• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban

Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir tahun anggaran, Kepala daerah

menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah yang

dilengkapi dengan penilaian kinerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada pasal

31 ayat 2 Undang- Undang No. 17 Tahun 2003 juga menjelaskan bahwa Laporan

Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja juga

menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.

Salah satu hal yang dapat dijadikan alat untuk menilai pertanggungjawaban

pemerintah daerah (gubernur atau bupati) adalah dengan melihat kinerja keuangan

daerahnya melalui perhitungan dan analisis terhadap target dan realisasi dari

penerimaan dan pengeluaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-nya

(APBD), baik dari sisi input, output, outcome, impact, dan benefit.

Seiring dengan perkembangan zaman pula, sistem pemerintahan di Indonesia

telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan ini adalah proses pencarian

formula yang tepat untuk melakukan sistem pemerintahan yang tepat. Dulu hal ini

terkenal dengan istilah government, governance hingga saat ini menjadi good

(2)

Otonomi daerah merupakan salah satu wujud nyata untuk mendukung

terselenggaranya good governance, karena dengan adanya otonomi daerah maka

pemerintah yang semula bersifat sentralisasi berubah menjadi desentalisasi, itu berarti

bahwa pemerintah memiliki hak untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri

sesuai dengan undang-undang dan pemerintah pun dapat mengoptimalkan

pembangunan daerah agar berjalan dengan baik. Salah satu bentuk baik atau tidaknya

pembangunan sebagai perwujudan dari good governance dapat dilihat dari segi

keuangan, sebagaimana negara juga pemerintah mengaturnya dalam Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2004 tentang Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Masyarakat menghendaki ada pertanggungjawaban mengenai pelaksanaan

kinerja sektor publik, termasuk kinerja Pemda Jawa Barat. Menurut Mardiasmo

(2002), Value for money (VFM) yang merupakan ekspresi pelaksanaan kinerja sektor

publik berdasarkan tiga elemen : yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ketiga hal

tersebut diatas merupakan elemen pokok dari konsep value for money. Penerapan

konsep Value For Money (VFM) penting bagi pemerintah sebagai pelayan

masyarakat, karena implementasi konsep tersebut akan memberi manfaat menilai: 1)

efektivitas pelayanan publik, 2) mutu pelayanan publik, 3) alokasi belanja yang lebih

berorientasi pada kepentingan publik, dan 4) meningkatkan public cost awareness

(3)

Dengan adanya sistem performance budgeting, setiap pengeluaran negara

dituntut untuk memiliki value for money yang optimal. Value for money adalah

sebuah terminologi yang menilai sejauh mana keuntungan maksimal yang diperoleh

organisasi dari penggunaan sumber daya yang tersedia.

Erlendsson (2002) mendefinisikan value for money adalah :

“a term used to assess whether or not an organisation has obtained the maximum benefit from the goods and services it both acquires and provides, within the resources available to it”.

Artinya yaitu:

“Value for money tidak sekedar memperhitungkan biaya yang dikeluarkan

dalam memproduksi barang atau jasa, namun juga menghubungkan biaya

dengan kualitas, penggunaan sumber daya, ketepatan waktu dan capaian

sasaran, dan aspek lainnya hingga produk dan jasa dapat memiliki nilai atau “value”.

Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa

keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang undangan ,

efisien , ekonomis, efektif , transparan dan bertanggung jawab dengan

memperhatikam keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat. Maka

Pemerintahan Provinsi Jawa Barat perlu memperhatikan lebih baik lagi agar kinerja

(4)

TABEL 1.1 EKONOMI Tahun Kota/Kabupaten Realisasi

Pendapatan Anggaran Pendapatan Rasio (%) 2007 Kab. Ciamis 1.052.791.391,00 1.138.897.182,77 92 Kab. Majalengka 747.247.306,00 765.514.570,40 98 2008 Kab. Ciamis 1.052.791.387,00 1.100.705.743,00 96 Kab. Cirebon 1.014.368.234,00 1.097.241.819,00 92 Kab. Garut 1.202.655.285,00 1.275.131.268,00 94 Kab. Kuningan 766.796.217,00 817.462.922,00 94 Kab. Majalengka 796.759.306,00 850.877.936,00 94 Kab. Purwakarta 564.495.061,00 613.850.889,00 92 Kota Cirebon 552.563.198,00 559.689.039,00 99 2009 Kab. Majalengka 966.481.044,00 994.188.000,00 97 2010 Kab. Purwakarta 848.949.139,00 926.967.776 92 Kota Bekasi 1.582.441.085,00 1.657.240.919 95 2011 Kab. Ciamis 1.362.234.737,00 1.382.692.736 99 Kota Bekasi 1.582.441.085,00 1.657.240.919 95 2011 Kab. Ciamis 1.362.234.737,00 1.382.692.736 99 Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah.

Berdasarkan Tabel diatas Kinerja Keuangan di Jawa Barat dalam tingkat

ekonominya masih banyak yang belum memenuhi rasio diatas 100% . Rata rata

Kota/Kabupaten diatas hanya memilihi rasio 95% yang berarti kinerja keuangannya

kurang ekonomi . Karena dilihat dari kriteria kineja keuangan jika diperoleh rasio

60% - 99% dikatakan kurang ekonomi, dan selaras dengan teori Mardiasmo (2002)

(5)

TABEL 1.2 EFISIEN

Tahun Kota/ Kabupaten Biaya

Realisasi Pendapatan Rasio (%) 2007 Kab. Bandung 1.351.912.000,00 1.851.603.232,05 73 Kab. Tasikmalaya 718.561.000,00 956.896.501,00 75 Kab. Kuningan 550.002.395,00 766.796.217,00 72 Kab. Majalengka 555.540.000,00 747.247.306,00 74 Kab. Ciamis 775.730.000,00 1.052.791.391,00 74 Kab. Cianjur 757.052.000,00 1.066.807.490,00 71 Kab. Cirebon 730.885.992,00 1.014.368.236,00 72 Kab. Garut 911.801.000,00 1.202.655.284,00 76 2008 Kab. Cirebon 730.885.992,00 1.014.368.234,00 72 Kab. Garut 911.801.000,00 1.202.655.285,00 76 Kab. Ciamis 775.730.000,00 1.052.791.387,00 74 Kab. Kuningan 550.002.396,00 766.796.217,00 72 Kab. Majalengka 600.795.440,00 796.759.306,00 75 2009 Kab. Kuningan 684.974.237,00 950.664.908,00 72 2010 Kab. Tasikmalaya 981.384.109,00 1.349.511.937,00 73 Kab. Majalengka 817.458.879,00 1.122.795.910,00 73 2011 Kab. Ciamis 953.515.826,00 1.362.234.737,00 70 Kab. Tasikmalaya 981.979.959,00 1.327.292.191,00 74 Kab. Majalengka 882.567.369,00 1.221.520.889,00 72

Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah.

Berdasarkan Tabel diatas dengan melihat perkembangan dan dihitung dengan

menggunakan Rasio Efisien dari tahun ke tahun kinerja finansial di Provinsi Jawa

Barat kurang efisien, bisa dilihat dari Rasio yang rata rata masih tinggi dan Menurut

(6)

kurang dari 1 atau semakin kecil rasio efisiensi berarti rasio kinerja akan semakin

baik, dan Kriteria dari kinerja keuangan yang memiliki nilai rasio 60% - 99%

dikatakan kurang efisien.

Tabel 1.3 EFEKTIF

Tahun Kota/Kabupaten Anggaran Pengeluaran Realisasi Pengeluaran Rasio (%) 2007 Kab. Garut 1.174.647.112,00 1.185.778.461,00 99 Kab. Karawang 1.049.282.343,00 1.052.226.000,00 99 Kab. Kuningan 730.371.661,00 744.820.000,14 98 Kab. Majalengka 788.749.322,00 808.033.721,00 97 Kab. Sumedang 771.522.670,00 782.247.567,00 98 Kota Tasikmalaya 509.991.372,00 534.863.201,17 95 2008 Kab. Indramayu 1.058.920.920,00 1.060.866.951,00 99 Kab. Sukabumi 1.203.542.915,00 1.245.147.219,00 96 Kab. Sumedang 887.137.523,00 905.768.891,00 97 Kota Tasikmalaya 601.640.396,00 636.029.992,87 94 2009 Kab. Bandung 1.704.152.000,00 1.746.674.817,38 97 Kab. Cianjur 1.230.945.000,00 1.238.556.022,48 99 Kab. Garut 1.345.088.000,00 1.414.967.696,00 95 Kab. Kuningan 849.687.000,00 854.737.145,00 99 Kab. Subang 1.045.615.000,00 1.074.026.971,00 97 Kota Sukabumi 521.106.000,00 557.821.518,00 93 Kota Tasikmalaya 623.745.000,00 687.947.280,19 90 2010 Kota Tasikmalaya 696.343.644,00 880.339.919,00 79 Kab. Ciamis 1.297.816.893,00 1.382.077.938,00 93 Kab. Cianjur 1.309.832.257,00 1.434.371.875,00 91 Kab. Karawang 1.478.725.476,00 1.548.841.832,00 95 Kab. Kuningan 1.009.871.494,00 1.127.654.918,00 89 Kota Sukabumi 500.384.788,00 568.645.337,00 88 Kota Banjar 319.154.801,00 384.144.291,00 83

(7)

2011 Kota Tasikmalaya 721.227.644,00 941.474.814,00 76 Kab. Sumedang 1.178.666.753,00 1.278.666.753,00 92

Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah.

Berdasarkan Tabel diatas Kinerja Keuangan di Jawa Barat dalam tingkat

efektif masih banyak yang belum memenuhi rasio diatas 100% . Rata rata

Kota/Kabupaten diatas hanya memilihi rasio 93% yang berarti kinerja keuangannya

kurang efektif . Karena Menurut kriteria kinerja keuangan bahwa nilai 60% - 99%

dikatakan kurang efektif dan selaras menurut teori dari Mardiasmo (2002) Dikatakan

efektif jika rasio dicapai sama dengan 100% atau diatas 100%.

Untuk menjaga akuntabilitas, hal tersebut tidaklah cukup. Setiap instansi

harus melaksanakan kegiatan melalui perencanaan yang lebih matang dan

pelaksanaan kegiatan yang terkendali. Tanpa kehati-hatian dan kesungguhan,

kegiatan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan mencapai outcome yang

diharapkan. Pembelanjaan uang negara yang tergesa-gesa umumnya akan mendorong

pengelola keuangan negara untuk melakukan kecurangan terhadap prosedur,

meremehkan perencanaan, menurunkan kualitas proses dan keluaran kegiatan, dan

pada akhirnya tidak tercapainya outcome kegiatan.

Jika rendahnya penyerapan anggaran disikapi dengan pemaksaan pelaksanaan

kegiatan yang tidak perlu, hal ini akan mendorong adanya kegiatan yang tidak jelas

arah dan sasarannya. Kedua bentuk ini mendorong penurunan kualitas belanja, dan

tentunya tidak memberikan value for money yang optimal. Kondisi di atas menjadi

(8)

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah diberi

keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang

dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Otonomi daerah merupakan

tantangan yang tidak ringan, karena otonomi daerah yang didasari atas kesadaran

bahwa peluang bagi daerah untuk membuktikan kemandiriannya.

Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan

dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada

pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada daerah akan diikuti oleh pengaturan pembagian,

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah (Soleh & Rochmansjah, 2010).

Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu

daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat

rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat

berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong

pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola

sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat

untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memepengaruhi

(9)

TABEL 1.4

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT TAHUN 2007-2011 (Ribu Rupiah) Tahun PDRB 2007 254.772.000.000 2008 268.870.000.000 2009 607.318.000.000 2010 682.304.000.000 2011 762.280.000.000

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat (Data diolah)

Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 25 kabupaten (Kabupaten Bandung

Barat tidak dihitung karena baru dimekarkan pada tahun 2007) yang memiliki PDRB

yang bervariasi dan dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi meningkat pada masing

masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Faktor Faktor yang menyebabkan

bervariasinya Pendapatan regional Bruto daerah di masing masing kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat juga cukup bervariasi, antara lain pengembangan sektoral yang

berbeda antar daerah, jumlah penduduk dan tenaga kerja yang berebeda antar daerah,

sumber sumber penerimaan yang berbeda antar daerah, dan lain sebagainya.

Konsekuensi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama

delapan tahun salah satunya dihadapkan pada fenomena semakin timpangnya tingkat

pembangunan di wilayah Indonesia. Pemerintah daerah harus memiliki

sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaran otonominya.

Daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal dalam pembangunan karena

ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Tantangan daerah

(10)

menggali potensi fiskal dari pajak dan retribusi daerah yang potensial , sehingga

berakibat pada perbedaan dalam penerimaan maupun pengeluaran antar daerah.

Negara membutuhkan belanja pemerintah semaksimal mungkin untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Dengan belanja Pemerintah,

sektor bisnis dapat bergerak dan terpicu untuk tumbuh kembang, bahkan pada

sektor-sektor tertentu, belanja pemerintah menjadi satu-satunya harapan. Pada sisi

lain, ketergesa-gesaan dan pemaksaan dalam melakukan kegiatan dan pengeluaran

belanja negara dapat meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan keuangan negara

atau rendahnya value for money. Sesuai ketentuan yang berlaku, setiap pengeluaran

belanja negara memiliki birokrasi yang panjang dan rumit, serta membutuhkan

kehati-hatian. Pengeluaran keuangan negara berupa belanja pegawai, belanja barang

dan jasa, dan belanja modal memiliki prosedur yang ketat agar tidak terjadi

penyimpangan.

Karena setiap pengeluaran keuangan negara akan diperoleh manfaat

sebesar-besarnya atau mendapatkan value for money bagi negara, yang selanjutnya akan

membawa dampak adanya pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya mewujudkan

kesejahteraan rakyat. Namun kondisi yang dihadapi pengelola keuangan saat ini

menjadi unik. Pengelola keuangan seperti dihadapkan pada pilihan yang sulit,

pertumbuhan ekonomi atau value for money

Berdasarkan uraian latar belakang dan Fenomena tersebut peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai kinerja keuangan menggunakan konsep Value

(11)

keuangannya sendiri dituangkan dalam bentuk APBD yang secara langsung

mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas

pemerintah, pembangunan, pelayanan sosial masyarakat dan terhadap pertumbuhan

ekonomi. Pemda Jawa Barat merupakan salah satu instansi pemerintah yang

diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya dan untuk mengetahui

penilaian kinerja Pemda Jawa Barat dan bermaksud menuangkannya kedalam bentuk

skripsi dengan judul: “Pengaruh Penilaian Kinerja Keuangan Menggunakan Konsep Value For Money Terhadap Pertumbuhan Ekonomi”

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya,

maka masalah yang dapat diidentifikasikan yaitu :

1. Apakah penilaian kinerja keuangan dengan menggunakan konsep Value For

Money berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi ?

2. Bagaimana penilaian kinerja keuangan Pemda Jawa Barat dengan menggunakan

konsep Value for Money ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian yang akan peneliti lakukan adalah untuk memperoleh

data dan informasi yang akan memberikan gambaran tentang penerapan konsep Value

for Money di Jawa Barat.

(12)

1. Mengetahui adanya pengaruh antara penilaian kinerja keuangan konsep Value

For Money dengan Pertumbuhan Ekonomi

2. Mengetahui penilaian kinerja finansial Pemda Jawa Barat dengan

menggunakan konsep Value for Money

1.4 Kegunaan Penelitian

Beberapa kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut

a. Kegunan Akademis

1. Bagi Penulis

Penelitian yang dilakukan secara langsung ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan tentang masalah yang akan diteliti yaitu penilaian kinerja

keuangan menggunakan konsep Value for Money di Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Barat.

2. Bagi pembaca

Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan dan digunakan sebagai

bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

(13)

Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Jawa Barat dalam penilaian kinerja

finansial Pemda Jawa Barat dengan menggunakan konsep Value for Money sebagai

salah satu sarana peningkatan kualitas kinerja yang dihasilkan.

1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dan pengumpulan data ini dilakukan pada Kantor Badan Pusat

Statistik jawa Barat yang berlokasi di Jl. P.H.H. Mustofa No. 43, Bandung 40124

Telp./Fax: (022)7272595, 7201696 / 7213572. Penelitian ini dilakukan dari bulan

Gambar

TABEL 1.1  EKONOMI  Tahun  Kota/Kabupaten  Realisasi
TABEL 1.2   EFISIEN
Tabel 1.3     EFEKTIF

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji statistik menunjukkan dari 30 orang pasien, terdapat 20 orang pasien yang memiliki efikasi diri tinggi dan kualitas hidup yang baik, dan dari 10 orang pasien yang

Metode pelatihan yang akan dipakai bisa dalam bentuk on the job training, yaitu dilakukan pada waktu jam kerja berlangsung, baik secara formal maupun

Komunitas mamalia pada hutan dataran rendah yang dibandingkan dengan hutan subalpin yang lebih tinggi dari hutan pegunungan memiliki nilai sebesar 0,14.. Perubahan ketinggian

Maka dari itu, Market Brief ini disusun sedemikian rupa untuk menjawab peluang yang terbuka dengan menyampaikan informasi-informasi terkait yang bermanfaat bagi

Pada tahun 2005 terjadi pemecahan dan penggabungan menjadi 3 (tiga) Kantor

Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian di LPKA Klas II Bandar Lampung, yang berlokasi di Masgar, Tegineneng, Kabupaten Pesawaran tentang kelayakan sistem

(Grönroos 2015, 133 – 134.) Tulkkauspalveluntarjoaja voisi esimerkiksi pyrkiä pettymyksen eh- käisemiseksi selkeyttämään, millaisessa roolissa tulkki toimii, jotta asiakas ei