• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL

BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR

TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

ENIKE RATNA SARI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA AREAL

BEKAS TEBANGAN DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR

TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

(Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

ENIKE RATNA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Perkembangan Tegakan Pada Areal Bekas Tebangan Dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)

Nama Mahasiswa : Enike Ratna Sari

NIM : E44062609

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS NIP 19450108 197603 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP 19641110 199002 1 001

(4)

RINGKASAN

ENIKE RATNA SARI. Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

PENDAHULUAN. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penerapan teknik silvikultur TPTII ini, sudah tentu akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur tegakan pada areal produksi akibat penebangan dan penjaluran untuk ditanami jenis unggulan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui keadaan tegakan pada areal bekas tebangan/LOA, khususnya pada LOA setelah 2 (dua) tahun, dan untuk mengetahui pertumbuhan jenis Shorea leprosula Miq. pada tahun kedua yang di tanam dengan teknik silvikultur TPTII.

METODOLOGI. Penelitian dilakukan pada tiga kondisi hutan, yaitu hutan primer (data sekunder) dan LOA TPTII 2 (dua) tahun (data primer). Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak dengan ukuran 100 m x 100 m. Dalam plot pengamatan dibuat subpetak untuk tingkat pohon 20 m x 20 m (20 m x 17 m setelah dilakukan kegiatan penjaluran), tingkat tiang 10 m x 10 m, tingkat pancang 5 m x 5 m, dan tingkat semai 2 m x 2 m. Data yang diambil untuk mengetahui pertumbuhan tanaman Shorea leprosula Miq. dalam jalur tanam adalah data diameter dan tinggi.

HASIL DAN KESIMPULAN. Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur pada suatu tegakan. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun perubahan komposisi dan struktur tegakan dapat dilihat dari penurunan nilai baik itu komposisi jenis, kerapatan, maupun frekuensi di LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Namun penurunan nilai tersebut tidak terlalu besar karena jumlah tegakan (pohon dan permudaan) di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih memenuhi kriteria sebagai hutan produktif. Struktur tegakan tinggal pada LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong normal dengan dicirikan oleh kurva jumlah individu per kelas diameter yang menyerupai J terbalik. Dominansi jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun juga masih didominasi oleh jenis komersial ditebang (KD). Keanekaragaman jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi hutan primer namun tingkat keanekaragamannya masih tergolong sedang karena memiliki nilai diatas 2,00. Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada tahun kedua menunjukkan nilai yang cukup tinggi karena memiliki persentase diatas 75% dengan rata-rata diameter dan tinggi masing-masing adalah 1,70 cm dan 262,20 cm.

(5)

SUMMARY

ENIKE RATNA SARI. Stand Development in the Area of Former Felling with Intensive Indonesian Selective Cutting and Planting (TPTII) (In the Area of IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Central Kalimantan). Under the supervisions of Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

INTRODUCTION. One of the silvicultural system applied in Indonesia is the Intensive Indonesian Selective Cutting and Planting (TPTII). TPTII is a silvicultural technique which is the development of Selective Cutting and Line Planting (TPTJ) system and enrichment planting from the TPTI system. The application of this silvicultural techniques, certainly will result in the changes of the composition and structure of stands in the area of production due to logging and routing for planting seed types. This research was conducted to determine the circumstances of stands in the logged over area (LOA), especially on LOA after 2 (two) years, and to determine the growth in the second year of Shorea leprosula Miq. which were implanted with TPTII silvicultural techniques.

METHODOLOGY. This research was conducted in three forest conditions, primary forest (secondary data) and LOA TPTII 2 (two) years (primary data). The method used is a terraced path method with size 100 m x 100 m. In the observations plot made subplot for tree level 20 m x 20 m (20 m x 17 m after the routing activities), the pole level 10 m x 10 m, the sapling level 5 m x 5 m, and the seedling level 2 m x 2 m. The data are taken to determine the growth of plant Shorea leprosula Miq. in the planting lines are the diameter and height data.

RESULTS AND CONCLUSIONS. The implementation of silvicultural techniques of TPTII result of changes in the composition and structure on a stand. On LOA TPTII 2 (two) years, the changes in composition and structure of the stands can be seen from the decline in value of species composition, density, and frequency of the LOA TPTII 2 (two) years compared with conditions in primary forest. However, the decline is not too large because the number of stands (trees and regeneration) in LOA TPTII 2 (two) years still meets the criteria as production forest. The structure of residual stand on LOA TPTII 2 (two) years is still relatively normal and it characterized by the number of individuals per diameter class curve that resembles a “J” reverse. Species dominance of LOA TPTII 2 (two) years are still dominated by commercial cut-down species (KD). The diversity of the LOA TPTII 2 (two) years was decreased when compared with primary forest conditions, but the level of diversity is still classified as having a value above 2,00. Life percentage of Shorea leprosula Miq. during the second year showed a relatively high value, because it has a higher percentage at 75% with an average diameter and height of each are 1,70 cm 262,20 cm.

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Enike Ratna Sari

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah). Skripsi ini berisi informasi tentang perkembangan tegakan yang terjadi di Logged Over Area (LOA) TPTII 2 (dua) tahun yang dibandingkan dengan kondisi pada hutan primer. Selain itu terdapat juga informasi tentang pertumbuhan tanaman Shorea leprosula Miq. dengan umur tanam 2 (dua) tahun.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Utama PT. Erna Djuliawati yang telah memberikan izin penelitian dan seluruh staf yang banyak membantu dalam pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan adik tercinta atas doa, kasih sayang, dan semangat yang diberikan, serta rekan-rekan yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 September 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Heru Prasetyo dan Sumarmi. Jenjang pendidikan formal pertama ditempuh penulis di SD Negeri Semplak 2 Bogor pada tahun 1994-2000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor pada tahun 2000-2003. Pada tingkat menengah atas, penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam himpunan profesi mahasiswa silvikultur, Tree Grower Community (TGC), sebagai staf Project Division pada tahun 2008-2010. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain adalah Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2008, Belantara Departemen Silvikultur tahun 2008, TGC in Action tahun 2009, dan Planting for Future tahun 2009. Penulis juga dipercaya untuk menjadi asisten praktikum mata ajaran Dendrologi dan Ekologi Hutan.

Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturraden dan Cilacap pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah pada tahun 2010.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Perkembangan Tegakan pada Areal Bekas Tebangan dengan Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Di Areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas Berkat dan Kasih Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada:

1. Keluarga Tercinta, Bapak (Heru Prasetyo), Mama (Sumarmi), serta Kedua Adik (Hermawan Cahya Setiaji dan Cristian Febrianto), yang selalu mendoakan serta memberikan dukungan dan kasih sayang yang tidak ada hentinya kepada penulis;

2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta banyak memberikan ilmu dan masukan-masukan berharga kepada penulis;

3. Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Dr. Ir. Achmad, MS selaku Ketua Sidang atas ilmu serta segala kritik dan saran yang diberikan kepada penulis;

4. Keluarga Besar PT. Erna Djuliawati Logging Unit II Kalimantan Tengah, Bapak Eka Kusdiandra, Bapak Edward Vincent Pattiata, Bapak Teddy Christianto, Bapak Aspin Simarmata, Bapak Budi Harsana, Bapak Nixon, Tim Penelitian (Bapak Budiarjo, Bang Okta, Bang Budi PU, Bang Pius, Bang Dedy, dll.), serta keluarga besar Camp DPH KM 95 atas kerjasama, keramahtamahan, serta rasa kekeluargaan yang banyak diberikan kepada penulis selama praktek;

5. Mas Ruli Endriadi, atas segala bantuan dan masukan yang diberikan kepada penulis agar skripsi ini segera selesai;

6. Keluarga besar Laboratorium Ekologi Hutan, Bapak Cecep Kusmana, Bapak Iwan Hilwan, Bapak Istomo, Bapak Dadan Mulyana, Ibu Mudiani, dan Bibi Era atas ilmu yang diberikan, rasa kekeluargaan, serta semua kebaikan dan bantuan yang diberikan selama ini;

7. Keluarga besar Departemen Silvikultur (Dosen dan Staf) atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan selama kuliah;

(10)

8. Teman-teman satu bimbingan, Esty Kusuma Rahmasari (enyit), Putri Kartika Sari, Sambang Parinda, dan Dedy Wahyudi (decil) atas kebersamaan, semangat, dan segala bantuan yang diberikan selama ini;

9. Teman-teman seperjuangan Silvikultur 43: Belinda Bunganagara, Dwita Noviani, Laura Flowrensia, ‘Bundo’ Yauvina, Luqman Noor Hakim, Niechi Valentino, Asep Hendra, Tina Maretina, Nuri Fathia, Dessy C. Lestari, Lika Aulia Indina, Nur Trianna, Anindita Julian, Ariani Ichtisinii, dll. atas kebersamaan, kekompakan, serta kegilaan yang pernah dilakukan bersama. I’ll be missing all of you guys!!

10. Ratna Jamilah dan Permana Zainal, atas kebersamaan, persahabatan, dan canda tawa selama ini serta setiap bantuan yang diberikan saat pengambilan data;

11. Helga “emon” Sugiarti, atas kebersamaan dan persahabatan selama ini, serta semua keluh kesah yang boleh penulis curahkan, makasiiiih emoonch!! 12. Keluarga besar Silvikultur, angkatan 42 (bang Kristian, teh Gina, bang Iyum,

ka PM, dll.), 44, 45, dan 46;

13. Teman-teman FAHUTAN 43 atas kebersamaanmya dalam keluarga Fahutan; 14. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 3 1.3. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis ... 4

2.2. Suksesi ... 5

2.3. Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ... 7

2.4. Pertumbuhan Tanaman ... 8

2.5. Kondisi Ekologis Shorea leprosula Miq. ... 9

2.6. Sifat Fisik Tanah dan Sifat Kimia Tanah ... 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2. Objek dan Alat ... 13

3.3. Metode Pengambilan Data ... 13

3.3.1. Analisis Vegetasi ... 13

3.3.2. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam ... 15

3.3.3. Pengambilan Contoh Tanah (Fisik dan Kimia) ... 15

3.4. Analisis Data ... 16

3.4.1. Analisis Vegetasi ... 16

3.4.1.1. Indeks Nilai Penting (INP) ... 17

3.4.1.2. Indeks Dominansi ... 17

3.4.1.3. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 18

3.4.1.4. Indeks Kekayaan Jenis ... 18

3.4.1.5. Indeks Kemerataan Jenis ... 19

3.4.1.6. Koefisien Kesamaan Komunitas ... 19

3.4.2. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam ... 20

3.4.3. Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 20

BAB IV KONDISI UMUM 4.1. Kondisi Fisik dan Administrasi ... 21

4.2. Topografi dan Kelerengan ... 21

4.3. Geologi dan Tanah ... 22

(12)

4.5. Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi ... 25

4.6. Hidrologi ... 26

4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan ... 28

5.1.1. Komposisi Jenis ... 28

5.1.2. Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis ... 30

5.1.3. Dominansi Jenis ... 33

5.1.4. Struktur Tegakan ... 39

5.2. Indeks Dominansi ... 41

5.3. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 42

5.4. Indeks Kekayaan Jenis ... 44

5.5. Indeks Kemerataan Jenis ... 46

5.6. Kesamaan Komunitas ... 47

5.7. Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam ... 48

5.7.1. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam ... 48

5.7.2. Perbandingan Rata-Rata Diameter dan Tinggi Shorea Leprosula Miq. ... 51

5.8. Analisis Tanah ... 52

5.8.1. Sifat Fisik Tanah ... 52

5.8.2. Sifat Kimia Tanah ... 55

5.9. Hubungan Antara Kondisi Tanah dengan Perkembangan Tegakan di Jalur Antara dan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam ... 56

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 60

6.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Kelas lereng dan topografi ... 22

2. Formasi geologi ... 22 3. Jenis tanah PT Erna Djuliawati ... 23 4. Rata-rata curah hujan dan hari hujan di sekitar areal kerja IUPHHK PT.

Erna Djuliawati ... 24 5. Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di

sekitar areal IUPHHK PT Erna Djuliawati ... 25 6. Luas penutupan vegetasi dirinci menurut TGHK ... 25 7. Monografi desa binaan PT. Erna Djuliawati tahun 2008 ... 26 8. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII

2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan ... 28 9. Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan

dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi ... 30 10. Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat

permudaan pada hutan primer ... 34 11. Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat

permudaan pada LOA TPTII 2 tahun ... 35 12. Indeks Nilai Penting (INP) berdasarkan kelompok jenis pada plot

pengamatan ... 38 13. Nilai Indeks Dominansi (C) pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2

(dua) tahun berdasarkan tingkatan pertumbuhan ... 41 14. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada hutan primer dan LOA TPTII 2

(dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya ... 43 15. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada hutan primer dan LOA TPTII 2

(dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya ... 44 16. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua)

tahun berdasarkan tingkat permudaannya ... 46 17. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTII 2

(dua) tahun ... 47 18. Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII

dengan umur tanaman 2 (dua) tahun ... 49 19. Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula

Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun ... 51 20. Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2

(dua) tahun ... 52 21. Hasil pengukuran sifat kimia tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2

(14)

No. Halaman 1. Petak pengamatan analisis vegetasi ... 14

2. Kerapatan jenis komersial ditebang yang ditemukan pada plot pengamatan 31 3. Frekuensi jenis komersial ditebang pada plot pengamatan ... 32 4. Struktur tegakan pada kondisi hutan primer ... 39 5. Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan (LOA) dengan teknik

silvikultur TPTII setelah 2 (dua) tahun ... 40 6. Kondisi jalur tanam pada pengukuran tahun kedua ... 50

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Daftar nama jenis yang ditemukan di plot penelitian... 68

2. Daftar jenis pohon komersial dalam cruising PT. Erna Djuliawati ... 69 3. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer

dengan kelerengan datar (0-15%) ... 73 4. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan

primer dengan kelerengan datar (0-15%) ... 74 5. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer

dengan kelerengan datar (0-15%) ... 75 6. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer

dengan kelerengan datar (0-15%) ... 76 7. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer

dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 78 8. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan

primer dengan kelerengan sedang (15-25%)... 79 9. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer

dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 80 10. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer

dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 81 11. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada hutan primer

dengan kelerengan curam (> 25%) ... 83 12. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada hutan

primer dengan kelerengan curam (> 25%) ... 84 13. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada hutan primer

dengan kelerengan curam (> 25%) ... 85 14. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada hutan primer

dengan kelerengan curam (> 25%) ... 86 15. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) ... 87 16. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA

TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) ... 88 17. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan datar (0-15%) ... 89 18. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2

(16)

19. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 91 20. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA

TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 92 21. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 93 22. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan sedang (15-25%) ... 94 23. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) ... 95 24. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang pada LOA

TPTII 2 (dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) ... 96 25. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) ... 97 26. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon pada LOA TPTII 2

(dua) tahun dengan kelerengan curam (> 25%) ... 98 27. Dokumentasi penelitian ... 100 28. Peta lokasi penelitian di areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati ... 102

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara & Indrawan, 1998). Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable), hutan tetap harus dijaga dan dikelola dengan baik berdasarkan pada tiga prinsip dasar kelestarian hutan, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial.

Hutan sebagai suatu ekosistem alam memiliki fungsi dan manfaat yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia, baik itu secara ekologis, ekonomis, maupun sosial. Namun dalam beberapa dekade belakangan ini, hutan di Indonesia telah mengalami degradasi akibat illegal logging, perladangan, illegal mining, serta kebakaran hutan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan berupa kayu yang tidak diikuti dengan kegiatan penanaman kembali juga menjadi salah satu penyebab cepatnya hutan di Indonesia mengalami degradasi.

Indrawan (2008) menyebutkan bahwa sejarah eksploitasi hutan alam primer di Indonesia dimulai sejak lahirnya Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya peraturan dan undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada pihak pengusaha untuk mengusahakan hutan alam menjadi hutan produksi untuk dapat memenuhi permintaan akan bahan baku kayu gergajian dan kayu lapis yang cukup tinggi.

Untuk tetap menjaga dan mendorong tercapainya hutan yang mampu menjalankan fungsinya secara ekonomis dan ekologis, maka diperlukan suatu sistem dalam pengelolaan hutan alam produksi. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan mengembangkan sekaligus menerapkan suatu sistem dan teknik

(18)

silvikultur yang wajib dilaksanakan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Sutisna, 2001). Sedangkan teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan (Elias, 2009). Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 antara lain berupa pemilihan jenis unggul, pemuliaan pohon, penyediaan bibit, manipulasi lingkungan, penanaman, dan pemeliharaan.

Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up. Pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m2 (Indrawan, 2008).

Dengan diterapkannya sistem silvikultur TPTII ini, sudah tentu akan menyebabkan terjadinya perubahan terhadap komposisi dan struktur tegakan pada areal produksi akibat penebangan dan penjaluran untuk ditanami jenis unggulan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui keadaan tegakan pada areal bekas tebangan/LOA, khususnya pada LOA setelah 2 (dua) tahun, dan untuk mengetahui pertumbuhan jenis Shorea leprosula Miq. yang di tanam dengan teknik silvikultur TPTII tahun kedua, serta dapat membandingkan data yang diperoleh pada penelitian ini dengan data pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama.

(19)

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pelaksanaan kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati; 2. Mengetahui perkembangan tegakan serta rata-rata diameter dan tinggi

tanaman Shorea leprosula dengan umur tanam t+2 pada 3 (tiga) tingkat kelerengan, yaitu datar (0-15%), sedang (15-25%), dan curam (> 25%).

1.3. Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang perkembangan tegakan setelah 2 (dua) tahun kegiatan penebangan dan pemanenan serta rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. dengan umur tanam t+2 yang dilaksanakan dengan teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU dan 10o LS (Vickery, 1984). Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar 2000-4000 mm per tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas 25-26 oC dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%.

Mulyana et al. (2005) mendefinisikan hutan hujan tropis sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (biasanya jauh lebih tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara tertutup.

Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto 2006).

Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi 3 (tiga) zone, yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl), dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Pada hutan hujan bawah, jenis kayu penting yang biasanya mendominasi di hutan ini berasal dari suku Dipterocarpaceae dengan genus seperti Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Selain itu, terdapat juga genus-genus lainnya seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Koompasia, Octomeles, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).

(21)

Sedangkan pada hutan hujan tengah, jenis kayu umum yang sering dijumpai terdiri dari suku Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hamamelidaceae, dan lain-lain. Sementara pada hutan hujan atas, jenis kayu utamanya terdiri dari Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998).

Komponen penyusun hutan hujan tropis terdiri dari 2 (dua) macam komponen, yaitu abiotik dan biotik. Menurut Ewusie (1980), komponen penyusun abiotik terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, angin, cahaya, dan karbondioksida. Sedangkan komponen biotik yang menyusun hutan hujan tropis antara lain adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.

2.2. Suksesi

Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere (Soerianegara & Indrawan, 1998).

Gopal dan Bhardwaj (1979) menyebutkan bahwa suksesi adalah perubahan langsung secara keseluruhan pada selang waktu lama, bersifat kumulatif, di dalam komunitas tertentu, dan terjadi pada tempat yang sama. Suksesi secara keseluruhan berkembang sebagai akibat dari interaksi organisme-organisme dengan lingkungannya. Perubahan selama suksesi terjadi akibat pengaruh faktor-faktor eksternal seperti input unsur hara. Suksesi terjadi sebagai proses perkembangan komunitas yang sesuai dengan hukum alam.

Waktu berlangsungnya suksesi tergantung pada siklus hidup sebagian besar organisme dalam ekosistem. Suksesi terrestrial dimulai terbentuknya endapan abu vulkanik baru sampai terbentuknya hutan dalam ukuran dekade sampai abad (McNaughton & Wolf, 1977).

Shukla dan Chandel (1982) menyatakan bahwa evolusi komunitas tanaman melibatkan beberapa proses penting, diantaranya adalah:

(22)

b. Migration including initial colonisation, yaitu cara dimana tumbuh-tumbuhan sampai pada daerah yang terbuka, bisa dalam bentuk germules, propagulae, atau migrules. Biji atau benih tumbuhan tersebut tersebar ke daerah-daerah tersebut terbawa oleh angin, aliran air, hewan-hewan tertentu, manusia, glasier, dan sebagainya;

c. Ecesis, yang merupakan proses perkecambahan, pertumbuhan, berkembang biak dan menetapnya tumbuhan baru tersebut. Sebagai hasil ecessis individu-individu dari spesies tumbuh baik di suatu tempat. Tanaman pertama yang tumbuh pada area yang baru tersebut dinamakan pioner colonisers;

d. Agregation, dimana pada awalnya tanaman-tanaman pionir berada dalam jumlah yang sangat sedikit dan tumbuh secara berjauhan dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, individu-individu tersebut berkembang dan menghasilkan struktur reproduktif yang akan tersebar disekelilingnya dan setelah berkecambah akan membentuk kelompok (beragregasi). Ada dua tipe agregasi, yaitu Simple Agregation dan Mixed Agregation;

e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses dimana daerah kosong ditempati spesies yang berkoloni, spesies tersebut akan berhubungan satu sama lainnya. Hubungan yang terjadi dapat membentuk tiga tipe, yakni exploitation, mutualism, dan Co-existence;

f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang, pada tempat tersebut biji tumbuh dan menetap;

g. Reaction, yaitu terjadi perubahan habitat yang disebabkan oleh tumbuhan itu sendiri. Kondisi ini sebagai dampak dari interaksi antara vegetasi dan habitat. Reaction merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada individu yang baru. Dengan demikian, reaction memiliki peranan yang sangat penting didalam pergantian jenis tumbuhan.

h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi yang sudah dapat dikatakan relatif konstan;

(23)

i. Klimaks, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan struktur vegetasi konstan, karena pembentukkan jenis dominan telah mencapai batas. Jenis dominan dari komunitas klimaks hampir mendekati harmonis dengan habitat dan lingkungannya.

Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Dalam masyarakat yang telah stabilpun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon yang tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan. Demikian, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang mengembalikan keadaan kepada keseimbangan (Soerianegara & Indrawan, 1998).

2.3. Teknik Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, penggantian suatu tegakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu, atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu. Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan atau tipe hutan, sifat fisik, struktur, komposisi, tanah topografi, pengetahuan profesional rimbawan, dan kemampuan pembiayaan (Troup 1966 dalam Departemen Kehutanan 1992).

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonessia Intensif (TPTII) adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari TPTII adalah (Departemen Kehutanan, 2005):

a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah;

b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 (lima) kali, kualitas produk lebih baik;

(24)

c. Target produksi bisa lebih fleksibel tergantung pada investasi tanaman; d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik; dan

e. Kemampuan perusahaan meningkat.

2.4. Pertumbuhan Tanaman

Menurut Sitompul dan Guritno (1995) pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Davis dan Jhonson (1987) juga mendefinisikan pertumbuhan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter) disebut pertumbuhan sekunder (secondary growth).

Nyakpa et al. (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu peranan penting dari faktor genetis adalah kemampuan suatu tanaman untuk berproduksi tinggi. Potensi hasil yang tinggi serta sifat-sifat lainnya seperti ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit berhubungan sangat erat dengan susunan genetik tanaman. Faktor lingkungan yang diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan antara lain adalah suhu, ketersediaan air, energi surya, mutu atmosfer, struktur dan komposisi udara tanah, reaksi tanah, serta organisme tanah.

Diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Davis & Jhonson, 1987).

Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor lingkungan dan 1 (satu) faktor genetik yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat

(25)

genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon (Davis & Jhonson, 1987).

Laju pertumbuhan pohon tropis biasanya diukur dengan perubahan dimensi berdasarkan lingkar batang atau diameter. Pohon tropis dapat lebih mudah diukur dan akurat dengan pengukuran pertumbuhan rata-rata yang dimulai dari pengukuran awal (Gardner et al. 1991)

2.5. Kondisi Ekologis Shorea leprosula Miq.

Dipterocarpaceae merupakan kelompok kayu perdagangan utama (meranti dan balau (Shorea), mersawa (Anisoptera), keruing (Dipterocarpus) dan kapur (Dryobalanops)). Batangnya silinder, dan banyak yang mencapai ukuran sangat besar, 30 m atau lebih (tinggi bebas cabang).

Menurut Ashton (1982), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpadeae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Diantara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpadeae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa), Cotylelobium, Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam), Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna (Alrasyid et al. 1991).

Shorea leprosula Miq. memiliki nama lokal meranti merah atau meranti tembaga (Indonesia) dan beberapa nama daerah seperti kontoi bayor, lempung kumbang, engkabang (Kalimantan), meranti, banio, ketuko (Sumatra), dan kayu bapa (Maluku). Penyebaran alami S. leprosula terdapat di semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatra hingga Kalimantan (Joker, 2002).

Pohon S. leprosula dapat mencapai tinggi 60 meter dengan tinggi bebas cabang mencapai 35 meter dan diameter sampai 175 cm (Sutarno & Riswan, 1997). Batangnya mempunyai kulit luar yang berwarna abu-abu atau coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal. Penampangnya berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda, kayu gubal berwarna kuning muda sampai kemerah-merahan, kayu teras berwarna coklat muda sampai merah (Heyne, 1987). Cabang-cabangnya besar,

(26)

tumbuh secara horizontal, jumlahnya tidak banyak dan cepat gugur. Ranting-rantingnya banyak dan halus. Daunnya tunggal berbentuk bulat telur sampai jorong (Sastrapradja et al. 1977), panjangnya 8-14 cm dan lebar 3,5-5,5 cm (Lemmens & Soerianegara 1994). Tangkai daun berbulu halus lebat, panjangnya 1-2 cm (Prawira & Tantra, 1986). Pada daun yang muda terdapat domatia mulai dari pangkal ibu tulang daun sampai hampir di ujungnya membentuk semacam garis (Rudjiman, 1997). Permukaan atas daun berwarna hijau dan licin, sedangkan permukaan bawah kelabu, coklat atau kekuning-kuningan serta tertutup oleh bulu yang sangat rapat.

Kayu S. leprosula mempunyai kerapatan 300-865 kg/m3 pada kadar kelembaban 15% (Lemmens & Soerianegara, 1994). Kayu S. leprosula termasuk kelas awet III-V dan kelas kuat II-IV, mudah dikerjakan, tidak mudah pecah atau mengkerut. Kayunya terutama dipakai untuk vinir dan kayu lapis, disamping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan dan dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan, peti pengepak, peti mati dan alat musik (Martawijaya et al. 1981). Resinnya yang sering disebut damar daging dihasilkan diantara akar-akarnya digunakan sebagai bahan obat. Kulitnya dipakai untuk bahan pewarna (Sutarno & Riswan, 1997).

2.6. Sifat Fisik Tanah dan Sifat Kimia Tanah

Tanah merupakan suatu media tumbuh bagi tanaman yang memiliki fungsi sebagai tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara lateral atau horizontal maupun secara vertikal. Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur dan struktur), sedangkan stabilitas ukuran ruang ini tergantung pada konsistensi tanah terhadap pengaruh tekanan. Kerapatan porositas tersebut menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara (drainase dan aerasi) (Hanafiah, 2005).

Menurut Hanafiah (2005) tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi relatif antara fraksi pasir (berdiameter 2,00 – 0,20 mm), debu (berdiameter 0,20 – 0,002 mm), dan liat (berdiameter < 0,002 mm). Berdasarkan kelas teksturnya maka tanah

(27)

digolongkan menjadi: (i) tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir (mengandung minimal 70% pasir atau bertekstur pasir atau pasir berlempung), (ii) tanah bertekstur halus atau tanah berliat (mengandung minimal 37,5% liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir), (iii) tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung. Peran dari tekstur tanah sendiri akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan ini memiliki bentuk, ukuran, dan kemantapan yang berbeda-beda (Hardjowigeno, 2003).

Bulk density atau bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat suatu tanah makin tinggi bulk density, yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya bulk density berkisar antara 1,1 – 1,6 g/cc (Hardjowigeno, 2003).

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang poreus berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk-keluar tanah secara leluasa (Hanafiah, 2005).

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Selain H+, di dalam tanah dapat ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Nilai pH berkisar antara 0 – 14 dengan pH 7 disebut netral sedangkann pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis (Hardjowigeno, 2003).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan banyaknya kation yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g). kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. KTK dinyatakan dalam

(28)

satuan miliekuivalen per 100 g (me/100 g). KTK merupakan sifat kimia tanah yang berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK

(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Mei 2010 dan berlokasi di petak GG-39 pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.

3.2. Objek dan Alat

Objek penelitian ini adalah kondisi hutan sebelum dilakukan penebangan atau hutan primer yang berupa data sekunder, serta analisis vegetasi menggunakan plot permanen di areal bekas tebangan TPTII dengan umur tanaman t+2 pada jalur bersih/antara. Pengukuran plot tersebut dilakukan pada tiga kelas kelerengan yang berbeda di tiap petaknya, yaitu kelerengan datar (0-15%), kelerengan sedang (15-25%), dan kelerengan curam (> (15-25%), dimana luas masing-masing plot permanen tersebut adalah satu hektar.

Alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah peta kerja, kompas, pita diameter (phiband), meteran jahit, kaliper, haga hypsometer, patok, tali rafia atau tambang, golok, ring tanah, kantong plastik, kamera, tally sheet, dan alat tulis.

3.3. Metode Pengambilan Data 3.3.1. Analisis Vegetasi

Analisa vegetasi dilakukan pada kondisi hutan bekas tebangan TPTII dua tahun (HBT TPTII 2 tahun). Pada lokasi penelitian dibuat plot pengamatan permanen berukuran 100 m x 100 m berdasarkan tiga kelerengan yang berbeda, yaitu kelerengan datar, sedang, dan curam. Pada masing-masing kelerengan dibuat tiga plot pengamatan permanen. Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan subpetak contoh dengan ukuran sebagai berikut:

1. Tingkat pohon dengan ukuran petak 20 m x 20 m; 2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 m x 10 m;

(30)

100 m 100 m 20 m 20 m 17 m Jalur tanam lebar 3 m A B C D 17 m

3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 m x 5 m; dan 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 m x 2 m.

Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisa vegetasi dengan cara nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara & Indrawan 1998). Dengan demikian berdasarkan pengamatan tersebut dapat diketahui komposisi dan struktur tegakan yang dominan pada plot pengamatan di kelerengan datar, sedang, dan curam.

Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, serta diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlahnya saja. Metode pengambilan data yang dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1.

(31)

Keterangan:

A = subpetak intensif untuk tingkat semai (2 m x 2 m); B = subpetak intensif untuk tingkat pancang (5 m x 5 m); C = subpetak intensif untuk tingkat tiang (10 m x 10 m); dan

D = subpetak intensif untuk tingkat pohon setelah kegiatan penebangan dan penjaluran (20 m x 17 m).

3.3.2. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Persentase hidup mencerminkan jumlah tanaman Shorea leprosula Miq. yang hidup yang terdapat dalam plot contoh penelitian, dalam hal ini yang ditanam di jalur tanam. Persentase hidup anakan pada jalur tanam dinyatakan dalam persen (%). Data yang dikumpulkan untuk menentukan Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. yang terdapat di jalur tanam adalah jumlah tanaman yang ditanam di jalur tanam dan jumlah tanaman yang hidup pada akhir pengukuran.

3.3.3. Pengambilan Contoh Tanah (Fisik dan Kimia)

Pengukuran sifat fisik tanah dilakukan dengan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Sifat fisik tanah yang diamati dari contoh tanah yang diambil antara lain tekstur tanah, bobot isi, ruang pori, dan kadar air. Adapun cara pengambilan tanah tidak terusik adalah sebagai berikut (Balai Penelitian Tanah, 2004):

1. Lapisan tanah bagian atas diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah;

2. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah;

3. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm;

4. Tanah di sekitar tabung digali;

(32)

6. Kedua tabung dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan; dan

7. Tabung ditutup dengan tutup plastik.

Untuk menganalisa sifat kimia tanah (pH tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro), diambil contoh tanah terusik dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004) yaitu sebagai berikut:

1. Tentukan tempat atau titik pengambilan contoh tanah individu;

2. Bersihkan permukaan tanah dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah;

3. Cangkul tanah tersebut sedalam lapisan olah (20 cm), kemudian pada sisi yang tercangkul, tanah diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan sekop atau cangkul;

4. Campur dan aduk contoh tanah individu tersebut dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik (ini merupakan contoh tanah komposit);

5. Beri label yang berisi keterangan tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi pengambilan contoh tanah, dan kedalaman contoh tanah.

Untuk pengambilan contoh tanah komposit pada penelitian dilakukan pada tiga titik pada tiap kelerengan. Berat contoh tanah yang diambil adalah 250 gram dari setiap petak pengamatan.

3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Vegetasi

Untuk mengetahui gambaran tentang komposisi jenis dan struktur tegakan hutan, dilakukan perhitungan terhadap parameter yang meliputi indeks nilai penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kesamaan komunitas. Pengolahan data hasil analisis vegetasi meliputi:

(33)

3.4.1.1. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974).

INP merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR) (Soerianegara & Indrawan 1998).

FR

KR

INP

(untuk tingkat semai dan pancang); dan

DR

FR

KR

INP

(untuk tingkat tiang dan pohon) Dimana: a. Kerapatan (K) sampel areal Luas jenis suatu individu Jumlah K b. Kerapatan Relatif (KR) 100% jenis seluruh Kerapatan jenis suatu Kerapatan KR   c. Frekuensi (F) plot seluruh Jumlah jenis suatu ditemukan plot Jumlah F d. Frekuensi Relatif (FR) 100% jenis seluruh Frekuensi jenis suatu Frekuensi FR   e. Dominansi (D) sampel areal Luas jenis suatu LBDS Jumlah D f. Dominansi Relatif (DR) 100% jenis seluruh Dominansi jenis suatu Dominansi DR   3.4.1.2. Indeks Dominansi

Indeks dominansi adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya dominansi (penguasaan) suatu jenis dalam suatu komunitas. Nilai Indeks Dominansi menggambarkan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai

(34)

indeks tertinggi adalah 1 (satu), yang menunjukan bahwa tegakan tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis. Jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka indeks dominansi akan mendekati 0 (nol).

Untuk mengetahui indeks dominansi suatu jenis dapat digunakan rumus Simpson sebagai berikut (Misra 1973):

       2 N ni C

Dimana, C = indeks dominansi;

ni = jumlah individu jenis ke-i; dan N = jumlah total individu seluruh jenis.

3.4.1.3. Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman jenis dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Indeks keanekaragaman yang paling banyak digunakan dalam ekologi komunitas adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Ludwig & Reynold 1988). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

                    S 1 i n ni .ln N ni H'

dimana, H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener; S = jumlah jenis;

ni = jumlah individu jenis ke-i; dan N = jumlah total individu seluruh jenis.

 

3.4.1.4. Indeks Kekayaan Jenis

Untuk mengetahui indeks kekayaan jenis dapat digunakan rumus Margallef sebagai berikut:

(35)

N ln 1 S R1  

dimana, R1 = indeks kekayaan jenis Margallef; S = jumlah jenis; dan

N = jumlah total individu seluruh jenis.

Berdasarkan Magurran (1988), kekayaan jenis suatu komunitas dianggap rendah apabila nilai R1-nya < 3,5. Apabila nilai R1 = 3,5-5,0 maka hal tersebut menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang. Jika nilai R1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut dianggap tinggi.

3.4.1.5. Indeks Kemerataan Jenis

Rumus untuk menghitung indeks kemerataan jenis yang secara umum paling banyak digunakan adalah (Ludwig & Reynold 1988):

S ln

H' E

dimana, E = indeks kemerataan jenis;

H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener; dan S = jumlah jenis.

Berdasarkan Magurran (1988), besaran E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis yang rendah. Apabila besaran E = 0,3-0,6 maka besaran tersebut menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang. Besaran E dapat dikatakan menunjukkan kemerataan jenis yang tinggi jika nilai E > 0,6.

3.4.1.6. Koefisien Kesamaan Komunitas

Indeks kesamaan atau index of similarity (IS) diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, beberapa unit sampling, atau beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. Besar kecilnya IS dapat menggambarkan tingkat kesamaan komposisi jenis dan struktur dari dua tegakan, unit sampling, atau komunitas yang dibandingkan. Rumus untuk menghitung IS adalah sebagai berikut:

100% b a 2W IS   

(36)

dimana, IS = koefisien kesamaan komunitas (index of similarity);

W = jumlah dari nilai penting yang sama atau terendah ( ≤ ) dari suatu jenis yang terdapat dalam dua tegakan (komunitas) yang dibandingkan;

a = total nilai penting dari tegakan (komunitas) pertama; dan b = total nilai penting dari tegakan (komunitas) kedua.

3.4.2. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Tingkat mortalitas semai ditentukan dengan rumus berikut:

100% ET ET ET Hidup % 0 n 0

  

dimana, ∑ET+0 = jumlah tanaman pada awal penanaman; dan ∑ET+n = jumlah tanaman yang mati pada akhir pengukuran.

3.4.3. Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Pengukuran sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di laboratorium tanah Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(37)

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1. Kondisi Fisik dan Administrasi

Dilihat secara geografis letak areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati terletak pada 00°52’30” sampai dengan 01°22’30” LS dan 111°30’00” sampai dengan 112°07’30” BT. Luas total areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 15/Kpts-IV/1999, tanggal 18 Januari 1999 ialah sebesar ± 184.206 Ha (PT. Erna Djuliawati, 2009)

Berdasarkan Pembagian daerah aliran sungai, maka areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati terletak di kelompok hutan Sungai Salau–Sungai Seruyan. Secara administrasi Pemangkuan Hutan, termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyan Hulu, Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Seruyan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah (PT. Erna Djuliawati, 2009).

4.2. Topografi dan Kelerengan

Keadaan areal kerja IUPHHHK PT. Erna Djuliawati seluruhnya merupakan lahan kering yang berada pada ketinggian 111 m - 1.082 m diatas permukaan laut, dengan kondisi topografi yang berkisar antara datar hingga sangat curam. Secara umum pengelompokkan kelas lereng berdasarkan Laporan Pemotretan Udara, Penataan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan Pemeriksaan Areal Kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati Yang dilaksanakan oleh APHI/PT. Mapindo Parama dan yang telah memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal INTAG No. 038/97 pada Bulan November 1997. Adapun pengelompokan luasan areal PT Erna Djuliawati berdasarkan kelas lereng dan topografi terdapat dalam tabel 1.

(38)

Tabel 1 Kelas lereng dan topografi

Kelas

Lereng Kemiringan Topografi

Luas (Ha) (%) A 0 - 8% Datar 43.247 23,48 B 8 - 15% Landai 60.880 33,05 C 15 - 25% Agak Curam 49.009 26,61 D 25 - 40% Curam 28.998 15,74 E > 40% Sangat Curam 2.072 1,12 Jumlah 184.206 100,00

Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja IUPHHK PT Erna Djuliawati skala 1 : 50.000 (PT Mapindo Parama/APHI), Laporan Pemotretan Udara, Pemetaan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan pemeriksaan lapangan Areal Kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati.

4.3. Geologi dan Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmanit benua (94,05%) dan sedikit batuan alas kerak benua (5,95%). Formasi Geologi areal kerja IUPHHK PT Erna Djuliawati dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Formasi geologi

No. Formasi Geologi Luas

Ha %

1 Batuan Alas Kerak Benua 10.960 9,95

Batu sabak, batu tanduk filit, kuarsit sekis, magmatit, gunung sapi malih, amfibolih Batuan Magmatit Benua

2 Tonalit, granodiolit, granit, diorite kuarsa,

diorite, dan gabro

156.575 85,00

3 Lava, breksi, tufa, dan aglomerat 16.671 9,05

Jumlah 184.206 100,00

Sumber: Peta Geologi Indonesia lembar Banjarmasin skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung 1994.

Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor tahun 1993, areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah antara lain ialah jenis tanah latosol (44%) dan podsolik merah kuning (56%). Jenis tanah yang terdapat di PT. Erna Djuliawati secara lengkap dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

(39)

Tabel 3 Jenis tanah PT. Erna Djuliawati Kode Tanah Jenis Tanah Fisiografi Bahan Induk Kepekaan Terhadap Erosi Luas USDA (1990) PPT (1983) SK Mentan (1980) (Ha) (%) 15

Dystropets KambisolDistrik

Latosol Perbukitan Intrusi Plutonik Masam Agak Peka 78.103 42,4 Kandiudults Podsolik Kandik

Kandiudos Oksisol Haplik

16

Dystropets KambisolDistrik

Latosol Pegunungan Intrusi Plutonik Masam Agak Peka 2.948 1,6 Kandiudults Podsolik Kandik

Kandiudos Oksisol Haplik

20

Dystropets KambisolDistrik

Podsolik Merah

Kuning Dataran

Plutonik

Masam Peka 103.155 56

Kandiudults Podsolik Kandik Kandiudos Oksisol Haplik

Jumlah 184.206 100,00

Sumber: Peta Tanah Pulau Kalimantan Skala 1:1.000.000, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, 1993.

4.4. Iklim dan Intensitas Hujan

Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja IUPHHHK PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson Sebagian besar wilayahnya termasuk tipe hujan A (0-14,3%) dan sedikit tipe hujan B (14,3-33,3%).

Dengan mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan di Camp Departemen Pembinaan Hutan (DPH) PT. Erna Djuliawati selama 9 tahun (2001-2009), dapat diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar ± 3.117 mm dengan rata-rata jumlah hari hujan 117 hari, sehingga diperoleh nilai intensitas hujan sebesar ± 26,7 mm. Nilai rata-rata curah hujan selama 9 tahun dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

(40)

Tabel 4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di sekitar areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati

Sumber: Stasiun Pengamatan Curah Hujan Camp Departemen Pembinaan Hutan (DPH) IUPHHK PT Erna Djuliawati Prop. Dati I Kalimantan Tengah (2001-2009).

Suhu udara rata-rata adalah 26,4°C dengan kisaran suhu bulanan antara 26,1°C – 29,7°C. Suhu udara yang tergolong rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dengan suhu rata-rata sebesar 26,1°C. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu mencapai 29,7°C. Rata-rata kelembaban udara bulanan yang terjadi ialah sebesar 85% dengan kisaran antara 83%-87%. Adapun kecepatan angin rata-rata ialah 4,2 km/jam, dengan kisaran antara 3,6 km/jam – 5,4 km/jam. Kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 5,4 km/jam, sedangkan untuk kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli. Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di sekitar areal IUPHHK PT. Erna Djuliawatidapat dilihat pada tabel 5 berikut. BULAN CH & HH 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata IH Januari CH 278.3 435.5 219.8 333.1 294.1 246.1HH 11 14 10 14 14 9 17 5 8 11 353 74.8 235.8 280.17 25.2 Februari CH 132.4 227.2 129.1 129.1 287.9 343.1HH 10 7 11 11 16 17 11 4 7 10 339.5 73.0 175.5 234.71 23.7 Maret CH 164.3 365.3 292.9 215.0 326.3 300.7HH 8 11 11 13 14 13 8 19 12 12 153 566.7 385.4 293.31 25.1 April CH 287.3 377.2 380.3 433.9 191.7 214.0HH 9 8 11 12 16 13 15 12 8 11 489.7 285.6 310.5 343.17 30.4 Mei CH 201.3 210.1 79.8 297.4 231.4 264.3HH 7 5 10 10 12 13 11 8 7 9 274.7 284.8 277.5 227.05 25.5 Juni CH 160.2 355.1 114.3 132.5 225.5 282.9 256.3 326.9 150.8 230.17 25.3 HH 6 7 6 6 12 14 17 9 7 9 Juli CH 181.0 49.0 80.6 343.1 245.1 46.8 371 415.6 205.9 201.16 27.2 HH 4 3 5 18 13 3 12 8 4 7 Agustus CH 65.0 20.1 146.1 0 125.1 0 152.3 503.6 69 123.42 25.7 HH 3 1 8 0 8 0 8 13 3 5 September CH 574.2 137.2 129.9 234.3 313.3HH 12 5 8 11 12 1 8 3 2 6.8 5.3 217.5 99.2 80 200.92 29.6 Oktober CH 313.1 40.2 573.8 167.1 408.2HH 7 4 14 9 17 3 10 6 14 10 26.3 358.9 269.6 391.5 290.06 30.2 November CH 342.4 366.3 347.2 353.3 417.0 409.7HH 12 11 14 16 19 15 15 17 16 14 442 575.5 254.6 377.48 26.8 Desember CH 129.4 371.3 372.7 413.1 248.7 369.0HH 6 11 8 24 13 12 13 6 22 12 404.6 223.8 409.8 314.79 26.0 Jumlah CH 2.829 2.995 3.112 3.052 3.314 2.608 3812.5 3703.1 2946.3 3117.0 26.7 HH 95 87 116 144 166 113 145 110 110 117

(41)

Tabel 5 Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di sekitar areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati

Sumber: Stasiun Meteorologi Klas II Nanga Pinoh Balai Wilayah II, Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan (1991-2000).

4.5. Tipe Hutan dan Penutupan Vegetasi

Tipe hutan yang terdapat di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati secara keseluruhan merupakan hutan hujan tropika dataran rendah yang didominasi oleh kelompok dari jenis-jenis Dipterocarpaceae. Keadaan penutupan lahan di areal kerja terdiri dari hutan primer seluas ± 50.299 Ha (27.31 %), Hutan Bekas Tebangan seluas ± 103.158 Ha (56.00 %), areal tidak berhutan (non hutan) seluas ± 25.846 Ha (14.03 %), Buffer Zone Hutan Lindung seluas ± 1.964 Ha (1.07 %), dan Kawasan Lindung seluas 2.939 Ha (1.60 %). Luas masing-masing strata hutan, yang dikelompokkan menurut fungsi hutan disajikan dalam tabel 6 berikut ini.

Tabel 6 Luas penutupan vegetasi dirinci menurut TGHK

No. Penutupan Lahan Fungsi Hutan Jumlah (Ha) Persentase (%) HPT (Ha) HP (Ha)

1 Hutan Primer 50.299 - 50.299 27.31

2 Hutan Bekas Tebangan 98.002 5.156 103.158 56.00

3 Non Hutan 25.527 319 25.846 14.03

Jumlah 173.828 5.475 179.303 97.34

Buffer Zone Hutan Lindung 1.964 1.07

Kawasan Lindung 2.939 1.60

Jumlah Total 184.206 100.00

Sumber: Peta Citra Landsat 7 ETM + Band 542 path/row 120/61 liputan 13 April 2007 Skala 1 : 100.000.

Nomor Bulan Suhu Udara (°C) Kelembaban Udara (%) Kecepatan Angin (km/jam) 1. Januari 26.1 86 4.1 2. Februari 26.1 85 4.3 3. Maret 26.1 87 5.4 4. April 26.1 86 4.7 5. Mei 26.8 86 3.6 6. Juni 26.5 86 3.6  7. Juli 26.9 86 3.6  8. Agustus 29.2 83 4.1 9. September 29.3 83 4.7 10. Oktober 29.7 84 4.7 11. November 29.3 84 4.3 12. Desember 29.3 86 4.4 Rata-rata 26.4 85 4.2

(42)

4.6. Hidrologi

Areal kerja PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Salau  4.922 Ha, DAS Seruyan  84.721 Ha, DAS Kaleh  8.836 Ha, DAS Manjul  74.656 Ha dan DAS Salau Hulu  11.072 Ha. Adapun sungai-sungai besar yang mengalir melalui kawasan IUPHHK PT. Erna Djuliawati ialah S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau. Ketiga sungai tersebut dapat mengalir terus menerus sepanjang tahun (PT. Erna Djuliawati, 2009).

4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah desa yang terletak didalam IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati terdapat sebanyak 14 desa yang menyebar disepanjang daerah aliran sungai Seruyan dan Manjul. Sebagian besar mata pencaharian penduduk desa adalah bertani dengan jenis mayoritas padi dan palawija/sayuran serta bertumpu pada sistem perladangan berpindah. Masyarakat desa juga mengandalkan perburuan satwa liar untuk menambah penghasilan, terutama perburuan jenis babi hutan dan payau. Monografi pertumbuhan kondisi sosial ekonomi masyarakat di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati terdapat pada tabel 7.

Tabel 7 Monografi desa binaan PT. Erna Djuliawati tahun 2008

No. Uraian Total

I 1 2 3 4 MONOGRAFI Luas Areal Penduduk - Jumlah Penduduk - Jumlah Jiwa

Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur a. 0 – 10 th

b. 10 – 15 th c. 15 – 25 th d. 30 th ke atas

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Agama a. Islam b. Kristen Protestan c. Kristen Katolik d. Hindu Kaharingan Mata Pencaharian a. Petani b. Pedagang c. Pegawai Negeri d. ABRI e. Pertukangan 1.681 895 3.977 1.177 464 723 1.614 2.032 1.945 1.004 1.094 159 1.720 3.783 22 36 - 26

(43)

Tabel 7 (lanjutan)

No. Uraian Total

5 6 II III 1 2 f. Swasta Tingkat Pendidikan a. SD b. SLTP c. SLTA d. Sarjana Sarana dan Prasarana

a. Jalan darat b. Jalan sungai c. Posyandu d. Sekolah - Jumlah sekolah - Jumlah Guru - Jumlah murid e. Masjid f. Gereja g. Balai Saranah h. Balai Pertemuan i. Angkutan/ Transportasi - Sepeda - Kendaraan Bermotor - Sampan - Kelotok/ Ketinting - Lain-lain j. Olahraga k. Kesenian Daerah POTENSI DAERAH a. Lahan Kering b. Lahan Basah c. Peternakan d. Perikanan e. Kerajinan f. Dll

SOSIAL EKONOMI BUDAYA Sosial Ekonomi

a. Pendapatan rata-rata/ bulan b. Sumber Pendapatan - Berladang - Pertanian Menetap - Perikanan - Atap Sirap - Rotan - Lain-lain Budaya a. Adat Istiadat

b. Sistem Kepemilikan Lahan c. Tokoh Masyarakat d. Tokoh Adat e. Tokoh Agama 73 2.473 214 154 5 353 197 2 18 45 692 2 5 5 12 18 452 210 14 22 29 1.428 108 9.245 466 17 6.350.000 5.100.000 1.150.000 - 5.475.000 6.615.000 8.470.000 66 33 35 Sumber: Data Departemen PMDH Tahun 2008.

(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis

Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas atau tegakan yang telah terganggu. Dengan mengetahui komposisi jenis tersebut, maka dapat diketahui juga perkembangan tegakan yang telah berlangsung pada komunitas yang terganggu tersebut. Apabila komposisi jenis pada tegakan tersebut sudah mendekati kondisi awal, dalam hal ini mendekati kondisi pada hutan primer, maka dapat dikatakan bahwa kondisi tegakan tersebut telah pulih.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak GG-39 pada areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah, pada kondisi hutan primer dan bekas tebangan/logged over area (LOA) setelah 2 (dua) tahun dengan teknik silvikultur TPTII yang diukur pada 3 (tiga) kelas kelerengan yang berbeda, maka diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda untuk tiap tingkatan permudaannya. Hasil dari analisis vegetasi untuk komposisi jenis yang terdapat di petak GG-39 dapat dilihat di tabel 8.

Tabel 8 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan

Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis

Semai Pancang Tiang Pohon

Primer Datar (0-15 %) 25 38 36 47

Sedang (15-25 %) 36 38 43 51

Curam (> 25 %) 38 36 35 47

Rata-rata 33 37 38 48

LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 16 21 39 48

Sedang (15-25 %) 22 27 41 44

Curam (> 25 %) 24 27 37 52

Rata-rata 21 25 39 48

Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif).

Gambar

Tabel 1  Kelas lereng dan topografi  Kelas
Tabel 3  Jenis tanah PT. Erna Djuliawati  Kode  Tanah Jenis Tanah  Fisiografi  Bahan Induk  Kepekaan Terhadap  Erosi  Luas USDA  (1990)  PPT  (1983)  SK  Mentan (1980)  (Ha) (%)  15  Dystropets  KambisolDistrik  Latosol  Perbukitan  Intrusi  Plutonik
Tabel 4  Rata-rata curah hujan dan hari hujan di sekitar areal kerja IUPHHK PT.
Tabel 5  Keadaan suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin bulanan di  sekitar areal IUPHHK PT
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu, faktor penurut karena Tukul Arwana dalam berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa yaitu bahasa Indonesia,

Para calon ahli psikologi dapat membuat diagnosis sebagai latihan untuk tugas2. Diagnosa mengenai

Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan kurang efektif dan kurang tepat sasaran, yang disebabkan terbatasnya pegawai dan informasi

Biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan terbitnya Keputusan ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Nomor: DIPA-083.01.1.017216/2017 tanggal 7

Peran partisipasi pada organisai koperasi merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan maju mundurnya suatu Koperasi, baik partisipasi kontributif

Hasil jerami kedua varietas tersebut nyata lebih tinggi pada perlakuan tanpa olah tanah dengan pemberian bahan organik, baik berupa jerami segar maupun pupuk kandang.

Menurut Kurniawan (2010:4) “PHP merupakan script untuk pemrograman webserver-side, script yang membuat dokumen HTML, secara on the fly, dokumen HTML yang dihasilkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui saluran pemasaran tahu dan tempe, untuk mengetahui struktur pasar yang terjadi pada setiap saluran pemasaran tahu dan tempe,