• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. An eye for an eye, and a tooth for a tooth. Jika seseorang menghilangkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. An eye for an eye, and a tooth for a tooth. Jika seseorang menghilangkan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

 

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

An eye for an eye, and a tooth for a tooth”. Jika seseorang menghilangkan

nyaw a orang lain, maka sebagai gantinya nyaw a pelaku pun harus dihilangkan. Asumsi retributif tersebut secara umum menjadi filosofi dalam praktik hukuman mati di seluruh dunia. Hukuman mati sudah dilakukan sejak zaman Babilonia pada masa kerajaan Hammurabi di abad ke-18 Sebelum Masehi. Pada zaman itu, terdapat dua puluh lima aturan yang menyerukan hukuman mati (Golston, 2009). Hukuman mati dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain hukuman pancung, sengatan listrik, hukuman gantung, suntik mati, hukuman tembak, dan rajam ( Golston, 2009).

Praktik hukuman mati menimbulkan kontroversi di berbagai negara. Pihak yang mendukung pelaksanaan hukuman mati menunjukkan bahw a hukuman mati berhasil mencegah jumlah angka pembunuhan ( Marzilli, 2008). Efek jera yang ditimbulkan hukuman mati, Marzilli menjelaskan, dilatar i oleh kecenderungan naluriah manusia yang takut akan kematian. Dengan latar tersebut, resiko dijatuhkannya hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tertentu akan menghambat orang-orang lain untuk melakukan kejahatan pula. Golston (2009) menjelaskan, para pendukung hukuman mati menganggap hukuman mati merupakan penegakan hukum yang adil bagi korban. Pada sisi lain, para penentang hukuman mati

(2)

berpendapat bahw a hukuman mati melanggar hak dasar manusia untuk hidup serta tidak efektif untuk menurunkan jumlah angka kejahatan ( Hodgkinson & Schabas, 2004).

Berdasarkan data Amnesty International, hingga Desember 2010 terdapat 139 negara yang telah menghapus hukuman mati baik secara hukum maupun praktik. Penghapusan hukuman mati secara hukum bermakna negara mencabut maupun meniadakan ancaman hukuman mati untuk semua jenis kejahatan dar i peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan penghapusan hukuman mati secara praktik adalah negara tidak melakukan eksekusi terhadap satu orang pun selama sepuluh tahun terakhir. Saat ini, terdapat hanya 58 negara yang masih melakukan praktik hukuman mati. Salah satu negara yang tercantum di data tersebut adalah Indonesia, yang melakukan eksekusi terakhir kali pada tahun 2008 (Imparsial, 2009).

Perdebatan tentang hukuman mati juga berlangsung di Indonesia. Walaupun Indonesia secara formal mengakui adanya pelaksanaan hukuman mati, tidak sedikit pihak menentang keberadaan praktik hukuman mati dengan anggapan hukuman ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM). Tentangan ini diperkuat oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) yang menyatakan bahw a praktik hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap HA M karena merupakan tindakan penyiksaan secara psikologis, kejam, dan tidak manusiaw i. Sebaliknya, pihak yang mendukung keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia berpandangan bahw a hukuman tersebut dibuat untuk kesejahteraan masyarakat luas. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dalam Antara New s.com (2007)

(3)

menyatakan, “Penerapan hukuman mati di Indonesia masih relevan dan tidak perlu dihapuskan karena hukum tersebut sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yakni

melindungi masyarakat luas”.

Di Indonesia terdapat 13 undang-undang yang mencantumkan ancaman hukuman mati mulai dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga undang-undang di luar KUHP ( Eddyono & Wagiman, 2008). Hal ini menunjukkan bahw a orang yang melanggar aturan yang sudah ditegakkan dalam 13 undang-undang tersebut berpeluang divonis mati.

Litbang Media Group melakukan survei secara acak melalui buku petunjuk residensial di enam kota besar di Indonesia (Media Indonesia Online, 2006). Kepada 476 responden dew asa diajukan dua buah pertanyaan sebagai berikut

1. Setujukah anda, apabila teroris, pengedar narkoba, koruptor kelas kakap, dan pembunuh berencana dihukum mati?

2. Siapakah yang paling pantas dihukum mati?

Hasil survei untuk pertanyaan pertama adalah 78 % setuju teroris dan pengedar narkoba dihukum mati, 68 % untuk koruptor kelas kakap dan 67% untuk pembunuh berencana. Sedangkan hasil survei untuk pertanyaan kedua adalah 31% menyatakan koruptor kelas kakap pantas dihukum mati, 27% untuk teroris, 20% untuk pengedar narkoba, 8% untuk pembunuh berencana dan 8% menyatakan tidak satu pun pantas dihukum mati.

Walau survei sudah dilakukan sejak tahun 2006, namun gambaran tentang sikap tersebut tidak membuat para penentang hukuman mati berhenti berkampanye. Pada tahun 2010, Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor meluncurkan

(4)

sebuah buku yang berjudul Menggugat Hukuman Mati di Indonesia. Buku tersebut berisikan pernyataan sikap menentang keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia karena dianggap sudah tidak relevan lagi untuk dilaksanakan (Kompas.com, 25 Febuar i 2010).

Pada tahun 2011, Amnesty International memasukkan Indonesia ke dala m negara retentionist, yaitu negara yang tetap menghendaki penerapan dan pelaksanaan hukuman mati. Pengkategorian ini dikhaw atirkan dapat membuat penerapan hukuman mati di Indonesia berbenturan dengan isu HAM. Sikap Amnesty International tersebut berpeluang mengandung muatan politik yang dapat mengganggu penerapan hukum di Indonesia.

Berbagai isu penolakan terhadap hukuman mati disampaikan oleh par a pembela HA M. Eddyono dan Wagiman (2008) menjelaskan bahw a dasar filosofis dan konstitusi negara Indonesia yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahw a pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kondrati dan universal sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, dan diganggu gugat oleh siapa pun (Eddyono & Wagiman, 2008). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahw a ajaran agama juga menjadi salah satu pedoman sebagai penolakan terhadap keberadaan hukuman mati.

(5)

Pelaksanaan hukum di Indonesia sendiri tidak mengacu pada dalil agama apa pun, tetapi berdasarkan aturan dan perundang-undangan negara yang telah ditetapkan. Walaupun demikian, bukan berarti agama tidak memiliki pengaruh dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 Ayat 1 tertulis bahw a peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHA NAN YANG MAHA ESA”. Artinya “kehadiran” Tuhan dalam suatu pengadilan merupakan hal yang mutlak. Hal ini bertolak belakang dengan negara Amerika Serikat yang menganggap keputusan yang bersumber dari Ketuhanan sebagai faktor yang dikesampingkan (Bornstein dan Miller, 2010). Mereka menganggap keputusan yang dibuat dalam pengadilan harus bersifat legal, sedangkan “kehadiran” Tuhan dalam persidangan dapat membuat keputusan hakim menjadi bias (Bornstein &Miller, 2010).

Pada dasarnya agama merupakan dimensi utama dari masyarakat dan merupakan komponen integral dalam kehidupan banyak orang ( Miller, Singer, & Jehle, 2008). Agama dapat membentuk sikap seseorang terhadap isu sosial maupun legal (Bornstein & Miller, 2010). Lebih dari itu, agama seseorang menjadi suatu unsur yang penting karena dapat memengaruhi sikap seseorang dalam membuat keputusan (Bornstein & Miller, 2009). Begitu juga dalam sistem peradilan, agama seseorang dapat memengaruhi keputusan juri atau hakim selama proses pengadilan (Devine, Clayton, Dunford, Seying, & Pryce, 2000).

Dalam sistem peradilan di Indonesia, penentuan vonis mati ditentukan oleh hakim. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memposisikan juri sebagai penentu bersalah atau tidak bersalahnya terdakw a sedangkan hakim sebagai penentu jenis

(6)

vonis yang dijatuhkan. Sistem peradilan kontinental seperti yang dipraktikan di Indonesia menjadikan hidup matinya terdakw a sepenuhnya berada di tangan seorang hakim. Hakim memiliki tanggungjaw ab yang sangat besar dalam proses persidangan. Dengan tugas sedemikian rupa, secara normatif, tidak mungkin sembarang orang bisa menjadi pemangku otoritas tertinggi di setiap persidangan. Mengingat tugas dan tanggungjaw ab seorang hakim yang sangat besar, latar belakang pendidikan hukum secara formal menjadi sebuah syarat mutlak bagi hakim. Udayar (2008) bahkan secara mendasar menyatakan pendidikan sebagai faktor yang sangat penting terhadap per ilaku individu.

Menurut Reeves (2002), agama dan pendidikan merupakan bagian dari latar belakang hakim yang berpengaruh signifikan terhadap proses pembuatan keputusan. Keputusan hakim sering kali digambar kan sebagai keputusan berdasarkan fakta dan teladan hukum, namun temuan empir is menunjukkan bahw a faktor psikologis, sikap, dan latar belakang seseorang juga bermain peran dalam proses tersebut. (Bornstein & Miller, 2010).

Peran agama dan latar belakang pendidikan dalam pembentukan sikap, khususnya terkait dengan pengambilan keputusan yudisial, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti sikap orang-orang yang mempelajari ilmu hukum pada perguruan tinggi berafiliasi agama terkait dengan praktik hukuman mati di Indonesia.

Orang-orang yang mempelajari ilmu hukum yang dimaksud oleh penulis adalah mahasisw a fakultas hukum di Indonesia. Alasan penulis memilih mahasisw a fakultas hukum sebagai responden penelitian penulis antara lain adalah mahasisw a fakultas hukum merupakan orang yang tengah secara formal mempelajari ilmu

(7)

hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Mereka adalah pihak yang berhubungan langsung dan mempelajari teori dan aplikasi ilmu hukum di Indonesia, sehingga mereka diasumsikan lebih memahami teori dan praktek hukum di Indonesia dibandingkan dengan mahasisw a non-hukum. Selain itu, mahasisw a fakultas hukum merupakan masyarakat terdidik yang nantinya berpotensi menjalankan peran sebagai penentu kebijakan ter masuk pengambil keputusan tertinggi di setiap sesi persidangan yaitu hakim. Ditambah lagi, berangkat dari fakta bahw a agama dapat memengaruhi sikap seseorang terhadap suatu objek, maka responden penelitian ini adalah mahasisw a fakultas hukum pada perguruan tinggi berafiliasi agama. Dapat diasumsikan bahw a perguruan tinggi yang berafiliasi agama memasukkan nilai-nilai keagamaan ke dalam kurikulum pendidikan, mereka termasuk kurikulum pendidikan hukum.

Untuk menilai sikap mendukung maupun tidak mendukung seseorang terhadap hukuman mati tidak cukup hanya ditinjau dari aspek hukumannya. Oleh karena itu, fokus penelitian penulis adalah sikap mahasisw a fakultas hukum pada perguruan tinggi yang berafiliasi agama terkait dengan praktik hukuman mati di Indonesia ditinjau dari jenis kejahatan yang memuat ancaman hukuman mati.

1.2. Identifikasi Masalah

Peran agama dan latar belakang pendidikan dalam pembentukan sikap, khususnya terkait dengan pengambilan keputusan yudisial, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti sikap orang-orang yang mempelajari ilmu hukum pada

(8)

perguruan tinggi berafiliasi agama terkait dengan praktik hukuman mati di Indonesia. Atas dasar itu rumusan masalah yang akan dikaji adalah

Apa sikap mahasisw a fakultas hukum pada perguruan tinggi yang berafiliasi agama terkait dengan keberadaan praktik hukuman mati ditinjau dar i jenis kejahatan yang memiliki ancaman hukuman mati?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran sikap mendukung atau tidak mendukung mahasisw a fakultas hukum pada perguruan tinggi yang berafiliasi agama terkait dengan keberadaan praktik hukuman mati ditinjau dari jenis kejahatan yang memiliki ancaman hukuman tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian  

Penelitian memiliki manfaat sebagai berikut 1. Manfaat Keilmuan

a. Memperkaya penelitian yang berkaitan dengan praktik hukuman mati di Indonesia.

b. Memperkaya khazanah penelitian psikologi forensik di Indonesia.

c. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai praktik hukuman mati di Indonesia

(9)

d. Menjadi studi aw al (preliminary study) untuk pengembangan penelitian lanjutan.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi bahan rujukan bagi aktivis hukum maupun keagamaan yang ingin mengkaji praktik hukuman mati di Indonesia.

b. Menjadi referensi bagi dosen atau praktisi yang menyampaikan materi yang berkaitan dengan hukuman mati.

Referensi

Dokumen terkait

Jika pemerintah akan menerbitkan sukuk negara untuk proyek infrastruktur di tahun yang akan datang dan ditinjau dari perspektif keadilan distribusi ekonomi maka pola sukuk retail

Dengan digunakanya algoritma proporsional integral derivatif (PID) pada prototype robot jenis line follower ini yang bertujuan untuk kestabilan dalam pergerakan robot

Maka dengan ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun Anggaran 2013 memutuskan bahwa Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi

Sehubungan dengan Surat Pengguna Anggaran Badan Lingkungan Hidup Kota Pangkalpinang Nomor : 027/715/BLH/X/2011 tanggal 26 Oktober 2011 Perihal Penetapan Pemenang Pengadaan

dengan nilai pekerjaan yang akan dikompetisikan dilakukan dengan melihat dokumen kontrak asli dan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan serta bukti setor pajak PPN dari

yang sama, artinya bahwa ikan melakukan suatu respons menggunakan organ penciuman dengan keberadaan umpan tanpa melihat jenis dari umpan alami sebagai akibat

First is the fact that forestry development through the granting of logging concessions, permits to establish timber estates, rights to collect forest products and

[r]