• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK AIR AKAR SIDAGURI (Sida rhombifolia Linn) TERHADAP MENCIT BETINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK AIR AKAR SIDAGURI (Sida rhombifolia Linn) TERHADAP MENCIT BETINA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

UJI

 

EFEK

 

ANTIFERTILITAS

 

EKSTRAK

 

AIR

 

AKAR

 

SIDAGURI

 

(

Sida

 

rhombifolia

 Linn)

 

TERHADAP

 

MENCIT

 

BETINA

 

 

Emita Sabri 

Staf Pengajar Fak. MIPA-USU

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek abortivum ekstrak etanol akar sidaguri (Sida rhombifolia Linn) terhadap mencit betina. Ekstrak etanol akar sidaguri diberikan secara gavage dengan dosis 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb pada mencit perlakuan selama 4 hari sebelum kawin dan 4 hari sesudah kawin. Kelompok kontrol hanya diberi bahan pensuspensi CMC 1 %. Pada umur kebuntingan 18 hari induk mencit dibunuh dan dibedah, kemudian dihitung jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, jumlah fetus mati, jumlah embrio yang diresorpsi, jumlah korpus luteum, berat badan fetus serta jumlah kehilangan praimplantasi. Pada kedua kelompok perlakuan pemberian ekstrak etanol akar sidaguri tidak mempengaruhi jumlah implantasi namun mempengaruhi terhadap penurunan berat badan fetus. Kematian intra uterus pada kedua kelompok perlakuan cenderung meningkat sejalan dengan bertambah besarnya pemberian dosis ekstrak etanol akar sidaguri. Kematian intra uterus yang meningkat berupa terjadinya embrio yang diresorpsi. Dosis yang paling efektif penyebab terjadinya resorpsi embrio, adalah dosis 200 mg/kg bb yang diperlakukan pada induk mencit selama 4 hari sesudah kawin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol akar sidaguri tidak menyebabkan antifertilitas namun dapat menyebabkan abortivum.

Kata kunci: Reproduksi, Akar sidaguri, Antifertilitas

A. Pendahuluan

Hampir semua negara berkembang mempunyai keluarga berencana (KB) untuk mengawasi kenaikan jumlah penduduk. Keuntungan untuk menekan kenaikan jumlah penduduk adalah untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita dan efek sosial (Aziz, 1995).

Falsafah hidup itu timbul oleh kesadaran bahwa keluarga yang besar dihadapkan pada berbagai permasalahan yang lebih besar pula ukurannya seperti: perumahan, pendidikan, kesehatan sandang pangan, dan sebagainya yang merupakan faktor-faktor yang menentukan nilai dan taraf kehidupan yang wajar (Erjan dkk., 1980). Program keluarga berencana diharapkan dapat menjawab tantangan tersebut. Penyediaan bahan atau alat kontrasepsi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan dan menjaga kelestarian berlangsungnya program KB di masa mendatang. Seiring dengan tujuan tersebut penggalian potensi dan sumber daya alam yang ada semakin digalakkan. Termasuk diantaranya pencarian tanaman obat tradisional yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku obat kontrasepsi.

Alam Indonesia sebenarnya sangat kaya dengan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat tradisional yang sebagian belum dibudidayakan. Malah banyak diantaranya justru menjadi gulma yang merugikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti alang-alang, sidaguri dan lain-lain. Penggunaan jamu atau tumbuhan obat sebagai kontrasepsi telah lama dikenal masyarakat di Indonesia, terutama di beberapa daerah pedesaan yang tradisi masyarakat masih memegang teguh kebiasaan nenek moyangnya.

Menurut Yatim (1994), kontrasepsi merupakan suatu cara untuk mencegah kehamilan, berarti melawan faktor-faktor yang mengatur suburnya seseorang serta memanipulasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi mandul.

Pencegahan kehamilan secara modern yang telah dianjurkan oleh pemerintah untuk wanita adalah menggunakan pil, suntikan, IUD atau spiral, norplant atau susuk KB, dan tubektomi. Sedangkan secara tradisional menggunakan pantang berkala, senggama terputus, pijat atau urut, dan menggunakan jamu (Winarno & Sundari, 1997).

(2)

Selanjutnya menurut Winarno & Sundari (1997), bahwa penggunaan kontrasepsi yang berasal dari tanaman perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan kemungkinan efek yang dihasilkan dari tanaman tersebut akan bersifat merusak atau berpengaruh terhadap sistem reproduksi baik wanita maupun pria, sehingga dapat menyebabkan kemandulan. Sebaiknya bila menggunakan tanaman yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi adalah yang bersifat sementara (reversibel), sehingga jika obat tidak digunakan lagi maka sistem reproduksi akan normal kembali (Winarno & Sundari, 1997).

Suhubungan hal di atas maka penulis merasa tertarik untuk menguji efek antifertilitas ekstrak air akar sidaguri (Sida rhombifolia Linn.) dari famili Malvaceae terhadap mencit betina.

B. Bahan dan Cara Kerja

1. Bahan

Hewan percobaan:

Mencit betina dara (Mus musculus) albino berumur 10-12 minggu (Taylor & Sandoz, 1980).

Pengolahan Simplisia

Akar sidaguri (Sida rhombifolia Linn.) diambil secara purposif. Selanjutnya akar dicuci dan kemudian dipotong serta dikering anginkan. Simplisia yang telah kering dihaluskan hingga diperoleh serbuk.

Penetapan Susut Pengeringan

Ditimbang sebanyak 2 g akar sidaguri yang telah dihaluskan dalam botol timbang tertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105 oC selama 30 menit.

Dimasukkan ke dalam oven dan tutup botol timbang dibuka lalu dikeringkan beserta tutup botolnya pada suhu 105 0C hingga

botolnya tetap. Botol segera ditutup ketika dikeluarkan dari oven dan dimasukkan dalam eksikator lalu dibiarkan hingga dingin (Farmakope Indonesia, 1979).

Pembuatan Ekstrak

Ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol dari akar sidaguri

(Sida rhombifolia Linn.). Mula-mula simplisia serbuk akar sidaguri ditimbang sebanyak 250 g dimasukkan ke dalam botol 2,5 l, dicampur dengan akuades sebanyak 2 l, tutup dan biarkan selama 2 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Disaring dan diperas dengan kain flanel dan ampasnya dicampur dengan akuades dan diserkai lagi. Hasil penyarian tersebut diuapkan dengan rotavavor dengan suhu 50 oC sampai

diperoleh ekstrak kental. Pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan freeze drier pada suhu -40 oC selama + 24 jam. Ekstrak kering tersebut dinamakan Ekstrak Etanol Akar Sidaguri (EEAS).

Pembuatan Emulsi EAAS dengan Emulgator CMC

CMC 0,07 g dijadikan mucilago yang kental dengan cara memberikan sedikit air hangat + 60 oC dalam lumpang. Setelah

dingin, dimasukkan EEAS kemudian ditambah akuades sebanyak sepertiga dari volume emulsi. Diaduk cepat dengan stamper sampai terjadi korpus emulsi. Korpus emulsi dimasukan ke dalam labu takar 10 ml. Selanjutnya diencerkan dengan akuades sampai batas garis tanda. Akhirnya larutan yang diperoleh diberikan pada hewan uji dengan volume sebanyak 0,1 ml/10 g berat badan.

2. Cara Kerja

Perlakuan

Mencit betina dara dengan kisaran umur 10-12 minggu dengan berat badan antara 25-30 g. EEAS diberikan secara oral atau gavage setiap hari selama 4 hari, dengan konsentrasi yaitu 50 mg, 100 mg dan 200 mg. Volume pemberian 0,1 ml/10 g berat badan. Mencit perlakuan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu:

Kelompok I. Mencit betina dara mulai

tahap estrus diberi EEAS masing-masing dengan konsentrasi 50 mg, 100 mg, dan 200 mg setiap hari selama 4 hari sebelum kawin untuk melihat efek EEAS terhadap proses fertilisasi, sedangkan kelompok kontrol I diberi CMC sebanyak 1 %. Selanjutnya pada tahap estrus berikutnya mencit betina dikawinkan dengan pasangannya pada sore hari, bila

(3)

ditemukan keesokan harinya terlihat adanya sumbat vagina, dan dinyatakan sebagai umur kebuntingan 0 hari (Taylor, 1986; Sundarwati & Sutasurya, 1990).

Kelompok II. EEAS dengan konsentrasi

50 mg, 100 mg, dan 200 mg diberikan setiap hari pada mencit betina selama 4 hari mulai umur kebuntingan 0 hari, sedangkan kelompok kontrol II diberi larutan CMC sebanyak 1 % dengan cara perlakuan yang sama.

Dari kedua kelompok perlakuan tersebut pada umur kebunting 18 hari, masing-masing induk kelompok perlakuan dibunuh secara dislokasi leher, selanjutnya dibedah. Kemudian fetus diangkat dari uterus dan ovarium diambil dari organ reproduksi lalu dimasukkan dalam garam fisiologis. Selanjutnya diamati dan dihitung: jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, jumlah fetus mati, jumlah embrio yang diresorp, jumlah korpus luteum, jumlah kehilangan praimplantasi dan berat badan fetus.

Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara statistik. Jumlah embrio yang mengalami resorpsi dan jumlah fetus hidup, jumlah fetus mati dan kehilangan praimplantasi dilakukan dengan uji chi-square. Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya efek abortivum dari EEAS terhadap mencit betina, dilakukan uji independensi antara 2 faktor dengan menggunakan uji Fischer-Irwin yaitu dengan berdasarkan perhitungan probabilitas bersyarat (Sheldon, 1987). Sedangkan untuk berat badan fetus hidup, jumlah korpus luteum, jumlah implantasi dilakukan uji Anava.

C. Hasil dan Pembahasan

Pemanfaatan obat atau bahan alami sebagai obat tradisional pada umumnya telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Namun, pemakaian dari obat tersebut masih bersifat empiris turun temurun dari nenek moyang kita. Dengan demikian bahwa obat tradisional pemakaiannya

masih belum berdasarkan suatu metode ilmiah. Meskipun demikian obat tradisional adalah salah satu alternatif untuk menjarangkan keturunan.

Pada penelitian ini pemberian ekstrak etanol dari akar sidaguri pada hewan uji mencit betina (Mus musculus) albino dengan dosis 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Volume pemberian 0,1 ml/10g berat badan secara oral atau gavage yang dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap pertama diberikan setiap hari selama 4 hari sebelum kawin dengan tujuan bahwa ekstrak etanol akar sidaguri akan berpengaruh terhadap proses ovulasi dan fertilisasi. Tahap kedua diberikan 4 hari sesudah dikawinkan dengan tujuan bahwa ekstrak etanol akar sidaguri akan menghambat proses implantasi, sehingga proses kehamilan dapat dicegah. Dengan demikian diharapkan dapat digunakan sebagai kontrasepsi. Pengertian umum kontrasepsi adalah berbagai cara usaha mencegah kehamilan. Obat kontrasepsi dapat mempengaruhi proses kontrasepsi pria maupun proses reproduksi wanita. Penggunaan banyak jenis tumbuhan obat sebagai kontrasepsi telah lama dikenal masyarakat di Indonesia. Salah satu contoh diantaranya adalah Sidaguri (Sida rhombifolia Linn).

Pada umumnya secara tradisional digunakan air sebagai penyari terhadap akar sidaguri. Sementara bahan perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak etanol. Sebagai penyari dipilih etanol karena antara air dan etanol polaritasnya tidak jauh berbeda. Selain itu, penyarian dengan etanol lebih selektif apabila dibandingkan penyarian dengan menggunakan air. EEAS dibuat dalam bentuk emulsi karena EEAS mengandung lemak padat sehingga tidak dapat dilarutkan dalam akuades. Sebagai emulgator digunakan CMC, karena CMC memiliki stabilitas emulgator yang cukup baik (Anief, 1987). Ekstrak etanol akar sidaguri diberikan pada mencit secara gavage. Penyatuan antara mencit betina dengan mencit jantan, dilakukan setelah diketahui telah tejadi masa estrus yang ditandai dengan vulva

(4)

mencit betina terlihat membengkak dan memerah. Adanya sumbat vagina, menandakan telah terjadi kopulasi dan keadaan tersebut dinyatakan hari kebuntingan ke-0 (Sudarwati & Sutasurya, 1990).

Pengaruh EEAS selama 4 hari sebelum dan sesudah kawin terhadap penampilan reproduksi induk mencit dan keadaan fetus umur 18 hari

Pengamatan penampilan reproduksi yang dilakukan pada induk mencit setelah pemberian ekstrak etanol akar sidaguri selama 4 hari sebelum dikawinkan dan 4 hari sesudah dikawinkan pada penelitian ini meliputi jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, kematian intrauterus yang meliputi fetus mati dan embrio resorp, korpus luteum serta kehilangan praimplantasi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Jumlah implantasi pada kedua kelompok perlakuan pemberian EEAS selama 4 hari sebelum kawin maupun pemberian EEAS selama 4 hari sesudah kawin tidak memperlihat perbedaan bila dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol. Hal ini juga dapat dilihat bahwa secara statistik bahwa EEAS tidak menyebabkan perbedaan kehilangan praimplantasi. Dengan demikian bahwa pemberian EEAS tidak mempengaruhi terhadap konsepsi. Tidak terjadinya perbedaan implantasi pada kelompok perlakuan pemberian EEAS selama 4 hari sesudah kawin dan 4 hari sesudah kawin ini, kemungkin bahwa embrio pada tahap blastokista jumlah sel mesenkim memadai untuk embrio terimplantasi di uterus, meskipun pemberian berlangsung pada saat implantasi. Demikian pula pada pemberian EEAS selama 4 hari sebelum kawin, tidak mempengaruhi proses ovulasi, hal ini ditandai bahwa setelah mencit dikawinkan ovum yang telah dibuahi embrio tetap mampu membelah sampai tahap bastokista dan terimplantasi di uterus. Menurut Manson & Kang (1989), implantasi embrio mencit berlangsung mulai umur kebunting 4 hari atau 5 hari.

Jumlah fetus hidup pada kedua kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda

dengan kedua kelompok kontrol. Namun jumlah fetus hidup kedua perlakuan cenderung menurun bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Menurunnya jumlah fetus hidup pada penelitian ini disebabkan meningkatnya kematian intra uterus, terutama berupa embrio yang diresorpsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian EEAS pada mencit yang sedang bunting cenderung bersifat embriotoksik. Hal ini mencerminkan bahwa EEAS memiliki sifat sebagai abortivum baik pemberian EEAS selama 4 hari sebelum kawin ataupun pemberian EEAS selama 4 hari sesudah kawin. Namun, pemberian EEAS selama 4 hari sebelum kawin belum efektif untuk digunakan sebagai abortivum. Dikarenakan pada saat penelitian, pemberian dosis 50 mg/kg bb pada masing-masing uterus dari 3 ekor induk mencit, bahwa ditemukan embrio berkembang sampai fetus, sedangkan pemberian dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb masing-masing dosis dari setiap uterus induk mencit embrio berkembang menjadi fetus.

Tetapi dosis yang paling efektif sebagai abortivum adalah dosis 200 mg/kg bb pemberian selama 4 hari sesudah kawin. Hal ini ditandai pada induk diberi perlakuan dosis 200 mg/kg bb, mengalami embrio resorp mencapai 100 %. Dengan demikian pada penelitian ini dosis yang paling efektif penyebab abortivum adalah dengan pemberian EEAS dosis 200 mg/kg bb.

Menurut Hembing (1996), bahwa bagian akar sidaguri mengandung alkaloid, steroid, dan efedrin. Dengan adanya kandungan steroid pada akar sidaguri mempunyai pemicu sebagai abortivum. Steroid diketahui sebagai prekursor dari hormon steroid. Menurut Winarno & Sundari (1997), salah satu kerja dari hormon estrogen mempengaruhi kontraksi otot polos pada uterus. Adanya kontraksi otot polos pada uterus akan menyebabkan proses kebuntingan tidak dapat dipertahankan, sehingga terjadi aborsi (Sulistia, 1995).

Pemberian EEAS pada kedua kelompok perlakuan induk mencit selama 4 hari sebelum kawin dan selama 4 hari sesudah kawin, menyebabkan berat badan fetus dari

(5)

kedua kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kedua kelompok kontrol cenderung menurun dapat dilihat pada Tabel 1.

Setelah dilakukan uji Anava pada Tabel 2, berat badan fetus antara perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Penurunan berat badan fetus tersebut mencerminkan bahwa mencit mengalami retardasi pertumbuhan yang merupakan salah satu ciri dari malformasi. Retardasi pertumbuhan yang ditemukan pada penelitian ini mencerminkan bahwa EEAS bersifat teratogenik dan bersifat fetotoksik.

Pengamatan terhadap jumlah induk mencit yangmana pada uterusnya terdapat embrio yang berkembang sampai fetus dan tidak ditemukan fetus dilakukan uji chi-square, demikian pula terhadap jumlah induk mencit yang tidak dijumpai embrio resorpsi dan yang mengalami embrio resorp akibat pemberian EEAS dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Dengan membandingkan antara chi-square hitung pada Tabel 3 dengan chi-squre Tabel 5 terdapat adanya signifikansi. Maka hasil perlakuan menunjukkan adanya suatu perbedaan sehingga hipotesa ditolak. Oleh karena itu pemberian EEAS pada induk mencit selama 4 hari sebelum kawin memberikan efek abortivum. Hal yang serupa juga terjadi pada pada jumlah induk mencit yang tidak mengalami dan mengalami embrio resorp akibat pemberian EEAS dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil pengamatan terhadap jumlah induk mencit yang tidak mengalami dan mengalami resorp akibat pemberian EEAS selama 4 hari sesudah kawin, ternyata chi-square hitung lebih besar dari chi-chi-square tabel dapat dilihat pada Tabel 5. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian EEAS pada induk mencit selama 4 hari sesudah kawin menunjukkan perbedaan yang nyata, sehingga pada penelitian ini EEAS mempunyai efek abortivum.

Tabel 1. Penampilan Reproduksi Induk Mencit yang Diberi EEAS Secara Gavage Selama 4 Hari

Sebelum Kawin dan 4 Hari Sesudah Kawin

Perlakuan Dosis mg/kg Berat badan Jlh Induk Korpus Jlh luteum x ±SD Jlh Implantasi x ±SD Kehilanga n praimplan-tasi % Jlh Fetus hidup % Kematian intrauterus % Badan Berat Fetus g Mencit yang Mengalami Perdaraha n % Embrio dire sorpsi Fetus Mati Total Kontrol I 6 8,83 ± 1,97 8,67 ± 1,97 1,50 100 0 0 0 1,19 ± 0,07 0 Bk 50 6 8,83 ± 1,17 8,67 ± 1,03 1,68 50,00 50,00 0 50,00 1,01 ± 0,01 0 Bk 100 6 11,17 ± 2,99 11,17 ± 2,99 0 16,67 83,33 0 83,33 1,05 ± 0 0 Bk 200 6 10,83 ± 2,48 10,83 ± 2,48 0 16,67 83,33 0 83,33 1,10 ± 0 0 Kontrol II 6 11,83 ± 1,75 11,33 ± 1,83 4,47 98.81 0 1,99 1,99 1,13 ± 0,07 0 Sk 50 6 8,3 ± 1,03 8,3 ± 1,03 0 33,33 66,66 0 66,66 1,01 ± 0 16,67 Sk 100 6 9,2 ± 1,48 8,67 ± 1,63 1,85 33,33 66,66 0 66,66 1,00 + 0 0 Sk 200 6 8,17 ± 1,60 8,17 ± 1,60 0 0 100 0 100 0 0

Keterangan: Bk = pemberian EEAS selama 4 hari sebelum kawin Sk = pemberian EEAS selama 4 hari sesudah kawin

Tabel 2. Uji Anava Berat Fetus Mencit

Sumber

keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah Fhitung F 0,01 0,05tabel Perlakuan 7 0,1092 0,0156 4,30* 4,44 2,83

Galat 13 0,0472 0,0036

Umum 20 0,1564

(6)

Tabel 3. Jumlah Induk Mencit yang Dijumpai dan Tidak Dijumpai Adanya Fetus dalam Uterus Akibat Pemberian EEAS Selama 4 Hari Sebelum Kawin

Perlakuan/dosis (mg/kg bb) Mencit A B Jumlah induk mencit (0-e)2 e

Kontrol I 6(e=2,75) 0 (e=3,25) 6 7,09

Bk 50 2(e=2,75) 3(e=3,25) 6 0,04

Bk 100 1(e=2,75) 5(e=3,25) 6 2,06

Bk 200 1(e=2,75) 5(e=3,25) 6 2,06

Total 11 13 24 11,25

Keterangan: A = pada uterus induk mencit dijumpai fetus B = pada uterus induk mencit tidak dijumpai fetus

Tabel 4. Jumlah Induk Mencit yang Tidak Mengalami dan Mengalami Embrioresorp Akibat Pemberian EEAS Selama 4 Hari Sebelum Kawin

Perlakuan/dosis (mg/kg bb) Mencit A B Jumlah induk mencit (0-e)2 e

Kontrol I 6(e=2,75) 0 (e=3,25) 6 7,09

Bk 50 3(e=2,75) 3(e=3,25) 6 0,04

Bk 100 1(e=2,75) 5(e=3,25) 6 2,06

Bk 200 1(e=2,75) 5(e=3,25) 6 2,06

Total 11 13 24 11,25

Keterangan: A = pada uterus induk mencit tidak dijumpai embrio resorp B = pada uterus induk mencit dijumpai embrio resorp

Tabel 5. Jumlah Induk Mencit yang Tidak Mengalami dan Mengalami Embrioresorp Akibat Pemberian EEAS Selama 4 Hari Sesudah Kawin

Perlakuan/dosis (mg/kg bb) Mencit A B Jumlah induk mencit (0-e)2 e

Kontrol I 6(e=2, 5) 0 (e=3,25) 6 7,00

Sk 50 2(e=2, 5) 4(e=3,25) 6 0,17

Sk 100 2(e=2, 5) 4(e=3,25) 6 0,07

Sk 200 0(e=2, 5) 6(e=3,25) 6 4,29

Total 10 14 24 11,63

Keterangan: A= pada uterus induk mencit tidak dijumpai embrio resorp B = pada uterus induk mencit dijumpai embrio resorp

D. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pemberian EEAS pada induk mencit selama 4 hari sebelum kawin dan selama 4 hari sesudah kawin dipeoleh suatu kesimpulan bahwa:

1. EEAS mempunyai efek sebagai abortivum.

2. Dosis EEAS yang paling efektif sebagai abortivum adalah dosis 200 mg/kg bb pada pemberian selama 4 hari sesudah induk

mencit dikawin. EEAS menyebabkan retardasi pertumbuhan, sehingga EEAS

bersifat teratogenik serta fetotoksik. 3. EEAS tidak dapat digunakan sebagai alat

kontrasepsi karena tidak mempengaruhi proses fertilisasi dan saat implantasi. 4. EEAS bersifat abortivum yang ditandai

tingginya embrio resorp pada perlakuan selama 4 hari sesudah kawin.

Saran

1. Sebaiknya akar sidaguri ini tidak digunakan sebagai kontarsepsi karena efeknya sebagai abortivum bukan mencegah kehamilan.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut senyawa apa yang terdapat akar sidaguri yang menyebabkan abortivum.

(7)

E. Daftar Pustaka

Anief, M. 1987. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Cet. 4. Yogyakarta. Hal: 129-135.

Azis, S. 1997. Manajemen Program Keluarga Berencana. Buletin Media Litbangkes. VII (03 & 04): 17

Departemen Kesehatan RI. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta. Hal.18

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi 3. Jakarta. Hal. 809

Erdjan, A. 1990. Kontrasepsi. Bagian Obstetri dan Ginekologi. FK USU/RS Dr. Pirngadi. Medan. Hal. 3

Hembing, H. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid 3. Jakarta. Pustaka Kartini. Hal. 119.

Heyne, K. 1982. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 3. Jakarta. Badan Litbang. Dep. Kehutanan. Hal. 1300.

Mardisiswojo, S. dan Rajakmangunsudarso, H. 1985.

Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Jilid I. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 188,217.

Manson, J.M. and Kang, Y.J. 1989. Test methods for assessing female reproductive and developmental toxicology. In: Principles and methods of toxicology. Second edition. A.W. Hayes. Raven Press, Ltd., New York. p. 313,327-349.

Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Edisi 3. Jakarta. Penerbit UI Press. Hal. 21-38. Nazir, M. 1990. Metode Penelitian. Jakarta.

Ghalia. Hal. 51.

Partodiharjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta. Mutiara. Hal. 63-80. Rugh, R. 1987. The Mouse: its

Reproduction and Development. Menneapolis. Burgess Publishing Company. P. 1-85.

Sheldon, M.R. 1987. Introduction to Probability and Statistic for Engeneers and Scientist. University of California. Berkeley. John Wiley and Son Inc. P. 232-233.

Sudarwati, S dan L.A. Sutasurya. 1990. Penuntun Perkembangan Hewan. FMIPA-ITB. Hal. 10.

Sulistia, G.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta. Gaya Baru. Hal. 400-409.

Hadisahputra, S. 1993. Efek Antifertilitas Post Koitus dan Embriotoksik Ekstrak Metanol Akar Tumbuhan Gajah Beranak (EMGB) terhadap Mencit. Medan. Hal. 8-10.

Steenis, C.G.G.J. 1992. Flora. Cet. Ke-6. Jakarta. Pranya Paramita. Hal. 284. Taylor, P. and Sandoz, A.G. 1986. Practical

Teratology. London. Academic Press Inc. P. 16-17.

Yatim, W. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Bandung. Tarsito. Hal. 93-109.

Winarno, M.W. dan Sundari, D. 1997. Informasi Tanaman Obat untuk Kontrasepsi Tradisional. Buletin Cermin Dunia Kedokteran. 120: 25-28.

Gambar

Tabel 1. Penampilan Reproduksi Induk Mencit yang Diberi EEAS Secara Gavage Selama 4 Hari  Sebelum Kawin dan 4 Hari Sesudah Kawin
Tabel 3. Jumlah Induk Mencit yang Dijumpai dan Tidak Dijumpai Adanya Fetus dalam Uterus  Akibat   Pemberian EEAS Selama 4 Hari Sebelum Kawin

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran kinerja organisasi dapat dilihat dari visi dan misi yang ada, proses kinerja dapat dilihat dari prosedur standar operasi, dan kinerja pegawai dapat dilihat dari

Pelaku pasar akhir usaha pangan olahan berbasissingkong ada 2, yaitu: produsen dan pedagang pengecer; (2) Isu-isu strategi pengembangan usaha pangan olahan

Merujuk pada jadual 4.2.5 dan jadual 4.2.6, ujian ketepatan dan kelajuan secara keseluruhannya menunjukkan bahawa aktiviti menyangga dalam penggunaan bola getah dan bola

1. Mengenalpasti jenis kefahaman murid tingkatan 6 dalam konsep asas genetik Mendel iaitu kefahaman awal mereka sebelum PBM; jenis penaakulan yang berlaku semasa murid menjawab

Kepemimpinan Rafael Correa juga membawa kondisi politik luar negeri Ekuador muncul sebagai negara yang aktif dalam menjalin hubungan bilateral dengan banyak negara

KOMPLIKASI BERAT BULAN

Pada pertemuan 1 di siklus II guru sudah menyiapkan lembar soal dan lembar jawab yang sudah diacak jawabannya dengan baik.Siswa mendengarkan materi yang

yang hahal hukumnya pun halal serta jalan/cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya pun wajib. Pada awalnya, kata al- Dhari’ah dipergunakan untuk