• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Adat Siwaluh Jabu: Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo di Desa Lingga, Kab. Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rumah Adat Siwaluh Jabu: Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo di Desa Lingga, Kab. Karo"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Rumah Adat Siwaluh Jabu:

Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo

di Desa Lingga, Kab. Karo

Marta

 

Ulina

 

Perangin

angin

1)

 

ika kita melihat judul yang tertera di atas, maka akan terlintas di dalam benak kita akan sebuah tempat tinggal yang mempunyai bentuk khas yang berasal dari Tanah Karo. Rumah adat Siwaluh Jabu, memang merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat Karo untuk menyebut rumah adat mereka tersebut. Rumah adat Siwaluh Jabu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti rumah yang dihuni oleh delapan keluarga, di mana kedelapan keluarga yang menghuni rumah tersebut umumnya masih memiliki pertalian darah atau hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.

Di dalam rumah tersebut, tata letak tempat tinggal kedelapan keluarga tersebut diatur menurut aturan adat yang masih melekat pada masyarakat Karo. Penataan letak tempat tinggal masing-masing keluarga diatur sesuai dengan klasifikasi (kelas-kelas) sosial yang pada orang Karo masih berlaku sampai sekarang yaitu anak

beru, kalimbubu, sembuyak dan senina. Untuk hal ini akan dibahas secara mendetail di dalam tulisan ini.

Rumah adat Siwaluh Jabu ini masih dapat kita jumpai di tanah Karo, tepatnya di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Di desa ini masih dapat kita temukan beberapa rumah adat yang sudah berumur ratusan tahun akan tetapi masih berdiri dengan kokoh.

Desa Lingga merupakan desa yang terletak sekitar 4,5 km dari Kota Kabanjahe. Desa tersebut berada pada ketinggian 1300 m dari permukaan laut dengan luas 2624 Ha2. Desa Lingga berbatasan dengan Desa Surbakti di sebelah Utara, desa Kacaribu di sebelah Selatan, desa Kaban di sebelah Timur dan desa Nang Belawan di sebelah Barat. Pola pemukiman masyarakat di desa tersebut adalah pola menyebar mengikuti jalan raya. Penduduk desa Lingga ± 2.945 jiwa yang terdiri dari 793 kepala keluarga.

Di desa tersebut sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen Protestan dan sebagian lagi memeluk agama Islam, akan tetapi masih terdapat beberapa warga yang memeluk suatu aliran kepercayaan yang dalam bahasa Karo disebut dengan istilah pemena atau

parbegu.

Sejarah Terbentuknya Rumah Adat

Pada awalnya masyarakat yang tinggal di Tanah Karo biasanya mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal masing-masing rumah tangga. Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk) yang dalam bahasa Karo disebut barung atau sapo. Bahan yang digunakan untuk mendirikan barung ini adalah bahan-bahan dari kayu dan ijuk dan bahan-bahan lainnya yang masih sangat mudah ditemukan di hutan. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya penduduk dan mulai hadirnya para pendatang, secara langsung berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah barung-barung yang ada. Dari situasi seperti itu kemudian muncul ide dari masyarakat untuk mendirikan rumah yang lebih besar dan lebih tahan lama untuk mereka tempati bersama. Mereka berpendapat bahwa dengan mendirikan rumah yang lebih kokoh dan tahan lama tersebut maka keamanan mereka akan lebih terjamin. Untuk lebih melihat tentang apa-apa saja hal yang berhubungan seputar rumah adat Siwaluh Jabu, kita dapat membacanya pada hasil penelitian di bawah ini.

Uraian Hasil Penelitian

A. Sejarah Terbentuknya Rumah Adat

Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di suatu daerah di wilayah Tanah Karo mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya (satu keluarga).

(2)

Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk) dalam bahasa Karo dinamakan barung atau sapo, bahan-bahan yang digunakan terbuat dari bahan yang mudah diambil di hutan sekitar tempat tinggal penduduk. Karena bertambahnya penduduk dan karena adanya pendatang baru dan bertambahnya keturunan, barung-barung atau sapo-sapo

tersebut juga bertambah semakin banyak dan kemudian menjadi kelompok perumahan yang besar.

Seiring dengan pertambahan jumlah tersebut, kemudian timbullah ide atau gagasan dari penduduk untuk mendirikan rumah besar yang lebih kuat dan lebih tahan lama. Dengan mendirikan rumah tersebut mereka merasa keamanan lebih terjamin baik itu gangguan dari binatang buas maupun gangguan atau serangan pendatang yang berniat jahat.

Berkat kerja sama, kegigihan, dan keseriusan mereka, maka akhirnya rumah besar tersebut berhasil dibangun dengan bentuk dan konstruksi yang spesifik. Bentuknya dibuat empat persegi panjang, atapnya tinggi dan di dalamnya terdiri dari beberapa jenis “jabu”. Tiangnya dari kayu bulat yang sangat besar dan diambil dari hutan, dinding dari balahan kayu diikat dengan tali “ret-ret”, atapnya dari ijuk dan di atas ujung atap dipasang tanduk. Bagian depan rumah itu dibuat beranda yang disebut “ture”. Semua bahan untuk membuat rumah besar tersebut diambil di hutan. Rumah besar yang berhasil didirikan itu disebut rumah adat Karo (Siwaluh Jabu).

B. Cara Mendirikan Rumah Adat Karo

Rumah adat Karo terkenal dengan keindahannya, apalagi rumah tersebut dibuat oleh tukang yang ahli. Mendirikan rumah adat Karo dianggap pekerjaan yang sangat besar dan sangat berat. Karena untuk menyelesaikan satu rumah memakan waktu yang cukup lama ± 1 tahun. Oleh karena itu cara mendirikannya secara bertahap dan selalu diikuti oleh tenaga gotong royong masyarakat.

Modal utama keberhasilan dalam mendirikan rumah adat tersebut ialah kebersamaan pemilik dan gotong royong. Kegiatan gotong royong tersebut dikaitkan dengan sistem kekeluargaan. Unsur penggerak ialah sangkep sitelu dan unsur pembantu ialah masyarakat yang tinggal di kampung tersebut. Upaya mendirikan rumah adat juga dianggap sebagai salah satu kegiatan untuk memenuhi ketentuan adat. Unsur adat itu sendiri dipengaruhi oleh unsur kepercayaan. Maka tidak mengherankan bila dalam kegiatan mendirikan rumah adat tidak pernah terlepas dari unsur kepercayaan masyarakat. Cara mendirikan rumah adat tersebut meliputi beberapa tahap di antaranya adalah sebagai berikut:

B.1. Padi-padiken Tapak Rumah

Awalnya beberapa keluarga yang hendak mendirikan rumah adat, mencari dan menentukan lokasi tapak rumah yang bakal dibangun. Setelah pertapakan itu diperoleh dan dianggap baik letaknya, barulah diadakan satu acara yang nama acara tersebut ialah “padi-padiken tapak rumah”. Adapun tujuan dari acara ini ialah untuk mengetahui apakah tapak itu membawa berkah, serasi, dan tidak menimbulkan malapetaka dikemudian hari bagi para penghuninya.

Untuk mengetahui apakah tapak itu baik biasanya dipanggil seorang dukun, bila dukun mengatakan tapak itu baik maka dimulailah proses awal pembangunan rumah. Namun, jika dukun tersebut mangatakan kalau tanah partapakan itu tidak baik maka kaluarga yang hendak membangun rumah adat tadi akan mencari lokasi pertapakan yang baru.

(3)

B.2. Ngempak

Setelah mendapat pertapakan yang baik, selanjutnya keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut mencari dan menetapkan satu hari yang baik melalui seorang dukun, untuk pergi kehutan mengambil bahan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah adat tersebut.

Dalam penebangan tersebut dukun pun sangat berperan karena di sini dukun berperan untuk menentukan kayu yang baik untuk ditebang, di samping itu penebangan pertama biasanya dilakukan oleh dukun. Jika dukun tersebut mengatakan bahwa kayu tersebut baik untuk digunakan, maka penebangan selanjutnya dapat diteruskan oleh orang lain tanpa melalui upacara-upacara lagi.

B.3. Ngerintak Kayu

Setelah kayu yang diperlukan itu telah selesai ditebang tetapi masih berada di hutan, maka kemudian pihak pendiri rumah membagi-bagikan sirih kepada warga kampung sebagai lambang undangan minta bantuan menarik kayu dari hutan.

Demikianlah pekerjaan tersebut dilakukan secara gotong royong oleh penduduk secara bertahap sampai semuanya selesai dan dikumpulkan pada tempat yang telah ditentukan. Karena kayu yang ditarik tersebut sangat besar dan sangat berat, dan melalui jalan yang sangat curam dan mendaki maka penarikan kayu tersebut harus dibarengi dengan semangat yang tinggi dan mempersatukan tenaga. Agar tenaga menjadi satu kekuatannya maka dibuatlah nyanyian yang berbunyi “ole…… katak la lompat, ola kita kisat-kisat ari aron, mela la seh i rumah nake, ula kari kita si pudina o aron, lompat-lompat si sayak katak.”. Yang menyanyikan lagu ini harus gadis. Makna dari nyanyian tersebut adalah pemberi semangat kepada para pekerja yang menarik kayu sampai ke tempat membangun rumah.

Setelah pekerjaan menarik kayu selesai, biasanya diadakan jamuan makan bersama yang dihadiri oleh para penarik kayu dan tukang ahli yang mengerjakan rumah tersebut. Adapun biaya jamuan makan ini ditanggung bersama oleh

keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut.

B.4. Pebelit-belitken

Sebelum tukang memulai pekerjaannya, biasanya terlebih dahulu diadakan suatu acara yang dinamakan pebelit-belitkan yang dihadiri oleh keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah, anak beru,

senina, dan kalimbubu (sangkepsitelu) dan tidak tertinggal tukang yang akan mengerjakan rumah tersebut.

Pada acara ini yang dibicarakan ialah mengenai upah tukang ahli, kapan rumah itu mulai dikerjakan, perkiraan kapan selesai dan apa saja yang menjadi tanggung jawab pihak keluarga yang mendirikan rumah di luar penyediaan bahan. Dengan kata lain acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara keluarga pendiri rumah dengan tukang ahli dengan disaksikan oleh sangkep nggeluh

dan sangkepsitelu.

B.5. Mahat

Beberapa hari setelah acara pebelit

-belitken, tukang ahli telah dapat melakukan tugasnya. Bahan-bahan kayu yang telah tersedia mulai diukur dan dikupas dengan “beliung” semacam kapak. Kemudian pekerjaan berikutnya diteruskan dengan pekerjaan “mahat” atau membuat lobang. Sewaktu mahat masing-masing pemilik rumah mengambil tenaga lima orang pembantu dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula tukang ahli memberikan petunjuk, kemudian pemahatan yang pertama dilakukan oleh dukun dan untuk selanjutnya diserahkan kepada semua pekerja.

B.6. Ngempaken Tekang

Setelah tiang besar didirikan di atas batu fundasi, demikian juga peralatan kayu besar di bagian bawah, maka pekerjaan tukang ahli dianggap telah selesai setengah. Dengan demikian pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “ngampeken tekang”. Negampeken tekang artinya mengangkat dan menaikkan belahan balok panjang berfungsi menahan dan sebagai tempat tutup tiang sebelah atas yang letaknya dibuat memanjang. Pekerjaan

(4)

itupun harus disertai tenaga gotong-royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu.

B.7. Ngampeken Ayo

Setiap rumah adat yang hendak dibangun harus memiliki “ayo”. Yang dimaksud dengan ayo ialah bagian depan dari atap rumah tersebut yang terbuat dari anyaman bambu diberi corak dengan cat buatan sendiri berbentuk segi tiga. Bayu

-bayu atau anyaman bambu dijepit dengan kayu di sebelah pinggirnya dan dikerjakan sebelum diangkat dan dipasangkan. Setelah ayo rumah itu selesai dikerjakan, kemudian dengan dibantu beberapa orang pekerja ayo tersebut diangkat dan dipasangkan dengan cara mengikatnya sesuai dengan petunjuk tukang.

B.8. Memasang Tanduk

Walaupun semua bagian-bagian rumah tersebut telah selesai dipasang atau dikerjakan, namun jika tanduknya belum dipasangkan maka rumah tersebut belum boleh dianggap selesai secara sempurna. Oleh karena itu pemasangan tanduk pada rumah tersebut menjadi suatu keseharusan dan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Adapun tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang dipuncak atap. Pemasangannya harus malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatnya tanduk itu dibuat dari tali ijuk dilapisi dengan semacam perekat dan diberi warna dengan cat putih. Saat peletakan tanduk kerbau, biasanya sang tukang mengatakan “adi muas kam, minemken ku lawit simbelang, adi melihe kam, nggagat kam ku deleng simeratah.” Artinya “bila kau haus, minumlah ke laut yang luas, bila kau lapar makanlah di gunung yang hijau.” Dengan mengucapkan ini maka diyakini bahwa keluarga yang tinggal nantinya di rumah ini tidak mendapatkan musibah.

C. Susunan Jabu dalam Rumah Adat Karo

Pada dasarnya rumah adat Karo terdiri dari delapan jabu atau terdiri dari delapan kelamin. Susunan jabu tersebut diatur

sesuai dengan kedudukan dan fungsi keluarga yang tinggal di rumah itu. Jabu

sebagai tempat tinggal satu keluarga dan setiap jabu dihuni oleh satu keluarga masih memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Adapun susunan jabu dalam rumah adat Karo adalah sebagai berikut:

C.1. Bena Kayu

Sebagai tempat kedudukan bangsa tanah, derajatnya sebagai pemimpin sekaligus anggota jabu-jabu di dalam rumah itu. Berfungsi memberi keputusan atas segala permasalahan yang timbul di tengah-tengah rumah tersebut.

C.2. Ujung Kayu

Sebagai tempat kedudukan anak beru jabu benakayu. Penghuni jabu ini bertindak sebagai mewakili jabu bena kayu untuk menyampaikan perintah-perintah jabu bena

kayu yang menyangkut kepentingan

anggota rumah tersebut. Dengan kata lain orang yang mendiami tempat ini dapat dikatakan pembantu utama jabubenakayu.

C.3. Lepar Bena Kayu

Tempat kedudukan pihak anak atau

senina jabu bena kayu. Fungsi jabu ini disebut juga jabu “sungkun berita”, yang adapun tugasnya ialah meneliti dan menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.

C.4. Lepar Ujung Kayu

Tempat kedudukan pihak kalimbubu dari jabu bena kayu. Menurut fungsinya

jabu ini disebut juga jabu “simangan minem”, karena kedudukannya sangat disegani dan dihormati.

C.5. Sedapurken Bena Kayu

Sebagai tempat kedudukan anak beru menteri jabu bena kayu. Sesuai dengan fungsinya disebut juga jabu “peninggel-ninggel”, yang artinya mendengarkan. Jadi tugasnya mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan di dalam suatu musyawarah anggota rumah adat tersebut. Selain dari itu jabu ini juga bertindak sebagai saksi untuk berbagai kepentingan anggota rumah tersebut.

(5)

C.6. Sedapurken Ujung Kayu

Yaitu sebagai tempat kedudukan anak atau saudara jabu lepar ujung kayu. Jabu

ini disebut juga jabu “arinteneng” atau ketenangan. Jabu ini dianggap sebagai pemberi ketentraman dan ketenangan hidup bagi seluruh jabu di dalam rumah adat tersebut.

C.7. Sedapurken Lepar Ujung Kayu

Sebagai tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini berkewajiban memberi tanda-tanda baik dan buruk yang bakal menimpa penghuni rumah tersebut.

C.8. Sedapurken Lepar Bena Kayu

Yaitu sebagai tempat kedudukan anak atau saudara penghuni jabu ujung kayu.

Jabu ini disebut juga jabu “singkapur belo” dengan kewajiban menyediakan dan menyuguhkan belo kepada orang yang datang atau tamu, selanjutnya menanyakan hubungan perkauman yang disebut dalam bahasa Karo “ertutur”. Selain itu tugasnya adalah sebagai pembantu jabu bena kayu

untuk menjamu tamunya dan secara umum semua tamu penghuni rumah itu.

D. Cara Memasuki Rumah Adat

Menurut kebiasaan dalam adat Karo, bila suatu rumah adat telah selesai dibangun maka diadakan sebuah upacara untuk memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru). Upacara ini sebagai bentuk pernyataan telah selesainya suatu pekerjaan besar dan mulia, karena sewaktu mengerjakannya memakan waktu dan tenaga yang sangat lama, di samping itu upacara ini juga adalah sebagai tanda bahwa rumah itu telah dapat ditempati secara resmi.

Menurut adat walapun rumah itu telah selesai dibangun, tetapi masing-masing penghuni rumah tidak diperkenankan menempati secara sendiri-sendiri apalagi dalam waktu atau hari yang berbeda-beda. Oleh sebab itu cara memasuki rumah baru adalah sebagai berikut:

D.1. Persiapan

Beberapa minggu setelah rumah itu selesai dikerjakan, semua penghuni rumah mengadakan musyawarah untuk mufakat.

Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kata sepakat tentang cara memasuki rumah baru itu termasuk tingkatan pesta yang akan dilaksanakan nantinya. Pembicaraan harus dijaga jangan sampai menyinggung perasaan hati seseorang.

Setelah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah, kemudian ditentukan hari atau tanggal memasuki rumah baru itu. Dalam hal ini dukun berperan dalam menentukan hari yang baik untuk memasuki rumah baru itu. Semua penghuni harus bekerja keras dalam melaksanakan tugasnya baik untuk pengadaan makanan, terutama lembu atau kerbau yang hendak dipotong, juga persiapan berupa beras, cimpa, gula, kelapa, sayur, sirih, tembakau, gambir, pinang, serta daun nipah untuk rokok, harus disediakan secukupnya.

D.2. Kegiatan dalam Waktu Memasuki Rumah Baru

Pada hari yang telah ditentukan, pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, semua penghuni rumah baru bersama keluarganya telah bersiap-siap di tempat masing-masing untuk berangkat serentak ke rumah baru tersebut. Setelah ada isyarat atau petunjuk, kemudian masing-masing keluarga bergerak bersama-sama menuju rumah baru itu, didahului oleh penghuni jabu bena kayu dengan perkiraan bersamaan dengan tibanya di rumah baru itu matahari telah terbit di ufuk Timur.

Mula-mula yang naik ke rumah itu ialah penghuni jabu bena kayu (penghulu rumah), seterusnya diikuti oleh penghuni rumah lainnya berturut-turut melalui pintu

jabubenakayu. Sewaktu hendak memasuki rumah baru itu terlebih dahulu dipersiapkan tanah di dalam baka dibawa dengan iringan seorang gadis yang masih lengkap orang tuanya di antaranya ada juga membawa

rudang-rudangsimeliasgelar.

Dengan selesainya acara itu, para hadirin telah dapat menikmati makanan yang telah tersedia seperti cimpa dan seterusnya makan bersama (ngukati). Setelah itu para penghuni rumah dapat beramah tamah dan berbincang-bincang sambil merokok dan makan sirih atau minum. Tibalah saatnya gendang dipalu

(6)

dan acara menari telah dipersiapkan sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Malam harinya acara dilanjutkan kembali, acara malam hari ini dinamai “muncang” artinya mengusir roh-roh jahat dari rumah itu. Selesai acara muncang

maka dilanjutkan dengan acara “ngeraksamai rumah” artinya acara untuk mempersatukan bagian peralatan rumah itu antara kayu yang bermacam jenis dan tempatnya maupun yang kering setengah kering dan yang masih basah. Kedua cara itu menyangkut kepercayaan yang diperankan oleh dukun atau guru yang berpengalaman. Biasanya acara ini memakan waktu yang cukup lama bahkan sampai tengah malam baru selesai.

Empat hari lamanya, semua penghuni rumah itu tidak diperkenankan bekerja di ladang atau di sawah yang sifatnya pekerjaan berat. Waktu empat hari itu bagi mereka masih dianggap sebagai hari-hari tenang di dalam permulaan menempati rumah baru itu, juga tidak dibenarkan, bahkan dianggap tercela jika terjadi pertengkaran di antara keluarga-keluarga di rumah baru itu. Seandainya hal itu terjadi, dianggap sebagai suatu permulaan malapetaka yang akan timbul dibelakang hari.

Bagi setiap keluarga yang memiliki anak laki-laki dewasa, mereka tidur ditempat lain yang disebut jambur, bagitu pula tamu laki-laki. Jambur selain sebagai tempat musyawarah dan tempat tidur juga sebagai tempat penyimpanan padi dan jagung. Bagi para anak laki-laki dewasa selain tidur di jambur mereka juga bertugas untuk menjaga padi dan jagung yang ada di

jambur tersebut. Bagi orang tua yang hendak melakukan hubungan seks (badan) mereka melakukannya pada saat siang atau malam hari tetapi tidak pada rumah adat tersebut melainkan di pondok (barung) mereka yang ada di ladang. Tetapi ada juga yang mendirikan bilik atau tirai-tirai kain pada rumah adat tersebut. Tetapi pembuatan bilik tersebut harus lebih dari setahun setelah rumah adat tersebut selesai dibangun.

Adapun makna kepala kerbau dan ukiran-ukiran yang ada atau yang terdapat pada rumah adat adalah melambangkan

rukut sitelu, melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya, mempunyai perasaan senasib sepenanggungan dan melambangkan peranan yang sama dan saling menghormati.

E. Keadaan Rumah Adat Sekarang

Pada saat sekarang rumah adat yang tersisa tinggal 4 rumah lagi yang masih berpenghuni, sedangkan rumah-rumah adat lainnya sudah tidak ditempati lagi. Pada awalnya rumah adat yang ada di Desa Lingga berjumlah 18 rumah, akan tetapi seiring perkembangan waktu rumah-rumah tersebut akhirnya hancur termakan waktu. Bahkan sekarang yang menempati rumah adat tersebut tidak lagi terdiri dari 8 keluarga, karena masing-masing penghuninya sudah banyak yang mendirikan rumah sendiri, sehingga rumah adat tersebut disewakan kepada orang yang mau menempatinya. Bagi keluarga yang tinggal atau yang mengontrak di rumah adat itu harus membayar kepada bena kayu atau bangsa tanah sebesar Rp 50.000 per tahun, biasanya orang yang masih tinggal di rumah adat ini adalah keluarga yang perekonomiannya lemah atau rendah. Rumah adat Siwaluh Jabu ini dapat bertahan selama 200 tahun lebih. Beberapa faktor yang menyebabkan rumah adat karo sudah jarang dihuni antara lain:

1. Karena sudah mendirikan rumah

masing-masing.

2. Karena sudah memiliki perekonomian yang cukup.

(7)

4. Karena kayu-kayu yang mau ditebang di hutan sudah berkurang atau tidak ada lagi.

5. Karena sering terjadi perselisihan atau pertengkaran.

Dan rumah adat yang masih dapat ditempati ialah:

6. Rumah adat marga Sinulingga/belang ayo

7. Rumah adat marga Sinulingga/gerga

8. Rumah adat marga Ginting/Bangun 9. Rumah adat marga Manik/ Manik

Kesimpulan dan Saran

Kebudayaan merupakan kumpulan ide, gagasan, hasil karya yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi pedoman atau kebiasaan bagi masyarakat tersebut dan diperoleh melalui proses belajar dan diwarisi secara turun temurun. Di Indonesia terdapat begitu banyak kebudayaan salah satunya kebudayaan suku Karo. Oleh karena itu setiap kebudayaan yang ada di Indonesia harus dilestarikan.

Satu contoh dari kebudayaan Karo adalah rumah adat Siwaluh Jabu, karena untuk mendirikan rumah adat Karo tidak pernah terlepas dari unsur kepercayaan. Salah satu dari 7 unsur kebudayaan adalah unsur kepercayaan atau religi. Cara untuk mendirikan rumah adat ini juga tidak

terlepas dari unsur kepercayaan dan adat istiadat seperti rakut sitelu dan tutur siwaluh. Susunan yang terdapat dalam jabu

pun tidak sembarangan karena susunan ini diatur atau ditentukan sesuai dengan kedudukan dan fungsi kekeluargaan yang tinggal di rumah adat tersebut.

Begitu juga cara memasuki rumah adat ini memiliki beberapa tahapan yaitu tahap persiapan dan kegiatan dalam waktu memasuki rumah adat tersebut. Melihat dari cara pembuatan atau mendirikan, susunan

jabu dan cara memasuki rumah adat ini, kebudayaan Karo memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang dapat menambah kekayaan kebudayaan Karo. Oleh karena itu si peneliti menyarankan agar:

1. Masyarakat Indonesia umumnya dan masyarkat Karo khususnya, dapat melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan hasil kebudayaan ini.

2. Pihak pemerintah melalui Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata dapat memberikan perhatian untuk menjaga dan melestarikan rumah adat agar tidak punah.

3. Hendaknya kita lebih selektif dalam

menerima pengaruh-pengaruh kebudayaan yang dapat merusak

tatanan kehidupan yang telah ada sejak zaman nenek moyang kita.

Referensi

Dokumen terkait

Promosi adalah salah satu upaya yang perlu diperhatikan untuk menarik pengunjung datang ke suatu objek wisata, oleh karena itu upaya promosi melalui berbagai media seperti

Dampak yang muncul dalam keluarga diantaranya keluarga panik saat salah satu anggota keluarga mendapat diagnosa kusta, berusaha untuk mencari pertolongan ke

Dari sini dapat disimpulkan bahwa masyarakat berpendidikan tinggi memaknai perhitungan hari dalam pernikahan sebagai symbol untuk merukunkan keluarga karena menurutnya

Peneliti mencari data dengan melihat langsung dan bertanya kepada beberapa orang yang mengetahui tentang sejarah rumah adat Sepuluh Dua Jabu seperti dari pihak pewaris rumah

biasanya orang yang masih tinggal di rumah adat ini adalah keluarga yang. perekonomiannya lemah

Kalau kita mendirikan rumah pada waktu yang kurang baik maka dalam proses pembangunan rumah itu tidak akan lancar, ada saja sesuatu yang kurang dan ada juga

Peranan Tari Simalungen Rayat Dalam Upacara Adat Pada Masyarakat Karo di Desa Rumah Berastagi Kecamatan Berastagi Kabuapaten Karo.. Dinamika orang

Setiap bagian dalam rumah adat Karo ”Siwaluh Jabu” dalam pembagian tata ruangnya, secara umum, rumah Siwaluh Jabu terdiri dari satu ruangan besar terbuka dengan ruang-ruang