• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Ada dua judul penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitiani ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Ada dua judul penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitiani ini"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa pustaka yang merupakan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang dinilai sejenis dan dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian ini. Ada dua judul penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitiani ini yaitu Juhanda dengan judul Formulasi Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Situbondo dan Meikel Pogalad,dkk yang berjudul Analisis Pengembangan Obyek Wisata (The Tourism Of Development) Terhadap Tingkat Kunjungan Wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo. Berikut ini adalah hasil penelitian mereka:

Juhanda (2004) dalam penelitiannya yang berjudul” Formulasi Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Situbondo”. Menerapkan perencanaan pariwisata secara utuh, terpadu dan berkesinambungan dalam skala stapak (site scala), skala destinasi (destination scala) maupun dalam skala wilayah (regional scala) memegang peranan kunci atas keberhasilan pengembangan pariwisata itu sendiri. Sebaliknya mengabaikan prinsip – prinsip perencanaan di atas akan berdampak pada tidak jelasannya arah, sasaran dan tujuan pengembangan pariwisata secara utuh

(2)

Perencanaan dan strategi pengembangan pariwisata pada skala zona tapak (site zona scale) yaitu masing-masing objek dan daya tarik wisata di Kabupaten Situbondo dalam usaha pengembangan yang dilakukan belum bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Indikator kelemahan tersebut antar lain dengan tidak dimilikinya rencana induk pengembangan pariwisata daerah dan dinas pariwisata daerah pada saat penelitian ini berlangsung.

Kabupaten Situbondo memiliki beberapa kekuatan sekaligus kelemahan internal (sisi internal strategi factor analysis summary – IFAS). Memiliki peluang berikut ancaman eksternalnya (sisi external strategic factor analysis summary – (EFAS). Dengan kata lain objek-objek wisata yang diteliti mempunyai faktor-faktor internal atau sisi penawaran berupa keseluruhan produk wisata (supply side) yang relatif belum memadai, yaitu beberapa fasilitas pelayanan yang ditawarkan kepada wisatawan atau calon wisatawan (market) sebagai konsumen (demand side). Dari 10 (sepuluh) objek dan daya tarik wisata yang diteliti menunjukan bahwa sebagian besar produk-produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan dan calon wisatawan belum optimal.

Relevansi dengan penelitian adalah penelitian di atas membahas tentang pengembangan yang termasuk di dalamnya perencanaan sedangkan penelitian ini hanya membahas potensi dan pengembangan pariwisatanya dengan menggunakan teori dan analisis SWOT.

Pogalad dkk (2009) dalam kajian studi kasus di Kabupaten Gorontalo dalam penelitian mereka yang berjudul “Analisis Pengembangan Obyek Wisata (The Tourism Of Development) Terhadap Tingkat Kunjungan Wisatawan di

(3)

Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo”. Dalam pengembangan objek wisata yang dilakukan pada pentadio resort antara lain: pengembangan fasilitas, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan pengembangan produk wisata. Dari ketiga indikator pengembangan objek wisata (The Tourism Of Development) di atas, maka diharapkan akan mampu meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan di Pentadio Resort Kabupaten Gorontalo.

Kondisi yang terjadi pada objek wisata Pentadio Resort yang selama ini dilakukan belum menunjukkan kemajuan baik dari segi pengembangan fasilitas, Sumber Daya Manusia maupun pengembangan produk wisata sehingga belum dapat meningkatkan jumlah pengunjung. Hasil simpulan dan saran dalam penelitian ini adalah: 1) Dapat melakukan upaya-upaya konkrit dalam mempromosikan obyek wisata tersebut baik melalui media-media maupun melalui kerjasama dengan biro-biro perjalanan wisata di Indonesia; 2) Dapat bekerjasama dengan pihak swasta dalam pengelolaan obyek wisata tersebut atau bahkan dapat memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk mengelola obyek wisata pentadio resort dengan lebih profesional; 3) Memberikan kemudahan-kemudahan kepada pihak swasta baik dari segi perijinan, pajak maupun kebebasan untuk berinovasi; 4) Bagi masyarakat diharapkan dapat menjaga kelestarian obyek wisata dapat berpartisipasi dalam hal pengembangan obyek wisata agar dapat meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan.

Relevansi dengan penelitian ini adalah sama – sama membahas tentang pengembangan obyek wisata dalam satu kabupaten tapi berbeda kecamatan, sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk menggali lebih dalam lagi tentang

(4)

potensi – potensi pariwisata di Kabupaten Gorontalo khususnya di Desa Bongo sehingga layak di sebut sebagai tujuan wisata di Kabupaten Gorontalo.

2.2. Konsep

Konsep dalam peneltian ini adalah beberapa pengertian dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian sebelumnya. Adapun beberapa konsep yang perlu dijelaskan sebagai berikut :

2.2.1 Potensi wisata

Potensi wisata adalah segala sesuatu yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi objek dan atraksi wisata, yaitu yang memiliki daya tarik agar orang ingin datang ke tempat tersebut. Dengan kata lain, potensi wisata bisa dikembangkan dan diolah menjadi daya tarik wisata, yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut. Adapun potensi alam fisik misalnya, gua, gunung, lembah, sungai, pantai, tebing yang dapat digunakan sebagai daerah wisata, olahraga, rekreasi, seperti tracking, hiking, camping dan caravan (Yoeti,1996: 160-161).

Sementara Poerwadarminta (1993: 766) mendefinisikan potensi sebagai kekuatan, kesanggupan, kemampuan. Dikaitkan dengan potensi wisata, maka dapat dijelaskan bahwa pengertian potensi wisata adalah seluruh potensi sumber daya alam, sumber daya buatan dan budaya. Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang terdapat di suatu daerah yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata. Potensi-potensi yang ada tersebut dibagi menjadi dua, antara lain:

(5)

1) Potensi alamiah adalah potensi yang ada di masyarakat yang berupa potensi fisik dan geografis, seperti potensi alam; 2) Potensi budaya adalah potensi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, misalnya adat istiadat, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.

Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan (Undang-Undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009).

2.2.2 Desa Wisata

Bentuk pariwisata yang dilakukan di daerah pedesaan, yang menawarkan produk wisata yang bersifat tradisional yang masih memiliki tradisi-tradisi budaya lokal. Kehidupan masyarakat pedesaan yang masih bersifat tradisional mendorong untuk megembangkan pariwisata di pedesaan atau desa wisata karena keinginan para wisatawan adalah melihat sesuatu yang berbeda.

Definisi desa wisata menurut Muljadi (2009: 27) yaitu, desa wisata sebagai suatu produk wisata yang melibatkan anggota masyarakat desa dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa wisata tidak hanya berpengaruh pada ekonominya, tetapi juga sekaligus dapat melestarikan lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat terutama berkaitan dengan nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotongroyongan, dan lain-lain. Dengan demikian, kelestarian

(6)

alam dan sosial budaya masyarakat akan menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan yang melakukan perjalanan wisata.

Desa wisata dalam dekade terakhir ini telah menjadi wacana menarik dalam mencari alternatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Desa wisata yang merupakan pengembangan dari rural tourism, farm tourism atau village tourism, membawa visi dan misi yang jelas, sebagai perbaikan terhadap berbagai hambatan yang ada selama ini. Di sisi lain, pengembangan desa wisata ini menjadi alternatif sensitif, karena jika salah dalam perencanaan maupun pengelolaannya, dapat menimbulkan dampak buruk terhadap keberadaan desa dimana desa wisata itu dikembangkan (Pitana, 1999:105).

Sedangkan menurut Nuryanti (1993), desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Seperti yang diungkapkan oleh Manuela, Valentin, dan Maria (2009: 31) dalam penelitian mereka :

“Rural tourism is one of the development solution for the entire countryside. Its appearance and layout within the village environment offers new income sources to the population, particulary when the area has a special potential, human resources of real quality, as well as an adequate insfrastructure”.

Desa wisata merupakan salah satu solusi pembangunan untuk pedesaan secara keseluruhan. Penampilan dan tata letak dalam lingkungan desa yang menawarkan sumber pendapatan baru untuk penduduk, terutama ketika daerah tersebut memiliki potensi khusus, sumber daya yang berkualitas serta insfrastruktur yang memadai.

(7)

Desa wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata.

Desa wisata merupakan suatu kawasan yang memiliki karateristik atau keunikan yang layak untuk dijual kepada wisatawan, seperti seni, budaya, sejarah, alam, gaya hidup yang masih tradisional atau industri kreatif masyarakat desa. Selain berbagai keunikan, desa wisata juga harus memiliki fasilitas sebagai penunjang kegiatan wisata di desa tersebut. Fasilitas penunjang antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, akomodasi dan lain-lain. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata sebaiknya menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (home stay) sehingga wisatawan pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli.

Dari berbagai definisi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa desa wisata yang ada di Desa Bongo Batudaa Pantai merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang dilaksanakan di pedesaan dan menawarkan produk wisata ataupun atraksi wisata lokal seperti tradisi kehidupan masyarakat, adat, budaya dan lain sebagainya yang secara alami berasal dari daerah itu atau masyarakat setempat.

(8)

2.2.3 Daya Tarik Wisata

Daya tarik wisata disebut juga sebagai objek wisata yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke daerah tujuan wisata. Karena kedudukannya yang sangat menentukan, maka daya tarik wisata harus dirancang dan dikelola secara profesional dan sedemikian rupa berdasarkan kriteria tertentu sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menjelaskan pengertian dari daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Menurut Damanik dan Weber (2006: 13), daya tarik wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal, yakni memiliki keunikan, orijinalitas, otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata. Orijinalitas mencerminkan keaslian atau kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengacu pada keaslian. Bedanya dengan orijinalitas, otentisitas lebih sering dikaitkan dengan tingkat keantikan atau keeksotisan budaya sebagai daya tarik wisata. Otentisitas merupakan ketagori nilai yang memadukan sifat alamia, eksotis, dan bersahaja.

Daya tarik wisata yang dimiliki suatu destinasi pariwisata atau daerah tujuan wisata (DTW), yakni sesuatu yang dapat dilihat, misalnya pemandangan alam, peninggalan purbakala, pertunjukkan atau sesuatu yang dapat dilakukan, misalnya rekreasi, olahraga, meneliti, atau sesuatu yang dapat dibeli, yakni

(9)

barang-barang unik atau cenderamata, atau sesuatu yang dapat dinikmati misalnya seperti udara sejuk bebas dari pencemaran, pelayanan atau sesuatu yang dapat dimakan misalnya makanan atau minuman khas daerah/negara. artinya daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memicu seorang dan/atau sekelompok orang mengunjungi suatu tempat karena sesuatu itu memiliki makna tertentu, misalnya : lingkungan alam, peninggalan atau tempat sejarah, peristiwa tertentu (Warpani & Indira, 2007: 45).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa daya tarik wisata di desa Bongo Batudaa Pantai merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai seni, keunikan, atau mempunyai makna tertentu baik yang tangible maupun intangible yang menarik perhatian wisatawan untuk berkunjung ke daerah itu.

2.2.4 Pariwisata

Pariwisata memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, memperkenalkan dan melestarikan kebudayaan suatu daerah. Selain itu juga dapat mendorong pemerintah daerah membangun dan memelihara infrastruktur sehingga kualitas hidup masyarakat setempat juga meningkat.

Sedangkan menurut UU RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan disebutkan bahwa:

a. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,

(10)

pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

b. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.

c. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

d. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

e. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. f. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah

kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

g. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.

(11)

h. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Pengembangan pariwisata merupakan kata yang cukup tinggi penggunaannya di negara manapun dan tingkat apapun, tetapi kelihantannya difahami secara berbeda-beda. Kata pengembangan nampaknya mempunyai makna dan interpretasi yang berbeda, bukan hanya antar negara tetapi juga antar perorangan. Pengembangan mengisyaratkan suatu proses evolusi dengan konotasi positif atau sekurang-kurangnya bermakna “tidak jalan ditempat”. Perbedaan interpretasi terjadi, karena kata pengembangan dapat dikaitkan dengan dua hal, yakni : “proses” dan “tingkat” perkembangan sesuatu (Sammeng, 2000: 227).

Menurut Mill (2000:168), pengembangan pariwisata bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah. Dengan adanya pembangunan pariwisata diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawah ke kawasan tersebut. Dengan kata lain pengembangan pariwisata melalui penyediaan fasilitas infrastruktur, wisatawan dan penduduk setempat akan saling diuntungkan. Pengembangan tersebut hendaknya dapat memperhatikan berbagai aspek, seperti: aspek budaya, sejarah dan ekonomi daerah tujuan wisata. Pada dasarnya pengembangan pariwisata dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan permasalahan.

Menurut Shaw, Greenwood dan Williams (dalam Sammeng 2000: 225) pemerintah Inggris bergairah mendorong pengembangan pariwisata, karena

(12)

terdesak oleh perlunya membuka lapangan kerja baru dan untuk meningatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, menurut para penulis tersebut, pemerintah Inggris mengembangkan pariwisata demi mendapatkan manfaat ekonomi seperti Perbaikan neraca pembayaran; Peningkatan pembangunan nasional; Diversifikasi perekonomian nasional; Peningkatan pendapatan masyarakat; Pembukaan lapangan kerja baru.

Beberapa penjelasan para ahli di atas, pengembangan pariwisata merupakan usaha atau upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dengan memanfaatkan potensi-potensi wisata yang dimiliki sekaligus merupakan upaya untuk melestarikan budaya masyarakat setempat melalui peningkatan dan perbaikan produk dan jasa pariwisata. Di Desa Bongo pengembangan pariwisata merupakan bentuk perbaikan atau cara untuk membuat produk-produk pariwisata dari yang biasa atau kurang tertata rapi, tidak terkelola dengan baik, menjadi lebih baik, lebih menarik sehingga dapat mendatangkan wisatawan dan menjadi bermanfaat juga bagi daerah dan masyarakat desa pada khususnya. Pengembangan aksesibilitas, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melayani wisatawan dalam menikmati kunjungan wisatanya. Berbagai sarana wisata harus disediakan seperti rumah-rumah penduduk desa sebagai penginapan, biro perjalanan, alat transportasi, rumah makan, dan sebagainya.

Pengembangan pariwisata juga harus mengacu pada Undang-Undang atau kebijakan yang berlaku sehingga dalam pengembangannya pariwisata tidak menyimpang dari norma-norma atau aturan yang ada atau telah ditetapkan oleh pemerintah daerah ataupun oleh masyarakat Desa Bongo itu sendiri.

(13)

2.2.5 Sumberdaya Pariwisata

Modal kepariwisataan (tourism assets) sering juga disebut sumber kepariwisataan (tourism resources). Suatu daerah atau tempat hanya dapat menjadi tujuan wisata kalau kondisinya sedemikian rupa, sehingga ada yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata. Apa yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata itulah yang disebut modal atau sumber kepariwisataan (tourism resource). Modal kepariwisataan itu mengandung potensi untuk dikembangkan menjadi atraksi wisata, sedang atraksi wisata itu sudah tentu harus komplementer dengan motif perjalanan wisata. Maka untuk menemukan potensi kepariwisataan di suatu daerah, orang harus berpedoman kepada apa yang dicari oleh wisatawan. Ada tiga modal atraksi yang menarik untuk mendatangkan wisatawan menurut (Soekadijo, 2000: 50-61), yaitu; (1) Modal dan Potensi Alam yang dimaksud dengan alam ialah alam fisik, fauna dan floranya. Banyak wisatawan tertarik oleh kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di alam terbuka, seperti daerah pegunungan, hutan dan pantai. Dalam kegiatan pariwisata jangka pendek, pada akhir pekan atau dalam masa liburan, wisatawan sering mengadakan perjalanan wisata sekedar untuk menikmati pemandangan atau suasana pedesaan atau kehidupan di luar kota.

Banyak wisatawan yang mencari ketenangan di tengah alam yang iklimnya nyaman, suasana tentram, pemandangannya bagus dan terbuka luas. Alam juga sering menjadi bahan studi untuk wisatawan budaya, khususnya dalam widya wisata. Widya wisata mencari daerah dengan jenis flora dan fauna yang khas dan langka, daerah dengan formasi tanah dan batu-batuan yang khas, dan

(14)

daerah gunung berapi; 2) Modal dan Potensi kebudayaan yang dimaksud dengan kebudayaan ialah kebudayaan dalam arti luas, meliputi adat istiadat dan segala kebiasaan yang hidup di tengah-tengah suatu masyarakat: pakaian, cara berbicara, kegiatan di pasar, dan sebagainya. Semua act dan artifact (tingkah laku dan hasil karya) suatu masyarakat, dan tidak hanya kebudayaan yang masih hidup, akan tetapi juga kebudayaan yang berupa peninggalan-peninggalan atau tempat-tempat bersejarah; 3) Modal dan Potensi Manusia yaitu wisatawan berkunjung ke suatu daerah untuk mengunjungi keluarga, atau memiliki tujuan bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh terkenal seperti seniman, politisi atau tokoh-tokoh masyarakat lain.

Hal ini adalah motif-motif interpersonal dari wisatawan, dan juga motif prestise. Selain modal kepariwistaan yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata di suatu daerah tujuan wisata, ada pula komponen-komponen yang terdapat pada suatu destinasi pariwisata, antara lain; a) Atraksi Destinasi yang merupakan elemen-elemen yang terkandung di dalamnya yang secara individual atau kombinasinya memegang peran penting dalam motivasi wisatawan untuk berkunjung ke destinasi tersebut. Atraksi destinasi berupa atraksi alam, seperti landscape, pantai, pegunungan, iklim, lembah; atraksi buatan sperti kota bersejarah, taman atau resort; atraksi budaya seperti atraksi teatrikal, drama, festival, museum dan galeri; b) Fasilitas Destinasi merupakan elemen dalam destinasi atau berhubungan dengan destinasi yang memungkinkan wisatawan yang tinggal di destinasi tersebut untuk menikmati atau berpartisipasi dalam atraksi yang ditawarkan. Fasilitas destinasi berupa akomodasi, restoran, kafe dan bar, transportasi temasuk penyewaan alat transportasi dan taksi, serta pelayanan

(15)

lain termasuk toko, salon, pelayanan informasi dan sebagainya; c) Aksesibilitas merupakan mudah atau sulitnya wisatawan wisatawan menjangkau destinasi yang di inginkan. Akses berkaitan dengan infrastruktur transportasi, seperti lapangan udara, terminal bus dan kereta api, jalan tol, rel kereta api, dan sejenisnya. Termasuk didalamnya teknologi transportasi yang mampu menghemat waktu dan biaya untuk menjangkau destinasi wisata tersebut.

Burkat dan Medlik (1981: 46) menyebutkan bahwa suatu daerah tujuan wisata dapat dikatakan memiliki potensi apabila memenuhi empat faktor penentu keberhasilan yang disebut dengan “the tourist qualities of a destination”,meliputi; 1) Atraksi (Attraction) Wisata yaitu Atraksi wisata yang dimaksud dapat berupa atraksi lain (contohnya keadaan cuaca, pemandangan alam, peninggalan sejarah) atau event attraction (contohnya kongres, pameran dan event olah raga); 2) Aksesbilitas (Accessibility) yaitu Aksesibilitas merupakan suatu fungsi dalam jarak dari pusat populasi yang mengangkat pasar wisatawan, serta fungsi dari transportasi dan komunikasi eksternal, yang dapat memudahkan suatu daerah tujuan wisata dapat di akses oleh wisatawan; 3) Sarana Wisata (Amenities) yaitu sarana wisata pada daerah tujuan wisata yang didalamnya termasuk sarana akomodasi, catering, hiburan, transportasi dan komunikasi, yang memungkinkan wisatawan berpindah-pindah selama tinggal di daerah tersebut.

Jadi dapat dikatakan bahwa sarana wisata merupakan segala sesuatu yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan wisata yang dikunjungi; 4) Organisasi Kepariwisataan (Tourist Organization) yaitu untuk memaksimalkan peluang dalam

(16)

kepariwsataan, satu daerah tujuan wisata juga harus memiliki organisasi kepariwisataan, yang bertujuan untuk menyediakan perencanaan kerja (framework) dimana kepariwisataan dapat beroperasi untuk mengembangkan produk wisata dan untuk mempromosikannya pada pasar yang sesuai. Karena itu organisasi kepariwisataan dijadikan faktor keempat yang dapat menentukan kesuksesan dari suatu daearah tujuan wisata.

Beberapa konsep dan hal- hal yang telah diuraikan diatas tercermin, apa yang akan di kembangkan di Desa Bongo kecamatan Batudaa Pantai Kabupaten Gorontalo untuk bisa dipadukan dengan teori perencanaan dan pengembangan serta teori siklus hidup destinasi selanjutnya apakah pengembangan dan pengelolaan Desa Bongo telah memenuhi prinsip-prinsip pengembangan pariwisata atau belum.

2.3 Landasan Teori

Sesuai dengan tujuan penelitian, ada beberapa landasan teori yang dapat di gunakan dalam menganalisis pengembangan pariwisata di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.

2.3.1 Teori Pengembangan Pariwisata

Pendekatan dasar yang sering digunakan dalam pengembangan objek dan daya tarik wisata di pedesaan adalah dengan menggunakan community approach atau community based dan environmental planning. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang akan membangun, memiliki dan mengelola langsung

(17)

fasilitas wisata serta pelayanannya, sehingga dengan demikian masyarakat dapat menerima secara langsung keuntungan ekonomi serta mencegah langsung terjadinnya urbanisasi. Dalam pengembangan, baik pengembangan destinasi, kawasan pariwisata, dan objek serta daya tarik wisata pada umumnya mengikuti alur hidup pariwisata (Marpaung, 2002: 49).

Pengembangan pariwisata suatu perencanaan dalam pengembangan sangat diperlukan. Menurut Mill (2000: 193), bila tidak adanya perencanaan pada sebuah tempat tujuan wisata dapat berakibat negatif pada daerah tersebut. Akibat ini secara fisik dapat berupa: (1) kerusakan atau perubahan atau permanen lingkungan fisik; (2) kerusakan atau perubahan perubahan permanen kawasan-kawasan historis / budaya dan sumber-sumber alam; (3) terlalu banyak orang dan kemacetan; (4) adanya pencemaran; dan (5) masalah lalu lintas. Untuk itulah, dalam pembangunan kawasan tujuan wisata diperlukan suatu perencanaan terpadu yang dikarenakan adanya beberapa alasan, seperti: (1) pariwisata adalah interdependen atau tergantung akan banyak hal; (2) fasilitas tidak dapat hidup kecuali ada atraksi yang dapat menarik kedatangan wisatawan; (3) membantu memastikan bahwa jenis pembangunan yang dilakukan hasilnya cocok bagi komunitas tersebut.

Berkaitan dengan perencanaan pariwisata, Paturusi (2005) mengemukakan bahwa perencanaan pariwisata adalah suatu proses pembuatan keputusan yang berkaitan dengan masa depan suatu destinasi atau atraksi wisata (planning is a process of decision-making concerning the future of the destinatination area or atrraction). Merupakan suatu proses dinamis yang secara sistematis akan

(18)

mempertimbangkan adanya berbagai alternatif untuk mencapai tujuan. Proses perencanaan melihat lingkungan (politik, fisik, sosial, ekonomi) sebagai suatu komponen yang saling terkait dan saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya perencanaan pariwisata tidak berbeda pada perencanaan pada umumnya, baik dalam hal konsep dasar maupun dalam hal pendekatannya. Perbedaannya hanyalah pada penyesuaian dengan karakteristik sistem kepariwisataan.

Pariwisata dikembangkan tentunya dengan tujuan agar dapat memacu pertumbuhan ekonomi, sumber devisa negara, membuka lapangan kerja, dan pembangkit pertumbumbuhan sektor-sektor pertanian, perikanan dan industri manufaktur. Disamping pariwisata juga dapat meningkatkan pendidikan, menghidupkan kesenian dan kebudayaan yang hampir punah dan pelestarian atau konservasi lingkungan. Namun tak dapat terelakan lagi, sebagai media lainnya, pariwisata juga dapat berdampak negatif baik pada fisik lingkungan maupun ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian untuk mengoptimalkan keuntungan dari pengembangan pariwisata, dibutuhkan suatu perencanaan yang baik dan matang.

Tujuan ini niscaya akan tercapai jika direncanakan dan terintergrasi dengan perencanaan pembangunan baik nasional maupun perencanaan pembangunan daerah. Implementasi teori tersebut diatas dalam penelitian ini adalah dipergunakan untuk membedah permasalahan pertama sampai dengan kedua, yaitu apa yang menjadi potensi dan bagaimana strategi perencanaan pengembangan yang ada dan dilakukan selama ini, apakah penetapan kedua

(19)

komponen pariwisata yang ada sudah melalui perencanaan dan pengembangan yang matang atau sudah sesuai dengan prinsip – prinsip pariwisata yang berbasis komunitas. Hal ini juga terkait dengan permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian, maka dipandang perlu melihat sejauh mana perencanaan dan pengembangan terhadap objek dan daya tarik di Desa Bongo, Batudaa Pantai Gorontalo untuk mengadakan cross check terhadap hasil dari rumusan masaalah pertama sampai dengan kedua, yaitu upaya-upaya yang telah dilakukan serta tantangan yang dihadapi sehingga nantinya akan diperoleh data yang akurat dan dapat terindentifikasi letak kunci permasalahannya dan diberikan solusinya.

2.3.2 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata

Untuk mengetahui perumusan pengembangan pariwisata terhadap objek dan daya tarik wisata maka sangat diperlukan suatu tahapan dimana pengembangan pariwisata tersebut mampu berdiri sekarang ini. Tahapan pengembangan pariwisata membawa implikasi serta dampak yang berbeda. Menurut Richardson dan Fluker 2004 (dalam Pitana dan Diarta (2009:131) yang dimaksud dengan siklus hidup destinasi (destination lifecycle model) adalah sebagai berikut:

“A model that characterises each stage in the lifecycle of a destination (and destination areas and resort area) including introduction, growth, maturity; and decline and/or rejuvenation” (Richardson and Fluker, 2004 :51)

Siklus hidup daerah tujuan wisata yang terkenal dibuat oleh Butler (1980 dalam Pitana 2009) terdapat tujuh fase yaitu; (1) Tahap eksplorasi atau penemuan (Exploration). Pada tahap inilah jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka

(20)

cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata. Fasilitas pariwisata dan kemudahan yang didapat wisatawan juga kurang baik. Atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal relatif tinggi, (2) Tahap keterlibatan (Involvement). Pada tahap ini ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan. Mulai adanya inisiatif dari masyarakat lokal untuk menyediakan berbagai fasilitas yang diperuntukkan bagi wisatawan. Muncul musim wisatawan dan pasar wisatawan. Tekanan diberikan kepada sektor publik untuk menyediakan infrastruktur. Pada saat ini mulai ada promosi, (3) Tahap pembangunan (Development). Pada tahap ini jumlah wistawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan biasanya menyamai, bahkan melibihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masaalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara nasional dan regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional, (4) Tahap konsolidasi (Consolidation). Pada tahap ini tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun, walaupun jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadi monopoli yang sangat kuat, (5) Tahap stagnasi (Stagnation).

Pada tahap ini jumlah kunjungan sudah sampai pada puncaknya dan daerah tujuan tidak lagi populer. Kalangan industri pariwisata mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki khususnya dengan

(21)

mengharapkan repeater guest atau wisata konvensi/bisnis. Pariwasata telah menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, (6) Tahap penurunan (Decline). Pada tahap ini pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi resort baru. Resort menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografis lebih kecil untuk melakukan perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah dan fasilitas – fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah pemanfaatanya.

Akhirnya pengambilan kebijakan mengakui tindakan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai peremajaan baru, (7) Tahap peremejaan (Rejuvenation). Suatu tahap dimana telah terjadi perubahan secara dramatis menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan dapat dilakukan dengan melakukan inovasi dalam rangka pengembangan produk baru, mencari pasar baru, saluran distribusi baru dan memposisikan kembali daerah tujuan wisata tersebut. Dalam hal ini pemerintah dan swasta bekerja sama untuk mencari pasar baru dan investasi di daerah tujuan tersebut untuk mencapai pola perputaran kembali. Adapun siklus hidup destinasi tersebut tampak pada Gambar 2.1

(22)

  Gambar 2.1 : Siklus Hidup Destinasi Pariwisata

Sumber : Butler (dalam Pitana, 2009)

2.4 Model Penelitian

Model peneltian digunakan sebagai acuan dalam menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka diperlukan kerangka konsep atau model yang merupakan abtraksi dan sintesis dari kajian pustaka. Berdasarkan potensi yang dimiliki Desa Bongo, dengan mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan dan petani, serta adanya tren pariwisata budaya dan juga daya tarik alam pedesaan beserta aktivitas masyarakatnya, maka besar harapan untuk dapat meningkatkan kehidupan ekonomi, dengan memberdayakan masyarakat lokal melalui pariwisata. Akan tetapi permasalahan atau kendala yang dihadapi ketika masyarakatnya ingin mengembangkan pariwisata di daerahnya, tingkat sumber daya manusia (SDM) di bidang pariwisata masih sangat rendah, aksesibilitas masih kurang yang ditandai

(23)

oleh banyaknya jalan dalam keadaaan rusak yang mengakibatkan macet, kendala lain adalah kurangnya hubungan dengan pihak luar (networking). Untuk itulah perlu keterlibatan semua pihak untuk mampu mengembangkan potensi yang dimiliki daerahnya.

Penelitian ini diawali dengan menemukan potensi yang dimiliki Desa Bongo dan keunikan alam dan budayanya tersebut dengan segala kekhasannya menimbulkan keinginan untuk mengembangkan kawasan Desa Bongo sebagai kawasan wisata yang memadai. Namun demikian sebelum melakukan pengembangan tersebut tentunya ada beberapa masalah yang harus diidentifikasi dan dituntaskan untuk mendorong percepatan upaya pengembangan kawasan tersebut.

Mengetahui potensi wisata dan pengembangan, sekaligus perbaikan, selanjutnya akan dianalisis dengan bantuan analisis SWOT dengan menganalisis faktor internal dan eksternal Desa Bongo, sehingga hasil analisis SWOT ini merupakan hasil penelitian yang akan membantu didalam upaya mencari berbagai alternatif strategi pengembangan Desa Bongo. Berdasarkan kerangka pikiran tersebut maka dapat digambarkan kerangka alur pikir dari penelitian. Berikut pada Gambar 2.2 disajikan model penelitian ini.

(24)

Keterangan:

( mempengaruhi) Gambar 2.2 : Model Penelitian  

Referensi

Dokumen terkait

pelanggan; (7)Fungsi pengiriman; (8)Fungsi dalam penyerahan barang atas dasar surat pesanan penjualan yang diterima dari fungsi penjualan; (9)Fungsi penagihan; (10)Fungsi

Sesuai dengan teori mekanisme pertahanan diri dari Sigmund Freud (dalam Minderop, 2011: 32-39), dalam novelet Ryoujuu ditemukan tujuh unsur mekanisme pertahanan

Von mises stress dan defleksi maksimum yang terjadi pada rancangan rangka D Tegangan maksimum yang dialami pada rangka optimasi D meningkat menjadi 52,75 MPa dengan

Tujuan dan Manfaat dari penelitian ini adalah menerapkan sistem penilaian ujian essay secara otomatis berbasis web secara online menggunakan metode GLSA, menghasilkan

Simulasi kasus bertujuan untuk melakukan pengujian terhadap snort dalam mendeteksi penyusup atau serangan yang melakukan tindak kejahatan pada web server target

Ketahanan nasional bidang sosial budaya adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan, ketangguhan dari kemampuan suatu bangsa untuk mengembangkan kekuatan

Peningkatan daya tertinggi terjadi pada rpm 5000, yaitu sebesar 0.4 Hp dari yang awalnya 5.2 Hp saat menggunakan valve head tulip menjadi 5.6 Hp saat menggunakan valve

Consumer acceptance of electronic commerce: integrating trust and risk with the technology acceptance model. Punya Aplikasi Ini Pembayaran Lebih Praktis Tanpa Perlu