• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Sumber : Bappenas, 2006.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian

Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan

industri dan daerah padat industri yaitu, Dago (BAF1), Ariagraha (BAF2), Tirtalega (BAF3), Batununggal (BAF4) dan Cisaranten Wetan (BAF5). Kelima stasiun ini terletak pada koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4.

(2)

Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas Udara Bandung

Stasiun Latitude Longitude Altitude (mdpl)

BAF1 107.57 -6.88 982 BAF2 107.67 -6.94 719 BAF3 107.56 -6.92 771 BAF4 107.62 -6.94 718 BAF5 107.67 -6.91 715

Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung (gambar 7 dan 8).

Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan dispersi/transpor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah dan faktor meteorologi (kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing

height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi).

4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum Henry

Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya. Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 23°C-25°C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23–1,33 dengan rata-rata 1.28 (KH)

dan 0.0170–0.018 dengan rata-rata 0.0175 (K′) pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara 1.12-1.39 dengan rata-rata 1.26 (KH) serta

0.0159-0.0186 dengan rata-rata 0.0174 (K′).

Suhu di stasiun Dago cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21°C-24°C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara 1.28-1.32 dengan rata-rata 1.35 (KH) dan 0.0175-0.0188 dengan

rata-rata 0.0182 (K′) pada musim kering, dan 1.25-1.38 dengan rata-rata 1.31 (KH) serta

0.0172-0.0184 dengan rata-rata 0.0177 (K′) pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta hukum Henry baik konstanta kesetimbangan (KH) maupun konstanta kesetimbangan

disosiasi pertama (K′) di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ophardt (2003) yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO2 dalam air.

Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya akan semakin berkurang (gambar 6). Hal ini disebabkan penambahan panas akan menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah. Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil. 4.3 Curah Hujan

Presipitasi memberikan proses pencucian polutan yang efektif dalam atmosfer. Efisiensi dari proses ini tergantung pada hubungan yang kompleks antara kandungan polutan dan karakteristik dari presipitasi tersebut. Proses yang paling efektif adalah pencucian partikel besar di lapisan atmosfer paling bawah dimana banyak polutan dilepaskan (washout).

Curah hujan yang terjadi di Bandung cukup tinggi, dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober dan Februari dan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus.

Gambar 9. Kelarutan SO2 Dalam Air Versus

(3)

(Sumber : Kirk Othmer Ency of Chemical Technology, 2007) 15.00 20.00 25.00 30.00 jan mart mei jul sept nov Bulan S u hu ( °C )

Dago Ariagraha Tirtalega

Batununggal Cisaranten

Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun Kualitas Udara Bandung

0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Day CH (m m )

januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober november desember

Gambar 11. Grafik Curah Hujan Kota Bandung

4.4 Arah dan Kecepatan Angin

Menurut Prawirowardoyo (1996) gerak atmosfer ada dua jenis yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi mempunyai dua arah, yaitu arah horizontal dan vertikal. Pada umumnya gerak atmosfer adalah horizontal, karena daerah yang diliputinya luas dan kecepatannya lebih besar daripada vertikalnya.

Arah dan kecepatan angin di Bandung terutama disebabkan oleh kondisi topografi. Kota Bandung lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga tekanan di daerah ini rendah. Tekanan udara yang rendah menjadikan Bandung sebagai daerah tujuan angin. Selain itu topografi Bandung berbentuk seperti cekungan dengan bagian relatif terbuka (topografi rendah) di Bagian Barat. Dari arah Barat yang terbuka ini udara masuk menuju lembah, tetapi dari arah Timur juga ada angin yang menuju lembah sehingga terjadi

konvergensi. Bagian Barat laut lebih landai sedangkan bagian Tenggara berpegunungan dengan ketinggian sekitar 2 km dpl. Topografi cekungan Bandung rumit dengan ketinggian berkisar antara 600 m hingga lebih dari 2000 m. Daerah yang berkontur rendah dan relatif datar dikelilingi oleh pegunungan di Bagian Utara, Selatan dan Timur dengan ketinggian sekitar 1900 – 2000 m (Turyanti, 2005). Daerah pegunungan akan menyebabkan arah dan kecepatan angin menjadi tidak beraturan karena bentuk topografi yang ada cukup rumit. Wilayah berpegunungan menyebabkan adanya konveksi mekanik sehingga arah angin tidak selalu mengikuti pola perubahan suhu dan tekanan.

Kecepatan angin di lima stasiun pengukuran relatif kecil dengan kisaran antara 2 – 3 m/s dengan arah angin rata-rata ke arah timur dan tenggara pada musim kering dan ke arah Barat atau Barat Daya pada musim hujan (Gambar 9-18). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Cekungan Bandung adalah angin Baratan dan Timuran (termasuk di dalamnya angin Barat, Barat laut serta Timur dan Tenggara).

Kecepatan dan arah angin di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan., sedangkan kecepatan dan arah angin serta di keempat stasiun lainnya dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal, namun pengaruh topografi juga mempengaruhi arah dan kecepatan angin karena keempat stasiun pengamatan terletak pada cekungan Bandung sehingga pengaruh angin yang turun dari lereng menuju lembah akan cukup kuat.

Kecepatan angin di stasiun Dago pada musim hujan berkisar antara 2-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan Barat dengan sedikit ke arah Tenggara sehingga terlihat bahwa angin dominan di stasiun ini pada musim hujan adalah angin Timur dan Timur Laut, sedangkan pada musim kering kecepatan angin berkisar antara 2-3 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Timur Laut dan Timur sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Dago pakar adalah timur laut terutama pada sore, malam hingga pagi hari dan sedikit dari tenggara pada siang hari.Arah Timur Laut dari Dago pakar adalah lereng pegunungan sehingga pengaruh topografi terhadap arah angin dominan dalam

(4)

hal ini sangat berpengaruh (Gambar 12 dan 13).

Kecepatan angin di stasiun Ariagraha adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan sedikit ke arah Barat dan Barat Daya pada musim hujan sehingga pada musim hujan stasiun ini sedikit dipengaruhi oleh angin Timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Barat Laut (Gambar 14 dan 15). Stasiun Ariagraha terletak di wilayah pemukiman sebelah Selatan bandung sehingga wilayah ini dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara dimana angin yang turun dari lereng akan cukup kuat menuju lembah.

Kecepatan angin di stasiun Tirtalega pada musim hujan berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Barat dan Barat Daya sehingga angin dominan di stasiun ini adalah angin timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin rata-rata adalah berkisar antara 1-2 m/s dan terdapat

calm (angin lemah) ke arah Tenggara dengan

kecepatan angin antara 0-1 m/s, calm ini dapat menghambat peneyebaran polutan. Arah angin dominan pada musim kering adalah ke arah Selatan dan Tenggara sehingga pada musim kering daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di stasiun Tirtalega adalah ke arah Tenggara (Gambar 16 dan 17). Hal ini disebabkan stasiun ini mendapat pengaruh dari lereng yang cukup tajam pada arah tenggara cekungan Bandung.

Kecepatan angin di staiun Batununggal pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat daya, Barat dan Barat laut. Terdapat sedikit calm dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s ke arah Selatan dan Barat Daya. Pada musim kering kecepatan angin adalah berkisar antara 1-2 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara (Gambar 18 dan 19). Sama halnya dengan stasiun Ariagraha, stasiun Batununggal juga terletak di bagian Selatan Kota Bandung sehingga dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara cekungan bandung.

Kecepatan angin di stasiun Cisaranten pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara dan sedikit ke arah Timur, sehingga pada musim hujan, angin dominan di stasiun

ini adalah angin Baratan, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat Daya dan Selatan, sehingga angin dominan di stasiun ini pada musim kering adalah angin Timur Laut (Gambar 20 dan 21). Terlihat bahwa pola angin stasiun Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berbeda dengan keempat stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan stasiun Cisaranten terletak pada bagian Timur Kota Bandung dimana terdapat pengaruh dari lereng pegunungan sebelah Tenggara Kota Bandung dan dari daerah bagian Barat Kota Bandung yang topografinya rendah sehingga terjadi konvergensi saat udara dari bagian Barat bertemu dengan angin yang turun dari lereng pegunungan sebelah Tenggara menuju lembah.

Gambar 12. Arah dan Kecepatan

Angin Musim Hujan Dago

Gambar 13. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Dago

(5)

Gambar 14. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Ariagraha

Gambar 15. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Ariagraha

Gambar 16. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Tirtalega

Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Tirtalega

Gambar 18. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Batununggal

Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Batununggal

Gambar 20. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Cisaranten

Gambar 21. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Cisaranten

(6)

4.5 Konsentrasi Gas SO2

Menurut Utama (2004) sumber pencemar utama yang mengemisi polutan paling besar di kota Bandung adalah sektor transportasi diikuti oleh industri, domestik dan pembakaran sampah. Daerah industri serta pemukiman terpadat yang memiliki konsentrasi polutan maksimum yang bersumber dari sektor non transportasi adalah sekitar Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bandung Wetan dan Cicadas. Daerah transportasi terpadat yang memiliki konsentrasi polutan tertinggi di kota Bandung antara lain adalah sekitar Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Cihampelas, dan sebagainya. Kawasan tersebut adalah pusat aktivitas komersial dan perdagangan Kota Bandung.

Konsentrasi gas SO2 dan distribusinya

di lima stasiun pengukuran pada musim hujan dan musim kering tidak terlalu berbeda, kecuali Cisaranten dan Tirtalega yang menunjukkan perbedaan yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau. Secara umum konsentrasi pada musim kering lebih tinggi daripada musim hujan (Gambar 22, 23, 24 dan 25).

Dari hasil analisa, konsentrasi gas SO2

di stasiun Cisaranten jauh lebih tinggi daripada stasiun lainnya yaitu 33,55 µg/m3 pada musim

hujan dan 95,11 µg/m3 pada musim kering,

karena stasiun ini terletak pada daerah industri tepatnya di kecamatan Ujung Berung sehingga konsentrasi SO2 sebagai hasil pembakaran

bahan bakar fosil dalam aktivitas industri dan banyaknya partikel debu yang kemudian bereaksi membentuk endapan sulfat yang turun baik sebagai deposisi basah (hujan asam) atau deposisi kering akan meningkat dengan tajam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian BAPPENAS (2006) yang menyatakan bahwa hasil perhitungan estimasi beban emisi dari sektor industri menunjukkan bahwa industri pemintalan dan barang jadi tekstil merupakan kontributor utama emisi SO2 dan NOx dari

sektor industri di kota Bandung. Emisi SO2

tertinggi berasal dari industri-industri di kecamatan Rancasari, Ujung berung, Cicadas, Kiaracondong, Cibeunying kidul, Sukajadi dan Cicendo.

Konsentrasi gas SO2 tertinggi kedua

adalah stasiun Dago. Konsentrasi gas SO2 pada

musim hujan dan musim kering tidak jauh berbeda, yaitu 32,15 µg/m3 pada musim hujan

dan 37.53 µg/m3 pada musim kering. Hal ini

disebabkan stasiun Dago terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung yaitu di kecamatan Coblong, dimana kekasapan

permukaannya tinggi sehingga menurunkan kecepatan angin yang berfungsi sebagai pengencer polutan. Selain itu daerah dataran tinggi membentuk barrier tehadap pergerakan udara sehingga polutan akan “terperangkap” di daerah tersebut.

Konsentrasi gas SO2 di stasiun

Batununggal tidak begitu besar yaitu dengan rata-rata 10,65 µg/m3, sedangkan konsentrasi

SO2 rata-rata pada musim kering mencapai

36,66 µg/m3. Stasiun Batununggal terletak

pada daerah perumahan industri sehingga diperkirakan sumber SO2 utama adalah berasal

dari limbah domestik berupa deterjen dan sampah rumah tangga. Menurut Utama (2004), Batununggal adalah salah satu daerah pemukiman terpadat dengan konsentrasi polutan maksimum yang berasal dari sektor non transportasi.

Konsentrasi SO2 rata-rata di stasiun

Tirtalega juga rendah yaitu 13,07 µg/m3 pada

musim kering dan 31,13 µg/m3 pada musim

hujan. Konsentrasi SO2 pada musim hujan

cenderung tinggi pada awal bulan dan semakin menurun seiring dengan pertambahan hari. Stasiun Tirtalega berada di sekitar pusat kota dan mewakili daerah dengan transportasi yang cukup padat. Konsentrasi gas SO2 di stasiun ini

rendah kemungkinan karena jenis transportasi terbanyak di Kota Bandung adalah sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin, sementara jenis kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar lebih sedikit. Emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Emisi buangan kendaraan utama adalah CO, NO dan NO2.

Kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar mengandung sulfur sehingga melalui proses pembakaran dalam mesin, sulfur akan teroksidasi dan menghasilkan SO2 yang kemudian akan

diemisikan ke udara bersama gas lainnya seperti CO dan NOx, sementara kendaraan

seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin mengandung timbal yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama dengan CO dan NOx. Gas NO dan NO2 (NOx) merupakan

kontributor terjadinya hujan asam, namun data NOx di lima stasiun pengamatan Bandung tidak lengkap sehingga pH air hujan hanya diduga dari konsentrasi gas SO2.

Konsentrasi gas SO2 terendah adalah di

stasiun Ariagraha dengan konsentrasi rata-rata 6,07 µg/m3 pada musim kering dan 6,78 µg/m3

(7)

karena walaupun stasiun ini terletak pada daerah pemukiman padat penduduk yang kemungkinan sumber utama SO2 berasal dari

kegiatan rumah tangga dan pembakaran sampah, namun stasiun ini berada pada kecamatan Rancasari yang merupakan daerah kawasan industri. Kemungkinan besar hal ini disebabkan data yang terukur kurang valid.

Persentase perolehan data pada kelima stasiun pemantauan kualitas udara ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Persentase Perolehan Data (Jumlah Hari Pengamatan) di Stasiun Pemantauan Otomatis Bandung Stasiun BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5

SO2 (2003) 14% 34% 20% 60% 39% 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 Day SO 2

Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten

Gambar 22. Grafik Konsentrasi SO2 Musim

Kering 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 D ay

Dago Ariagraha Tirt alega

Bat ununggal Cisarant en

Gambar 23. Grafik Konsentrasi SO2 Musim

Hujan

Gambar 24. Peta Distribusi SO2 Bulan

Kering

Gambar 25. Peta Distribusi SO2 Musim

Hujan. 4.6 Pendugaan pH Air Hujan.

Hasil pengukuran BMG menunjukkan bahwa pH pada musim hujan lebih rendah daripada pH pada musim kering (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim hujan polutan di udara akan tercuci dan jatuh sebagai asam, namun frekuensi hujan yang besar akan menyebabkan polutan tercuci secara terus menerus dan konsentrasinya akan menurun sehingga lama kelamaan pH air hujan akan mendekati pH normal. Pada musim kering frekuensi kejadian hujan sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali sehingga sampel air hujan yang terukur sangat sedikit. Frekuensi hujan yang sedikit pada musim kering menyebabkan elektrokonduktivitas menjadi tinggi. Pada bulan kering konsentrasi ion basa seperti natrium, kalsium dan amonium menjadi tinggi sehingga dapat menetralkan ion sulfat yang konsentrasinya melonjak pada musim kering. Penetralan ini menyebabkan pH air hujan terukur pada musim kering menjadi normal bahkan cenderung tinggi.

(8)

Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Sumber : Bappenas, 2006.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian

Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan

industri dan daerah padat industri yaitu, Dago (BAF1), Ariagraha (BAF2), Tirtalega (BAF3), Batununggal (BAF4) dan Cisaranten Wetan (BAF5). Kelima stasiun ini terletak pada koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4.

(9)

Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas Udara Bandung

Stasiun Latitude Longitude Altitude (mdpl)

BAF1 107.57 -6.88 982 BAF2 107.67 -6.94 719 BAF3 107.56 -6.92 771 BAF4 107.62 -6.94 718 BAF5 107.67 -6.91 715

Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung (gambar 7 dan 8).

Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan dispersi/transpor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah dan faktor meteorologi (kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing

height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi).

4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum Henry

Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya. Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 23°C-25°C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23–1,33 dengan rata-rata 1.28 (KH)

dan 0.0170–0.018 dengan rata-rata 0.0175 (K′) pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara 1.12-1.39 dengan rata-rata 1.26 (KH) serta

0.0159-0.0186 dengan rata-rata 0.0174 (K′).

Suhu di stasiun Dago cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21°C-24°C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara 1.28-1.32 dengan rata-rata 1.35 (KH) dan 0.0175-0.0188 dengan

rata-rata 0.0182 (K′) pada musim kering, dan 1.25-1.38 dengan rata-rata 1.31 (KH) serta

0.0172-0.0184 dengan rata-rata 0.0177 (K′) pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta hukum Henry baik konstanta kesetimbangan (KH) maupun konstanta kesetimbangan

disosiasi pertama (K′) di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ophardt (2003) yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO2 dalam air.

Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya akan semakin berkurang (gambar 6). Hal ini disebabkan penambahan panas akan menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah. Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil. 4.3 Curah Hujan

Presipitasi memberikan proses pencucian polutan yang efektif dalam atmosfer. Efisiensi dari proses ini tergantung pada hubungan yang kompleks antara kandungan polutan dan karakteristik dari presipitasi tersebut. Proses yang paling efektif adalah pencucian partikel besar di lapisan atmosfer paling bawah dimana banyak polutan dilepaskan (washout).

Curah hujan yang terjadi di Bandung cukup tinggi, dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober dan Februari dan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus.

Gambar 9. Kelarutan SO2 Dalam Air Versus

(10)

(Sumber : Kirk Othmer Ency of Chemical Technology, 2007) 15.00 20.00 25.00 30.00 jan mart mei jul sept nov Bulan S u hu ( °C )

Dago Ariagraha Tirtalega

Batununggal Cisaranten

Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun Kualitas Udara Bandung

0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Day CH (m m )

januari februari maret april mei juni juli agustus september oktober november desember

Gambar 11. Grafik Curah Hujan Kota Bandung

4.4 Arah dan Kecepatan Angin

Menurut Prawirowardoyo (1996) gerak atmosfer ada dua jenis yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi mempunyai dua arah, yaitu arah horizontal dan vertikal. Pada umumnya gerak atmosfer adalah horizontal, karena daerah yang diliputinya luas dan kecepatannya lebih besar daripada vertikalnya.

Arah dan kecepatan angin di Bandung terutama disebabkan oleh kondisi topografi. Kota Bandung lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga tekanan di daerah ini rendah. Tekanan udara yang rendah menjadikan Bandung sebagai daerah tujuan angin. Selain itu topografi Bandung berbentuk seperti cekungan dengan bagian relatif terbuka (topografi rendah) di Bagian Barat. Dari arah Barat yang terbuka ini udara masuk menuju lembah, tetapi dari arah Timur juga ada angin yang menuju lembah sehingga terjadi

konvergensi. Bagian Barat laut lebih landai sedangkan bagian Tenggara berpegunungan dengan ketinggian sekitar 2 km dpl. Topografi cekungan Bandung rumit dengan ketinggian berkisar antara 600 m hingga lebih dari 2000 m. Daerah yang berkontur rendah dan relatif datar dikelilingi oleh pegunungan di Bagian Utara, Selatan dan Timur dengan ketinggian sekitar 1900 – 2000 m (Turyanti, 2005). Daerah pegunungan akan menyebabkan arah dan kecepatan angin menjadi tidak beraturan karena bentuk topografi yang ada cukup rumit. Wilayah berpegunungan menyebabkan adanya konveksi mekanik sehingga arah angin tidak selalu mengikuti pola perubahan suhu dan tekanan.

Kecepatan angin di lima stasiun pengukuran relatif kecil dengan kisaran antara 2 – 3 m/s dengan arah angin rata-rata ke arah timur dan tenggara pada musim kering dan ke arah Barat atau Barat Daya pada musim hujan (Gambar 9-18). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Cekungan Bandung adalah angin Baratan dan Timuran (termasuk di dalamnya angin Barat, Barat laut serta Timur dan Tenggara).

Kecepatan dan arah angin di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan., sedangkan kecepatan dan arah angin serta di keempat stasiun lainnya dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal, namun pengaruh topografi juga mempengaruhi arah dan kecepatan angin karena keempat stasiun pengamatan terletak pada cekungan Bandung sehingga pengaruh angin yang turun dari lereng menuju lembah akan cukup kuat.

Kecepatan angin di stasiun Dago pada musim hujan berkisar antara 2-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan Barat dengan sedikit ke arah Tenggara sehingga terlihat bahwa angin dominan di stasiun ini pada musim hujan adalah angin Timur dan Timur Laut, sedangkan pada musim kering kecepatan angin berkisar antara 2-3 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Timur Laut dan Timur sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Dago pakar adalah timur laut terutama pada sore, malam hingga pagi hari dan sedikit dari tenggara pada siang hari.Arah Timur Laut dari Dago pakar adalah lereng pegunungan sehingga pengaruh topografi terhadap arah angin dominan dalam

(11)

hal ini sangat berpengaruh (Gambar 12 dan 13).

Kecepatan angin di stasiun Ariagraha adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan sedikit ke arah Barat dan Barat Daya pada musim hujan sehingga pada musim hujan stasiun ini sedikit dipengaruhi oleh angin Timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Barat Laut (Gambar 14 dan 15). Stasiun Ariagraha terletak di wilayah pemukiman sebelah Selatan bandung sehingga wilayah ini dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara dimana angin yang turun dari lereng akan cukup kuat menuju lembah.

Kecepatan angin di stasiun Tirtalega pada musim hujan berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Barat dan Barat Daya sehingga angin dominan di stasiun ini adalah angin timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin rata-rata adalah berkisar antara 1-2 m/s dan terdapat

calm (angin lemah) ke arah Tenggara dengan

kecepatan angin antara 0-1 m/s, calm ini dapat menghambat peneyebaran polutan. Arah angin dominan pada musim kering adalah ke arah Selatan dan Tenggara sehingga pada musim kering daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Turyanti (2005) yang menyatakan bahwa arah angin dominan di stasiun Tirtalega adalah ke arah Tenggara (Gambar 16 dan 17). Hal ini disebabkan stasiun ini mendapat pengaruh dari lereng yang cukup tajam pada arah tenggara cekungan Bandung.

Kecepatan angin di staiun Batununggal pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat daya, Barat dan Barat laut. Terdapat sedikit calm dengan kecepatan angin antara 0-1 m/s ke arah Selatan dan Barat Daya. Pada musim kering kecepatan angin adalah berkisar antara 1-2 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara (Gambar 18 dan 19). Sama halnya dengan stasiun Ariagraha, stasiun Batununggal juga terletak di bagian Selatan Kota Bandung sehingga dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara cekungan bandung.

Kecepatan angin di stasiun Cisaranten pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara dan sedikit ke arah Timur, sehingga pada musim hujan, angin dominan di stasiun

ini adalah angin Baratan, sedangkan pada musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-5 m/s dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat Daya dan Selatan, sehingga angin dominan di stasiun ini pada musim kering adalah angin Timur Laut (Gambar 20 dan 21). Terlihat bahwa pola angin stasiun Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berbeda dengan keempat stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan stasiun Cisaranten terletak pada bagian Timur Kota Bandung dimana terdapat pengaruh dari lereng pegunungan sebelah Tenggara Kota Bandung dan dari daerah bagian Barat Kota Bandung yang topografinya rendah sehingga terjadi konvergensi saat udara dari bagian Barat bertemu dengan angin yang turun dari lereng pegunungan sebelah Tenggara menuju lembah.

Gambar 12. Arah dan Kecepatan

Angin Musim Hujan Dago

Gambar 13. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Dago

(12)

Gambar 14. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Ariagraha

Gambar 15. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Ariagraha

Gambar 16. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Tirtalega

Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Tirtalega

Gambar 18. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Batununggal

Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Batununggal

Gambar 20. Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Cisaranten

Gambar 21. Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Cisaranten

(13)

4.5 Konsentrasi Gas SO2

Menurut Utama (2004) sumber pencemar utama yang mengemisi polutan paling besar di kota Bandung adalah sektor transportasi diikuti oleh industri, domestik dan pembakaran sampah. Daerah industri serta pemukiman terpadat yang memiliki konsentrasi polutan maksimum yang bersumber dari sektor non transportasi adalah sekitar Cibeunying Kidul, Kiaracondong, Batununggal, Bandung Wetan dan Cicadas. Daerah transportasi terpadat yang memiliki konsentrasi polutan tertinggi di kota Bandung antara lain adalah sekitar Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, Cihampelas, dan sebagainya. Kawasan tersebut adalah pusat aktivitas komersial dan perdagangan Kota Bandung.

Konsentrasi gas SO2 dan distribusinya

di lima stasiun pengukuran pada musim hujan dan musim kering tidak terlalu berbeda, kecuali Cisaranten dan Tirtalega yang menunjukkan perbedaan yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau. Secara umum konsentrasi pada musim kering lebih tinggi daripada musim hujan (Gambar 22, 23, 24 dan 25).

Dari hasil analisa, konsentrasi gas SO2

di stasiun Cisaranten jauh lebih tinggi daripada stasiun lainnya yaitu 33,55 µg/m3 pada musim

hujan dan 95,11 µg/m3 pada musim kering,

karena stasiun ini terletak pada daerah industri tepatnya di kecamatan Ujung Berung sehingga konsentrasi SO2 sebagai hasil pembakaran

bahan bakar fosil dalam aktivitas industri dan banyaknya partikel debu yang kemudian bereaksi membentuk endapan sulfat yang turun baik sebagai deposisi basah (hujan asam) atau deposisi kering akan meningkat dengan tajam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian BAPPENAS (2006) yang menyatakan bahwa hasil perhitungan estimasi beban emisi dari sektor industri menunjukkan bahwa industri pemintalan dan barang jadi tekstil merupakan kontributor utama emisi SO2 dan NOx dari

sektor industri di kota Bandung. Emisi SO2

tertinggi berasal dari industri-industri di kecamatan Rancasari, Ujung berung, Cicadas, Kiaracondong, Cibeunying kidul, Sukajadi dan Cicendo.

Konsentrasi gas SO2 tertinggi kedua

adalah stasiun Dago. Konsentrasi gas SO2 pada

musim hujan dan musim kering tidak jauh berbeda, yaitu 32,15 µg/m3 pada musim hujan

dan 37.53 µg/m3 pada musim kering. Hal ini

disebabkan stasiun Dago terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung yaitu di kecamatan Coblong, dimana kekasapan

permukaannya tinggi sehingga menurunkan kecepatan angin yang berfungsi sebagai pengencer polutan. Selain itu daerah dataran tinggi membentuk barrier tehadap pergerakan udara sehingga polutan akan “terperangkap” di daerah tersebut.

Konsentrasi gas SO2 di stasiun

Batununggal tidak begitu besar yaitu dengan rata-rata 10,65 µg/m3, sedangkan konsentrasi

SO2 rata-rata pada musim kering mencapai

36,66 µg/m3. Stasiun Batununggal terletak

pada daerah perumahan industri sehingga diperkirakan sumber SO2 utama adalah berasal

dari limbah domestik berupa deterjen dan sampah rumah tangga. Menurut Utama (2004), Batununggal adalah salah satu daerah pemukiman terpadat dengan konsentrasi polutan maksimum yang berasal dari sektor non transportasi.

Konsentrasi SO2 rata-rata di stasiun

Tirtalega juga rendah yaitu 13,07 µg/m3 pada

musim kering dan 31,13 µg/m3 pada musim

hujan. Konsentrasi SO2 pada musim hujan

cenderung tinggi pada awal bulan dan semakin menurun seiring dengan pertambahan hari. Stasiun Tirtalega berada di sekitar pusat kota dan mewakili daerah dengan transportasi yang cukup padat. Konsentrasi gas SO2 di stasiun ini

rendah kemungkinan karena jenis transportasi terbanyak di Kota Bandung adalah sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin, sementara jenis kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar lebih sedikit. Emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Emisi buangan kendaraan utama adalah CO, NO dan NO2.

Kendaraan berat seperti truk dan bis yang menggunakan bahan bakar solar mengandung sulfur sehingga melalui proses pembakaran dalam mesin, sulfur akan teroksidasi dan menghasilkan SO2 yang kemudian akan

diemisikan ke udara bersama gas lainnya seperti CO dan NOx, sementara kendaraan

seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin mengandung timbal yang kemudian akan diemisikan ke udara bersama dengan CO dan NOx. Gas NO dan NO2 (NOx) merupakan

kontributor terjadinya hujan asam, namun data NOx di lima stasiun pengamatan Bandung tidak lengkap sehingga pH air hujan hanya diduga dari konsentrasi gas SO2.

Konsentrasi gas SO2 terendah adalah di

stasiun Ariagraha dengan konsentrasi rata-rata 6,07 µg/m3 pada musim kering dan 6,78 µg/m3

(14)

karena walaupun stasiun ini terletak pada daerah pemukiman padat penduduk yang kemungkinan sumber utama SO2 berasal dari

kegiatan rumah tangga dan pembakaran sampah, namun stasiun ini berada pada kecamatan Rancasari yang merupakan daerah kawasan industri. Kemungkinan besar hal ini disebabkan data yang terukur kurang valid.

Persentase perolehan data pada kelima stasiun pemantauan kualitas udara ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Persentase Perolehan Data (Jumlah Hari Pengamatan) di Stasiun Pemantauan Otomatis Bandung Stasiun BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5

SO2 (2003) 14% 34% 20% 60% 39% 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 Day SO 2

Dago Ariagraha Tirtalega Batununggal Cisaranten

Gambar 22. Grafik Konsentrasi SO2 Musim

Kering 0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 D ay

Dago Ariagraha Tirt alega

Bat ununggal Cisarant en

Gambar 23. Grafik Konsentrasi SO2 Musim

Hujan

Gambar 24. Peta Distribusi SO2 Bulan

Kering

Gambar 25. Peta Distribusi SO2 Musim

Hujan. 4.6 Pendugaan pH Air Hujan.

Hasil pengukuran BMG menunjukkan bahwa pH pada musim hujan lebih rendah daripada pH pada musim kering (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim hujan polutan di udara akan tercuci dan jatuh sebagai asam, namun frekuensi hujan yang besar akan menyebabkan polutan tercuci secara terus menerus dan konsentrasinya akan menurun sehingga lama kelamaan pH air hujan akan mendekati pH normal. Pada musim kering frekuensi kejadian hujan sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali sehingga sampel air hujan yang terukur sangat sedikit. Frekuensi hujan yang sedikit pada musim kering menyebabkan elektrokonduktivitas menjadi tinggi. Pada bulan kering konsentrasi ion basa seperti natrium, kalsium dan amonium menjadi tinggi sehingga dapat menetralkan ion sulfat yang konsentrasinya melonjak pada musim kering. Penetralan ini menyebabkan pH air hujan terukur pada musim kering menjadi normal bahkan cenderung tinggi.

(15)

Tabel 6. pH Terukur Tahun 2003 BULAN PHrata 1 4.8782 2 4.586 3 5.83 4 5.1087 5 3.6551 6 6.03 8 6.4433 9 4.4035 10 5.1165 11 4.5955 12 3.6429 (Sumber : BMG, 2003)

Hasil pendugaan pH dengan menggunakan pendekatan Hukum Henry untuk kelima stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pH air hujan di Kota Bandung masih normal bahkan sebagian stasiun (Ariagraha dan Tirtalega) mengarah ke basa (Tabel 7 dan 8). Selain itu pH pada musim kering cenderung lebih rendah daripada pH pada musim hujan, kecuali stasiun Tirtalega dan Batununggal. Hal ini disebabkan konsentrasi SO2 pada musim

kering cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi SO2 pada

musim hujan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Budiwati et al (2005) yang menyatakan bahwa kisaran air hujan Bandung pada tahun 2003 adalah 4,5 - 5,0 dengan persentase frekuensi kejadian sebanyak 24% dan 27% dengan kejadian hujan asam dengan pH < 5,6 cukup tinggi yaitu 74% dari total kejadian hujan sejak tahun 1989-2004.

Perbandingan nilai pH antara musim hujan dan musim kering di setiap stasiun tidak terlalu besar, kecuali untuk stasiun Cisaranten karena konsentrasi SO2 pada musim kering di stasiun

ini melonjak dengan sangat tajam (Gambar 26 dan 27). Hal ini disebabkan gas SO2 lebih

mudah larut dalam air sehingga Bandung yang musim basahnya lebih banyak daripada musim kering mempunyai frekuensi pencucian SO2 di

udara yang tidak begitu berbeda.

Bila dibandingkan dengan pH air hujan terukur, nilai pH dugaan jauh lebih besar daripada pH terukur, hal ini disebabkan pH dugaan diduga langsung dari data konsentrasi SO2 tanpa mempertimbangkan kontribusi dari

gas lainnya sementara pH terukur didapatkan dengan analisa ion dari polutan-polutan yang terkandung dalam sampel air hujan terukur secara keseluruhan, namun karena

kelarutannya dalam air cukup besar maka pengaruh SO2 dalam pengasaman air hujan

juga cukup besar. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan yang menunjukkan konsentrasi SO2 yang rendah sekalipun menyebabkan

penurunan pH yang cukup signifikan.

Tabel 7. pH Dugaan Mingguan Musim Hujan 2003

pH Musim Hujan

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 1 5.53 5.90 5.35 5.52 5.65 2 5.52 5.82 5.72 5.53 5.62 3 5.52 5.94 5.75 5.46 5.54

4 − 5.89 5.78 5.50 5.48

Tabel 8. pH Dugaan Mingguan Musim Kering 2003

pH Musim Kering

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 1 5.49 5.87 5.76 5.79 5.43 2 5.51 5.88 5.75 5.57 5.52 3 5.49 5.95 5.76 5.82 5.21 4 5.48 5.86 5.69 5.76 5.33 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D ay

Dago Ariagraha Tirtalega

Batununggal Cisarant en pH normal

Gambar 26. Grafik pH Dugaan Musim Hujan

4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D a y

Dago Ar iagr aha Tir t alega

Bat ununggal Cisar ant en pH nor mal

(16)

Tabel 6. pH Terukur Tahun 2003 BULAN PHrata 1 4.8782 2 4.586 3 5.83 4 5.1087 5 3.6551 6 6.03 8 6.4433 9 4.4035 10 5.1165 11 4.5955 12 3.6429 (Sumber : BMG, 2003)

Hasil pendugaan pH dengan menggunakan pendekatan Hukum Henry untuk kelima stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pH air hujan di Kota Bandung masih normal bahkan sebagian stasiun (Ariagraha dan Tirtalega) mengarah ke basa (Tabel 7 dan 8). Selain itu pH pada musim kering cenderung lebih rendah daripada pH pada musim hujan, kecuali stasiun Tirtalega dan Batununggal. Hal ini disebabkan konsentrasi SO2 pada musim

kering cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi SO2 pada

musim hujan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Budiwati et al (2005) yang menyatakan bahwa kisaran air hujan Bandung pada tahun 2003 adalah 4,5 - 5,0 dengan persentase frekuensi kejadian sebanyak 24% dan 27% dengan kejadian hujan asam dengan pH < 5,6 cukup tinggi yaitu 74% dari total kejadian hujan sejak tahun 1989-2004.

Perbandingan nilai pH antara musim hujan dan musim kering di setiap stasiun tidak terlalu besar, kecuali untuk stasiun Cisaranten karena konsentrasi SO2 pada musim kering di stasiun

ini melonjak dengan sangat tajam (Gambar 26 dan 27). Hal ini disebabkan gas SO2 lebih

mudah larut dalam air sehingga Bandung yang musim basahnya lebih banyak daripada musim kering mempunyai frekuensi pencucian SO2 di

udara yang tidak begitu berbeda.

Bila dibandingkan dengan pH air hujan terukur, nilai pH dugaan jauh lebih besar daripada pH terukur, hal ini disebabkan pH dugaan diduga langsung dari data konsentrasi SO2 tanpa mempertimbangkan kontribusi dari

gas lainnya sementara pH terukur didapatkan dengan analisa ion dari polutan-polutan yang terkandung dalam sampel air hujan terukur secara keseluruhan, namun karena

kelarutannya dalam air cukup besar maka pengaruh SO2 dalam pengasaman air hujan

juga cukup besar. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan yang menunjukkan konsentrasi SO2 yang rendah sekalipun menyebabkan

penurunan pH yang cukup signifikan.

Tabel 7. pH Dugaan Mingguan Musim Hujan 2003

pH Musim Hujan

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 1 5.53 5.90 5.35 5.52 5.65 2 5.52 5.82 5.72 5.53 5.62 3 5.52 5.94 5.75 5.46 5.54

4 − 5.89 5.78 5.50 5.48

Tabel 8. pH Dugaan Mingguan Musim Kering 2003

pH Musim Kering

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5 1 5.49 5.87 5.76 5.79 5.43 2 5.51 5.88 5.75 5.57 5.52 3 5.49 5.95 5.76 5.82 5.21 4 5.48 5.86 5.69 5.76 5.33 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D ay

Dago Ariagraha Tirtalega

Batununggal Cisarant en pH normal

Gambar 26. Grafik pH Dugaan Musim Hujan

4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D a y

Dago Ar iagr aha Tir t alega

Bat ununggal Cisar ant en pH nor mal

(17)

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 1 7 12 16 20 24 28 32 36 40 M inggu k e -pH pH Bandung pH_Normal

Gambar 28. Grafik pH Terukur Stasiun Cuaca BMG Bandung

Pendugaan pH dengan menggunakan pendekatan hukum Henry telah lama digunakan di banyak negara karena hukum Henry membantu dalam memperkirakan jumlah tiap-tiap gas yang terlarut baik dalam air hujan, air tanah, sungai atau pelarut lainnya, seperti alkohol.

Penggunaan hukum Henry untuk melihat kelarutan gas dalam cairan telah dilakukan oleh Ross dan Elaine (1989), Krishna (1994), Davidovits et al (1997), dan yang terbaru adalah Jaffe et al (2007).

Penelitian yang menggunakan metode dan parameter seperti dalam penelitian ini adalah yang dilakukan Krishna (1994) yang melakukan penelitian tentang pengaruh kuat penipisan konsentrasi asam sulfat terhadap kelarutan SO2. Analisis yang dilakukan oleh

Krishna menggunakan metode dan parameter yang sama seperti dalam penelitian ini , yaitu mempertimbangkan pengaruh tekanan parsial gas, penentuan nilai hukum Henry dan konstanta kesetimbangan hidrolisis SO2, serta

pengaruh suhu terhadap nilai hukum Henry, namun tidak menghitung nilai pH melainkan menggunakan pH sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi total SO2 terlarut yang

berada dalam bentuk oksidasi tingkat 4 (S(IV). Hukum Henry digunakan untuk melihat jumlah konsentrasi gas SO2 dalam larutan (dalam hal

ini air). Hasil penelitian Krishna menunjukkan bahwa data hasil eksperimen hampir sama dengan data literatur.

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, penelitian Krishna lebih menekankan berapa jumlah konsentrasi gas SO2 yang terlarut apabila konsentrasi asam

sulfur dalam larutan juga tinggi, sedangkan pada penelitian ini lebih menekankan pengaruh SO2 terhadap pH namun kedua penelitian

menggunakan metode yang sama dan terlihat bahwa penelitian yang dilakukan Krishna memberikan hasil yang hampir sama dengan data literatur sedangkan pada penelitian ini

hasilnya lebih besar dan berlawanan daripada data terukur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi data yang kurang memadai dan tidak mengelompokkan data konsentrasi gas SO2 dengan kejadian hujan sehingga sumber

ion Hidrogen dalam sistem ini hanya berasal dari [HSO3-] tanpa menghitung ion Hidrogen

dari air. Selain itu gas yang menyebabkan penurunan pH air hujan bukan hanya SO2

tetapi gas NOx (NO2, NH3) dan CO2 juga ikut

mempengaruhi penurunan pH air hujan, sehingga gas-gas ini harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Penggunaan satu parameter gas akan menyebabkan hasil dugaan menjadi kurang akurat.

4.7 Distribusi pH Air Hujan

Distribusi pH di setiap stasiun dengan periode mingguan pada musim hujan dan musim kering terlihat dari Gambar 29 – 36. Gambar lingkaran yang memusat disuatu daerah (stasiun) menunjukkan tinggi/rendahnya konsentrasi gas SO2 di

stasiun tersebut sehingga diperkirakan di stasiun tersebut pH akan meningkat atau menurun.

Distribusi pH pada musim hujan minggu pertama menunjukkan stasiun yang memiliki pH paling rendah adalah BAF3 yaitu Tirtalega dan berturut-turut diikuti oleh Batununggal (BAF4) dan Dago (BAF1). Nilai pH di stasiun Cisaranten (BAF5) adalah normal sementara pH paling tinggi terjadi pada stasiun Ariagraha.

Distribusi pH pada musim hujan minggu kedua menunjukkan bahwa pH terendah telah bergesar ke stasiun Dago (BAF1) diikuti oleh stasiun Batununggal (BAF4). Stasiun Cisaranten (BAF5) masih menunjukkan pH yang normal sementara pH stasiun Tirtalega melonjak tinggi dan mendekati basa karena konsentrasi gas SO2 di stasiun ini hanya tinggi

pada minggu pertama musim hujan dan berangsur-angsur menurun seiring dengan penambahan hari. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya intensitas dan kejadian hujan pada minggu pertama di stasiun ini sehingga pencucian gas SO2 menjadi tinggi.

Stasiun Ariagraha (BAF2) masih merupakan satasiun dengan pH tertinggi.

Pada minggu ketiga musim hujan pH terendah masih terjadi di BAF1 diikuti oleh BAF4 dan BAF5. Nilai pH di BAF5 menurun dibandingkan pada minggu pertama dan kedua. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas industri yang terjadi di sekitar stasiun ini. BAF2 dan BAF3 tetap menunjukkan pH tertinggi.

(18)

Pada minggu keempat musim hujan pH terendah bergeser ke BAF5 diikuti oleh BAF4 sementara BAF1 tidak ada data gas SO2 yang

terukur sehingga tidak ada pendugaan pH. BAF3 menunjukkan pH yang normal sementara BAF2 tetap menunjukkan pH yang tinggi.

Peta Distribusi pH Mingguan Musim Hujan

Gambar 29. Minggu I

Gambar 30. Minggu II

Gambar 31. Minggu III

Gambar 32. Minggu IV

Distribusi pH minggu pertama pada musim kering menunjukkan konsentrasi pH terendah terjadi di BAF5 diikuti oleh BAF1 sementara BAF3 dan BAF4 memiliki pH yang normal. BAF2 tetap merupakan stasiun dengan pH tertinggi.

Pada minggu kedua musim kering pH di BAF1 dan BAF5 hampir sama namun sedikit meningkat bila dibandingkan dengan minggu pertama. BAF4 mengalami penurunan pH namun tidak signifikan sehingga masih menunjukkan pH yang normal begitu juga dengan BAF3. BAF2 masih memiliki pola kontur yang sama yang menunjukkan pH di stasiun ini adalah yang paling tinggi.

Pada minggu ketiga terjadi penurunan pH secara drastis di BAF5 diikuti oleh BAF1, sebaliknya BAF2 dan BAF4 menunjukkan peningkatan pH yang sangat drastis dimana pola kontur memusat terlihat hanya berada di BAF2. BAF3 masih menunjukkan pH yang normal.

Pada minggu keempat musim kering pola kontur masih sama seperti minggu ketiga dimana pH terendah masih terjadi di BAF5 diikuti oleh BAF1. BAF3 mengalami penurunan pH tetapi masih dalam kisaran normal, sementara BAF4 dan BAF2 tetap menunjukkan pH yang tinggi dimana terlihat bahwa kontur memusat hanya terjadi pada BAF2.

(19)

Peta Distribusi pH Mingguan Musim Kering

Gambar 33. Minggu I

Gambar 34. Minggu II

Gambar 35. Minggu III

Gambar 36. Minggu IV 4.8 Distribusi Gas SO2 dan pH

Distribusi gas SO2 di udara ditunjukkan

oleh dispersinya. Dispersi polutan jangka pendek yang dilepaskan dari sumber dekat permukaan, secara umum ditentukan oleh gerakan skala kecil dan proses yang terjadi di lapisan terbawah atmosfer yang disebut lapisan perbatas permukaan (Planetary Boundary Layer). Lapisan perbatas permukaan terbentuk sebagai konsekuensi dari interaksi antara atmosfer dengan permukaan daratan atau air yang ada di bawahnya dalam periode waktu yang singkat, yaitu antara satu jam hingga satu hari.

Dispersi polutan sangat berhubungan erat dengan kondisi atmosfer setempat, yang bergantung pada sistem cuaca, sirkulasi angin dan turbulensi serta efek mikrometeorologi setempat. Parameter meteorologi paling penting yang mengendalikan penyebaran polutan (arah, waktu dan konsentrasi) adalah kecepatan dan arah angin serta derajat percampuran yang berkaitan dengan turbulensi di atmosfer.

Deposisi kering untuk gas SO2

umumnya cepat karena gas ini daya kelarutannya cukup besar. Hal ini memberikan pengertian bahwa air merupakan proses yang penting dalam deposisi. Fluks gas yang jatuh ke permukaan bumi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

F = VgC

dimana F adalah fluks, Vg adalah kecepatan deposisi yang nilainya berbeda tergantung permukaan tempat terjadinya deposisi dan C adalah konsentrasi gas (biasanya diukur pada ketinggian standar yaitu 1 m). Kecepatan deposisi gas SO2 di permukaan bumi,

permukaan lautan dan permukaan tanah dan vegetasi masing-masing adalah 0.8, 0.7-0.1, dan 0.14-2.2 (Brimblecombe, 1986). Terlihat bahwa deposisi untuk gas yang mempunyai daya kelarutan yang tinggi sekalipun seperti

(20)

SO2, di permukaan basah, kecepatan deposisi

kurang dari 1 cm s-1. Kecepatan ini adalah laju

dimana sebuah kolom gas akan terdeposit ke permukaan. Hal ini berarti bahwa gas yang terperangkap pada 100 m pertama atmosfer akan diserap oleh permukaan bumi sekitar 105

detik atau sekitar 28 jam jika Vg bernilai 1 cm

s-1. Kecepatan deposisi yang lambat dapat

menggambarkan laju pembersihan yang cepat. Sehingga terlihat bahwa laju adalah ekuivalen dengan waktu tinggal yang mendekati satu hari.

Peristiwa difusi di atmosfer tergantung pada kecepatan angin rata-rata dan karakteristik dari turbulensi atmosfer. Arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi kecepatan transport dan pengenceran polutan serta daerah dimana polutan akan terdeposisi, sementara karakteristik turbulensi ini menentukan karakteristik stabilitas atmosfer. Turbulensi terdiri dari eddi vertikal dan horizontal yang mencampur polutan dengan udara di sekitarnya. Saat turbulensi kuat, polutan didispersikan dengan lebih cepat. Turbulensi kuat terjadi pada atmosfer yang tidak stabil dimana terjadi gerakan vertikal. Gerak vertikal terjadi karena adanya aliran konveksi akibat pemanasan permukaan bumi (Schnelle dan Dey, 2000). sedangkan pendinginan radiasi akan menyebabkan udara lebih rapat di permukaan dan menghasilkan komponen aliran udara yang sejajar terhadap lereng cukup besar, yang disebut drainage

winds. Sebagaimana yang terjadi di cekungan

Bandung, topografi yang asimetris menyebabkan adanya ketidakteraturan pola, sehingga seringkali muncul gerak massa udara vertikal, turbulensi terutama di dekat lereng-lereng pegunungan, serta angin lemah (calm) di lapisan udara yang sangat dekat dengan permukaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Oke (1978) bahwa pola aliran aktual udara di atas topografi yang rumit sulit untuk diprediksi atau diukur maupun digeneralisasi.

Kondisi topografi yang berbukit dan dikelilingi oleh pegunungan menyebabkan pada malam hari peluang terjadinya kondisi stabil yang menyebabkan inversi lebih besar. Selain itu kondisi yang satabil akan menyebabkan turbulensi menjadi lemah sehingga percampuran polutan dengan udara sekitarnya menjadi terhambat.

Inversi yang menyebabkan terjadinya angin lemah (calm) juga akan membuat dispersi polutan menjadi terhambat karena udara tidak dapat melewati barrier pegunungan dan akhirnya turun kembali ke lereng. Kecepatan angin di tiap stasiun juga rendah

sehingga pengenceran polutan menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan polutan terakumulasi di tempat tersebut, terutama tempat-tempat yang merupakan sumber pencemar seperti kawasan industri, kawasan perumahan padat penduduk dan kawasan pusat aktivitas perdagangan dan komersil.

Stasiun Dago yang merupakan dataran tinggi memiliki konsentrasi yang tinggi dan cenderung tetap karena kecepatan dan arah angin serta distribusi gas SO2 di stasiun Dago

terutama dipengaruhi oleh kondisi pegunungan.

Pada siang hari saat terjadinya konveksi udara yang membawa polutan dari lembah akan bergerak menaiki lereng. Gerakan udara vertikal di lembah juga kemungkinan besar akibat adanya pertemuan dua arah angin yang berlawanan antara angin yang naik ke lereng dan yang turun, serta arah angin yang menuju pusat ke pusat cekungan dari kedua sisi. Pada malam hari saat kondisi stabil udara tidak dapat keluar dari daerah tersebut dan terjadi terus menerus sehingga konsentrasi di stasiun tersebut menjadi cenderung tetap. Udara yang stabil secara statis jika melalui pegunungan akan membuat suatu gelombang. Gelombang yang lebih panjang akan terjadi jika angin lebih kuat atau stabilitas statisnya melemah. Suhu udara dan kecepatan angin di stasiun Dago cenderung rendah sehingga kondisi stabilitasnya tinggi.

Arah dispersi gas SO2 di stasiun Dago

pada musim hujan dan musim kering berdasarkan arah angin ditunjukkan oleh Gambar 37 dan 38.

Pada musim hujan konsentrasi gas SO2

yang didispersikan berkisar antara 50 hingga lebih dari 70 μg/m3 ke arah Barat Daya, Barat,

Barat Laut, Utara hingga Timur Laut dengan sedikit ke arah Tenggara, sehingga terlihat dispersi gas SO2 di stasiun Dago pada musim

hujan dipengaruhi oleh angin Timuran, namun konsentrasi gas SO2 yang didispersikan ke arah

Tenggara lebih besar daripada yang didispersikan ke Arah Baratan.

Pada musim kering gas SO2 yang

didispersikan hampir sama dengan gas SO2

yang didispersikan pada musim hujan yaitu bernilai antara 60 - 70 μg/m3. Arah dispersi

gas tersebut adalah ke arah Timur Laut dan utara sehingga terlihat dispersi gas SO2 di

stasiun Dago pada musim kering dipengaruhi oleh angin Barat Laut.

Gas SO2 yang didispersikan ke arah

Utara akan kembali lagi ke daerah sekitas stasiun Dago karena bagian utara Dago adalah pegunungan sehingga pada malam hari dimana

(21)

udara stabil gas SO2 akan kembali karena tidak

dapat melewati barrier pegunungan.

Kecepatan dan arah angin serta distribusi gas SO2 di keempat stasiun lainnya

dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu dan tekanan udara vertikal maupun horizontal.

Kondisi bangunan tinggi akan mempengaruhi turbulensi karena udara akan dipanaskan dari bawah bangunan tersebut sehingga terjadi konveksi. Turbulensi akan menyebabkan percampuran polutan dengan udara di sekitarnya menjadi lebih cepat.

Arah dispersi gas SO2 di stasiun

Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berdasarkan arah angin ditunjukkan oleh Gambar 39 dan 46.

Konsentrasi gas SO2 yang didispersikan

dari stasiun Ariagraha pada musim hujan bervariasi dari 5 μg/m3 hingga lebih 50 μg/m3.

Arah dispersi terbanyak adalah ke arah Tenggara karena arah angin dominan di stasiun ini adalah ke arah Tenggara dengan sedikit ke arah Barat (termasuk Barat daya, Barat dan Barat Laut, namun konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Barat lebih tinggi daripada gas SO2 yang didispersikan ke arah

Tenggara (Gambar 39).

Pada musim kering konsentrasi gas SO2

yang didispersikan lebih kecil yaitu antara 5 μg/m3 hingga 25 μg/m3. Arah dispersi

terbanyak tetap ke arah Tenggara (Gambar 40). Konsentrasi gas SO2 yang didispersikan

dari stasiun Tirtalega pada musim hujan cukup besar dan bervariasi antara 20 μg/m3 hingga

100 μg/m3. Gas SO

2 didispersikan hampir ke

segala arah dari arah Timur hingga ke arah Barat Laut, sedangkan pada musim kering konsentrasi gas SO2 yang didispersikan adalah

kecil dengan kisaran antara 20 μg/m3 hingga

40 μg/m3 dengan arah dispersi dominant ke

arah Timur dan Tenggara dengan sedikit ke arah Barat, konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Barat lebih besar, tetapi konsentrasi gas yang didispersikan ke arah Timur dan Tenggara lebih bervariasi.

Konsentrasi gas SO2 yang didispersikan

dari stasiun Batununggal pada musim hujan cukup besar dengan kisaran antara 30 μg/m3

hingga lebih dari 100 μg/m3, dengan arah

dominant ke arah Barat dan Barat Laut dan sedikitke arah Tenggara dengan konsentrasi yang lebih rendah. Pada musim kering konsentrasi gas SO2 yang didispersikan lebih

rendah yaitu berkisar antara 10 μg/m3 - 50

μg/m3 dengan arah dominant ke arah Timur

dan Tenggara dan sedikit ke arah Barat.

Konsentrasi gas SO2 yang didispersikan

dari stasiun Cisaranten pada musim hujan sanagt besar dengan isaran antara 40 μg/m3

hingga lebih dari 100 μg/m3 dengan arah

dominan ke Timur Laut dan Timur dengan sedikit ke arah Barat. Pada musim kering gas SO2 yang didispersikan jauh lebih besar

daripada gas yang didispersikan pada musim hujan yaitu berkisar antara 40 μg/m3 hingga

lebih dari 200 μg/m3 dengan arah dispersi tetap

ke arah Timur Laut dan Timur.

Jika diperhatikan rata-rata gas SO2 yang

dikonsentrasikan dari setiap stasiun pada musim kering lebih rendah daripada gas yang dikonsentrasikan pada musim hujan, selain itu di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten terdapat angin lemah sehingga gas SO2 tidak terdispersi tetapi tetap berada di

daerah tersebut. Hal ini menyebabkan pada musim kering konsentrasi gas SO2 pada musim

kering tetap lebih lebih tinggi karena gas yang didispersikan hanya sedikit.

Terlihat dari gambar distribusi gas SO2

bahwa arah angin (dispersi) terbanyak adalah ke arah Barat (termasuk Barat Daya dan Barat Laut) pada musim hujan dan ke arah Timur (termasuk Tenggara dan Timur Laut) pada musim kering sehingga dapat diperkirakan pada musim hujan gas-gas So2 ini akan terbawa ke daerah Dago (kecamatan Coblong), Kecamatan Bandung Wetan, Kecamatan Kiara condong, Kecamatan Cicendo, Kecamatan Andir dan Kecamatan Babakan Ciparay, sementara pada musim kering diperkirakan distribusi gas SO2 akan menuju Kecamatan

Cicadas, Kecamatan Ujung Berung (Cisaranten Wetan), Kecamatan Cibiru, Kecamatan Rancasari (Ariagraha) dan Kecamatan Margacinta, sehingga diperkirakan pH air hujan di daerah-daerah ini akan menurun.

Gambar 37. Distibusi Gas SO2 Musim

(22)

Gambar 38. Distribusi Gas SO2 Musim

Kering Dago

Gambar 39. Distribusi Gas SO2 Musim

Hujan Ariagraha

Gambar 40. Distribusi Gas SO2 Musim

Kering Ariagraha

Gambar 41. Distribusi Gas SO2 Musim

Gambar 42. Distribusi Gas SO2 Musim

Kering Tirtalega

Gambar 43. Distribusi Gas SO2 Musim

Hujan Batununggal

Gambar 44. Distribusi Gas SO2 Musim

(23)

Gambar 45. Distribusi Gas SO2 Musim Hujan

Cisaranten

Gambar 46. Distribusi Gas SO2 Musim

Gambar

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung
Gambar 9. Kelarutan SO 2  Dalam Air Versus  Suhu
Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun  Kualitas Udara Bandung
Gambar 12. Arah dan Kecepatan      Angin Musim Hujan Dago
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat dilihat Gambar 1 jumlah soal yang termasuk soal pemecahan masalah matematika yang terdapat dalam buku paket siswa kelas XI peminatan dengan judul

Grafik di atas menunjukkan bahwa responden dengan perlakuan infra red dengan penambahan mobilisasi saraf menunjukkan hasil bahwa pada fase baseline 1 (hari ke-1 sampai

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2016 merupakan penjabaran RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2019 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dan

Drainase / Sekresi Kewaspadaan - ini dirancang untuk mencegah infeksi yang ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan materi purulen atau drainase dari situs

 permeabilitas.Nilai koefisien permeabilitas vertical lebih kecil dibanding dengan koefisien permeabilitas horizontal Hasil pengukuran permeabilitas yang telah

Setelah data yang diperoleh dilapangan dianalisis, maka disimpulkan bahwa: (1) tanggung jawab belajar di Sekolah Menengah Kejuruan Darel Hikmah Pekanbaru mencapai

Pada tahun 2020 Puslitdatin dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dibidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) menetapkan

Penambahan jenis benih ikan hias yang diproduksi, variasi harga jual benih ikan hias, variasi biaya dan permintaan ketujuh benih ikan hias tersebut serta ketersediaan sumberdaya