• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMAKAI JASA ANGKUTAN LAUT DI PELABUHAN JAYAPURA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMAKAI JASA ANGKUTAN LAUT DI PELABUHAN JAYAPURA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMAKAI

JASA ANGKUTAN LAUT DI PELABUHAN JAYAPURA

Oleh : Yuliana Beatrich Udam Mahasiswa Program Strata Satu Fakultas Hukum Universitas YAPIS Papua

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen pemakai jasa angkutan laut di pelabuhan Jayapura dan untuk mengetahui upaya hukum bagi penumpang yang mengalami kerugian pada transportasi angkutan laut. Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian Hukum normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Penelitian Nomatif digunakan untuk mengkaji data sekunder berupa Peraturan Perundang-Undangan, dan Pendapat Para Ahli Hukum Perdata. Sedangkan Penelitian Hukum Empiris digunakan untuk menggali yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen Pemakai Jasa Angkutan Laut Di Pelabuhan Jayapura.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan bahwa perlindungan hukum konsumen penumpang kapal laut masih menunjukkan banyak kelemahan, baik secara yuridis normatif maupun empiris. Kelemahan itu mencakup aturan-aturan hukum fomal belum secara penuh melindungi konsumen penumpang kapal laut.

Bahwa upaya hukum bagi penumpang yang mengalami kerugian pada transportasi laut adalah melalui litigasi dan nonlitigasi. Jalur litigasi melalui pengadilan dan non litigasi yaitu melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau melalui lembaga yang di bentuk pemerintah yang khusus menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu badan penyelesaian sengketa konsumen.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Konsumen, Jasa angkutan, Pelabuhan Jayapura.

PENDAHULUAN

Sebagai Negara kepulauan dan negara yang sedang berkembang dalam menjalin hubungan dengan luar negeri maka Indonesia sangat membutuhkan jasa pengangkutan untuk menghubungkan pulau yang satu dengan pulau yang lain dan Negara lain. Kondisi dan keadaan seperti itulah yang mengakibatkan jasa pengangkutan menjadi sangat penting.1

Pengangkutan merupakan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital karena didasari oleh berbagai faktor.baik geografis maupun kebutuhan yang tidak dapat dihindari dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi,ilmu pengetahuan,dan teknologi. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil berupa daratan serta sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut,sungai,dan

(2)

danau. Di atas terotorial daratan dan perairan tersebut membentang pula teritorial udara yang semuanya itu merupakan wilayah negara Indonesia yang sangat luas. Keadaan wilayah negara Indonesia yang demikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan,baik melalui daratan, perairan, maupun udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia bahkan ke negara-negara lain.

Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan di Indonesia makin meningkat sesuai dengan lajunya pembangunan fisik ataupun psikis serta perkembangan penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh pulau yang di selingi laut. Namun,di sisi lain,infrastruktur dan sarana pengangkutan masih jauh dari terpenuhi,bahkan kondisi pengangkutan melalui tiga jalur darat,laut,dan udara yang ada kini masih belum memenuhi persyaratan secara wajar atau sudah tidak sesuai lagi dengan sistem pengangkutan modern dengan menggunakan alat pengangkut modern yang digerakakn secara mekanik.

Kemajuan dan kelancaran pengangkut akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan pembangunan,pemerataan pembangunan,dan pendistribusian hasil pembangunan berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air Indonesia, misalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata,dan pendidikan. Pelaksanaan pembangunan dan penyebaran hasil pembangunan yang menumpuk pada daratan pulau-pulau tertentu saja. Sebaliknya,pembangunan di daratan pulau-pulau lainnya terabaikan, seperti yang terjadi di Pulau Papua dan daerah pelosok yang sulit di jangkau oleh pengangkutan modern. Kondisi demikian akan memperluas anggapan masyarakat dengan ungkapan “daerah yang belum tersentuh pembangunan daerah yang sangat sulit dijangkau oleh budaya maju,bahkan daerah yang masih primitif”. Keadaan ini bukan memperkuat asas persatuan dan kesatuan bangsa,melainkan sebaliknya akan menjadi ancaman bumerang bagi persatuan dan kesatuan bangsa itu sendiri. Jangan terulang lagi meluas ke daerah-daerah lain di bumipertiwi tercinta ini akibat pincangnya pelaksanaan pembangunan,khususnya pembangunan di sektor pengangkutan dan hukum pengangkutan.

Lancarnya pengangkutan berarti mendekatkan jarak antara kota dan desa, dan ini akan memberi dampak bahwa untuk bekerja di kota tidak harus pindah ke kota. Mereka yang tinggal di kota tidak perlu khawatir bekerja di daerah luar kota. Arus pengangkutan dan informasi timbal balik yang cukup lancar dan cepat antara kota dan desa. Ini berarti bahwa kehidupan sejahtera di kota akan dinikmati juga oleh kehidupan di desa melalui jalur pengangkutan dan imformasi yang lancar.

Pola hidup di daerah hidup di daerah pedesaan cenderung mengikuti pola hidup di daerah perkotaan. Tingkat berpikir dan ingin maju warga pedesaan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat berpikir dan ingin maju warga perkotaan. Dengan kata lain, pembangun di sektor pengangkutan merupakan upaya pemerataan kesejateraan masyarakat dan harus mendapat tempat yang layak dalam pembangunan Nasional.2

Pembangunan di Sektor pengangkutan mendorong perkembangan pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pengangkutan modern,prasarana dan sarana.Infrastruktur pengangkutan modern,dan hukum pengangkutan modern

(3)

terutama mengenai pengangkutan melalui railway, jalan raya perairan,dan udara termasuk sumber daya manusia di bidang pengangkutan, serta infrastruktur pengangkutan. Di bidang pendidikan pengangkutan dan hukum pengangkutan menjadi objek kajian ilmu tersendiri di samping ilmu-ilmu lainnya. Teknologi pengangkutan yang serba modern kini seharusnya menjadi fokus pembangunan jangka panjang sampai ke anak cucu. Agar terjadi pengangkutan dengan kapal,perlu diadakan perjanjian pengangkutan terlebih dahulu antara Perusahan Pengangkutan Perairan dan penumpang atau pemilik barang, yang dibuktikan dengan dengan karcis penumpang atau dokumen pengangkutan perairan.Perusahan Pengangkutan Perairan wajib mengangkut penumpang atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. Mengenai biaya pengangkutan laut dengan kapal.setelah penyerahan barang di tempat tujuan,penerima harus membayar biaya pengangkutan sesuai dengan dokumen penyerahan barang.Namun,dapat diperjanjikan bahwa biaya pengangkutan dibayar terlebih dahulu oleh pengirim.hal ini dapat dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) indonesia bahwa pengangkut tidak berhak menahan barang (retensi) sebagai jaminan biaya pengangkutan yang belum dibayar. Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalulintas kapal,penumpan,barang, keselamatanberlayar serta tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen pemakai jasa angkutan laut di pelabuhan Jayapura?

2. Bagaimana upaya hukum bagi penumpang yang mengalami kerugian pada transfortasi angkutan laut?

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian Hukum normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Penelitian Nomatif digunakan untuk mengkaji data sekunder berupa Peraturan Perundang-Undangan, dan Pendapat Para Ahli Hukum Perdata. Sedangkan Penelitian Hukum Empiris digunakan untuk menggali yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen Pemakai Jasa Angkutan Laut Di Pelabuhan Jayapura.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengertian Perlindungan Konsumen

Ketentuan-ketentuan yang tersebar dalam beberapa pasal pada buku III bab III antara lain dalam pasal 1365 yang menegaskan bahwa “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain,mewajibkan orang

(4)

yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.3

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesi menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah Hak atas kenyamanan,keamanan,dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang atau jasa.

a. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang di janjikan.

b. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.4 Hak untuk mendapatkan kompensasi,ganti rugi dan atau penggantian,apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimanan mestinya.

Pengertian Umum Tentang Konsumen

Didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah Konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen (UUPK) yang menyatakan bahwa konsumen adalah “ setiap orang pemakai barang dan /jasa yang tersedia didalam masyarakat. Baik bagi kepentingan sendiri,keluarga,orang lain maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Istilah konsumen berasal dari ahli bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),atau consumer itu tergantung dari posisi ia berada. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” istilah ini dapat dijumpai dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata akan tetapi pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli.

Sedangkan menurut pendapat W.J.S Poewodarminata mengemukakan yang dimaksud dengan konsumen adalah pemakai barang-barang hasil produksi dari suatu industri. Dalam Undang-undang di Indonesia istilah konsumen sebagai devinisi yuridis ditemukan pada Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 1 ayat 2” konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga,orang lain,maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Umum Tentang Barang Atau Jasa

Adapun pengertian atau makna dari barang dan/atau jasa5,dalam

Undang-undang No.8 tentang perlindungan konsumen memberikan devinisi juga dari barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak,dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan yang diperdagangkan dipakai digunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, sedangkan

3

R.Subekti & Titrosudibio,”Kitab Undang-undang Hukum Perdata’’Buugerliik Wetbook, 4

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo.Hukum Perlindungan Konsumen.2011 5W.J.S .Poerwodarminata,”Kamus Bahasa Indonedsia”,Pisbinbag Bahasa,Balai

(5)

pasal 1 ayat 5, menyatakan bahwa jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan bagi konsumen. Dana pengertian konsumen menurut Undang-undang N0.8 tentang pelaku usaha yang diberikan oleh undang-undang No.8 tentang pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-undang ini,dimana pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara.

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pemakai Jasa Angkutan Laut Di Pelabuhan Jayapura

Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan laut terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan pelayaran dalam hal ini PT. Pelni Jayapura dan pihak konsumen pemakai jasa angkutan laut atau penumpang. Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu perjanjian yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi, yang biasa dikenal dengan istilah “ prestasi”. Prestasi dalam hukum perjanjian adalah pelaksanaan dari isi perjanjian yang telah diperjanjikan menurut tata cara yang telah disepakati bersama. Menurt hukum di Indonesia ada beberapa model prestasi antara lain; memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Dalam hukum pengangkutan, kewajiban pengangkut antara lain mengangkut penumpang dan/atau barang dengan aman, utuh dan selamat sampai di tempat tujuan, memberikan pelayanan yang baik, mengganti kerugian penumpang dalam hal adanya kerugian yang menimpa penumpang, memberangkatkan penumpang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lain-lain. Sedangkan kewajiban penumpang adalah membayar ongkos pengangkutan yang besarnya telah ditentukan, menjaga barang-barang yang berada dibawah pengawasannya, melaporkan jenis-jenis barang yang dibawa terutama barang-barang yang berkategori berbahaya, mentaati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pengangkut yang berkenaan dengan pengangkutan. Hak dan kewajiban para pihak tersebut biasanya dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian pengangkutan.

Secara teoritis, perjanjian pengangkutan merupakan suatu perikatan dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain sedangkan pihak lainnya, menyanggupi untuk membayar ongkosnya.6 Ketentuan tentang pengangkutan tersebut juga berlaku di

dalam kegiatan pengangkutan atau transportasi laut, dalam hal ini pengangkut atau pihak perusahaan pelayaran untuk mengangkut penumpang dengan aman dan selamat sampai di tempat tujuan secara tepat waktu, dan sebagai konpensasi dari pelaksanaan kewajibannya tersebut maka perusahaan pelayaran mendapatkan bayaran sebagai ongkos penyelenggaran pengangkutan dari penumpang.

(6)

Dalam praktek kegiatan transportasi laut sering kali pengangkut tidak memenuhi kewajibannya secara baik dan benar atau dapat dikatakan telah melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana debitur (orang berhutang) tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya terhadap kreditur sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Beberapa kasus atau fakta yang dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi oleh pengangkut adalah tidak memberikan keselamatan dan keamanan berlayar kepada penumpang diantaranya: keterlambatan jadwal keberangkatan, kehilangan atau kerusakan barang bagasi milik penumpang, pelayanan yang kurang memuaskan, informasi yang tidak jelas tentang produk jasa yang ditawarkan dan lain-lain.

Permasalahan-permasalahan ini selalu menimbulkan kerugian bagi penumpang yang tentu saja melahirkan permasalah hukum, khususnya berkenaan dengan tanggung jawab perusahaan pelayaran atau pengangkut (carrier) terhadap penumpang dan pemilik barang baik sebagai para pihak dalam perjanjian pengangkutan maupun sebagai konsumen, selain itu persoalan lain bagi konsumen adalah adanya keterlambatan pelaksanaan pengangkutan laut yang terkadang melebihi batas toleransi, kapasitas penumpang dan barang yang berlebihan sepertinya tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan, terhadap permasalahan tersebut.

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan apabila terjadi peristiwa atau keadaan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang maka pengangkut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang, akan tetapi dalam pelaksanaannya konsumen atau penumpang mengalami kesulitan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya upaya pemberdayaan konsumen yang menggunakan jasa transportasi laut oleh berbagai pihak yang kompeten.

Pada prinsipnya kegiatan pengangkutan laut merupakan hubungan hukum yang bersifat perdata akan tetapi mengingat transportasi laut telah menjadi kebutuhan masyarakat secara luas maka diperlukan campur tangan pemerintah dalam kegiatan pangangkutan udara yaitu menentukan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara sehingga kepentingan konsumen pengguna jasa transportasi udara terlindungi. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata), akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu meletakkan berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian.7

Berkenaan dengan hal tersebut menurut Sri Redjeki Hartono8 negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal.

7Ibid Hal 71

(7)

Untuk itu, negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran oleh siapapun pelaku ekonomi. Perangkat peraturan dapat meliputi pengaturan yang mempunyai tujuan menjaga keseimbangan semua pihak yang kepentingannya berhadapan, memberikan sanksi apabila memang sudah terjadi sengketa dengan cara menegakan hukum yang berlaku, dan menyiapkan lembaga penyelesaian sengketa dan hukum acaranya.

Selama ini dikenal ada beberapa model hukum perlindungan konsumen,9

yakni pertama, adalah memformulasikan perlindungan konsumen melalui proses legislasi (undang-undang) dan kedua, melakukan pendekatan secara holistic, yaitu bahwa secara khusus ada undang-undang yang mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi “payung” undang-undang sektoral yang berdimensi konsumen; selanjutnya bahwa undang-undang perlindungan konsumen adalah undang-undang tersendiri yang dipertegas lagi dalam undang-undang sektoral. Pemerintah sejak tanggal 20 April 1999, telah mengeluarkan instrumen perundang-undangan yang mempunyai dimensi untuk melindungi masyarakat/konsumen, yaitu dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen10, didalam undang-undang ini

diatur banyak hal diantaranya hak dan kewajiban konsumen, juga hak dan kewajiban produsen.

Kehadiran undang-undang perlindungan konsumen diharapkan dapat menciptakan kegiatan usaha perdagangan yang fair tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen, baik selaku pengguna, pemanfaat maupun pemakai barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha11. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tidak semata-mata memberikan perlindungan kepada konsumen saja tetapi memberikan perlindungan kepada masyarakat (publik) pada umumnya, mengingat setiap orang adalah konsumen. Undang- undang ini secara mendasar memberikan keseimbangan dalam beberapa hal, yaitu:

1. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen mengenai:

a. Harmonisasi mengenai pelaku usaha dengan konsumen, keduanya saling membutuhkan yang satu tidak mungkin memutuskan hubungan dengan pihak lain;

b. Menyamakan persepsi bahwa masing-masing sisi mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang

2. Menyadarkan masyarakat bahwa ada hak-hak sendiri yang dapat dipertahankan dan dituntut kepada pihak lain mengenai:

9

Model ini mengemuka di Kongres Konsumen Sedunia Akhir Tahun 1998 di Santiago, Cile. Yaitu mempertanyakan bagaimana memfasilitasi konsumen dalam memperoleh keadilan (acces to justice. Dalam sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen. Tahun 1999. hal 81-82.

10Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42. Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3821 11

Gunawan Widaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama) Hal ix

(8)

a. Tata cara menyelesaikan sengketa, termasuk hukum acaranya;

b. Apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun oleh konsumen;

c. Informasi apa saja yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen, demikian juga sebaliknya.

3. Menyadarkan kepada pelaku usaha dan konsumen bahwa kedudukan mereka adalah seimbang dengan tidak saling membebani satu terhadap yang lain.

Pada dasarnya hubungan antara produsen dan konsumen merupakan hubungan yang bersifat ketergantungan12 produsen membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan, dan sebaliknya konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen, saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan hubungan yang bersifat terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus. Secara teoritis hubungan hukum menghendaki adanya kesetaraan diantara para pihak, akan tetapi dalam praktiknya hubungan hukum tersebut sering berjalan tidak seimbang terutama dalam hubungan hukum antara produsen dan konsumen, hal inipun terjadi dalam hubungan hukum antara konsumen atau penumpang dengan pengangkut pada transportasi laut, dimana konsumen atau penumpang tidak mendapatkan hak-haknya dengan baik.

Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu perlindungan hukum bagi konsumen dalam kegiatan pelayaran. Unsur terpenting dalam perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan laut serta jenis-jenis angkutan lainnya adalah unsur keselamatan angkutan dan tanggung jawab pengangkut13.

Berdasarkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum konsumen penumpang kapal laut masih menunjukkan banyak kelemahan, baik secara yuridis normatif maupun empiris. Kelemahan itu mencakup aturan-aturan hukum fomal belum secara penuh melindungi konsumen penumpang kapal laut; masih dijumpai penumpang kapal yang belum mendapatkan hak-haknya secara penuh seperti hak atas keamanan,informasi yang benar, kenyamanan, pelayanan yang balk, keselamatan dan mendapatkan advokasi kerena mengalami permasalahan; prinsip tanggungjawab pelaku usaha dalamhal ini PT. Pelni Cabang Jayapura masih didasarkan pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan yang harus membuktikan kesalahan adalah pihak konsumen; dan belum ada lembaga perlindungan konsumen penumpang kapal laut di pelabuhan.

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Selama ini hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan transportasi laut sering tidak berjalan secara seimbang, di mana konsumen berada di posisi yang lemah dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan posisi pelaku usaha yang posisi lebih kuat. Padahal seharusnya posisi para pihak haruslah seimbang dan sejajar, karena pada prinsipnya mereka saling membutuhkan dan bersifat

12 Sri Redjeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi,(Bandung:Penerbit Mandar Maju)

hal. 81 13

E.Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung: Penerbit Alumni) hal.163

(9)

ketergantungan. Berkaitan dengan itu menarik untuk dilakukan pengkajian-pengkajian dalam rangka untuk pemberdayaan konsumen.

Upaya Hukum Penumpang Yang Mengalami Kerugian Pada Transportasi Laut

Dalam Undang-Undang RI. Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, selain menentukan hak dan kewajiban pelaku usaha, hak dan kewajiban konsumen, juga mengatur tentang upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang mengalami kerugian akibat perbuatan pelaku usaha. dalam konteks sistem hukum yang berlaku Indonesia upaya-upaya atau sarana-sarana yang dapat dilakukan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat, yaitu dapat ditempuh dengan cara penerapan sanksi-sanksi hukum bagi pihak yang melanggar hukum, baik sanksi yang bersifat administratif maupun sanksi pidana,

Selain itu dapat juga dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan, atau melakukan penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perantara pihak-pihak lain yang memang keberadaannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Undang-Undang RI. Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, seperti yang di atur dalam pasal 45 yang menyatakan , setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.

Ketentuan di atas secara tegas mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui jalur pengadilan dan melalui jalur di luar pengadilan. selanjutnya dalam pasal 46 dinyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama; lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur

(10)

dengan peraturan pemerintah. ketentuan pasal 46 di atas menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada para pelaku usaha yang telah merugikan kepentingan konsumen, pihak-pihak tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, pemerintah dan/atau instansi

Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam pasal 47, yang menyatakan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. ketentuan pasal 47 ini mengatur tentang penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan sebutan penyelesaian sengketa alternative (Alternative Dispuite Solution) contohnya negosiasi, mediasi, arbitrase, atau melalui lembaga yang di bentuk pemerintah yang khusus menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu badan penyelesaian sengketa konsumen seperti yang di atur dalam pasal 49 pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah tingkat ii untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. upaya hukum yang diatur di dalam Undang-Undang RI. Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen di atas juga dapat diterapkan atau digunakan oleh konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha perusahaan pelayaran dalam praktik pelayaran.

PENUTUP Kesimpulan

1. Perlindungan hukum konsumen penumpang kapal laut masih menunjukkan banyak kelemahan, baik secara yuridis normatif maupun empiris. Kelemahan itu mencakup aturan-aturan hukum fomal belum secara penuh melindungi konsumen penumpang kapal laut; masih dijumpai penumpang kapal yang belum mendapatkan hak-haknya secara penuh seperti hak atas keamanan,informasi yang benar, kenyamanan, pelayanan yang balk, keselamatan dan mendapatkan advokasi kerena mengalami permasalahan; prinsip tanggungjawaban pelaku usaha masih didasarkan pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan yang harus membuktikan kesalahan adalah pihak konsumen; dan belum ada lembaga perlindungan konsumen penumpang kapal laut di pelabuhan.

2. Upaya hukum bagi penumpang yang mengalami kerugian pada transportasi laut adalah melalui litigasi dan nonlitigasi. Jalur litigasi melalui pengadilan dan non litigasi yaitu melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau melalui lembaga yang di bentuk pemerintah yang khusus menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu badan penyelesaian sengketa konsumen.

Saran

1. Diharapkan Lembaga perlindungan konsumen penumpang kapal laut di pelabuhan harus ada di setiap pelabuhan, hal ini terkait dengan banyaknya

(11)

permasalahan-permasalah yang terjadi di pelabuhan, baik itu dari pihak pengguna jasa pengangkutan laut maupun dari pihak pengangkut laut, agar ketika ada permasalahan bisa diselesaikan melalui lembaga ini.

2. Diharapkan pihak pengangkut laut dalam hal ini pihak PT.Pelni dan pihak-pihak terkait harus memberikan sarana dan prasana penunjang yang memeadai terutama dari sisi keamanan dan kenyaman di pelabuhan Jayapura, agar para pemakai jasa pengangkutan laut lebih terjamin keamanan dan kenyamanan dalam melakukan perjalanan dengan kapal laut.

DAFTAR PUSTAKA

Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia jilid 11, Rajawali Press, Jakarta, 1981; Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, ctk.Keempat, 2004; R.Subekti & Titrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buugerliik

Wetbook;

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, 2011; W.J.S .Poerwodarminata, Kamus Bahasa Indonesia, Pisbinbag Bahasa, Balai

Pustaka,Jakarta, 1996.

R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya, Jakarta, 1995;

Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang , 2007; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42. Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3821;

Gunawan Widaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003;

Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandar Maju, Bandung, 2000;

E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung, 1984.

Referensi

Dokumen terkait

If the minimum and maximum attribute are omitted then the validator only ensures that the value is numeric. Minimum – The minimum acceptable

Terdapat dua daripada tiga item berada dalam kedudukan paling rendah yang merupakan item dalam indikator penilaian terhadap rangsangan luar (item 8: Saya berasa risau

Bila penerapan PSAK 13 dan 19 dapat menggunakan metoda revaluasi tanpa menimbulkan ketidakharmonisan dengan peraturan perpajakan, maka hal ini tidak berlaku bagi PSAK No

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai β model gravitasi sebagai indikator sensitivitas perjalanan penduduk, mengidentifikasi guna lahan zona bangkitan dan tarikan

Pasal 24 menyatakan “Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila :

• Pertambangan dapat mengalirkan kesejahteraan, dan jika dilkelola dengan baik dan bertanggung jawab dapat menjadi motor bagi dengan baik dan bertanggung jawab dapat menjadi

Bagaimana mungkin mereka hanya terikat hubungan personal (saling kenal karena sering bertemu di pasar Lubok Antu) akan tetapi toke Malaysia itu sudah menaruh