• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIKALA BARU MANADO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIKALA BARU MANADO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TIKALA BARU MANADO

Yulita Louisa Ekel*, Billy J. Kepel*, Max Tulung*

*Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian terutama pada anak. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kasus DBD antara lain: faktor lingkungan fisik (kepadatan rumah, keberadaan kontainer, suhu, kelembaban, dinding rumah, pencahayaan, keberadaan kawat kasa rumah, langit-langit rumah). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado.Metode penelitian menggunakan desain penelitian Case Control Study yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado pada bulan Oktober 2016 - April 2017. Sampel untuk kasus 30 dan kontrol 60 responden. Analisis menggunakan program komputer SPSS dengan tahapan univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikan Faktor Lingkungan Fisik Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru antara lain kepadatan (p = 0,042 dan or = 2,382), dindin rumah (p = 0,014 dan nilai or = 1,306), pencahayaan nilai p = 0,046 dan nilai or = 1,033), keberadaan kawat kasa (p = 0,046 dan or = 2,472) dan langit-langit (p = 0,041 dan or = 2,359). Variabel pencahayaan merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR atau Exp (B) = 3,269 (95% CI=0,099-3.725). Kesimpulannya terdapat hubungan antara kepadatan, dinding rumah, pencahayaan nilai, keberadaan kawat kasa dan langit-langit Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru, sedangkan variabel pencahayaan merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD. Maka dari itu disarankan Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan mengintensifkan kegiatan pemeriksaan jentik berkala dan menggalakkan program 3M plus di lingkungan sekitar, sehingga dapat dijadikan sebagai monitoring.

Kata Kunci : Lingkungan Fisik, Demam Berdarah Dengue

Abstract

Dengue hemorrhagic Fever is one of the infectious diseases that often cause an outbreak and cause of death, especially in children. Environmental factors that influence the spread of cases of Dengue hemorrhagic Fever among other factors, the physical environment (the density of houses, presence of containers, the temperature, the humidity, the walls of the house, the lighting, the existence of the wire gauze of the house, the ceiling of the house). The purpose of this study is to determine the relationship between physical environmental factors with the incidence of of Dengue Hemorrhagic Fever in the work area of Tikala Baru Manado Health Center. The research method used Case Control Study design conducted in Tikala Baru Manado working area in October 2016 - April 2017. Samples for case 30 and control 60 respondents. Analysis using SPSS computer program with univariate, bivariate and multivariate stages. The results showed that the significant value of Physical Environmental Factors with Dengue Hemorrhagic Fever in Tikala Baru Community Work Area were density (p = 0,042 and or = 2,382), house wall (p = 0,014 and or = 1,306), lighting p = 0.046 and the value of or = 1.033), the presence of wire gauze (p = 0.046 and or = 2.472) and the ceiling (p = 0.041 and or = 2,359). Lighting variable is the most dominant variable related to incidence of DHF with OR or Exp (B) = 3,269 (95% CI = 0,099-3,725). In conclusion there is a relationship between density, wall of house, lighting, presence of wire and ceiling With Dengue Hemorrhagic Fever in Working Area of Tikala Baru Community Health Center, while lighting variable is the most dominant variable related to Dengue Hemorrhagic Fever. Therefore, it is recommended for Puskesmas and Health Office to intensify periodic larvae activity and promote 3M plus program in surrounding environment, so it can be used as monitoring.

(2)

2 PENDAHULUAN

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian terutama pada anak. Penyakit yang kini dikenal sebagai DBD pertama kenal di Filipina pada tahun 1953. Gejala klinis yang muncul diketahui akibat infeksi virus Dengue, yang berhasil diisolasi di Filipina pada tahun 1956. Dua tahun kemudian, keempat tipe virus berhasil diisolasi di Thailand. Selang tiga dekade berikutnya, penyakit DBD ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Srilangka, Vietnam, dan beberapa wilayah di Kepulauan Pasifik (Kemenkes, 2011).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau renjatan.

Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun. Kejadian Luar

Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktivitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes. Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DBD disebut the most mosquito transmitted disease (Djunaedi, 2006).

Data internal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), pada tahun 2015, melaporkan bahwa penderita demam berdarah di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 129.179 orang, dimana 1.240 diantaranya meninggal dunia. Untuk tahun 2015, jumlah kasus DBD mengalami penurunan dari tahun 2014. Pada Oktober-Desember 2014, jumlah kasus DBD adalah 23.882 kasus, sementara tahun 2015 hanya mencapai 7.244 kasus. Angka kematian pun juga cenderung mengalami penurunan. Pada 2014 jumlah kematian akibat DBD mencapai angka 197 jiwa sedangkan pada 2015 jumlah kematian dalam rentang waktu tiga bulan tersebut hanya mencapai angka 100 jiwa.

Provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi yang rawan akan DBD karena masih merupakan daerah endemis. Data Dinas Kesehatan Sulawesi Utara pada tahun

(3)

3 2014 penderita DBD berjumlah 1.271 orang dan 23 orang diantaranya meninggal dunia. Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa angka kesakitan DBD di Provinsi Sulawesi Utara (Incidence Rate = IR) demam berdarah dengue adalah 53,34 per 100.000 penduduk dan angka kematian (Case Fatality Rate = CFR) sebesar 1,81% (Anonim, 2014).

Khusus di kota Manado, laporan tahunan Puskesmas Tikala Baru menunjukkan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40 kasus demam berdarah dengue. Puskesmas Tikala Baru Manado memiliki wilayah kerja di 6 kelurahan yang terdiri dari Kelurahan Dendengan Dalam, Kelurahan Tikala Baru-Baru Baru, Kelurahan Taas, Kelurahan Paal IV, Kelurahan Banjer serta Kelurahan Tikala Baru-Baru Ares.

Perkembangan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vector DBD berkaitan erat dengan faktor lingkungan, yang meliputi ketinggian tempat, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kepadatan permukiman dan kepadatan penduduk. Perubahan lingkungan dalam jangka panjang menentukan pola penyebaran penyakit tular vektor DBD dan malaria, di suatu ekosistem. Penyakit tular vektor pada umumnya tidak serta merta muncul pada saat terjadi perubahan lingkungan, tetapi perilaku masyarakat dan

tersedianya habitat vektor, merupakan pemicu merebaknya penyakit tular vektor (khususnya DBD), terutama di daerah pemukiman (Boewono, 2012).

Penelitian-penelitian tentang demam berdarah telah banyak dilakukan, baik yang berhubungan dengan faktor etiologik, diagnostic dan prognostik dari penyakit tersebut. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyebaran kasus DBD antara lain: faktor lingkungan fisik (kepadatan rumah, keberadaan kontainer, suhu, kelembaban, dinding rumah, pencahayaan, keberadaan kawat kasa rumah, langit-langit rumah); faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman hias, pekarangan, jentik nyamuk); faktor lingkungan sosial (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk, PSN). (Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue, 2011)

Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan (p = 0,003; OR = 8,125; CI = 1,874-35,233) dengan kejadian DBD dan tidak ada hubungan antara ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding dengan kejadian DBD.

Susanti (2016) dalam penelitiannya tentang hubungan antara kondisi fisik rumah dan perilaku dengan

(4)

4 kejadian DBD di wlayah kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD.

Amried, dkk (2016) meneliti “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan 19 November Kecamatan Wundulako Kabupaten Kolaka Tahun 2016. Sampel dalam penelitin ini yaitu seluruh penderita dengan gejala DBD yang berasal dari Kelurahan 19 November yang memeriksakan diri di Laboratorium Rumah Sakit Umum Kolaka dari bulan Februari-April 2016 sebanyak 46 orang. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan kasa pada ventilasi tidak mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD di Kelurahan 19 November Kecamatan Wundulako Kabupaten Kolaka Tahun 2016 dengan nilai p=0,563.

Puskesmas Tikala Baru Manado memiliki wilayah kerja di 6 kelurahan yang terdiri dari Kelurahan Dendengan Dalam, Kelurahan Tikala, Kelurahan Taas, Kelurahan Paal IV, Kelurahan Banjer serta Kelurahan Tikala Ares. Laporan tahunan Puskesmas Tikala Baru menunjukkan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40 kasus demam berdarah dengue. Dalam pengematan cukup banyak masyarakat yang kepadatan

penghuni rumah cukup padat, persyaratan rumah sehat belum terpenuhi antara lain dinding rumah sebagian belum beton, beberapa rumah yang pencahayaan belum memenuhi syarat, ventilasi yang jarang menggunakan kawat kasa, langit-langit rumah masih terbuka. Maka dari itu tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado.

METODE

Jenis penelitian menggunakan desain penelitian Case Control Study yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado pada bulan Oktober 2016 - April 2017. Sampel untuk kasus 30 dan kontrol 60 responden. Analisis menggunakan program computer SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 22.0 dengan tahapan univariat, bivariat dan multivariat.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan bahwa responden berumur <12 tahun pada kelompok kasus sebanyak 7 responden (23,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 12 responden (23,3%). Data

(5)

5 juga menunjukkan bahwa responden pada kelompok kasus yang berumur >12 tahun sebanyak 23 responden (76,6%) dan kelompok kontrol sebanyak 46 responden (76,6%).

Hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok kasus didominasi oleh jenis kelamin perempuan sebanyak 19 responden (63,3%) sedangkan kontrol sebanyak 24

responden (68,3%). Data juga menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 responden (36,7%) sedangkan kontrol sebanyak 19 responden (31,7%).

2. Analisis Univariat

Responden sebayak 90 orang yang terdiri dari 30 kasus dan 60 kontrol. Distribusi responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hasil Uji Univariat Variabel Kebiasaan Kepadatan Penghuni Rumah, Dinding, Pencahayaan, Pemasangan Kawat Kasa dan Langit – langit di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru Manado

Variabel Kasus Kontrol

n % n %

Kepadatan hunian

- Memenuhi Syarat - Tidak memenuhi syarat Dinding Rumah

- rapat - Tidak Rapat Pencahayaan

- Memenuhi Syarat - Tidak memenuhi syarat Keberadaan Kawat Kasa

- Ada kawat kasa - Tidak ada kawat kasa Langit-langit - Ya - Tidak ada 30 13 17 30 9 21 30 13 17 30 10 20 30 12 18 100 43,3 56,7 100 30,0 70,0 100 43,3 56,7 100 33,3 66,7 100 40,0 60,0 60 40 20 60 35 25 60 46 14 60 34 26 60 39 21 100 66,7 33,3 100 58,3 41,7 100 76.7 23,3 100 56,7 43,3 100 65,0 35,0

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa diperoleh bahwa pada bahwa responden yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat 43,3% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 66,7%. Data juga menunjukkan bahwa responden yang tinggal dengan kepadatan hunian

yang tidak memenuhi syarat 56,7% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 33,3%.

Tabel di atas juga diperoleh bahwa responden yang tinggal dengan dinding rumah rapat 30,0% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 58,3%. Data juga

(6)

6 menunjukkan bahwa responden yang tinggal dengan dinding rumah tidak rapat 70,0% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 58,3%. Tabel di atas juga diperoleh bahwa responden yang tinggal dengan pencahayaan yang memenuhi syarat 43,3% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 76,6%. Data juga menunjukkan bahwa responden yang tinggal dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat 56,7% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 23,3%.

Tabel di atas juga diperoleh bahwa responden yang tinggal dengan keberadaan kawat kasa 33,3% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 56,7%. Data juga menunjukkan bahwa responden yang tinggal dengan tidak ada kawat kasa 66,7% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 43,3%.

Tabel di atas juga diperoleh bahwa responden yang tinggal dengan memiliki lagit-langit 40,0% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 65,0%. Data juga menunjukkan bahwa responden yang tinggal dengan tidak memiliki langit-langit 60,0% mengalami DBD sedangkan tidak mengalami DBD sebanyak 35,0%.

3. Analisis Bivariat

Analisis bivariate dilakukan dengan uji Chi square dan perhitungan Odds Ratio (OR) pada 95% Confidence Interval (95% CI) terhadap masing-masing variabel bebas dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru. Hasil uji bivariat terhadap masing-masing variabel bebas dengan kejadian hipertensi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Bivariat Variabel Kebiasaan Kepadatan Penghuni Rumah, Dinding, Pencahayaan, Pemasangan Kawat Kasa dan Langit – langit Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru

Variabel p 95% CI OR

Kepadatan hunian Dinding Rumah Pencahayaan

Keberadaan Kawat Kasa Langit-langit 0,042 0,014 0,002 0,046 0,041 1,155-2,940 0,120-2,776 0,091-2,594 1,153-2,955 1,146-2,885 2,382 1,306 1,033 2,472 2,359

a. Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,042 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada

(7)

7 hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR = 2,382 dan nilai 95% CI = 1,155-2,940 maka kepadatan hunian tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang tingal dalam kepadatan hunian tidak memenuhi syarat akan berisiko 2,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dawile dkk (2013) tentang hubungan kepadatan hunian dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tobelo Kabupaten Halmahera Utara mendapatkan nilai probabilitas (p value) = 0,010 hal ini berarti bahwa terdapat hubungan bermakna antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian DBD. Nilai OR= 7,000 dengan demikian seseorang yang tinggal di dalam rumah dengan kepadatan hunian kamar < 8m2 (tidak memenuhi syarat) ada kemungkinan menderita DBD 7 kali lebih besar menderita DBD dibandingkan rumah yang kepadatan hunian kamar ≥ 8m2. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanus, dkk (2014) tentang sanitasi rumah dengan kejadian

penyakit DBD di Kabupaten Bangli yang mengatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian DBD dengan nilai p value = 0,015 (< 0,05) dan OR = 3,361.

Menurut hasil penelitian Hamidah, dkk (2015) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian, kelembaban, luas ventilasi dan pencahayaan dengan kejadian DBD. Kepadatan hunian merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat menular. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian DBD.

Berdasarkan penelitian Kurniasari, dkk (2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD.

Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruswanto (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD di Kabupaten Pekalongan, dengan hasil

(8)

8 nilai p-value = 0,003 dan OR = 3,101 dengan CI 95 % = 1,440-6,681. Perbedaan hasil penelitian tersebut dapat disebabkan karena cakupan populasi penelitian yang meliputi wilayah kabupaten sehingga hasilnya lebih representatif. Selain itu, kejadian DBD juga dapat disebabkan karena faktor lain, seperti status sosial ekonomi, ventilasi, pencahayaan, dan keberadaan jendela.

Hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Dotulong, dkk (2015) yang mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD di desa Wori Kecamatan Wori. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa nilai p = 0,709 dan OR 1,77. Hasil yang dilakukan oleh Sejati dan Sofiana (2015) yang mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan DBD. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa nilai p = 0,422 sedangkan nilai OR = 2,250. Demikian juga hasil penelitian Kurniasari (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD, dengan pvalue = 1,000 dan OR = 0,5 dengan 95 % CI = 0,04-5,6. Demikian juga berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian DBD

Dinata dan Dhewantara (2012) dalam penelitian mereka berjudul “Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011” menemukan bahwa keberadaan baju menggantung: daerah endemis tinggi (89,8%), endemis sedang (80% dan 85%) dan endemis rendah (81,8%). Keberadaan kasa: daerah endemis tinggi (30,6%), endemis sedang (10% dan 25%) dan endemis rendah (27,3%).

b. Hubungan antara Dinding Rumah dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,014 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara dinding rumah dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR = 1,306 dan nilai 95% CI = 0,120-2,776 maka dinding rumah yang rapat merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang tingal dengan dinding rumah tidak rapat akan berisiko 1,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan dinding rumah yang rapat .

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muaz (2014) mengenai faktor-faktor yang

(9)

9 mempengaruhi kejadian DBD di wilayah Puskesmas Kecamatan Serang bahwa luas ventilasi signifikan berhubungan dengan kejadian DBD dengan nilai p=0,003 dan nilai OR=3,684 (95% CI= 1,588-8,549), artinya responden yang tinggal dalam rumah yang luas ventilasinya kurang baik beresiko menderita DBD 3,6 kali dibandingkan dengan responden yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi yang baik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriyani, et., al (2013) mendapatkan bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian tuberculosis. Dimana nilai p = 0,000 dan OR = 14,444. Hasil penelitian Naben, dkk (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian DBD di Kecamatan Kota Kefa dan Kecamatan Moimafo Timur, dengan nilai p-value = 0,0001 dan OR = 4,7 dengan 95 % CI = 1,9-11,4. Nilai OR = 4,7 yang artinya orang yang tinggal pada rumah dengan jenis dinding ang tidak kedap air berisiko 4,7 kali lebih besar untuk menderita DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal pada rumah dengan jenis dinding kedap air.

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Ventilasi juga merupakan tempat masuknya

cahaya ultraviolet, hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan ventilasi yang cukup luas (Anonim, 2003). Perjalanan kuman DBD setelah dikeluarkan oleh penderita melalui batuk akan terhirup oleh orang sekitarnya dan sampai ke paru-paru. Ventilasi yang buruk menyebabkan kurangnya pertukaran udara sehingga konsentrasi droplet per volume udara dan lamanya waktu menghirup udara memungkinkan seseorang terinfeksi kuman DBD (Achmadi, 2010). Cahaya yang cukup dapat diperoleh apabila luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Kamar tidur sebaiknya diletakkan disebelah timur untuk memberikan kesempatan masuknya ultraviolet. Jika peletakan jendela kurang leluasa dapat dipasang genteng kaca karena semua jenis cahaya dapat mematikan kuman, hanya berbeda satu sama lain tergantung segi lamanya proses mematikan kuman (Andani, 2011).

Berdasarkan penelitian Kurniasari, dkk (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sosial ekonomi (p = 0,001; OR = 74,7; CI = 13,9-400), pencahayaan ruangan (p = 0,025; OR = 3,7; CI = 1,3-10,3), dan luas ventilasi (p = 0,005; OR = 5,2; CI = 1,7-15,9) dengan kejadian DBD, serta tidak ada hubungan antara kelembaban ruangan, suhu ruangan, kepadatan hunian, riwayat kontak penderita,

(10)

10 pengetahuan, sikap, dan kebiasaan merokok dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan (p = 0,003; OR = 8,125; CI = 1,874-35,233) dengan kejadian DBD dan tidak ada hubungan antara ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Suherman, dkk (2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan, kelembaban, dan kepadatan hunian dan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Urip Kabupaten Purworejo. Hasil ini berbeda dengan penelitian Syafri (2015) yang menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian DBD.

c. Hubungan antara Pencahayaan dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,046 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR = 1,033 dan nilai 95% CI = 0,091-2,594 maka

pencahayaan memenuhi syarat merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang tingal dalam pencahayaan tidak memenuhi syarat akan berisiko 1,3 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dawile, dkk (2013) tentang hubungan jenis lantai dengan kejadian DBD mendapatkan nilai probabilitas (p value) = 0,000 (<0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan DBD, dengan nilai OR = 21,000 dengan 95% Cl = 5,047-87,373 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa responden dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat mengalami risiko 21 kali lebih besar dari responden dengan jenis lantai rumah yang memenuhi syarat.

Hasil ini mirip dengan Susanti (2016) dalam penelitiannya tentang hubungan antara kondisi fisik rumah dan perilaku dengan kejadian DBD di wlayah kerja Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD. Penelitian yang sama oleh Rosiana (2013) tentang Hubungan antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian DBD menunjukkan hasil yaitu terdapat hubungan antara jenis lantai

(11)

11 dengan kejadian DBD dengan nilai p value = 0,025 OR = 4,792.

Komponen yang harus di penuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian DBD, melalui kelembaban dan ruangan. Lantai rumah hendaknya kedap air, rata tak licin serta mudah dibersihkan. Tinggi lantai untuk rumah bukan panggung sekurang-kurangnya 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan (Adnani, 2011).

Berdasarkan penelitian Kurniasari, dkk (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sosial ekonomi (p = 0,001; OR = 74,7; CI = 13,9-400), pencahayaan ruangan (p = 0,025; OR = 3,7; CI = 1,3-10,3), dan luas ventilasi (p = 0,005; OR = 5,2; CI = 1,7-15,9) dengan kejadian DBD, serta tidak ada hubungan antara kelembaban ruangan, suhu ruangan, kepadatan hunian, riwayat kontak penderita, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan merokok dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan (p = 0,003; OR = 8,125; CI = 1,874-35,233) dengan kejadian DBD dan tidak ada hubungan antara ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Suherman, dkk

(2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan, kelembaban, dan kepadatan hunian dan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Urip Kabupaten Purworejo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ayomi, dkk (2012) juga menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Sentani Kabupaten Jayapura, dengan nilai p-value = 0,001 dan OR = 3,718 dengn 95 % CI = 1,626-8,502. Selain itu, didukung oleh penelitian Naben, dkk (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Kecamatan Kota Kefa dan Kecamatan Miomafo Timur, dengan nilai pvalue = 0,003 dan OR = 3,7 dengan 95 % CI = 1,5-8,9.

d. Hubungan antara Keberadaan Kawat Kasa dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru

Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,046 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara keberadaan kawat kasa dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0 ditolak). Dari hasil

(12)

12 dan nilai 95% CI = 1,153-2,955 maka keberadaan kawat kasa merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang tingal dengan tidak ada kawat kasa akan berisiko 2,4 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan keberadaan kawat kasa.

Faktor lain yang mempengaruhi kepadatan nyamuk adalah keberadaan kasa nyamuk. Kasa nyamuk adalah salah satu alat pelindung yang terbuat dari kawat dan biasanya dipasang di lubang ventilasi. Dinata dan Dhewantara (2012) berdasarkan hasil observasi tentang keberadaan kasa nyamuk di rumah responden di Kota Banjar diketahui bahwa responden Kecamatan Banjar yang merupakan kecamatan dengan tingkat endemisitas tinggi, hasilnya ternyata yang menggunakan kasa nyamuk sebanyak 30,61%. Untuk kecamatan yang merupakan kecamatan dengan tingkat endemisitas sedang, ternyata yang menggunakan kasa nyamuk sebanyak 25% (Kecamatan Pataruman) dan 10% (Kecamatan Purwaharja), sedangkan kecamatan dengan tingkat endemisitas rendah, hasilnya yang menggunakan kasa nyamuk sebanyak 27,27% (Kecamatan Langensari).

Dinata dan Dhewantara (2012) dalam penelitian mereka berjudul “Karakteristik Lingkungan Fisik,

Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011” menemukan bahwa keberadaan kasa: daerah endemis tinggi (30,6%), endemis sedang (10% dan 25%) dan endemis rendah (27,3%).

e. Hubungan antara Langit-Langit dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,041 < 0,05 maka dapat disimpulkan pada α 5% nilai (<0,05) artinya ada hubungan yang signifikan antara langit-langit dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tikala Baru (H0

ditolak). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 2,359 dan nilai 95% CI = 1,146-2,885 maka memiliki langit-langit merupakan faktor risiko, artinya bahwa seseorang yang tingal dengan tidak memiliki langit-langit akan berisiko 2,8 kali lebih tinggi untuk terkena DBD dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan memiliki langit-langit.

4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen, maka dilakukan analisis menggunakan uji regresi logistik. Variabel-variabel yang telah diseleksi bivariat dengan nilai p < 0,25

(13)

13 dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam model multivariat. Hasil seleksi

bivariat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Seleksi Tahap kedua

Variabel Bebas p value OR/Exp (B) 95% CI

Dinding rumah .059 1.381 .140-2.039

Pencahayaan .010 3.269 .099-3.725

Keberadaan kawat kasa rumah .049 2.367 1.136-2.994

Hasil penelitian menunjjukkan semua variabel independen memiliki nilai p<0,25 adalah Kepadatan penghuni, Dinding rumah, Pencahayaan, Keberadaan kawat kasa rumah dan Langit-langit rumah. Selanjutnya semua variabel bebas tersebut dimasukkan dalam pemodelan multivariat. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel pencahayaan merupakan faktor risiko yang paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD dengan nilai OR atau Exp (B) = 3,269 (95% CI=0,099-3.725).

Hasil penelitian Wati (2009) mengenai kejadian DBD diperoleh dari hasil wawancara kepada responden, kemudian dari hasil wawancara diketahui bahwa kejadian DBD yang menyerang masyarakat Desa Ploso dimana yang tidak pernah sakit DBD sebanyak 21 responden (28%) dan yang pernah sakit 54 responden (72%).

Berdasarkan penelitian Kurniasari, dkk (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi sosial ekonomi (p = 0,001; OR = 74,7; CI = 13,9-400), pencahayaan ruangan (p

= 0,025; OR = 3,7; CI = 1,3-10,3), dan luas ventilasi (p = 0,005; OR = 5,2; CI = 1,7-15,9) dengan kejadian DBD, serta tidak ada hubungan antara kelembaban ruangan, suhu ruangan, kepadatan hunian, riwayat kontak penderita, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan merokok dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Syafri (2015) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan (p = 0,003; OR = 8,125; CI = 1,874-35,233) dengan kejadian DBD dan tidak ada hubungan antara ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai, jenis dinding dengan kejadian DBD. Berdasarkan penelitian Suherman, dkk (2014) menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan, kelembaban, dan kepadatan hunian dan tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Urip Kabupaten Purworejo.

KESIMPULAN

1. Terdapat hubungan antara kepadatan penghuni rumah dengan kejadian

(14)

14 penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado 2. Terdapat hubungan antara dinding

rumah dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado

3. Terdapat hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado 4. Terdapat hubungan antara

keberadaan kawat kasa rumah dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado

5. Terdapat hubungan antara langit-langit rumah dengan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado 6. Variabel pencahayaan variabel yang

paling dominan kejadian penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Tikala Baru Manado

SARAN

1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan

Dari kejadian yang ditemukan di lapangan, sebaiknya pihak instansi Puskesmas Tikala Baru Manado dan Dinas Kesehatan Kota Manado lebih mengintensifkan kegiatan pemeriksaan jentik berkala dan menggalakkan program 3M plus di

lingkungan sekitar, sehingga dapat dijadikan sebagai monitoring. 2. Bagi Masyarakat

Diharapkan masyarakat untuk lebih memperhatikan kegiatan 3M plus dan pelaksanaan PSN DBD secara mandiri dan teratur sesuai standar agar dapat mengurangi keberadaan jentik dan masyarakat harus lebih memperhatikan perilaku kebiasaan yang kurang baik

3. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat diteruskan oleh peneliti lain dengan menambah jumlah variabel dan jumlah sampel penelitian, sehingga diharapkan dapat memperkuat keputusan yang akan diambil.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. F. 2010. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 2. Agustus, hal 15-19.

Amried, E. T., P. Asfian, dan A. Ainura. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kelurahan 19 November

Kecamatan Wundulako

Kabupaten Kolaka Tahun 2016. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. Jurnal

(15)

15 Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Vol 1, No 3.

Dinata, A., dan P. W. Dhewantara. 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, Dan Sosial Di Daerah Endemis DBD Kota Banjar Tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 11 No 4, Desember: 315 – 326

Djati, A., P. B. Rahayujati, dan S. Raharto. 2012. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung kidul Provinsi DIY Tahun 2010. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed Purwokerto.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 ttg Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. (2005).

Dinas Kesehatan Kota Manado. 2016. Profil Dinas Kesehatan Kota Manado

Fitri, A. 2015. Faktor-Faktor Yang

Berhubungan Dengan

Pelaksanaan 3 M Plus Pada Kejadian Demam Berdarah Di Wilayah Kerja Puskesmas Talang Kabupaten Solok Tahun 2015.

Diploma Thesis, Upt. Perpustakaan Unand.

Hamzah, B. U. 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi aksara

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia

________________________________ ____2013. Buku Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue Untuk Pengelola Program DBD Puskesmas Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan ________________________________

_____ 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta

Muslihin, A., dan A. Pratiwi. 2015. Penanggulangan Demam Berdarah Dengue DBD) di Kelurahan Singopuran Kartasura Sukoharjo. Jurnal Kesehatan Universitas Muhammadiah Surakarta

Ristanto, F., W. P. J. Kaunang dan A. J. Pandelaki, 2015. Pemetaan Kasus Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan Tropik. (JKKT) Vol 3 No 2

(16)

16 Sudjana, P. 2010. Diagnosis Dini

Penderita Dengue Dewasa. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 2. Agustus, hal 21-25.

Sukowati, S. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Vol 2. Agustus, hal 26-30.

Sulasmi, S. 2013. Kejadian demam berdarah dengue Kabupaten Banjar berdasarkan data curah hujan normal bulanan. Buski, 4(4).

http://bpk.litbang.depkes.go.id/ind ex.php/buski/article/view/3446/34 18

Gambar

Tabel  1.  Hasil  Uji  Univariat  Variabel  Kebiasaan  Kepadatan  Penghuni  Rumah,  Dinding,  Pencahayaan,  Pemasangan  Kawat  Kasa  dan  Langit  –  langit  di  Wilayah  Kerja  Puskesmas Tikala Baru Manado
Tabel  di  atas  juga  diperoleh  bahwa  responden  yang  tinggal  dengan  keberadaan  kawat  kasa  33,3%  mengalami  DBD  sedangkan  tidak  mengalami  DBD  sebanyak  56,7%
Tabel 3. Hasil Seleksi Tahap kedua

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan Silabus dan SAP pada mata kuliah praktik pencabutan gigi tetap pada mahasiswa Poltekkes

Alasan pemilihan judul “ Pengaruh Perilaku Pengijon Terhadap Ruang Ekonomi Di Kawasan TPI Tawang Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal ” yaitu untuk

However, if the teacher or researcher wants to try to apply it in Junior High School or lower grade, there are some considerations in order to make CSR success to

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rakhmat, nikmat, taufik dan inayah-Nya kepada penulis dalam

Untuk mengembangkan sistem regulasi pelayanan kesehatan yang efektif dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, maka Dinas Kesehatan dituntut untuk menyiapkan

Pelelangan Sederhana di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dinyatakan GAGAL , dengan alasan peserta yang memasukan Dokumen Penawaran tidak ada yang lulus

Sebelum kita melihat beberapa struktur kode 19 dan surah yang berinisial dalam al-Quran, berikut kita kenali terlebih dahulu 29 surah berinisial beserta namanya, jumlah ayatnya,

Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir