• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL

Dr. LUH NILA WINARNI, S.H., M.H.7

Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ngurah Rai Email: nilawinarnihukum@gmail.com

ABSTRACT

Disputes within indigenous communities would disrupt good relations between man and man, and therefore, customary dispute resolution based on local wisdom is indispensable in the construction of an ideal society. In this research will be discussed about the legitimacy of the pakraman village in dispute resolution and customary dispute resolution practices based on local wisdom. Pakraman Village legitimacy in resolving the dispute is based on Regional Regulation No. 3 of 2001 on Pakraman Village. Customary dispute resolution practices based on the local wisdom of indigenous peoples by consensus. This method in accordance with the values of justice that grow and develop in society.

Keywords:Disputes, indigenous, local wisdom, society.

ABSTRAK

Sengketa dalam masyarakat adat akan mengganggu hubungan baik antara manusia dengan manusia, oleh sebab itu, penyelesaian sengketa adat yang berbasis kearifan lokal sangat diperlukan dalam konstruksi masyarakat yang ideal. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai legitimasi desa pakraman dalam menyelesaikan sengketa dan praktik penyelesaian sengketa adat berbasis kearifan lokal. Legitimasi desa pakraman dalam menyelesaikan sengketa didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Praktik penyelesaian sengketa adat berbasis kearifan lokal dilakukan oleh masyarakat adat melalui musyawarah. Metode ini sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Kata Kunci: sengketa, adat, kearifan lokal, masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang dinamis dan selalu berubah. Proses perubahan senantiasa akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut. Akan tetapi yang lebih penting adalah identifikasi terhadap faktor-faktor tersebut mungkin mendorong terjadinya perubahan atau bahkan menghalanginya.‖8 Soerjono Soekanto memberikan pendapatnya mengenai perubahan ini bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai sistem-sistem nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya.9 Dalam perubahan tersebut, terdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya konflik.

7 Penulis adalah Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ngurah

Rai. Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar tanggal 17 Maret 2017.

8 Soerjono Soekanto et.al., 1993, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina

Aksara, Jakarta, h. 17.

9 Soerjono Soekanto, 1991, Fungsi Hukum dan perubahan Sosial, Citra Aditya

(2)

128 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

Indonesia, istilah konflik selalu ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell, adalah sebagai berikut: (1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai (prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan latar belakang personal/sejarah.10 Konflik-konflik yang terjadi dan jika dibiarkan bergulir akan menyebabkan terjadinya sengketa adat.

Sengketa adat di Bali dipicu oleh beberapa faktor seperti konflik kepentingan terhadap kekuasaan dan penguasaan terhadap benda material dan immaterial (misalnya Pura, tapal batas dan setra). Adanya sengketa dalam masyarakat adat tentu bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Bali. Kearifan lokal di Bali memiliki filosofi sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya, saling asah saling asih saling asuh yang menjadi dasar dalam penyelesaian konflik adat.Sagilik saguluk salunglung sabhayantaka, berarti bulat seperti bola, menggelinding kemanapun dalam satu rasa, senasib seperjuangan, sepenanggungan dalam suka dan duka. Paras paros sarpanaya, berarti saling menghargai dalam perbedaan untuk menjadi satu dan tidak terpisahkan. Saling asah saling asih saling asuh berarti saling isi-mengisi (dalam pembelajaran atau belajar-mengajar), saling mengasihi (cinta kasih), dan saling menjaga sesama.

Kehidupan antar karma dilandasi atas Tri Hita Karana. Tri Hita Karana yang merupakan falsafah keseimbangan (keseimbangan manusia dengan Tuhan, keseimbangan antara manusia dengan manusia dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan).11 Dalam menjaga keseimbangan antara manusia dengan manusia inilah diperlukan suatu penyelesaian sengketa untuk meredam konflik dan memberikan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai legitimasi desa pakraman dalam menyelesaikan sengketa dan praktik penyelesaian sengketa adat berbasis kearifan lokal.

II. PEMBAHASAN

a. Legitimasi Desa Pakraman Dalam Menyelesaikan Sengketa

Realitas masyarakat hukum adat di Indonesia bukan hanya sekedar kisah masa lalu. Hingga kini, keberadaan hukum adat masih diakui di Indonesia. Perlindungan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilihat dari Pasal 18 B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 yang menyatakan ―Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

10Putut Handoko, 2007, ―Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi

Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)‖, Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan‖, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, h. 11.

11 Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,

Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 6.

(3)

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.‖

Perlindungan terhadap masyarakat adat ini dipandang sebagai HAM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan:

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Dalam melakukan interaksi antara anggota masyarakat, perilaku mereka diatur oleh hukum adat. Bushar Muhammad memberikan pengertian hukum adat sebagai hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.12

Keteraturan dalam masyarakat hukum adat dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang ideal menurut Bentham adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.13 Dalam konstruksi masyarakat yang ideal, maka tidak ada tempat bagi sengketa di antara anggota masyarakat. Setiap sengketa yang terjadi harus diselesaikan agar tidak semakin berkembang. Penyelesaian sengketa adat di Bali dilakukan oleh desa pakraman.

Pasal 1 angka (4) Peraturan Daerah Provinsi BaliNomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam melaksanakan otonomi desa, Desa Pakraman memiliki tiga kekuasaan yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial. Penyelesaian sengketa oleh desa pakraman merupakan pelaksanaan dari kekuasaan yudisial.

12 Bushar Muhammad, 1984, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya

Paramita, Jakarta, h. 27.

13 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 274-275.

(4)

130 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

Prajuru desa adalah struktur organisasi di desa pakraman yang menyelenggarakan pemerintahan di desa pakraman bersangkutan. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, prajuru desa pakraman mempunyai tugas-tugas:

a. Melaksanakan awig-awig desa pakraman.

b. Mengatur penyelenggaraan upcara keagamaan di desa pakraman, sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing.

c. Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat.

d. Mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman desa.

e. Mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman.

f. Membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.

Secara filosofi, penyelesaian sengketa oleh prajuru adatadalah implementasi dari filosofi Tri Hita Karana. Ajaran ini terdiri dari parahyangan (hubungan antara manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan antara manusia dengan manusia) dan palemahan (hubungan antara manusia dengan alam) yang semuanya harus berlangsung secara serasi dan selaras. Tri Hita Karana mengajarkan bahwa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa), antara manusia dengan wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya, serta antara manusia dengan sesamanya, akan memungkinkan mereka untuk menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan yang dimaksud moksha dan jagatdhita.14

Praktik Penyelesaian Sengketa Adat Berbasis Kearifan Lokal

Sengketa adat merupakan objek perkara yang dapat diselesaikan melalui alternative dispute resolution (ADR) sebagaimana yang diatur melalui beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa melalui alternative dispute resolution (ADR) kini menjadi the first resort yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Altschul mengartikan ADR sebagai a trial of a case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs, avoid publicity and avoid lengthy trial delays.15 Pada dasar menimbangUndang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa ―berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping

14 I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Bali Post,

Denpasar, h. 17.

15 Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar

(5)

dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.‖

Dalam Pasal 6 ayat (1)Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.Sengketa adat tidak semestinya tersentuh pengadilan sebab mereka yang bersengketa adalah orang-orang yang berhubungan dekat (saudara atau setidak-tidaknya tetangga). Penyelesaian sengketa melalui prajuru adat dapat sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana dalam menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia.

Secara yuridis, penyelesaian sengketa alternatif atau penyelesaian sengketa non litigasi (Out of Court Settlement) didasarkan pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Praktik ADR sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa didasarkan pada Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) serta dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Jauh sebelum diundangkan dalam peraturan formal, metode penyelesaian sengketa dengan cara damai ini telah mengakar pada kehidupan masyarakat di Indonesia.

Penyelesaian secara musyawarah mufakat yang menjadi ciri penyelesaian sengketa adat masih dapat mengakomodasikan kepentinga-kepentingan para pihak, sehingga secara logis lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.16 Metode ini dilakukan oleh prajuru desa untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayahnyadengan berbasis pada asas keadilan. Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Huijber menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif di dalamnya:

a. Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya. b. Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.

c. Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenarnya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah secara hukum.17

16 I Wayan Sudantra dan A.A. Gede Oka Parwata (ed), Wicara Lan Pamidanda:

Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Edisi Revisi, Udayana University Press, Denpasar, h. 45.

17 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,

(6)

132 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

dengan awig-awig dan adat kebiasaan.Hukum adat Bali mengenal mengenai penjatuhansanksi, beberapa diantaranya adalah mepulang/ merarung ke pasih, kebelagbag (pasung),ketundung (diusir), hukuman mati dan kesepekang.Namun beberapa diantara sanksi tersebut sudah tidak dijumpai lagi dalam penerapannya di masyarakat. Sanksi berupa mepulang/ merarung ke pasih, kebelagbag (pasung),ketundung (diusir) dan hukuman mati dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat hukum adat Bali yang sudah semakin berkembang. Di samping itu sanksi-sanksi tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional sebab sanksi adat yang dijatuhkan terhadap krama yang bersalah seringkali tidak mengormati hak asasi manusia yang dimiliki oleh masyarakat.18

Di balik upaya represif yang dilakukan oleh lembaga adat melalui penjatuhan sanksi adat, ternyata sanksi adat memiliki tujuan yang mengandung nilai filosofis tinggi. Tujuan sanksi adat ini adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat.19 Dalam hal salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa melakukan pelanggaran adat, maka desa pakraman berwenang untuk menjatuhkan sanksi berdasarkan keputusan paruman desa.

III. PENUTUP

Legitimasi desa pakraman dalam menyelesaikan sengketa didasarkan pada Pasal 6 huruf a Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman yang menyebutkan bahwa ―Desa Pakraman mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membinan kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan.Dalam melaksanakan kewenangan itu maka, prajuru desamemiliki tugas-tugas dalam mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 c Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001. Praktik penyelesaian sengketa adat berbasis kearifan lokal sesungguhnya sudah ada jauh sebelumnya penyelesaian sengketa dengan cara damai ini diatur dalam undang-undang. Masyarakat adat sudah terbiasa menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah. Kearifan lokal masyarakat perlu digali secara mendalam untuk dijadikan sumber hukum nasional.

18 Wayan Windia, Menjawab Masalah Hukum, 1995, BP, Denpasar, h.

187-188.

19 I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco,

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Bushar Muhammad, 1984, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta.

Herawan, K. D., & Sudarsana, I. K. (2017). Relevansi Nilai Pendidikan Karakter Dalam Geguritan Suddhamala Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Indonesia. Jurnal

Penjaminan Mutu, 3(2), 223-236.

Jony Emirzon, Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Putra Astiti, Tjok Istri, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg

Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Putut Handoko, 2007, ―Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai (Studi Kasus Penanganan Abrasi Pantai Kuta Bali)‖, Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan‖, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Soerjono Soekanto et.al., 1993, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1991, Fungsi Hukum dan perubahan Sosial, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sudantra, I Wayan dan A.A. Gede Oka Parwata (ed), Wicara Lan Pamidanda: Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Edisi Revisi, Udayana University Press, Denpasar.

Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Bali Post, Denpasar.

Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

At dahil sa kanila, magpahanggang ngayon, nakikilala natin para sa atin ang sinabi ni San Agustin, “Si Hesus ay naglaho sa ating mga mata, upang matagpuan natin siya sa

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tim peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis

(2) Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak

Menurut Wursanto (2005: 288) lingkungan kerja non fisik adalah kondisi lingkungan kerja yang menyangkut segi fisikis dari lingkungan kerja. Perusahaan perlu memfasilitasi

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian

Jika untuk setiap pasangan titik pada suatu graf terdapat lintasan yang menghubungkannya, maka graf tersebut disebut graf terhubung.. Graf terhubung yang setiap titiknya

Contohnya peristiwa membeku adalah air yang dimasukkan ke dalam freezer akan menjadi es batu, lilin cair yang didiinginkan, perubahan nira (cairan yang diambil dari

Catatan: Anda tidak diharuskan membaca materi-materi yang disarankan yang tidak tersedia dalam bahasa Anda. Pelajaran Judul Bacaan