• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA DI HUMBANG HASUNDUTAN. Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu desa Pandumaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA DI HUMBANG HASUNDUTAN. Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu desa Pandumaan."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA DI HUMBANG HASUNDUTAN

2.1 Keadaan Geografis Daerah Penelitian

Geografis daerah penelitian berlokasi di sebuah kampung kecil di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu desa Pandumaan. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang ibukotanya ialah Doloksanggul.

Kabupaten Humbang Hasundutan secara geografis terletak pada garis 2o1' 2o 28' Lintang Utara. 98o10o -98o58' Bujur timur yang terletak ditengah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan Luas Wilayah daratan: 250.271,02 Ha dan 1.494,91 Ha luas perairan (danau toba), dengan jumlah penduduk 171.650 jiwa. Secara administratif pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan, 1 Kelurahan dan 143 Desa dengan Suhu Udara berkisar antara 170 C - 290 C.14

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian bervariasi antara 330-2.075 Meter diatas permukaan laut, dengan perincian :

Datar = 278,75 Km2 (0 s/d 2 %) Landai = 491,63 Km2 (2 s/d 15 %) Miring = 1.066,50 Km2 (15 s/d 40 %) Terjal = 665,82 Km2 (40 s/d 44 %)

Kabupaten ini berada di jajaran Bukit Barisan dengan keadaan Tanah umumnya bergelombang. Merupakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk beberapa kabupaten : Dairi, Tapanuli Tengah dan Toba Samosir. Seperti layaknya daerah tropis lainnya, Humbang Hasundutan mengalami dua musim yaitu Hujan dan Kemarau. Selama tahun 2011 hujan cenderung lebih sering terjadi di Humbang

14

(2)

Hasundutan, dimana tercatat bahwa hujan terjadi sebanyak 208 hari dengan rata - rata curah hujan mencapai 228,76 mm setiap bulannya.

Banyak hal yang mempengaruhi curah hujan diantaranya adalah ketinggian tempat, arah angin, perbedaan suhu tanah (daratan) dengan lautan dan luas daratan. Oleh karena itu, curah hujan yang terjadi di Humbang Hasundutan juga berbeda - beda menurut bulan dan Kecamatan. Curah hujan tertinggi pada November yaitu 342,78 mm selama 22 hari. Berdasarkan kecamatan, rata - rata curah hujan tertinggi tahun 2011 terjadi di Kecamatan Pakkat (340,33 mm), sedangkan terendah di Kecamatan Baktiraja (140,50 mm).15

Sedangkan secara geografis letak Kabupaten Humbang Hasundutan diapit atau berbatasan langsung dengan empat kabupaten yaitu :

• Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, • Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Barat, • Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, dan • Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah.

15

(3)

Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara16

16

(4)

1. Gambar 2.2. Kabupaten Humbang Hasundutan17

17

(5)

Nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai berikut:

1. Kecamatan Paranginan 2. Kecamatan Lintong nihuta 3. Kecamatan Bakti Raja 4. Kecamatan Doloksanggul 5. Kecamatan Pollung 6. Kecamatan Sijamapolang 7. Kecamatan Onan Ganjang 8. Kecamatan Pakkat

9. Kecamatan Tara Bintang 10. Kecamatan Parlilitan

Kabupaten Humbang Hasundutan terdiri dari 10 Kecamatan dimana salah satunya adalah Kecamatan Pollung yang juga merupakan lokasi penelitian penulis, tepatnya di Kampung Pandumaan.

Kecamatan Pollung terletak antara 2o09-2o25o Lintang Utara dan 98o49o Bujur Timur dan berada 1300 meter diatas permukaan laut18

• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Harian Kabupaten Samosir . Kecamatan Pollung memiliki luas wilayah 32.736,46 Ha yang terdiri dari 13 desa dan 45 dusun yang berbatasan dengan :

• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bakti Raja • Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Doloksanggul • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan

18

(6)

Data statistik Kecamatan Pollung mengenai keadaan penduduk, pendidikan, pertanian, kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel-1. Jumlah penduduk per Desa di Kec.Pollung

No NAMA DESA KEPALA DESA JUMLAH PENDUDUK

Laki-laki perempuan Jumlah 1 Parsingguran I Hobby Banjarnahor 548 25 1.173 2 Hutapaung Jamotan Lumban Gaol 768 93 1.561

3 Pollung Trosky Banjarnahor 824 14 1.638

4 Hutajulu Saurma S Lumban Gaol 1.153 1.076 2.229

5 Ria-Ria Rosman Siregar 1.156 1.162 2.318

6 ParsingguraII Sabar Banjarnahor 1.054 1.061 2.115 7 Pansurbatu Pondis Lumban Batu 690 689 1.379 8 Aek Nauli I Jasihar Manullang 659 691 1.350 9 Aek Nauli II Sahat Lumban Gaol 630 726 1.356 10 Pandumaan BudimanLumban Batu 619 685 1.304 11 Sipituhuta Harianto Lumban Gaol 1.126 1.075 2.201

12 Pardomuan Harjo Lumban Gaol 273 230 503

13 Hutapaung Utara

Dippos Lumban Gaol 534 495 1.029

JUMLAH 10.034 10.122 0156

(7)

Tabel-2 Distribusi Sarana Pendidikan

TK SD SMP SMA SMK

5 19 4 1 1

Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014

Tabel-3 Distribusi Sarana Kesehatan

Rumah Sakit Puskesmas Pustu BPU Posyandu

- 1

Sumber :Kantor Camat Pollung, 2014

No Nama Kecamatan

Tanaman Kemenyan

Luas (ha) Produktifitas (ton)

1 Pakkat 57,00 16,53 2 Onan ganjang 1.039,00 294,25 3 Sijamapolang 529,00 125,25 4 Lintong Nihuta 0,00 0,00 5 Paraginan 0,00 0,00 6 Doloksanggul 1.403,00 416,99 7 Pollung 284,00 84,21 8 Parlilitan 818,00 357,09 9 Tarabintang 27,00 10,50 10 Baktiraja 0,00 0,00 TOTAL 4.221,00 1.304,82

(8)

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pollung khususnya di Desa Pandumaan keseluruhannya adalah etnis Batak Toba, sehingga kebudayaan yang ada dan dipakai oleh masyarakat ini adalah adat Batak Toba.

2.2.1 Struktur Kekerabatan

Struktur kekerabatan yang dimaksud penulis adalah hubungan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjunal). Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang (individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula sebaliknya19

Sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba secara umum menganut garis keturunan patrilineal, dimana marga (nama belakang yang menjadi tanda pengenal) keturunan dalam keluarga akan mengikuti marga si ayah yang juga berperan sebagai kepala keluarga. Namun meskipun garis keturunan mengikuti keturunan ayah, bukan berarti keturunan ibu tidak dianggap penting. Saudara laki-laki dari ibu yang dipanggil tulang (paman) oleh keturunannya bahkan memiliki status yang tinggi dalam adat batak. Status ini dikenal dengan nama hula-hula.

.

2.2.1.1 Kekerabatan berdasarkan keturunan

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Pandumaan tidak jauh berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain. Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada

tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga (klan),

dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah, patrilineal), seperti yang sudah dijelaskan di atas.

19

(9)

Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru. Dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan ini, dalam masyarakat Batak Toba, termasuk yang ada di desa Pandumaan, terdapat beberapa nama panggilan antara satu individu dengan individu lainnya yang masih tergolong dalam satu garis keturunan. Nama panggilan tersebut diantaranya adalah:

a. Inong, adalah nama panggilan untuk ibu yang melahirkan anak- anaknya.

b. Among, adalah nama panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku kepala rumah tangga

c. Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus kepada kakek kita, ayah dari ayah/ibu kita

d. Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus kepada nenek kita, ibu dari ayah/ibu kita

e. Gelleng, adalah Sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan). f. Anaha/sinuan tunas, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada

anaknya laki-laki

g. Boru/sinuaan beu, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anak perempuannya.

h. ito/iboto, adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya.

i. Anggi, adalah nama panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya laki-laki, dan juga panggilan antara anak perempuan dengan adik perempuannya.

j. Akkang, adalah nama panggilan kepada anak yang lebih muda kepadaanak yang lebih tua darinya, dalam konteks ini adalah mereka yang berjenis kelamin sama.

(10)

k. Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucu-cucunya.

Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berperan sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya, dan anak-anak yang dilahirkannya secara otomatis akan menyandang marga suaminya.

Apabila ada orang Batak pergi merantau dan diperantauan dia bertemu dengan suku Batak juga secara otomatis mereka martutur/martarombo dan apabila mereka semarga maka dia akan diperlakukan seperti keluarga di perantauan. Hal itu terjadi karena dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama (dongan tubu, dongan sabutuha). Pria dan wanita yang semarga disebut marito (abang beradik) dan sangat tidak dibenarkan untuk kawin/menikah.

Dari uraian ini dapat diketahui bahwa marga pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga juga sangat berperan dalam mengatur tata kehidupan masyarakat.

2.2.1.2 Kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan

Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan

dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri

dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak.

Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan

kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982).

Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama, ibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban diatasnya. Tiga batu

(11)

penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain.

Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula,

dongan tubu dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga yang

paling dihormati dan derajatnya paling tinggi. Hula-hula adalah pihak dari istri yaitu orangtua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagiaan, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba meyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “Tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya.

Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang

sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama. Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederajat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat.

Boru adalah keluarga yang memperistri anak perempuan dari suatu marga. Boru adalah parhobas (yang mempersiapkan) dalam acara adat. Boru lah yang selalu

sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perheletan atau pesta dari pihak hula-hula.

Ketiga unsur dalam dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang

(12)

hula-hulaakan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga

dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marbolu, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53).

Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah

kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (mmbujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan

tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan

selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan

tubu.

Dalam sistem kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan ini, juga terdapat nama panggilan antara masing-masing pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan, yang merupakan tambahan dari nama panggilan yang ada dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan, ada pun nama panggilan ini adalah sebagai berikut :

a. Hela, adalah panggilan kepada Menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari anak abang/anak adik kita.

b. Parumaen, adalan nama panggilan kepada Menantu Perempuan atau Istri ari anak kita laki-laki

c. Amang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua laki-lakinya

d. Inang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua perempuannya.

e. Lae, adalah panggilan kita (laki-laki) kepada anak laki-laki dari tulang kita, dan juga panggilan kita (laki-laki) kepada suami dari saudari kita yang perempuan.

(13)

f. Tunggane, adalah panggilan kepada Semua abang dan adik (laki-laki) dari isteri kita atau semua anak laki-laki dari tulang kita

g. Tulang, adalah panggilan kepada Abang atau adik (laki-laki) dari ibu kita, atau laki-laki yang satu marga dengan Istri kita.

h. Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang kita

i. Namboru, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ayah kita yang perempuan yang sudah Nikah ataupun belum.

j. Eda, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ipar sesama antara perempuan.

k. Amangbao / Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda mempelai perempuan.

l. Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau tunggane kita (abang/adik isteri)

m. Pariban, adalah nama panggilan kepada Putri dari Pihak Tulang kita atau satu marga dengan Tulang kita ataupun anak laki-laki dari Namboru kita.

2.3 Bahasa

Bahasa ialah sistem perlambangan manusia dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain

(Koentjaraningrat, 1986:39).

Desa Pandumaan Kecamatan Pollung merupakan salah satu daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan satu-satunya bahasa komunikasi yang dipergunakan masyarakat Batak yang menetap disana. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat setempat.

(14)

2.4 Sistem Religi

Kata religi dalam kamus sosiologi (Soerjono Soekanto, 1983:403) berasal dari kata religion yang berarti: kepercayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi mengenai hal-hal spiritual.

Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung mayoritas beragama Kristen Protestan dan sebagian lagi beragama Katolik. Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuataan gaib dan roh-roh orang yang telah meninggal (dinamisme). Benda-benda mati dipercayai memiliki kekuatan (roh) misalnya: gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib.

Orang Batak juga percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal, ada yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan penyakit atau malapetaka kepada manusia, dan ada yang bersifat memperbaiki diri dan ada roh yang ditakuti. Penghormatan dan penyembahan yang dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunannya.

Dari dulu sampai zaman modern sekarang ini masyarakat Batak tetap mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat Batak Toba mengenal tiga konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu:

1.Tondi

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena

itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari

(15)

2. Sahala

Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang

memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan

sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. 3. Begu

Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan

tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batakyaitu:

1. Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.

2. Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat-tempat tertentu 3. Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu

marga

4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi masih banyak orang Batak yang mempercayainya.

2.5 Sistem Mata Pencaharian

Kecamatan Pollung merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat yang tinggal di kecamatan ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan, dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti kopi, padi dan penyadap pohon haminjon (kemenyan) yang merupakan tumbuhan alami yang tumbuh disekitar desa tersebut. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru dan bekerja di pemerintahan. Namun sekalipun berprofesi sebagai guru dan

(16)

pegawai pemerintah, mereka juga melakukan kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan di saat senggang atau setelah pulang dari bekerja.

Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap kemenyan. Kemenyan ini diperoleh dari pohon haminjon yang masih tumbuh secara alami tanpa adanya niat untuk membudidayakan pohon haminjon tersebut. Di desa ini belum ada dijumpai orang yang membudidayakan pohon haminjon. Pohon haminjon yang disadap biasanya tumbuh di ladang milik orang. Panige harus minta ijin terlebih dahulu kepada pemilik ladang sebelum menyadap pohon kemenyan yang ada di ladangnya tersebut. Pemilik haminjon biasanya tidak pernah meminta atau mempermasalahkan pembagian dari hasil penjualan kemenyan tersebut nantinya. Semua tergantung dari

parhaminjon yang menyadap pohon haminjon di ladang pemilik tersebut mau

memberikan sebagian hasilnya atau tidak. 2.6 Kesenian

2.6.1 Seni musik

Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang biasanya mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai alat/instrumen musik. Menurut Hutajulu dan Harahap (2005:19), istilah penggunaan gondang bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiannya, misalnya:

1. Gondang hasahatan; kata gondang memiliki makna sebuah komposisi.

2. Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari

tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata

Sori”.

3. Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.

4. Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembahan. 5. Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna

(17)

Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba, yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune

bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang

terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune

etek (aerofon), dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini sudah jarang dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa

Pandumaan sampai saat ini. Masyarakat sudah memakai instrument kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap.

Penggunaan musik di desa Pandumaan ini juga terdapat digereja pada saat masyarakat ibadah, instrumen yang biasa dipakai adalah keyboard dengan menggunakan voice organ. Dalam beberapa iringan lagu tertentu, kadang mereka menggunakan instrument Gitar dan Seruling untuk menambahkan variasi musik tersebut.

2.6.2 Seni tari

Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba.

Pada masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan kegiatan martumba sudah tidak dilakukan lagi. Unsur hiburan lain seperti siaran televisi dan kemajuan jaman menjadi salah satu penyebab kegiatan ini tidak dilakukan lagi. Akan tetapi, tortor yang menjadi salah satu seni tari dari masyarakat batak toba masih dilakukan pada saat upacara perkawinan atau upacara adat kematian yang terdapat di desa Pandumaan.

(18)

2.6.3 Seni sastra

Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu:

1. Umpasa/umpama merupakan kata-kata (perumpamaan) yang berisi ajaran tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religius. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di masyarakat desa Pandumaan ini.

2. Tonggo-tonggo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan harapan. Tonggo ini masih terdapat dimasyarakat desa Pandumaan, khususnya bagi mereka petani kemenyan yang masih martonggo pada saat

manige (menyadap).

3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber dari berbagai mitos dan legenda. Legenda yang biasa diceritakan dalam masyarakat Desa Pandumaan adalah kisah tentang terjadinya Danau Toba,

Sitapi omas, dan Bongkahan emas di Dolok Pinapan, Namun menurut

Op.Besson Lumbangaol, turi-turian ini sudah jarang ditemukan di Desa Pandumaan.

4. Huling-huling ansa (marhutissa) adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi dan anak-anak usia sekolah di waktu senggang.

Umpasa/ umpama merupakan seni sastra yang masih terdapat pada

masyarakat yang ada di Desa Pandumaan sampai saat ini. Berdasarkan pengamatan penulis, umpasa/umpama sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan juga upacara adat kematian.

(19)

2.6.4 Seni Rupa

Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat (Harahap, 2005:12).

Ada beberapa contoh karya seni rupa yang masih dapat ditemui penulis dilapangan, diantaranya adalah ukiran patung-patung berbentuk manusia yang terdapat di makam-makam leluhur masyarakat setempat, dan juga ukiran-ukiran relief yang terdapat pada Padung (lumbung padi) oleh masyarakat desa Pandumaan.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara 16

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Pengadaan Polda Bali Pokja Konstruksi pada Biro Sarpras, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Karosarpras Polda Bali Nomor : Kep /07/XI/2015 tanggal 23

Hari Jumat tanggal 15 Januari 2016 peneliti menyerahkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) penelitian untuk dikonsultasikan. Hari ini juga mengambil soal tes yang

[r]

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti Proses pemilihan penyedia untuk pekerjaan Pengerasan/Paving Blok Jalan dan Halaman Pos

2. Meminimumkan biaya pemesanan dan biaya pengadaan persediaan barang Pada dasarnya laporan inventori dimaksudkan untuk mengajukan informasi mengenai keadaan atau kondisi

The impact of coastline changes will seriously affect to the natural environment and socio-economic who lived in coastal zone area.. It also will reduce water quality, ground water

an hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat mengubah bentuk suatu benda. 8.1 Mendeskripsikan energi panas dan bunyi yang terdapat di lingkungan sekitar

City Geographical Markup Language (CityGML); the idea of view frustum determining level of details could be improvised to allow efficient streaming protocol for spatial