan suatu/beberapa kejadian serta hubungan/ pengaruhnya terhadap kejadian lainnya. Misalnya, kasus meningkatnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri. Apakah kenaikan harga BBM diikuti dengan kenaikan jumlah produksi suatu perusahaan, apakah kenaikan harga BBM diikuti dengan kenaikan jumlah penduduk miskin, apakah kenaikan harga BBM diikuti dengan kenaikan jumlah produksi petani perkebunan kelapa sawit, dan sebagainya. Dengan kata lain, apakah perubahan suatu kejadian mempengaruhi kejadian lainnya, kalau memang mempengaruhi berapa besar pengaruhnya secara kuantitatif.

Data berkala terdiri dari komponen-komponen, maka dengan analisa data berkala kita dapat mengetahui masing-masing kompenen kalau kita ingin menyelidiki komponen tersebut secara mendalam tanpa kehadiran komponen yang lain. Data berkala, kerena adanya pengaruh dari

(33)

komponen tersebut selalu mengalami perubahan-perubahan, sehingga apabila digambarkan dalam sebuah grafik akan menunjukan adanya fluktuasi, yaitu pergerakan naik turun. Contoh grafik:

Grafik II.1 Perkembangan Produksi Barang A

Sumber: Olah data, 2012

2. Klasifikasi dan Gerakan/Variasi dari Data Deret Berkala

Gerakan/variasi dari data berkala terdiri dari empat macam atau empat komponen, yaitu:

a. Gerakan Trend Jangka Panjang, yaitu gerakan yang menunjukan arah perkembangan secara umum (kecendrungan naik/turun)

b. Gerakan/Variasi Siklis, adalah gerakan/variasi jangka panjang di sekitar garis trend (berlaku untuk data tahunan). Gerakan siklis ini bisa terulang

0 20 40 60 80 100 120

0 1 2 3 4 5 6

Produksi (ton)

(Tahun)

(34)

setelah jangka waktu tertentu (setiap 3 tahun, 5 tahun, atau lebih) bisa juga tidak terulang dalam jangka waktu yang sama.

c. Gerakan/Variasi Musiman, adalah gerakan yang mempunyai pola tetap dari waktu ke waktu, misalnya meningkatnya harga daging sapi menjelang Hari Raya Idul Fitri, meningkatnya harga telur menjelang Hari Raya Natal, dan sebagainya.

d. Gerakan Variasi yang Tidak Teratur, yaitu gerakan/variasi yang sporadic sifatnya, misalnya naik turunnya produksi padi akibat banjir yang datang tidak teratur, naik turunnya produksi industri akibat pemogokan, dan sebagainya.

B. Definisi Kelapa Sawit

Kelapa sawit bukanlah tanaman asli di Indonesia dan baru ditanam secara komersil pada tahun 1991. Meskipun demikian, istilah "sawit" sudah digunakan sejak lama oleh masyarakat beberapa desa di pulau Jawa sebelum kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor (Lubis, 2008).

(35)

kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan yang sudah lama terbengkalai dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika Barat, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Sedangkan menurut Pahan (2006), kelapa sawit merupakan tanaman

monoecious (berumah satu). Artinya, bunga jantan dan bungan betina terdapat pada satu pohon, tetapi tidak pada tandan yang sama. Walaupun demikian, kadang-kadang dijumpai juga bunga dan betina pada satu tandan (hermafrodit).

C. Klasifikasi dan Ciri-ciri Fisiologis Kelapa Sawit

Pohon kelapa sawit terdiri dari dua jenis spesies Arecaceae, yaitu Elaeis guineensis dan Elais oleifera. Elaeis guineensis (pohon kelapa sawit Afrika) berasal dari Afrika Barat tepatnya di Angola dan Gambia. Sedangkan Elais oleifera (pohon kelapa sawit Amerika) berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Hartanto, 2011: 10).

Menurut Lubis dan Widanarko (2011: 13), ciri fisiologi pada tanaman kelapa sawit dapat dilihat dari:

1. Akar

(36)

dan membentuk akar utama atau primer. Selanjutnya, akar primer akan membentuk akar sekunder, tertier, dan kuartener.

2. Batang

Tanaman kelapa sawit memiliki batang lurus, melawan arah gravitasi bumi, dan dapat berbelok jika tanaman (doyong). Fungsi utama batang sebagai sistem pembuluh yang mengangkut air dan zat hara mineral dari akar melalui pembuluh xilem serta mengangkut hasil fotosintesis melalui pembuluh floem. Selain itu, batang juga sebagai penyangga daun, bunga, buah, dan sebagai penyimpan cadangan makanan.

3. Daun

(37)

4. Bunga

Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 2,5 tahun, tetapi umumnya bunga tersebut gugur pada fase awal pertumbuhan generatifnya. Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monoecious. Karena itu, bunga jantan dan bunga betina terletak pada satu pohon. Bunga sawit muncul dari ketiak daun yang disebut infloresen (bunga majemuk). Bakal bunga tersebut dapat berkembang menjadi bunga jantan atau bunga betina tergantung pada kondisi tanaman. Infloresen awal terbentuk selama 2–3 bulan, lalu pertumbuhan salah satu organ reproduktifnya terhenti dan hanya satu jenis bunga yang dihasilkan dalam satu infloresen. Namun, tidak jarang juga organ betina (gynoecium) dapat berkembang bersama-sama dengan organ jantan (androecium) dan menghasilkan organ hermaprodit.

5. Buah

(38)

hijau pucat, semakin tua warnanya berubah menjadi menjadi hijau hitam hingga kuning.

6. Biji

Biji kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot yang berbeda untuk setiap jenisnya. Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah, kelapa sawit dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

a. Dura, memiliki cangkang tebal (3–5 mm), daging buah tipis, dan rendemen minyak 15–17 persen.

b. Tenera, memiliki cangkang agak tipis (2-3 mm), daging buah tebal, dan rendemen minyak 21–23 persen.

c. Pisifera, memiliki cangkang agak tipis, daging buah tebal, dan rendemen minyak 23–25 persen.

D. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kelapa Sawit Berkembang

Pandamean, (2011) menguraikan faktor-faktor pendukung yang menyebabkan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu: 1. Keunggulan Kelapa Sawit

(39)

0,57 ton/ha/tahun. Pada saat proses adaptasi terhadap lingkungan, kelapa sawit lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dibandingkan dengan tanaman musiman, seperti kedelai dan bunga matahari. Dari segi kesehatan, minyak kelapa sawit mempunyai keunggulan, yaitu zat Beta Karoten yang baik untuk kesehatan manusia. Selain itu, minyak kelapa sawit merupakan sumber bahan baku biodiesel yang dapat diperbaharui, sedangkan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam beberapa kurun waktu kedepan.

2. Permintaan Pasar Dunia

Permintaan sawit dunia yang semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya permintaan dari negara-negara importir, seperti Cina, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Permintaan CPO Amerika Serikat terus naik,

trend konsumsi minyak nabati Amerika Serikat melonjak 60 persen pada periode 2002-2009. Kebutuhan minyak CPO naik karena didukung kebijakan negara tersebut untuk menggunakan bahan bakar nabati. Setidaknya sekitar 173 unit pabrik biodiesel beroperasi dan tersebar di sejumlah lokasi di Amerika Serikat.

3. Perkembangan Industri Biodiesel

(40)

Serikat, Brasil, Australia, Singapura dan negara lainnya. Sementara di Indonesia sendiri, pemerintah melalui kebijakan energi nasional telah menargetkan penggunaan biodiesel dari bahan bakar nabati minimal sebesar 5 persen dimulai pada bulan Januari 2010.

4. Ketersedian Lahan

Ketersediaan lahan mempunyai peranan penting bagi bagi pengembangan indutri kelapa sawit. Pada tahun 2009 Indonesia memiliki ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 18 juta ha, sementara areal yang sudah terpakai baru seluas 7,32 juta ha. Hal tersebut dapat mendukung ekspansi perkebunan baru di masa yang akan datang.

5. Manfaat Kelapa Sawit

Minyak yang berasal dari kelapa sawit ada dua macam, yaitu dari daging buah yang dikeluarkan melalui perebuasan dan pemerasan yang dikenal sebagai minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) serta minyak yang berasal dari inti kelapa sawit atau palm kernel oil (PKO). Keduanya merupakan komoditas utama ekspor Indonesia. Selain itu, minyak kelapa sawit menghasilkan beberapa produk di antaranya (Maruli, 2011: 25):

a. Industri makanan: mentega, shortening, cokelat, es cream, pakan ternak, minyak goreng.

(41)

c. Industri berat dan ringan: industri kulit (untuk membuat kulit halus dan lentur serta tahan terhadap temperatur tinggi), dan bahan pemisah dari material cobalt dan tembaga di industri logam.

d. Industri kimia: bahan kimia yang digunakan untuk detergen, sabun dan minyak. Sisa-sisa dari industri minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler, bahan semir furniture, dan bahan anggur.

6. Dukungan Pemerintah

Dalam perekonomian Indonesia, sektor perkebunan berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut Pandamean (2011: 33), usaha pemerintah dalam mendukung kemajuan perkebunan kelapa sawit diterapkan dalam berbagai, yaitu:

a. Kebijakan perdagangan untuk menghambat ekspor, stabilitas harga minyak goreng, dan ketersedian bahan baku untuk industri dalam negeri diterapkan melalui penggunaan instrumen pajak.

b. Kebijakan perpajakan dan retribusi untuk meningkatkan penerimaan negara dan daerah melalui instrumen pajak penghasilan, pertambahan nilai dan retribusi.

c. Kebijakan yang berkaitan dengan perizinan usaha/investasi, yaitu adanya integrasi vertikal antara kebun kelapa sawit dengan usaha lain, misalnya ternak.

(42)

2) Pola patungan koperasi sebagai mayoritas pemegang saham dan investor sebagai minoritas pemegang saham.

3) Pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang saham.

4) Pola built, operated, and transferred (BOT) 5) Pola bank tabungan negara (BTN)

e. Sebagai bagian integral dari sub-sektor perkebunan, usaha di agribisnis kelapa sawit juga tunduk Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2004, di samping aturan perundang-undangan lainnya.

E. Tujuan Pengembangan Pekebunan Kelapa Sawit

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan pertanian di Indonesia oleh Departemen Pertanian tahun 2005, tujuan utama dari pembangunan pertanian adalah (Goenadi, 2005):

1. Menumbuhkembangkan usaha pertanian di pedesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Menumbuhkan industri hulu, hilir, dan penunjang dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk petanian.

(43)

4. Membangun kelembagaan pertanian yang kokoh dan mandiri. 5. Meningkatkan kontribusi sektor pertanian dalam pemasukan devisa.

Sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian di atas, maka tujuan pengembangan agrobisnis kelapa sawit adalah:

1. Menumbuhkembangkan usaha kelapa sawit di pedesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Menumbuhkan industri pengolahan CPO dan produk turunannya dan industri penunjang (pupuk, obat-obatan dan alsin) dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah CPO dan produk turunannya.

3. Memanfaatkan sumberdaya pertanian untuk tanaman kelapa sawit secara optimal melalui pemanfaatan teknologi yang tepat sehingga kapasitas sumberdaya pertanian dapat dilestarikan dan ditingkatkan.

4. Membangun kelembagaan perkelapasawitan yang kokoh dan mandiri

5. Meningkatkan kontribusi CPO dan produk turunannya dalam pemasukan devisa dari sub-sektor perkebunan.

F. Kebijakan Pemerintah Mengenai Pengembangan Kelapa Sawit

(44)

(1998-2002) dan fase desentralisasi (2002-2006). Fase-fase di atas tidaklah terpisah satu sama lain atau awal dari sebuah fase bukanlah akhir dari proses yang terjadi sebelumnya (Colchester, Marcus dkk, 2006).

1. Fase PIR-Trans (sebelum Oktober 1993)

Usaha pemerintah untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit terpusat pada wilayah hutan di luar Jawa dan mengalokasikan tanah tersebut pada operator-operator PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara). PTPN tersebut menguasai sepenuhnya perkebunan inti maupun plasma serta menyediakan tenaga kerja dan petani kecil melalui program transmigrasi. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang pada tahun 1986 dan 1990 yang dirancang untuk memperbaiki koordinasi antara lembaga pemerintah dan mempercepat proses perizinan yang diperlukan dalam membebaskan lahan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan. Kewenangan atas wilayah hutan masih terpusat dengan adanya Kantor Wilayah Kehutanan yang diberi kewenangan dalam proses pembebasan tanah seluas kurang dari 100 hektar untuk perkebunan.

2. Fase Deregulasi (1993-1996)

(45)

tempat mereka berinvestasi. Dalam peraturan tersebut, gubernur dapat mengeluarkan izin untuk konversi wilayah hutan sampai dengan 200 hektar, dan izin untuk wilayah lebih dari 200 hektar tetap berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Perkebunan di Jakarta. Disisi lain, perusahaan-perusahaan swasta yang meminta izin konversi hutan tidak diperbolehkan mentransfer HGU sehingga bisa mengamankan investasi dari perusahaan-perusahaan tersebut.

3. Fase Privatisasi (1996-1998)

(46)

sebagai tanah pertanian namun tidak diizinkan untuk membebaninya dengan izin perkebunan.

4. Fase Kooperatif (1998-2002)

Jatuhnya rezim Orde Baru memberi peluang bagi para politisi untuk mengembangkan ide-ide alternatif untuk membangun pedesaan dan memperoleh kekuasaan sementara. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong model pembangunan yang memberi kesempatan bagi masyarakat lokal untuk mendapat keuntungan langsung dari tanah dan sumber daya alam mereka. Sementara sebuah peraturan yang melarang konversi hutan di wilayah hutan lindung dikeluarkan untuk mengharmonisasi prosedur rencana tata ruang lokal dan regional. Selain itu, diterbitkan surat keputusan yang memperbolehkan izin usaha perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun untuk koperasi di wilayah lebih dari 1.000 hektar oleh gubernur provinsi atau sampai 20.000 hektar oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan.

5. Fase Desentralisasi (2002-2006)

(47)

mengeluarkan ijin di atas tanah seluas lebih dari 1.000 hektar tetap melalui Menteri Pertanian. Meskipun terdapat banyak lahan yang telah terdegradasi yang dapat dijadikan perkebunan, pemerintah mengeluarkan peraturan lain tentang moratorium konversi hutan untuk perkebunan pada tahun 2005 guna merespon kekhawatiran mengenai laju kerusakan hutan untuk perkebunan.

G. Proses Izin Perkebunan Kelapa Sawit

Pada saat negara Indonesia didirikan, hampir seluruh perkebunan yang ada di wilayah Indonesia didirikan dan dimiliki oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Namun, berdasarkan Undang-Undang No. 86 tahun 1958 mengenai Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda, perusahaan tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah sebagai perusahaan milik negara. Undang-undang tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 mengenai Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum dalam Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Peraturan Pemerintah ini mengatur kritera Perusahaan Belanda yang harus dinasionalisasi dan didirikan berdasarkan prosedur nasional.

(48)

didaftarkan, atau jika aplikasi yang dimasukkan oleh perusahaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanahan, setelah lima tahun, perusahaa-perusaan tersebut akan kehilangan hak sewa.

Kebanyakan perusahaan perkebunan kelapa sawit besar yang telah didirikan di Indonesia diatur dengan UUPA dimana perusahaan-perusahaan tersebut diberi hak sementara pada kurun waktu tertentu untuk melakukan eksploitasi atau penanaman yang mulanya diberikan 35 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Pengaturan tersebut dikenal sebagai Hak Guna Usaha (HGU), dan berkaitan dengan HGB (Hak Guna Bangunan) untuk mengkonstruksi bangunan-bangunan seperti pabrik pengolahan, yang dianggap setara dengan sewa tanah negara. Perolehan hak-hak tersebut diatur oleh beberapa peraturan yang terbitkan kemudian yang mengatur berbagai persyaratan dan prosedur penerbitan HGU serta izin perkebunan.

Mekanisme perizinan pendirian perkebunan kelapa sawit dilakukan secara bertahap, yaitu izin informasi lahan, izin lokasi, dan izin usaha perkebunan. Setiap tahapan memiliki tenggang waktu serta harus melalui serangkaian proses yang harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

1. Izin Informasi

(49)

diberikan bupati di sebuah wilayah kepada satu perusahaan untuk dianalisis adalah 10 ribu hektar. Ternyata, hanya 8 ribu hektar yang cocok untuk dikembangkan. Maka, lahan yang cocok itulah yang harus dikembangkan oleh investor. Jika tahapan ini sudah dijalani, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah mengurus izin lokasi.

2. Izin Lokasi

Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku bagi investor sesuai dengan rencana penanaman modal. Izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, dan kemampuan tanah. Izin lokasi yang dikantongi pengusaha perkebunan merupakan tahap awal dari proses selanjutnya. Pemberian izin lokasi diatur dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi PMA/PMDN. Surat keputusan pemberian izin lokasi diterbitkan oleh bupati/walikota dan izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut.

(50)

b. Izin lokasi seluas lebih dari 25 – 50 ha: 2 (dua) tahun. c. Izin lokasi seluas lebih dari 50 ha: 3 (tiga) tahun.

Perolehan tanah oleh pemegang izin lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu izin lokasi. Apabila dalam jangka waktu tersebut perolehan tanah belum selesai maka jangka waktu izin lokasi dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun jika tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50 persen dari luas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi. Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu izin lokasi, termasuk perpanjangannya maka perolehan tanah tidak dapat lagi dilakukan oleh pemegang izin lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut:

a. Dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan sesuai ketentuan. Apabila diperlukan, masih dapat dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang.

(51)

lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan dalam melaksanakan rencana penanaman modalnya.

3. Izin Usaha Perkebunan

Izin usaha perkebunan merupakan izin tertulis dari pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan usaha budi daya perkebunan serta terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Perizinan usaha perkebunan diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dalam tahap ini, investor harus melakukan studi kelayakan yang lebih detail. Investor harus menyusun perencanaan tanam dan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Jangka waktu izin usaha ini berbeda-beda, tergantung pemerintahan daerah setempat. Izin Usaha Perkebunan (IUP) diberikan oleh pihak berikut ini:

a. Gubernur, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas wilayah daerah kabupaten dan/atau kota.

b. Bupati atau walikota, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada di wilayah daerah kabupaten atau kota.

(52)

Untuk memperoleh izin usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pandamean, 2011):

a. Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir. b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

c. Surat Keterangan Domisili. d. Rencana kerja usaha perkebunan.

e. Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan.

f. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan.

g. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari kepala dinas yang membidangi usaha perkebunan provinsi dan kabupaten atau kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro, perwilayahan komoditas, dan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang).

h. Pernyataan penguasaan lahan perusahaan bahwa usaha perkebunannya belum melampaui batas maksimum.

i. Peta calon lokasi dengan skala 1: 100.000.

j. Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL daerah.

(53)

a. Menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya dua tahun sejak diterbitkannya IUP.

b. Merealisasikan pembangunan kebun sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun dan disesuaikan perencanaan makro pembangunan perkebunan secara regional.

c. Mengelola usaha perkebunannya secara profesional, transparan, partisifatif, berdaya guna, dan berhasil guna.

d. Membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari.

e. Menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/ koperasi setempat. f. Melaporkan perkembangan usaha secara berkala setiap enam bulan sekali

pada pemberi izin dengan tembusan Menteri Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.

g. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, dilakukan evaluasi secara berkala berdasarkan laporan perkembangan usaha perkebunan kegiatan klarifikasi kebun dan diinformasikan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

(54)

4. Izin Lainnya

Selain izin lokasi dan IUP, surat-surat lain yang perlu dimiliki oleh perusahaan perkebunan adalah Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2B-KS), IPL (Izin Pembukaan Lahan), IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), AMDAL, Izin Pendaratan dan Penggunaan Alat Berat, sampai dengan SK Penerbitan HGU (Hak Guna Usaha).

a. SP2BKS (Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit)

Untuk mendapatkan benih, perusahaan perkebunan kelapa sawit terlebih dahulu mengajukan permohonan SP2BKS (Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit) kepada Dinas Perkebunan Kabupaten/ Provinsi tempat lokasi kebun berada. Setelah diadakan penilaian terhadap surat permohonan dari perusahaan dan mempertimbangkan faktor rencana jangka panjang dan faktor lainnya, kepala dinas perkebunan provinsi atau kabupaten mengeluarkan Surat Persetujuan Penyaluran Benih Kelapa Sawit (SP2BKS).

(55)

SP2BKS berikutnya setelah perusahaan melaporkan realisasi penerimaan penyaluran bibit kelapa sawit atas dasar SP2BKS sebelumnya.

b. AMDAL

Kegiatan pembangunan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan baik positif maupun negatif. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis mengenai dampak Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 200 tentang Jenis Usaha yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup serta dilandasi oleh keputusan Menteri Negara lingkungan Hidup (AMDAL) serta dilandasi oleh keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup, kegiatan perkebunan dan PKS wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL. Tujuannya agar dampak positifnya dapat ditingkatkan dan dampak negatifnya dapat ditekan sekecil mungkin.

(56)

untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup serta rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

c. IPL (Izin Pembukaan Lahan/Land Clearing)

Sebelum melakukan pembukaan lahan, langkah berikutnya adalah memohon izin Pembukaan Lahan atau lebih dikenal Izin Land Clearing

kepada kepala daerah setempat (bupati) dengan rekomendasi dari dinas kehutanan dan dinas perkebunan setempat. Setelah dilakukan pemeriksaan dan penelitian secara teknis administrasi, pemerintahan kabupaten mengeluarkan Izin Pembukaan Lahan/Land Clearing.

Setelah IPL diterbitkan, perusahaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pandamean, 2011):

1) Pembukaan lahan dilakukan tanpa pembakaran.

2) Tidak melakukan Land Clearing/pembabatan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan radius kurang lebih 100 meter kiri kanan sungai.

3) Menyampaikan laporan tertulis tentang pelaksanaan kegiatan Land Clearing kepada pemegang izin.

(57)

harus mengurus perizinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada instansi terkait.

d. IPK (Izin Pemanfaatan Kayu)

IPK adalah izin untuk memanfaatkan hasil hutan kayu atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dikonversi, penggunaan kawasan hutan produksi atau hutan lindung dengan status pinjam pakai, tukar-menukar, dan dari Areal Penggunaan Lain (APL) yang telah diberikan izin penggunaan lahan. APL adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Mnteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.

(58)

IPK diberikan paling lama untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan IPK disampaikan kepada kepala dinas kabupaten/kota untuk APL dan pelepasan kawasan hutan dan kepala dinas kehutanan provinsi untuk areal pinjam pakai kawasan hutan. Peraturan IPK ini diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.58/Menhut-II/2009 tentang Gantian Nilai Tegakan dari Izin Pemanfaatan Kayu dan atau dari penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman tanggal 4 September 2009.

e. Izin Pendaratan dan Penggunaan Alat Berat

Dalam kaitan dengan pembersihan lahan, diperlukan alat-alat berat. Surat izin pendaratan dan penggunaan alat berat dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten, tempat alat tersebut beroperasi. Izin ini berlaku sejak poses izin pembukaan lahan berjalan. Pada izin tersebut, dicantumkan nama/merek alat, jenis/tipe alat, nomor chasis, nomor mesin, dan jumlah alat yang digunakan.

Surat izin pendaratan dan penggunaan alat berat dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten berdasarkan hal-hal sebagai berikut (Pandamean, 2011):

1) Surat permohonan pendaratan dan penggunaan alat berat dari perusahaan.

(59)

3) Surat dukungan dari kepala dinas perkebunan menyangkut teknis izin pendaratan dan penggunaan alat berat.

4) Surat dukungan dari kepala dinas perkebunan menyangkut teknis izin pendaratan dan penggunaan alat berat.

5. Hak Guna Usaha (HGU)

Perusahaan yang telah memeproleh izin lokasi dari bupati/walikota dan telah selesai melaksanakan perolehan hak atas tanah yang telah dibebaskan maka dapat segera mengajukan permohonan HGU. Adapun tata cara perolehan tanah dapat dilakukan dengan beberapa proses sebagai berikut (Pandamean, 2011):

a. Jual-beli calon penerima hal memenuhi syarat untuk menjadi subjek hak tanah yang diperoleh dan sertifikatnya tanah tersebut sudah ada. Jual-beli ini dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). b. Pelepasan hak di depan PPAT, yaitu notaris, PPAT atau camat jika

tanahnya belum terdaftar atau tanah adat. Penerbitan hak atas tanah seperti ini baru dapat dilakukan setelah masa pengumuman berakhir. c. Melalui permohonan hak jika tanahnya dikuasai oleh negara. Dalam

kasus ini, tanah harus bebas dari garapan atau penguasaan lainnya atas tanah dimaksud.

(60)

e. Pelepasan tanah disertai penyerahan pembayaran rekognisi (pengakuan/penghargaan) dalam hal tanahnya berupa tanah ulayat, sepanjang kenyataan hak ulayat tersebut masih ada.

Dalam kasus “tumpang tindih hak kepemilikan tanah’ di dalam tanah yang telah dikeluarkan izin lokasinya, perusahaan harus melakukan pembebasan tanah untuk memperoleh tanah tersebut. Proses perolehan tanah tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak perusahaan melalui negoisasi langsung langsung dengan pemegang hak atas tanah. Bentuk dan besarnya nilai ganti kerugian ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pihak yang bersangkutan, bisa berupa uang pembayaran, pemukiman kembali (relokasi/konsilidasi), kesempatan kerja, penyertaan saham (kemitraan), atau gabungan darii beberapa cara tersebut.

Dalam pelaksanaan perolehan tanah, pengawasan, dan pengendalian dilakukan oleh tim yang diketua oleh kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya sesuai dengan surat edaran kepala BPN Nomor 580.2-5568-D-III tanggal 6 Desember 1990. Tugas tim ini antara lain sebagai berikut (Pandamean, 2011):

a. Memberikan penyuluhan kepada kedua belah pihak dalam bidang pertanahan.

(61)

d. Mencegah ikut campurnya pihak ketiga.

e. Menyaksikan pembayaran atau pemberian ganti rugi kepada pemilik yang berhak.

Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1990 pasal 5, Permohonan HGU dajukan kepada kepala kantor wilayah badan pertanahan provni dengan dilampirkan fotocopy

beikut ini (Pandamean, 2011): a. Izin lokasi.

b. Bukti-bukti perolehan tanahnya.

c. NPWP dengan tanda bukti pelunasan PBB.

d. Gambar situasi tanah hasil pengukuran Kadastral oleh kepala kantor pertanahan setempat.

e. Jati diri dari pemohon (akte pendirian perusahaan).

(62)
(63)

H. Pola Pemasaran Komoditi Kelapa Sawit

Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan swasta. Dari ketiga jenis perkebunan tersebut memiliki pola pemasaran produk kelapa sawit yang berbeda meliputi (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2005): 1. Pola Pemasaran Perkebunan Rakyat

Perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat memiliki luas lahan yang terbatas yaitu berkisar 1-10 hektar. Dengan luas lahan tersebut, tentunya menghasilkan produksi TBS yang terbatas, untuk mengatasi hal ini maka petani harus menjual TBS melalui pedagang tingkat desa yang dekat dengan lokasi kebun atau melalui KUD, kemudian berlanjut ke pedagang besar hingga ke prosesor/industri pengolah.

2. Pola Pemasaran Perkebunan Besar Negara dan Swasta

(64)

I. Kemitraan dalam Pembangunan dan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit

Untuk meminimalkan potensi konflik antara masyarakat dan pengusaha perkebunan serta untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, pengusaha perkebunan harus mau dan mampu menjalankan program pengembangan masyarakat (community development/ CD). Salah satu program pengembangan masyarakat adalah melalui pola kemitraan dengan masyarakat sekitar dan membangun kebun untuk masyarakat sekitar minimal seluas 20 persen dari luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Permentan/OT.140/2/2007 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (Pandamean, 2011).

Setiap pengembangan usaha perkebunan harus mengikutsertakan masyarakat petani pekebun. Pengembangan usaha perkebunan dapat dilakukan dalam berbagai pola, antara lain sebagai berikut:

1. Pola koperasi usaha perkebunan, yaitu pola pengembangan perkebunan yang modal usahanya 100 persen dimiliki oleh koperasi.

2. Pola patungan koperasi dengan investor, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65 persen dimiliki koperasi dan 35 persen dimiliki oleh investor/ perusahaan.

(65)

4. Pola BOT (Build, Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan yang pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/ perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan pada koperasi.

5. Pola BTN (Bank Tabungan Negara), yaitu pola pengembangan dengan investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

6. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, dan membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan. 7. Pola pengembangan dapat dilaksanakan dengan cara kombinasi dan

disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

Pada pola kemitraan, seluruh biaya yang menyangkut pengembangan unit kebun mitra menjadi hutang dari masing-masing peserta mitra yang memperolehnya, dan harus dibayar kembali (dicicil dari pendapatan yang diperoleh dari hasil perkebunannya/penjualan TBS) dengan masa tenggang yang cukup panjang serta menurut jadwal dan persyaratan-persyaratan yang cukup ringan.

(66)

Keterangan:

HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh petani di tingkat pabrik, dinyatakan dalam Rp/kg.

K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian

yang diterima oleh petani dinyatakan dalam persentase (persen) H cpo : Harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO)

tertimbang realisi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/kg.

R cpo : Rendemen minyak sawit kasar, dinyatakan dalam persentase. H is : Harga rata-rata inti sawit tertimbang realisi

penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan dalam Rp/kg.

R is : Rendemen inti sawit, dinyatakan dalam persentase (persen).

Harga pembelian TBS ditetapkan setiap bulan berdasarkan harga riil rata-rata tertimbang minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit sesuai realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya. Harga TBS tersebut merupakan harga pabrik pengolahan kelapa sawit. Besarnya indeks “K” ditetapkan setiap bulan oleh gubernur sebagai kepala daerah tingkat I

(67)

berdasarkan usulan tim penetapan harga pembelian TBS. Gubernur menetapkan tim tersebut yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut (Pandamean, 2011):

1. Pemerintah Daerah Tingkat I.

2. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 3. Dinas Perkebunan Provinsi Daerah Tingkat I.

4. Perusahaan.

5. Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan pihak lain yang dipandang perlu. Tim penetapan harga pembelian TBS mempunyai tugas berikut:

1. Merumuskan dan mengusulkan besarnya indeks “K” kepada gubernur kepala daerah tingkat I.

2. Memantau penerapan besarnya indeks “K” serta komponen lainnya yang terkait dalam rumus harga pembelian TBS.

3. Memantau pelaksanaan penerapan penetapan rendemen minyak sawit kasar dan inti sawit.

4. Memantau pelaksanaan ketentuan dan penetapan harga pembelian TBS. 5. Menyampaikan harga rata-rata penjualan minyak sawit mentah dan inti sawit

kepada perusahaan dan petani/kelembagaan petani secara periodik.

6. Menyelesaikan masalah-masalah yang timbul antara perusahaan dan petani/kelembagaan petani.

(68)

sekitar perkebunan besar. Sistem satu manajemen terjaga, perusahaan mitra juga akan menjamin pasokan bahan baku dari petani peserta, dan sumber pendapatan petani peserta akan terjamin.

Dari hasil kebun, petani juga memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja dan pengembalian kredit investasi akan lebih terjamin karena penjualan hasil tidak keluar dari perusahaan. Sistem satu manajemen yang akan dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan mutu dan produksinya serta meningkatkan kesejahteraan petani kebun sawit tersebut. Apabila sistem ini dilaksanakan, manajemen yang dilakukan harus terbuka. Hal ini karena petani harus mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh perkebunan inti dalam mengelola manajemen perkebunan agar petani percaya dan tidak saling curiga. Hal ini karena selama ini perkebunan inti kurang terbuka dalam hal manajemen sehingga petani selalu curiga kepada perkebunan inti (perusahaan perkebunan).

(69)

mengeluarkan izin pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa kebun di sekitar kebun mitra kepada pihak-pihak lain.

Bank merupakan pemberi pinjaman pembangunan kebun kemitraan. Besarnya plafon, jangka waktu kredit, serta besarnya bunga akan ditentukan oleh bank. Sementara koperasi sawit induk (Kopsa Induk) yang berbadan hukum sebagai wadah untuk bermitra dengan perusahaan. Koperasi merupakan milik perkebunan kelapa sawit kemitraan. Perusahaan (manajemen) berperan dalam mengelola kebun mitra secara penuh dalam satu manajemen. Pengertian satu manajemen adalah pengelolaan seluruh kebun baik milik mitra usaha maupun milik pekebun yang dilakukan oleh mitra usaha mulai dari persiapan, pengelolaan kebun, pengolahan, dan pemasaran yang ditujukan untuk tetap menjaga kualitas dan kesinambungan usaha.

J. Harga

1. Pengertian Harga

(70)

Menurut Swastha (1990: 241), harga adalah jumlah uang yang (di tambah beberapa produk kalau mungkin) dibutuhkan untuk mendapatkan kombinasi dari produk dan pelayanannya.

Sedangkan menurut Gilarso (2001: 70), harga adalah nilai (tukar) barang yang dinyatakan atau diukur dengan uang, jadi antara harga dan nilai tidak sama. Nilai (tukar) suatu barang di ukur dengan membandingkan dengan barang lain. Sedangkan harga diukur dengan uang. Nilai (value) suatu barang adalah dasar untuk penentuan harga barang tersebut.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa harga adalah jumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa. Dalam hal ini hanya menjadi faktor penting yang mempengaruhi pilihan pembeli. Konsumen sering menggunakan harga sebagai kriteria utama dalam menentukan nilai suatu barang. Barang dengan harga tinggi biasanya dianggap tinggi tingkatannya, dan barang dengan harga rendah dianggap rendah tingkatannya. Oleh karena itu penentu harga jual haruslah diperkirakan baik-baik.

2. Tujuan Penetapan Harga

Harga-harga yang terbentuk di pasar merupakan fenomena sentris

(71)

Harga dapat dilihat sebagai perubahan yang terlalu lama dari waktu ke waktu pada konteks terlalu relatif statis. Bahwa harga awal diubah dari pertemuan antara penawaran dan permintaan. Jika perubahan permintaan berkembang karena perubahan pada salah satu tingkatan perubahan permintaan seperti pendapatan, harga sering kali diubah lagi setelah penyesuaian pada tingkat harga yang baru dari permintaan yang berubah secara pasti (Purcell, 1979).

Grafik II. 2 Fungsi Penawaran

(72)

harga pasar. Harga keseimbangan sempurna OP1 adalah harga keseimbangan yang baru (Purcell, 1979).

Secara garis besar tujuan penetapan harga dapat digolongkan menjadi dua kelompok,yaitu (Gilarso, 2001):

a. Memperoleh laba

Salah satu faktor dalam penetapan harga adalah timbul dari pertanyaan apakah harga yang ditetapkan apakah konsisten dengan jenis pasar dimana produsen paling tepat melakukan penjualan. Tujuan menyeluruh politik harga setiap produsen atau penawar dan perantara pada pokonya sama yaitu membantu memaksimalkan laba total. Jenis produk dan keadan pasar dapat mempengaruhi harga.

b. Memperoleh suatu manfaat bukan laba

Setiap perusahan ingin mendapatkan laba dari barang atau jasa yang diproduksinya. Besarnya laba itu dapat diperhitungkan sebesar prosentasi tertentu dari jumlah dana yang tertanam dalam perusahan ataupun dari hasil penjualan yang direncanakan untuk satu masa tertentu. Sementara itu untuk mencapai laba yang diharapkan perusahan yang bersangkutan kemudian menetapkan harga.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga

(73)

permintaan, biaya dan pengawasan permintaan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga tersebut adalah (Rismiati dan Bondan, 2001): a. Keadaan perekonomian

Keadan perekonomian sangat mempengaruhi tingkat harga yang berlaku, pada periode resesi misalnya merupakan suatu pereode dimana harga berada pada tingkat yang lebih rendah. Hal ini menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat, khususnya di masyarakat bisnis, reaksi spontan terhadap situasi tersebut adalah adanya kenaikan harga. Kenaikan harga yang paling menyolok terjadi pada harga-harga barang mewah, barang-barang impor dan barang-barang-barang-barang yang diproduksi berasal dari bahan baku luar negeri.

b. Permintaan, penawaran, dan permintaan pasar

Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli oleh pembeli pada tingkat tertentu.

Penawaran merupakan kebalikan dari permintaan, yaitu suatu jumlah yang ditawarkan oleh penjual pada suatu tingkat harga tertentu.

(74)

Grafik II. 3 Kurva Permintaan Pasar

Sumber: Gilarso, 2001 c. Elastisitas permintaan

Faktor lain yang mempengaruhi penentuan harga adalah sifat permintaan pasar, selain harga juga mempengaruhi kuantitas atau volume penjualan. Hubungan antara harga dan volume penjualan adalah berbanding terbalik, artinya apabila terjadi kenaikan harga maka penjualan akan menurun dan sebaliknya.

Ada tiga sifat elastisitas harga dari permintaan, yaitu (Gilarso, 2001):

1) Permintaan yang bersifat inelastik.

Jika permintaan itu bersifat inelastik, maka perubahan harga akan menyebabkan perubahan yang lebih kecil pada volume penjualan. Permintaan cenderung kurang elastis dalam keadaan sebagai berikut: a) Barang subtitusi atau pesaing sedikit atau tidak ada

b) Pembeli tidak mudah menyadari harga yang lebih mahal

(75)

d) Pembeli berpikir bahwa harga yang lebih mahal disebabkan mutunya meningkat,tingkat inflasi dan sebaliiknya.

2) Permintaan yang bersifat elastis.

Terjadi permintaan yang elastis, maka perubahan harga akan menyebabkan terjadinya perubahan volume penjualan dalam perbandingan yang lebih besar. Jika permintaan bersifat elastis, biasanya penjualan mempertimbangkan untuk menurunkan harga jualnya karena dengan harga jual yang lebih rendah akan mendorong hasil penjualan lebih banyak.

3) Permintaan yang bersifat unitari.

Dalam keadaan dimana permintaan bersifat unitari, maka perubahan harga akan menyebabkan perubahan jumlah barang yang dijual dalam proporsi yang sama.

d. Biaya

(76)

e. Pengawasan pemerintah

Pengawasan pemerintah merupakan faktor penting dalam penentuan harga. Pengawasan pemerintah tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penentuan harga maksimum. Diskriminasi harga serta praktek lain yang dapat mencegah ke arah monopoli.

4. Fluktuasi Harga

Salah satu gejala ekonomi yang sangat penting yang berhubungan dengan perilaku petani baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen adalah harga. Perubahan harga seringkali terjadi pada hasil-hasil pertanian Indonesia yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah produksi petani dan beberapa aspek lainnya.

Dalam sektor pertanian ditentukan tiga sumber utama fluktuasi, yaitu: fluktuasi jangka pendek disebabkan perubahan yang tidak dapat dikendalikan dalam penyediaan, fluktuasi siklis disebabkan jumlah permintaan karena perekonomian berkembang dan menyusut, dan kecenderungan jangka panjang baik permintaan maupun penawaran karena pertumbuhan ekonomi (Lipsey dan Steiner, 1985).

a. Fluktuasi Jangka Pendek

Harga yang mudah berubah dalam jangka pendek adalah khas dari banyak pasar pertanian.

(77)

perubahan disebabkan oleh faktor musim, penyakit tanaman, banjir dan kekurangan air dapat mengurangi hasil pertanian, dan keadaan yang benar-benar sangat menguntungkan dapat menyebabkan produksi melebihi perkiraan. Oleh sebab itu fluktuasi output yang tidak direncanakan menyebabkan fluktuasi harga hasil pertanian. Teori harga tidak hanya meramalkan akibat ini, tetapi juga meramalkan hal lain, yang yang tidak begitu kentara yang akan membantu memahami sebagai persoalan pertanian.

Grafik II. 4 Akibat Terhadap Harga dari Suatu Perubahan yang Tidak Direncanakan Tergantung pada Elastisitas Permintaan

Gambar

Grafik II.1 Perkembangan Produksi Barang A
Grafik II. 2 Fungsi Penawaran
Grafik II. 3 Kurva Permintaan Pasar
Grafik II. 4 Akibat Terhadap Harga dari Suatu Perubahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang diberikan validator meliputi komponen kelayakan sajian dan kelayakan isi. Pada ilustrasi pengaruh luas permukaan, validator menyarankan agar ilustrasi tersebut

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

Karakteristik Subjek Penelitian. Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 16-22 tahun, laki-laki dan perempuan, tercatat aktif sebagai mahasiswa di

Jangka waktu pembatasan kegiatan usaha hingga pencabutan izin usaha dalam ketentuan asuransi diatur dalam Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 42 ayat (4) Peraturan

l6 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru; Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan

perairan) pada mangrove juga mempengaruhi total kandungan karbon yang dihasilkan, karna pada prisipnya karbon yang diserap kedalam tubuh tumbuhan bukan semata-mata

4.3.4 Disiplin Kerja Z Memediasi Pengaruh Kepemimpinan X terhadap Kinerja Karyawan Y Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa koefisien beta pada variabel kepemimpinan

1) Pajak Hotel yang dimaksud adalah Sejumlah uang yang harus dibayar oleh wajib pajak hotel kepada Dinas Pendapatan Daerah atas pendapatan hotel.. 2) Potensi adalah