• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia sebagaimana diatur lebih rinci dalam Pasal 33 Undang-Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia sebagaimana diatur lebih rinci dalam Pasal 33 Undang-Undang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan pembangunan, terutama di bidang perekonomian, yang bertumpu pada tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Tujuan pembangunan nasional Indonesia antara lain adalah memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diatur lebih rinci dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah perlu meningkatan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik dalam bidang regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sekaligus memberi kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan negara.

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri yang berupa pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Pajak dipungut dari rakyat oleh pemerintah, dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya.1

Berbagai persoalan ekonomi yang mempengaruhi dunia usaha secara langsung mempengaruhi sumber pendapatan negara melalui pajak. Gejolak krisis

(2)

2

moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 dan 1998 yang lalu mengakibatkan dampak yang sangat luas perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dolar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami kebangkrutan.

Krisis moneter yang berpangkal pada soal nilai tukar mata uang rupiah, telah benar-benar memperlemah dan bahkan mematikan kemampuan pembiayaan di kalangan dunia usaha. Kebutuhan bahan baku impor, khususnya bagi kegiatan usaha yang bersifat substitusif, sangat terganggu. Apa yang dialami para debitor pada waktu itu adalah suatu keadaan yang tidak mampu diduga pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau surat utang diterbitkan, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah yang diluar dugaan. Akibat dari keadaan yang tidak mampu diduga atau diperkirakan tersebut menjadi tidak tertanggungkan pula oleh debitor. Pemenuhan kewajiban pembayaran terganggu karena mata uang asing yang diperlukan harus dibeli dengan rupiah yang nilai tukarnya telah sangat jauh terdepresiasi secara berantai, kelangsungan produksi terancam dan bahkan kegiatan pesokan bahan pelengkap dari sumber-sumber sub kontrak di dalam negeri juga terganggu. Bagi usaha yang bersifat substitusi impor, yang terlihat adalah kelangkaan produksi di pasar. Sedangkan bagi usaha yang berorientasi ekspor tidak ada lagi produk yang dapat diekspor, pada gilirannya memperlemah cadangan dan kemampuan pembayaran atas barang atau bahan impor.2

Setiap dalam praktik dunia usaha sudah sangat lazim apabila perusahaan memiliki utang kepada berbagai pihak, misalnya bank atau lembaga keuangan dan

2 Rudhy A. Lontoh, Deny Kailimang, Benny Ponto (eds), 2001, Penyelesaian Utang Piutang

(3)

3

pihak perseorangan lainnya. Selama masih dapat membayar atau melunasi utang tersebut, berutang tidaklah salah. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban melunasi utang-utangnya itu disebut sebagai perusahaan yang solvable, sedangkan perusahaan yang tidak mampu lagi membayar utang-utangnya disebut sebagai perusahaan yang insolvable atau tidak mampu membayar.3

Secara teoritik, seperti umumnya utang piutang, debitor yang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian. Debitor dapat merundingkan permintaan penghapusan utang, baik untuk sebagian atau seluruhnya. Debitor dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, debitor dapat pula mengubah pinjaman menjadi penyertaan saham, selain kemungkinan tadi debitor dapat pula merundingkan permintaan penundaan kewajiban pembayaran utang, sebagai jalan akhir barulah ditempuh pemecahan melalui proses kepailitan.4 Menurut Munir Fuady, perusahaan yang mengalami kepailitan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar utangnya.5

Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit dijatuhkan. Mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang

3 Ridwan Khairandy. dkk, 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Kerja Sama Pusat Studi Hukum FH UII dengan Gama Media, Yogyakarta, hlm. 287

4 Rudhy A. Lontoh, Op. Cit. hlm.101

5 Munir Fuady. 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Ctk kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung.hlm, 75

(4)

4

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, maka akibat hukum dengan jatuhnya vonis pailit, mengakibatkan debitor berada dalam kondisi tidak lagi berwenang untuk melakukan pengurusan asetnya, karena seluruh hartanya diletakkan dalam status sita umum, dibawah penguasaan kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga dan dibawah pengawasan Hakim Pengawas.6

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, akibat hukum bagi debitor yang dinyatakan pailit terhitung sejak tanggal putusan pailit dinyatakan, maka debitor pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit (harta pailit). Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menentukan bahwa harta debitor pailit yang sudah ada pada saat debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung digunakan untuk membayar semua kreditornya secara adil dan merata yang dilakukan seorang kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit. Pelaksanaan pengurusan harta pailit oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.7

6

Anton Suharyanto, 2013, Implementasi Undang-Undang Kepailitan dan Implikasinya

Tehadap Piutang Negara, Makalah BPPK Departemen Keuangan, Jakarta, hlm. 31

7 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.62

(5)

5

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, diundangkan dengan itikad untuk melindungi hak-hak para kreditor yang memiliki piutang pada pihak yang pailit, mengingat pada umumnya aset yang ditinggalkan oleh pihak yang pailit jumlahnya lebih kecil daripada jumlah utangnya. Sehingga kondisi tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan kekacauan apabila jumlah kreditor lebih dari satu, karena mereka masing-masing akan saling berebut untuk menguasai aset yang ditinggalkan sebagai kompensasi pelunasan piutangnya, dan pada akhirnya diantara para kreditor akan berlaku: “siapa cepat/kuat dia dapat, dan siapa lambat/lemah dia gigit jari”. Dengan diaturnya ketentuan pailit dalam undang-undang ini, maka para kreditor tidak akan lagi saling berebut karena masing-masing akan mendapatkan kompensasi pelunasan utangnya secara proporsional sesuai prinsip “pari pasu pro rata parte”.8

Persoalan pailit perusahaan menjadi salah satu fenomena perekonomian yang tidak dapat dihindari dalam dunia usaha. Utang perusahaan yang pailit terhadap kreditor perlu mendapatkan perhatian, terutama terhadap kreditor preferen, karena perusahaan yang pailit seringkali tidak melaksanakan kewajibannya terhadap kreditor preferen baik sebagian maupun seluruhnya atau dengan kata lain masih memiliki utang, terutama apabila pailit tersebut terjadi pada perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kontribusi signifikan dalam penyetoran pajak dan pajaknya masih belum dipenuhi seluruhnya, atau dengan kata lain masih memiliki utang pajak.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam kondisi perusahaan pailit atau menunda kewajiban pembayaran utang, kreditor yang lebih

(6)

6

tinggi kedudukannya harus didahulukan dalam hal pembayaran. Menurut ketentuan Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyatakan bahwa hak mendahului untuk tagihan pajak mendahului segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang atau melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak; b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;

c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Penjelasan Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 menyatakan bahwa ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahului atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak.

Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, dengan tegas menyatakan bahwa negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa ayat ini

(7)

7

menetapkan kedudukan negara sebagai kreditor preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditor lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Menurut Sumyar, mengacu pada ketentuan Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tesebut, maka pelunasan utang pajak mempunyai hak mendahulu (preferen) untuk pelunasannya dibanding utang lainnya, kecuali untuk pelunasan yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Mengenai pengecualian tersebut adalah logis karena dikhususkan untuk biaya perkara dan biaya eksekusi yang merupakan tindakan pertama sekali untuk menyelamatkan harta debitor atau wajib pajak.9

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa hak yang didahulukan adalah hak (preferen). Meskipun sudah ada pengaturan yang jelas mengenai kedudukan negara yang memiliki hak mendahulu (preferen) atas pelunasan utang pajak, tetapi dalam prakteknya banyak sekali terjadi kasus kepailitian pada perusahaan yang masih mempunyai tanggungan utang pajak tetapi negara tidak memperoleh hak mendahulu atas utang pajak dan faktanya hak tersebut dapat gugur. Hal inilah yang dapat menyebabkan adanya kecenderungan bagi penunggak pajak untuk melakukan penghindaran pembayaran utang pajak.

Fakta tersebut dapat terjadi karena dalam pertimbangan maupun dalam putusan hakim putusan hakim pada kasus kepailitan, hakim tidak memberikan hak

9 Sumyar, 2004, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Cet. 1, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm. 95

(8)

8

mendahulu pada negara untuk mendapatkan pelunasan/pembayaran atas utang pajak yang menjadi tanggungan debitor pailit atau dengan kata lain putusan pengadilan tidak memberikan hak preferen pada negara sebagai pemegang hak yang didahulukan dalam pelunasan utang pajak debitor, atau bisa juga diberikan tetapi, pemenuhannya/ pelunasannya utang pajak tersebut tidak sesuai dengan utang pajak yang dimiliki oleh debitor pailit. Fakta ini dapat dibuktikan dalam putusan Mahkamah Agung pada kasus kepailitan sebagai berikut:

1. Kasus Kepailitan PT REDSEA INDONESIA

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 016 K/N/2007 11 Juli 2007, dalam amar putusannya menyatakan Kantor Pajak yang memiliki tagihan Pajak, tidak dalam kedudukan Kreditor Preferent seperti dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), melainkan Kantor Pajak mempunyai kedudukan yang berwenang menagih tunggakan pajak (bukan tunggakan kredit/utang) dan memiliki kewenangan eksekusi berdasarkan Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Undang-Undang No.6 Tahun 1983 jo. Nomor 9 Tahun 1994.

2. Kasus Kepailitan PT. BESTINDO TATA INDUSTRI

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368 K/PDT.SUS/2012 tanggal 26 Juni 2012, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Kementerian Keuangan RI Dirjen Pajak Kantor Wilayah DJP Banten KPP Pratama Serang. Pemohon kasasi sebagai kreditor kehilangan hak terhadap hasil penjualan benda pailit karena tagihan pajak dilakukan setelah 2 tahun sejak insolvensi terhadap harta Pailit, sehingga hasil penjualan dalam suatu daftar pembagian yang lebih dahulu telah diperuntukkan bagi para kreditor lainnya secara mendahulukan.

(9)

9

3. Kasus Kepailitan METROCORP INDONUSA

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 963 K/ Pdt.Sus/2010 tanggal 2 Februari 2011, dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari KPP Pratama Bandung Bojonagara. Kantor Pajak telah lalai/terlambat menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas Daftar Pembagian kepada Kurator PT Metrocorp Indonusa (dalam pailit).

Mahkamah Agung Republik Indonesia 168 PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 16 April 2013, dalam amar putusannya menolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari KPP Pratama Bandung Bojonagara. Surat-surat bukti yang dilampirkan dalam memori peninjauan kembali bukan bernilai sebagai novum yang menentukan

4. Kasus Kepailitan PT. Artika Optima Inti (PT AOI)

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 124 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 23 April 2009 dalam amar putusan menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., 2. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tanah Abang dua. Utang pajak adalah utang berdasarkan hukum publik dan harus dibayar lebih dahulu dari pada utang-utang lainnya, Namun apabila peraturan Undang-Undang tersebut dilaksanakan, maka upah buruh tidak akan terbayar, padahal masalah kepentingan buruh dirasakan para buruh lebih mendesak dari pada piutang-piutang lainnya.

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 070 PK/PDT.SUS/2009 30 September 2009, dalam amar putusanya: 1) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tanah Abang dua. Pelunasan utang pajak harus didahulukan setelah itu baru

(10)

10

pelunasan terhadap gaji karyawan dan piutang Bank Mandiri. 2) membatalkan putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 23 April 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 22/PAILIT/2007/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 13 Januari 2009.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, diundangkan dengan itikad untuk melindungi hak-hak para kreditor yang memiliki piutang pada pihak yang pailit. Pentingnya memahami kedudukan negara sebagai pemegang hak mendahulu (preferen) atas utang pajak dalam kasus kepailitan adalah sama pentingnya dengan memahami peran penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengakaji lebih dalam permasalahan yang berhubungan dengan hak mendahulu negara atas utang pajak dalam pertimbangan dan putusan hakim Mahkamag Agung pada kasus kepailitan. Penelitian ini penulis susun dalam bentuk tesis dengan judul Analisis Perbedaan

Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Terhadap Hak Mendahulu Atas Utang Pajak Pada Kasus Kepailitan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Kepailitan pada hakekatnya akan menyangkut status hukum dari subjek hukum yang bersangkutan (baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum badan hukum/bukan badan hukum). Untuk dapat dinyatakan pailit, maka harus berdasarkan keputusan hakim dan harus mengikuti syarat dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(11)

11

Umumnya sebuah perusahaan memiliki utang pada lebih dari satu kreditor, dan salah satu diantaranya pastinya berupa utang pajak kepada negara. Utang pajak perusahaan selalu timbul setiap tahun pajak, dan meskipun vonis pailit dijatuhkan belum menjamin bahwa semua utang-utang pajaknya telah lunas karena masih perlu pemeriksaan pajak terlebih dahulu untuk memastikan jumlah utang pajak perusahaan yang sebenarnya.

Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di atas, seringkali terjadi putusan-putusan hakim Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan yang menyangkut utang pajak berbeda-beda, dan dapat juga saling bertentangan, bahkan dalam perkara yang sama dalam kasus kepailitan pertimbangan hakim Mahkamah Agung yang menyangkut utang pajak dalam tingkat Kasasi berbeda dengan pertimbangan hakim tingkat Peninjauan Kembali, sehingga sering kali dalam putusannya mencerminkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan dan hukum pajak, yang pada akhlirnya akan melahirkan ketidak pastian hukum dan ketidakadilan.

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan?

2. Bagaimana kedudukan hak mendahulu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam peraturan perundang-undangan kepailitan?

(12)

12

C. Keaslian Penelitian

Pada saat penelitian ini dilaksanakan belum ada peneliti lain yang meneliti tentang “Analisis Perbedaan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Terhadap Hak Mendahulu Atas Utang Pajak Pada Kasus Kepailitan”, tetapi beberapa peneliti yang sejenis telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Albert Richi Aruan (2010) dengan judul Kedudukan Negara atas utang pajak PT Artika Optima Inti dalam Kasus Kepailitan. Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.10

Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang 1) bagaimana penerapan hak mendahulu (preferen) yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak atas penagihan utang pajak perusahaan pailit dalam perkara kepailitan PT. AOI?, 2) Bagaimana pengaturan Perundangan Perpajakan terhadap penagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit?; 3) Sejauh mana Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang UUK dan PKPU mengatur pelunasan tagihan utang pajak perusahaan dalam proses pailit?

Dari hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Penerapan hak mendahulu yang dimiliki negara dalam kasus utang pajak ternyata tidaklah serta merta dapat dilaksanakan apabila terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih memiliki utang pajak. 2) Penagihan utang pajak terhadap perusahaan dalam proses pailit tidak diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan. 3) proses pelunasan tagihan utang pajak perusahaan pailit juga tidak secara khusus diatur dalam UUK dan PKPU.

10 Albert Richi Aruan, 2010, Kedudukan Negara atas utang pajak PT Artika Optima Inti dalam

(13)

13

Perbedaan penelitian yang dilakukan dalam tesis ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Albert Richi Aruan (2010) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah 1) Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan? 2) Bagaimana kedudukan hak mendahulu dalam aturan perpajakan dan aturan kepailitan? 3) Bagaimana penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Reynold Martinus Halim (2011) dengan judul Pelaksanaan Pembayaran Utang Kreditor Preferen Dalam Kasus Kepailitan. Tesis Program Kenotariatan Universitas Hasanuddin.11

Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang 1) Bagaimana pelaksanaan pembayaran utang kreditor preferen dalam kasus kepailitan? dan 2) Bagaimana faktor yang menghambat pelaksanaan pembayaran utang kreditor preferen dalam kasus kepailitan?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pelaksanaan pembayaran tagihan utang pajak perusahaan dalam kasus kepailitan belum optimal. Hal ini dikarenakan dana atau uang hasil penjualan asset perusahaan untuk membayar hutang/tagihan pajak kepailitan kurang, bahkan hasil penjualan harta kekayaan beberapa perusahaah pailit sudah habis sehingga untuk membayar utang pajak tidak tersedia. Di samping itu, faktanya kreditor separatis biasanya lebih dahulu menyita seluruh asset perusahaan karena seluruh asset tersebut dibebani oleh hak tanggungan (jaminan hutang). Kedua, faktor yang menghambat pelaksanaan pembayaran tagihan utang pajak perusahaan dalam kasus

11 Reynold Martinus Halim, 2011, Pelaksanaan Pembayaran Utang Kreditor Preferen Dalam

(14)

14

kepailitan adalah substansi undang-undang, koordinasi antar pihak, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, serta lemahnya pengawasan.

Perbedaan penelitian yang dilakukan dalam tesis ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Reynold Martinus Halim (2011) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah 1) Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan? 2) Bagaimana kedudukan hak mendahulu dalam aturan perpajakan dan aturan kepailitan? 3) Bagaimana penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan?

3. Penelitian yang dilakukan oleh Ichwansyah (2012) dengan judul Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Utang Pajak Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Simalungun Pematangsiantar.12

Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang Bagaimanakah keberadaan utang pajak yang dapat terjadi dalam kepailitan? 2) Bagaimanakah kedudukan negara (Fiskus) dalam hal penagihan utang pajak dari perseroan yang pailit? 3) Bagaimakah kewajiban pembayaran pajak perseroan yang telah dinyatakan pailit atau setelah pernyataan pailit itu dicabut? 4) Apa sajakah yang menjadi sanksi dalam perpajakan?

Dari hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Utang pajak setelah dinyatakan pailit yaitu utang pajak yang telah ada sebelum pernyataan pailit tetapi baru akan diperiksa dan terungkap dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (SPT) atau Surat Ketetapan pajak (SKP) setelah pernyataan

12 Ichwansyah, 2012, Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Utang Pajak Perseroan Terbatas

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997,

(15)

15

pailit, asalkan tidak melewati masa daluarsa utang pajak tersebut. Utang pajak sebelum dinyatakan pailit, yaitu pada saat dinyatakan pailit ternayta telah diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). 2) Negara (Fiskus) mempunyai kedudukan istimewa dalam hal penagihan utang pajak bagi perseroan pailit yang dikenal dengan istilah “hak mendahului”. Hak mendahului yang diberikan oleh Undang-Undang Perpajakan terhadap negara dalam hal penagihan utang pajak terhadap perseroan yang pailit, menempatkan Kantor Pajak sebagai kreditor pemegang utama pajak. Atau dengan kata lain hak mendahului ini memberikan prioritas utama bagi Kantor Pajak dalam menerima pembayaran utang pajak dibandingkan dengan utang pajak perdata lainnya yang dimiliki oleh kreditor. 3) Kewajiban bagi pembayaran pajak perseroan yang telah dinyatakan pailit atau setelah pailit itu dicabut, tidaklah berpengaruh terhadap kewajiban dari perseroan tersebut, dimana selama perseroan tersebut masih mempunyai Nomor Pokok Pajak Badan (NPWP Badan), maka negara (Fiskus) akan tetap dapat melakukan penagihan pajak yang terutang. 4) Sanksi dalam perpajakan dapat berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Perbedaan penelitian yang dilakukan dalam tesis ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ichwansyah (2012) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah 1) Bagaimana perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan? 2) Bagaimana kedudukan hak mendahulu dalam aturan perpajakan dan aturan kepailitan? 3) Bagaimana penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan?

(16)

16

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan.

b. Memperkaya khasanah dan koleksi hasil penelitian dalam ilmu hukum yang dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini secara praktis dapat dijadikan sebagai sarana bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan, kedudukan hak mendahulu dalam aturan perpajakan dan dalam aturan kepailitan dan penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan. b. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi para

hakim berkaitan dengan hak mendahulu atas utang pajak, dan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian utang pajak pada kasus kepailitan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para praktisi dan masyarakat luas mengenai hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan, kedudukan hak mendahulu dalam aturan perpajakan dan dalam aturan kepailitan serta penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan.

(17)

17

E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok permasalahan seperti yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji perbedaan pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap hak mendahulu atas utang pajak dalam kasus kepailitan.

2. Untuk mengkaji kedudukan hak mendahulu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam peraturan perundang-perundang-undangan kepailitan. 3. Untuk mengkaji penyelesaian utang pajak dalam kasus kepailitan.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelelangan yang dilakukan oleh Pokja I Pengadaan Barang/Jasa Tahun Anggaran 2015 pada Kantor Layanan Pengadaan Kabupaten Musi Banyuasin untuk kegiatan :..

Galeri menurut Amri Yahya Galeri seni merupakan "suatu wadah (bangunan tertutup maupun terbuka atau keduanya) yang dipergunakan sebagai ajang komunikasi visual antara seniman

menangani permasalahan tersebut. Penambahan setting alarm relay reverse power 8% dan setting trip relay reverse power 12%, Rekomendasi perbaikan setting relay reverse power,

Bendungan urugan tanah tanah dan tanggul dari bahan timbunan yang homogen tanpa internal filter disyaratkan dilaksanakan dengan tinggi tidak lebih dari 5,00 meter, pada lokasi

Hal ini disebabkan selain pengetahuan awal tentang materi yang dibelajarkankan minim, juga karena tidak terbiasa dengan model pembelajaran yang menuntut mereka

Perilaku manusia dilatar belakangi oleh kepribadian (big five personality), hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Prayitno, 2016) yang

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa perilaku seksual pranikah pada remaja di SMK PATRIA Gadingrejo Kabupaten Pringsewu yang tidak melakukan perilaku

Bermanfaat bagi lembaga yang telah diteliti, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk lebih baik lagi dalam meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran