• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Latar Belakang Masalah

Keselamatan pasien adalah mengurangi risiko tindakan yang tidak perlu ke tingkat seminimal mungkin dalam pemberian pelayanan kesehatan. Strategi keselamatan pasien didesain untuk menghindari, mencegah dan meminimalkan kejadian yang tidak diharapkan sebagai akibat dari praktik pelayanan kesehatan (WHO, 2009; Runciman et al., 2009). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011, “keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi: asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan risiko serta mencegah terjadinya cedera yang disebabkan karena kesalahan melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil”.

Keselamatan menjadi isu global di rumah sakit. Di negara berkembang diperkirakan 1 dari 10 pasien terluka selama menerima perawatan di rumah sakit. Dari 100 pasien yang dirawat, 7 di negara maju dan 10 di negara berkembang diantaranya mengalami infeksi terkait pelayanan kesehatan (WHO, 2015). Berdasarkan laporan insiden keselamatan pasien pada tahun 2010, pada bulan Januari sampai dengan bulan April, Provinsi Jawa Barat menempati

(2)

urutan pertama mengenai Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/adverse event) sebesar 33,33%, Banten dan Jawa Tengah 20%, DKI Jakarta 16,67%, Bali 6,67%, serta Jawa Timur 3,33% dengan penyebab kejadian 70% diantaranya diakibatkan oleh masalah prosedur, dokumentasi, dan medikasi (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2010).

Kejadian tidak diharapkan terkait dengan pelayanan kesehatan juga terjadi pada anak. Anak sangat rentan mengalami kesalahan medis karena anak masih sangat tergantung pada komunikasi dan perilaku lain dari orang dewasa dalam mencegah kejadian tidak diharapkan (Cox et al., 2012). Selain rentan, anak juga masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan sehingga membutuhkan perhatian khusus terhadap keselamatan dirinya (Schatkoski et al, 2009).

The Canadian Adverse Events Study dilakukan di Kanada dari tahun 2008 sampai dengan 2009. Dari 3669 anak yang dirawat di rumah sakit pada periode tersebut terdapat rata-rata KTD sebesar 9,2%. KTD ini lebih banyak muncul di rumah sakit pendidikan dibandingkan di rumah sakit umum. KTD terjadi pada pelayanan bedah (35,1%), obat (29,8%), Unit Gawat Darurat (UGD), Intensive Care Unit (ICU), Obstetri, serta pelayanan lain (35,1%). Tujuh puluh lima persen (75%) KTD pada bayi berhubungan dengan prosedur medis, sedangkan pada anak berusia lebih dari 1 tahun, 75% berhubungan dengan pemberian obat, dan pada anak usia lebih dari 5 tahun berkaitan dengan pembedahan (64%), pemeriksaan diagnostik (47%) dan pemberian obat (43%) (Matlow et al., 2012).

Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) (2006) menerbitkan sebuah publikasi berjudul Patients as Partners: How to

(3)

involve Patients and Families in Their Own Care. Publikasi ini menekankan pada pentingnya pelibatan pasien dan keluarga dalam perawatan pasien yang dapat memberikan dampak positif pada keselamatan pasien. Menurut Cox et al (2012), 39% orang tua merasa perlu untuk mengetahui dan melihat bagaimana anak mereka dirawat saat di rumah sakit. Hal ini berhubungan dengan persepsi orang tua tentang keselamatan anak.

Keterlibatan orang tua dalam peningkatan keselamatan pasien merupakan salah satu strategi yang harus dilakukan untuk mendukung sistem organisasi pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman (Schatkoski et al., 2009; American Academy of Pediatrics, 2011). Pelibatan orang tua ini memberi dampak positif pada kualitas pelayanan kesehatan, kepuasan pasien dan keluarga serta efektivitas biaya (American Academy of Pediatrics, 2011). Di Indonesia, kebijakan tentang pelibatan orang tua dalam keselamatan anak tertuang dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 pada bagian tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit butir 5 yaitu melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Dalam butir ini disebutkan bahwa dipastikan tim keselamatan pasien menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden. Kebijakan dalam peraturan menteri kesehatan ini belum memuat kebijakan pelibatan orang tua secara spesifik tentang keselamatan pasien.

Pelibatan keluarga dalam meningkatkan pelayanan yang aman adalah melalui beberapa peningkatan, antara lain: keluaran pelayanan, pengalaman pelayanan pada individu pasien, pengalaman kerja bagi pemberi pelayanan, dan

(4)

keluaran bagi seluruh pasien. Dalam peningkatan keluaran pelayanan, keluarga dapat terlibat pada akses informasi yang dapat membantu menentukan diagnosis yang tepat, terlibat dalam pembuatan keputusan tentang perawatan, memilih pemberi pelayanan kesehatan yang sesuai, mengikuti rencana pengobatan yang telah disetujui dan mengungkapkan pendapat apabila ada sesuatu tidak sesuai dengan ekpektasi atau mengarah pada kemungkinan medical error. Dalam peningkatan pengalaman pelayanan bagi pasien dan pengalaman kerja bagi pemberi pelayanan, pelibatan keluarga penting sebagai partner yang membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan melalui preferensi dan nilai. Hal ini akan menghasilkan kepuasan yang lebih terhadap keluaran pelayanan yang diperoleh baik bagi pasien maupun pemberi pelayanan. Sistem kesehatan akan berubah sebagai hasil dari pelibatan keluarga. Pelibatan keluarga berperan penting dalam mendukung organisasi pelayanan kesehatan (The National Patient Safety Foundation, 2014). Kehadiran dan partisipasi orang tua selama anak di rumah sakit dapat memenuhi kebutuhan anak dan meningkatkan keselamatan anak (de Melo et al, 2014).

Menurut Ottosen (2015), orang tua ingin terlibat sebagai partner dalam meningkatkan keselamatan anak di rumah sakit. Bagi orang tua, partnership antara tenaga kesehatan dan orang tua penting untuk meningkatkan perannya dalam keselamatan pasien. Orang tua memahami bahwa mereka harus berbagi peran dalam melindungi anak dan meningkatkan keselamatan mereka. Orang tua mengasumsikan perannya dalam keselamatan pasien adalah sebagai pembelajar (learner), pemberi pelayanan (caregivers), advocates, pembuat keputusan

(5)

(decision-makers) dan sebagai penjaga (guardian). Peran-peran ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi orang tua tentang keselamatan pasien, sikap terhadap peran orang tua, komunikasi, teamwork, masalah orang tua dan perubahan perawatan. Wegner & Pedro (2012), menyebutkan bahwa peran orang tua dalam keselamatan anak di rumah sakit adalah dengan berbagi perawatan dengan tenaga kesehatan berupa memberikan kebersihan dan kenyamanan pada anak dengan tetap dalam supervisi dan arahan dari tenaga kesehatan.

Dalam organisasi, orang lebih memilih untuk diam dan menahan pemikiran mereka dimana sebenarnya merupakan masukan berharga yang ingin diekspresikan (Morrison dan Milliken, 2003). Hal ini juga ditemukan di pelayanan kesehatan, dimana mereka yang menyadari adanya suatu masalah melakukan dua pilihan yaitu memilih untuk berbicara namun diabaikan atau memilih untuk tidak bicara sama sekali (Pronovost, 2010).

Sejumlah pasien menemukan bahwa saran yang ditujukan untuk tenaga kesehatan dapat menjadi masalah. Hal ini dapat dianggap sebagai wujud ketidakpercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dimana pasien atau keluarga tidak menginginkan hal tersebut (Peat et al, 2010). Goelts dan Hatlie (2002) dalam Peat et al (2010) mengemukakan bahwa menanyakan kepada tenaga kesehatan apakah sudah mencuci tangan atau belum merupakan peran pasien dan keluarga namun mereka lebih memilih untuk tidak bertanya.

Nenny et al (2014) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa rumah sakit perlu melakukan strategi guna membangun komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga. Strategi ini diantaranya dengan

(6)

memberikan akses bagi pasien dan keluarga terhadap informasi pelayanan kesehatan yang diterimanya, menyediakan cukup waktu bagi pasien untuk berkomunikasi dengan petugas dan peningkatan edukasi terkait keselamatan pasien. Terkait strategi tersebut, metode speak up yang direkomendasikan JCAHO dapat digunakan untuk meningkatkan komunikasi antara petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga dalam pencapaian sasaran keselamatan pasien. The Joint Commision meluncurkan Speak UpTM Patient Safety Program pada tahun 2002. Program ini telah digunakan oleh lebih dari 40 negara (The Joint Commission, 2015).

Pada survey yang dilakukan The Joint Commission pada tahun 2015 tentang program Speak Up diketahui bahwa 83% responden mengatakan bahwa Speak Up mendorong dan mendidik pasien dan membuat mereka menjadi partner dalam perawatan mereka, 83% responden percaya bahwa Speak Up mudah digunakan dan dipahami, 83% responden percaya bahwa Speak Up membawa nilai dalam organisasi perawatan kesehatan, dan 69% responden akan merekomendasikan program ini pada kolega, teman, anggota keluarga atau pasien. Walaupun program Speak Up ini berfokus pada pasien, namun pada pasien anak-anak program ini dapat diberikan kepada orang tua sebagai pendamping dan penanggung jawab (The Joint Commission, 2015).

Orang tua perlu diajari tentang pentingnya keselamatan pasien dan bagaimana mereka menjadi bagian dari tim perawatan kesehatan. Orang tua memiliki hak untuk terlibat dalam perawatan anaknya, mampu bertanya, asertif, dan menolak hal yang tidak mereka setujui atau mengerti (Sandlin-Leming, 2010).

(7)

Pelibatan pasien dan keluarga dalam meningkatkan keselamatan pasien dipengaruhi oleh otonomi, kesadaran, dan pengetahuan (Buetow et al, 2013). Longtin et al (2010) mengemukakan bahwa pasien dan keluarga yang memiliki pengetahuan tentang keselamatan dapat mengedukasi diri mereka sendiri untuk dapat mencegah kejadian yang tidak diharapkan sekaligus mendeteksi kesalahan yang terjadi selama perawatan baik dalam persiapan, monitoring maupun follow-up suatu tindakan.

Edukasi sebagai kombinasi pengalaman belajar didesain untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya melalui peningkatan pengetahuan atau mempengaruhi sikap mereka (WHO, 2015). Pencapaian tujuan edukasi didukung oleh alat bantu berupa media edukasi yang tepat. Media edukasi dapat dalam bentuk multimedia maupun cetak.

Wilson et al (2012) melakukan literature review pada 30 penelitian yang membandingkan edukasi dengan multimedia dan edukasi dengan media cetak. Dari 30 penelitian tersebut, 24 penelitian memiliki pengetahuan sebagai keluaran yang diukur dan ditemukan satu penelitian menyarankan media cetak, 12 penelitian menyarankan multimedia dan 12 penelitian lainnya menyatakan bahwa keduanya sama-sama penting. Dari hasil perbandingan keseluruhan penelitian, ditemukan bahwa baik multimedia maupun media cetak sama-sama menunjukkan hasil yang baik dalam praktik.

Booklet digunakan sebagai salah satu media cetak untuk edukasi. Booklet memiliki keuntungan yaitu peserta yang menerima edukasi dapat membaca informasi yang diberikan secara berulang-ulang sehingga dapat mempengaruhi

(8)

memori pembelajaran (Arsyad, 2010). Lawrence et al (2011) menggunakan media booklet dalam edukasi pada keluarga dengan pasien anak yang menerima transplantasi jantung dan menyatakan bahwa intervensi edukasi dengan media booklet meningkatkan pengetahuan keluarga.

Abdi et al (2012) dalam penelitiannya pada mahasiswa kedokteran di Iran mengemukakan bahwa edukasi meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang keselamatan pasien. Pada beberapa studi juga dilaporkan bahwa perilaku speaking up meningkat setelah intervensi (Sayre et al, 2012; Johnson dan Kimsey, 2012). Keraguan dalam speak up merupakan faktor penting dalam kesalahan komunikasi sehingga perlu ada pelatihan sebagai cara efektif meningkatkan perilaku speaking-up (Okuyama et al, 2014).

Perumusan Masalah B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh edukasi terhadap pengetahuan speak up orang tua tentang keselamatan pasien di Bangsal Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?”

Tujuan Penelitian A. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana pengaruh edukasi terhadap pengetahuan speak up orang tua tentang keselamatan pasien di Bangsal Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

(9)

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengetahuan speak up orang tua tentang keselamatan pasien di Bangsal Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

b. Mengetahui gambaran speak up orang tua tentang keselamatan pasien di Bangsal Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemberian edukasi terhadap pengetahuan speak up tentang keselamatan pasien pada orang tua dengan anak yang dirawat di rumah sakit. Hasil penelitian ini juga dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan sebagai materi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan keselamatan pasien pada anak.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan keselamatan pasien anak di rumah sakit. Tenaga keperawatan juga dapat memodifikasi cara pemberian edukasi dan informasi keselamatan pasien kepada orang tua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada orang tua dengan anak yang dirawat di rumah sakit terkait dengan pengetahuan speak up tentang keselamatan pasien.

(10)

E. Keaslian Penelitian

Keaslian Penelitian

Penelitian tentang pengaruh edukasi terhadap pengetahuan tentang speak up keselamatan pasien pada orang tua di Bangsal Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. Keaslian penelitian ini ada pada:

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No Peneliti

dan Tahun

Judul Metodologi Hasil Persamaan Perbedaan

1 Sayre et al (2012) An Educational Intervention to Increase “Speaking Up” Behaviors in Nurses and Improve Patient Safety • Desain penelitian menggunakan quasi experimental study • Intervensi berupa edukasi menggunakan skenario, refleksi diri, dan dukungan sebaya kelompok kecil

• Terdapat perbedaan

signifikan pada skor dan perilaku

speaking-up pada kelompok intervensi • Menggunakan intervensi edukasi • Metode penelitian yang dilakukan tidak menggunakan kelompok kontrol • Pada penelitian ini menggunakan media booklet • Lokasi, variable penelitian 2 Puspita (2014) Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perilaku orang tua dalam pencegahan infeksi pada anak dengan kanker

• Jenis penelitian pre

experimental

dengan one group

pretest-posttest • Tehnik sampling yaitu consecutive sampling dengan besar sampel • Terdapat peningkatan skor rata-rata sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan • Terdapat perbedaan • Metode penelitian dengan one group pretest-posttest • Intervensi dengan edukasi • Menganalisis pengaruh edukasi pada pengetahuan tentang speak up keselamatan pasien • Lokasi dan

(11)

sejumlah 68 responden. Analisa data menggunakan

paired sample t-test

untuk variabel sikap dan Wilcoxon untuk variabel pengetahuan dan tindakan. • Intervensi berupa pendidikan kesehatan menggunakan media booklet yang dignifikan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan (p-value 0,000) menggunakan media booklet • Tehnik sampling meggunakan consecutive sampling dan analisa data menggunakan paired sample t-test variable penelitian 3 Hapsari (2012) Pengaruh pendidikan kesehatan tentang efek samping kemoterapi melalui multimedia terhadap perilaku orang tua dalam merawat anak leukemia yang sedang kemoterapi • Desain penelitian menggunakan quasi experimental pretest posttest nonequivalent control group design • Intervensi pendidikan kesehatan menggunakan media multimedia • Terdapat perbedaan signifikan pada pengetahuan dan sikap antara kelompok perlakuan dengan kelompok control, sedangkan keterampilan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan • Menggunakan intervensi edukasi • Penelitian yang dilakukan tidak menggunakan kelompok kontrol • Media yang digunakan adalah booklet • lokasi dan variable penelitian

Gambar

Tabel  1. Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

terapi musik instrumental 82% depresi ringan, 18% depresi berat, 2) setelah melakukan terapi musik instrumental 88% tidak depresi dan 12% depresi ringan, 3) hasil

Emisi surat utang korporasi di pasar domestik selama Januari 2018 mencapai Rp7,67 triliun atau naik 2,84 kali dibandingkan dengan Januari 2018, berdasarkan data oleh