TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS
BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN MALAYSIA
Oleh
Sariman BS & Dasril Adnin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK
Masih banyak pulau yang terletak sebagai pulau terluar dari negara kepulauan Indonesia sesuai dengan konvensi hukum laut 198yang harus mendapat perhatian dan dijaga dalam berbagai segi. Lobi-lobi tingkat tinggi merupakan salah satu jalan untuk menyatukan konsepsi dengan negara tetangga salah satunya dengan Malaysia. Batas-batas maritim merupakan salah satu cermin perwujudan dan kewibawaan setiap negara dan merupakan komponen penting penegakkan hukum di Indonesia terutama Hukum Laut Indonesia. Keutuhan NKRI sudah merupakan harga mati, maka batas-batas maritim Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga harus dibicarakan secara bilateral, perundingan dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip hidup bertetangga yang baik (Good Neighbur Policy).
_________________________________
Keywords: Yuridis, Maritim, Malaysia PENDAHULUAN
Roda diplomasi untuk
menyelesaikan selisih pandangan soal Pulau Ambalat khususnya terus ditempuh. Inisiatif ini ditandai dengan pertemuan Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia setelah itu Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia dengan Menlu Malaysia.
Masalah perbatasan kedua negara perlu diselesaikan dengan jalan yang paling baik dan tidak menimbulkan konfrontasi fisik. Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki perairan yang langsung berbatasan dengan negara tetangga. Ada 10 negara yang perairannya berbatasan langsung dengan Republik
Indonesia, yaitu: Malaysia,
Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Palau dan Timor Leste. Penetapan
batas-batas maritim tersebut sangat penting dilakukan dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di laut, pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan ekonomi kelautan.
Penetapan batas-batas maritim
dengan negara-negara tetangga
dilakukan berdasarkan beberapa peraturan, antara lain: Hukum Laut Internasional dan pada saat ini digunakan ketentuan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982)
yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 1985, UU No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2002.
Permasalahan tentang batas-batas maritim Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga ternyata sampai saat ini masih banyak yang belum terselesaikan. Berdasarkan hasil identifikasi, ternyata baru
batas-batas maritim antara Indonesia
dengan Australia yang sudah
diselesaikan secara lengkap,
sedangkan batas maritim dengan
negara tetangga lainnya baru
dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas-batas Laut Teritorial.
Penetapan batas-batas maritim
dengan negara-negara tetangga
diperlukan untuk memperoleh
kepastian hukum yang dapat
mendukung berbagai kegiatan
kelautan, seperti: penegakan
kedaulatan dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya.
Uraian di atas sudah
memberikan gambaran, betapa
krusialnya perbatasan antara Republik Indonesia dan Malaysia, maka untuk membatasi ruang lingkup masalah yang dihadapi dalam penelitian ini
adalah bagaimana menentukan
perbatasan kedua negara secara Hukum Laut Internasional ?
METODE PENELITIAN
Penyaji dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan mengkaji dokumen-dokumen, referensi maupun doktrin-doktrin yang relevan dan didukung data yang akurat.
Berdasarkan observasi analisis peneliti saat ini Pemerintah Indonesia
merubah cara penentuan laut
teritorialnya dengan mengeluarkan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13
Desembcr 1957. Deklarasi ini
menentukan bahwa lebar laut teritorial Republik Indonesia adalah
12 mil laut diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau terluar Negara Indonesia, serta segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau
wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Deklarasi Djuanda sebagai-mana telah dikutip di atas merupakan saat lahirnya suatu konsepsi yang merombak sistem hukum lama menjadi azas negara kepulauan. Konsepsi ini terkenal dengan nama konsepsi Wawasan Nusantara dan diundangkan dalam bentuk UU No. 4 Perpu Tahun 1960.
PP Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 1960
Pengaturan perairan Indonesia yang telah ditetapkan dasar-dasarnya dalam Deklarasi Djuanda 1957 ditetapkan menjadi sebuah undang-undang dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Ketentuan pokok dari konsepsi negara kepulauan yang diundangkan dalam bentuk UU No. 4 Perpu Tahun 1960, yaitu :
Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia.
1. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar dua belas mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis pangkal atau titik pada garis pangkal yang terdiri
dari garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau atau bagian
pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia.
2. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal. 3. Hak lintas damai kendaraan asing
melaui perairan pedalaman
dijamin selama tidak merugikan
kepentingan negara dan
mengganggu
keamanan/ketertiban.
Undang-Undang No. 6 Tahun 1996
Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dikeluarkan sebagai pengganti Perpu No. 4 tahun 1960 yang sudah tidak sesuai lagi dengan UNCLOS 1982.
Dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 telah
diberikan berbagai pengertian
mengenai hal-hal yang terkait dengan kegiatan penentuan batas wilayah laut, seperti pengertian mengenai: negara kepulauan, pulau, kepulauan, garis air rendah. teluk, dan alur laut.
Pasal 10 ayat 1 mengatur penetapan batas laut teritorial apabila terdapat pantai Indonesia yang
letaknya berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, maka garis batas dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal. Ayat 2 menyatakan ketentuan pada ayat 1, tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain
yang menyebabkan perlunya
menetapkan batas laut menurut cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2002
Peraturan Pemerintah (PP) tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia diperlukan untuk
menggambarkan batas-batas wilayah perairan Indonesia. Dalam PP No. 38 ini, untuk menentukan koordinat geografis dari titik-titik terluar garis pangkal guna menetapkan lebar laut teritorial didasarkan pada ketentuan Pasal 3, 4, 5, 6, 7 dan Pasal 8.
PEMBAHASAN
Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam berbagai pertemuan saling mempertegas komitmen bahwa masalah Ambalat harus diselesaikan
dengan persuasif dan damai.
Statement kedua belah pihak dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang antara lain ;
Hukum Laut Internasional
Hukum Laut Internasional bertujuan untuk menciptakan suatu sistem hukum yang teratur mengenai
hubungan internasional antara
negara-negara yang didasarkan
prinsip keadilan dan dijalankan secara universal.
a. Klaim Batas Laut Bangsa Eropa
Klaim batas laut bangsa Eropa bermula dari jatuhnya Konstantinopel (Istambul) ke tangan Turki 1453,
memaksa bangsa-bangsa Eropa
menemukan jalan lain ke Timur
misalnya Portugis sampai di
Atlantik, Tanjung Harapan dan India yang mengklaim seluruh samudera yang dilaluinya sebagai miliknya. Demikian pula Spanyol yang juga sampai ke Maluku, melalui Samudera Pasifik menuntut samudera itu miliknya. Klaim Portugis dan Spanyol itu disetujui oleh Paus Alexander VI tahun 1493 dan dikukuhkan dengan
perjanjian Tordesillas 1494
(Kusumaatmadja 1986, dalam
PUSPICS 2001).
Sementara itu negara-negara Eropa lainnya seperti Denmark dan Inggris juga menuntut laut di sekitar negaranya sebagai miliknya, klaim
domini moris oleh Denmark atas laut
Baltik dan laut Utara Norwegia dan Inggris atas wilayah di sekitarnya
(mare anglicanum). Klaim tersebut
memancing reaksi keras Belanda.
b. Konvensi PBB Tentang Hukum Laut Tahun 1982
Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah berhasil
mewujudkan hukum laut
internasional melalui United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia dengan UU No. 17 tahun 1985.
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, UNCLOS 1982 mengatur rezim-rezim hukum laut lengkap dan satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan, antara lain: Laut Teritorial
(Territorial Sea), Zona Tambahan (Contiguous Zone),Zona Ekonomi
Eksklusif (Exclusive Economic Zone), Laut Lepas (High Seas) dan Landas Kontinen (Continental Shelf).
Implementasi
ketentuan-ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang
bertalian ketentuan-ketentuan
penarikan garis pangkal (base line) untuk menentukan batas maritim antara lain :
a. Garis Pangkal Normal (Normal
Baseline). Pasal 5 menyatakan
bahwa garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai atau garis yang berimpit dengan garis pantai yang dinyatakan pada peta resmi skala besar dari negara pantai tersebut. b. Garis Pangkal Lurus (Straight
Baseline). Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. c. Garis Lurus (Straight line)
Penutupan Sungai. Pasal 9 menyatakan apabila suatu sungai mengalir langsung ke laut, garis pangkal adalah suatu garis lurus
(straight line) melintasi muara
sungai antara titik-titik pada garis air rendah ke dua tepi sungai. d. Garis Penutup (Closing Line) Teluk.
Pasal 10 ayat 2 menyatakan suatu teluk adalah suatu lekukan yang
jelas lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari sekedar suatu lekukan pantai semata-mata. e. Garis Pangkal Kepulauan
(Archipelagic Baseline). Pasal 47
ayat 1, menyatakan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan itu. Pasal 47 ayat 2, menyatakan bahwa panjang garis pangkal tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3% dari seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga maksimum 125 mil laut.
Metode Penentuan Batas Maritim
Metode penentuan batas
maritim, disusun berdasarkan
pendekatan, pola pikir perencanaan, gambaran keberadaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan batas maritim
dihubungkan dengan kepentingan pembangunan nasional dan dengan tetap memperhatikan Hukum Laut Nasional dan Internasional.
a. Pengukuran kedalaman (Batimetri)
Pemetaan batimetri
merupakan hasil kegiatan
pengumpulan data melalui metode penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan. Data tersebut kemudian diolah (processing) untuk menghasilkan profil-profil
(relief) dasar laut dengan jumlah yang
cukup banyak sehingga dapat digambarkan kontur garis-garis kedalaman (Ingham 1975 dalam Dedeo 1995).
b. Penentuan Garis Pantai
Secara umum bentuk garis pantai ada dua macam, yaitu emerged
shore line (garis tepi naik) dan submerged shoreline (garis tepi turun). Emerged shore line adalah garis tepi
yang mengalami penaikan disebabkan adanya daratan yang naik, biasanya garis tepi naik ini mempunyai bentuk yang lurus dan datar sedangkan
submerged shore line adalah garis tepi
yang mengalami penurunan
disebabkan adanya daratan yang turun dan biasanya mempunyai bentuk tidak lurus.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) suatu wilayah pesisir mempunyai dua macam batas
(boundaries}, yaitu: batas yang sejajar
dengan pantai (long-shore) dan batas yang tegak lurus dengan pantai
(cross-shore). Penentuan batas-batas wilayah
pesisir yang sejajar dengan pantai relatif lebih mudah dibandingkan
dengan penentuan batas-batas
wilayah pesisir yang tegak lurus pantai, namun demikian keduanya dalam pelaksanaannya memerlukan penelitian yang lengkap, akurat dan teliti (Dahuri et.al 1996).
c. Pengamatan Pasang Surut (Pasut)
Pasang surut pada umumnya
dikaitkan dengan proses naik
turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa,
terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi.
Sejak pertengahan abad ke-17, mulai muncul teori-teori yang secara ilmiah menerangkan gejala pasut, antara lain: pengamatan pasut dapat dilakukan satu bulari (29 piantan), satu tahun sampai periode 18.61 tahun yang merupakan satu periode nutasi dari sumbu putar bumi. Pada tahun 1928, Doodson mengenalkan metode yang amat praktis untuk analisa pasut dari pengamatan 15 atau 29 hari, yang kemudian dikenal dengan Admiralty
Method of Analysis of Tides ( Mihardja et. al 1994).
Penentuan Kedudukan Garis Pantai
Pengertian garis pantai lazim
digunakan dalam pemetaan,
kedudukan garis pantai menurut peta laut adalah pertemuan garis air tinggi dengan daratan, sedang garis pantai yang digunakan untuk pemetaan
darat (topografi) merupakan
pertemuan garis air rata-rata (MSL) dengan daratan dan garis pantai pada peta navigasi merupakan pertemuan air rendah dengan daratan (SP. No. 51 IHO 1993-TALOS).
Berdasarkan ketentuan di atas,
kedudukan garis pantai
menggunakan batas air rendah (chan
datum) merupakan acuan. Metode ini
dalam UNCLOS 1982 disebut low water line, dalam UU No. 6 Tahun 1996.
Metode Penentuan Garis Air Rendah Pantai
Penentuan posisi garis air rendah sejajar pantai dilakukan secara grafis dari data hasil pengukuran
kedalaman (batimetri) atau Peta laut skala besar pada kontur kedalaman nol (garis air rendah sepanjang pantai). Apabila kontur nol tidak diperoleh, maka garis air rendah diidentikkan dengan garis pantai bentukan alamiah seperti karang terjal, batuan maupun garis pantai dari bangunan misalnya dermaga,
break water dan lainnya. Penentuan Titik Dasar
Setelah posisi garis air rendah didapat, selanjutnya posisi dari koordinat titik dasar ditentukan pada garis air rendah sepanjang pantai. Titik Dasar diikat posisinya dari hasil pengukuran geodetik titik acuan secara deferensial dan dihitung arah atau azimuthnya dan jarak terhadap titik acuan.
Penentuan Garis Pangkal
Dari posisi dan koordinat titik dasar yang sudah ditentukan tersebut selanjutnya dilaksanakan penarikan garis pangkal yang menghubungkan antara titik dasar yang satu dengan yang lain, jarak maksimum garis pangkal adalah 125 mil dan akan membuat poligon melalui titik-titik dasar tersebut.
Penarikan Garis pangkal (Base Line)
Penarikan garis pangkal
diperoleh dengan cara menarik titik-titik dasar pada kedalaman nol meter sepanjang pantai yang tergambar pada lembar lukis teliti (LLT) survei batimetri atau ditentukan dari kontur nol pada peta laut skala besar (1:10.000 s/d 1:50.000).
Ketentuan pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 yang digunakan sebagai dasar penarikan garis pangkal
(base line} dalam penentuan batas
Maritim suatu negara, antara lain :
Garis Pangkat Normal(Normal Baseline)
Garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai atau garis antara yang berimpit dengan garis pantai yang dinyatakan pada peta resmi skala besar dari negara pantai tersebut (Pasal 5).
Batas Maritim RI Dengan Negara
Sebagai negara kepulauan,
Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Palau, dan Timor Leste. Penetapan batas maritim
dilakukan untuk penegakkan
kedaulatan dan hukum di wilayah
yurisdiksi Indonesia di laut,
pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan ekonomi kelautan.
Penetapan batas-batas maritim tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan hukum laut internasional dan pada saat ini menggunakan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi pemerintah RI melalui UU No. 17 Tahun 1985. Implementasinya antara lain diperlukannya pengelolaan terhadap batas maritim, dimana meliputi batas laut yang langsung berbatasan dengan negara tetangga dan batas laut dengan laut bebas.
Batas-batas maritim republik Indonesia dengan negara tetangga meliputi:
Batas Laut Teritorial (Territorial
Sea)
Batas Zone Tambahan (Contiguous
Zone)
Batas Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE)
Batas Landas Kontinen
(Continental Shelf)
Sampai saat ini penetapan batas maritim RI dengan negara-negara tetangga belum selesai secara keseluruhan, hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan
perbatasan dengan negara tetangga. Dalam makalah ini diuraikan tentang batas-batas maritim yang sudah ada disertai dengan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.
Garis Batas Laut Wilayah RI -Malaysia.
Roda diplomasi untuk
menyelesaikan selisih pandangan soal Pulau Ambalat terus bergulir. Pucuk
pimpinan kedua negara terus
memperbanyak frekuensi pertemuan
dialog untuk menyelesaikan
perbatasan kedua belah pihak diantaranya dengan Ambalat.
Batas maritim dengan
Malaysia meliputi batas laut wilayah dan batas landas kontinen.
a. Garis batas laut wilayah terletak di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia, terutama pada bagian
yang sempit, sebagai
implementasi dari penentuan batas wilayah laut masing-masing negara sejauh 12 mil laut yang
diukur dari garis pangkal dan sesuai dengan Konvensi Hukum
Laut Internasional 1982.
Kesepakatan ini disetujui oleh kedua negara pada tanggal 17 Maret 1970 di Kuala Lumpur. b. Garis batas landas kontinen antara
Indonesia dan Malaysia terletak di Selat Malaka, Laut Cina Selatan disebelah Timur Malaysia Barat dan Laut Cina Selatan bagian Timur di lepas pantai Sarawak, ditanda-tangani pada tanggal 27 Oktober 1969 di Kuala Lumpur. MoU ini merugikan Indonesia karena Malaysia menetapkan pulau Jara dan pulau Perak
sebagai titik dasar untuk
penarikan garis pangkalnya
sehingga median line untuk batas landas kontinen kedua negara cenderung ke arah perairan Indonesia.
Garis Batas Laut RI - Singapura
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura disetujui di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 berdasarkan prinsip sama jarak antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 15 mil laut. Perjanjian di atas belum termasuk wilayah yang jaraknya 18 mil lain utara pulau Karimun besar dan 28,8 mil laut utara pulau Bintan yang belum mempunyai perjanjian batas laut karena merupakan wilayah
perbatasan tiga negara yakni
Indonesia, Singapura dan Malaysia. Negara Singapura gencar
melakukan reklamasi pantainya
sehingga garis pantainya berubah. Hal
ini akan menyulitkan dikemudian hari bagi Indonesia di dalam menetapkan batas wilayah perairan kedua negara yang belum ditentukan, dimana Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan garis pangkal yang baru karena garis pangkal yang lama sudah tidak dapat diidentifikasi lagi.
Singapura juga bisa
menggunakan Pasal 11 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa untuk penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai garis pantai, untuk mengklaim batas lautnya.
Garis Batas Landas Kontinen Rl -Thailand
Di bagian Utara Selat Malaka sudah dilakukan perjanjian batas landas kontinen (LK) antara Indonesia dan Thailand, yaitu :
a. Perjanjian LK terdiri dari titik 1 dan 2, ditandatangani di Bangkok 17 Desember 1971 dan diratifikasi Keppres No. 21 Tahun 1972
b. Perjanjian LK terdiri dari titik A dan L, ditandatangani di Jakarta 11 Desember 1975 dan diratifikasi Keppres No. 1 Tahun 1977 tanggal 31 Januari 1977
c. Perjanjian LK terdiri tiga negara Rl - Thailand - Malaysia, dari titik 1 s/d 7, ditandatangani di Kuala Lumpur 21 Desember 1972 dan diratifikasi Keppres No. 20 Tahun 1972 tanggal 11 Maret 1972.
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-India
Garis batas landas kontinen antara Indonesia dan India terletak di laut Andaman, Samudera Hindia, perairan Sumatera dan pulau Nicobar Besar.
a. Perjanjian ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan diratifikasi dengan Keppres No. 51 tahun 1974 tanggal 25 September 1974, terdiri dari 4 titik koordinat (titik 1- 4).
b. Perjanjian ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres No. 26 Tahun 1977 tanggal 4 April 1977, terdiri dari 9 titik koordinat (4 titik di laut Andaman dan 5 titik di Samudera Hindia), merupakan perpanjangan garis batas landas kontinen tahun 1974.
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-India-Thailand
Garis batas maritim Indonesia-India-Thailand tentang penetapan garis batas tiga negara ini terletak di laut Andaman disetujui pada tanggal 22 Juni 1978 di New Delhi dan diratifikasi dengan Keppres No. 24 Tahun 1978 tanggal 16 Agustus 1978.
Batas Maritim Indonesia-Australia
Perairan antara Indonesia dan Australia merupakan daerah yang sangat luas terbentang lebih dari 2100 mil laut dari selat Torres sampai perairan pulau Christmas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dan Australia yang telah ditentukan, menjadi menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian
tersebut dilaksanakan baik sebelum
berlakunya UNCLOS 1982
(menggunakan konvensi Genewa 1958) maupun sesudahnya.
Secara garis besar perjanjian batas maritim Indonesia-Australia dibagi menjadi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Perjanjian Garis Batas Landas
Kontinen ditandatangani di
Canberra pada tanggal 18 Mei 1971 dan diratifikasi dengan Keppres No. 42 Tahun 1971, terdiri dari 16 titik koordinat yaitu: Laut
Arafura (titik Al - A12),
Perairan Selatan pantai selatan Papua (titik B1-B2) dan Perairan Utara pantai Utara Papua (titik Cl - C2).
b. Sebagai tambahan dan kelanjutan dilakukan perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 dan diratifikasi dengan Keppres No. 66 Tahun 1972 tanggal 4 Desember 1972, terdiri dari: Perbatasan di Selatan Kep. Tanimbar pada laut Arafura (A13 - A16) dan Selatan Pulau Roti dan Pulau Timor (A17-A25).
c. Perjanjian perbatasan maritim tanggal 16 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia-Australia dari perairan Selatan Jawa, termasuk perbatasan maritim di Pulau Ashmore dan Pulau Christmas.
Batas Maritim Indonesia-Vietnam
Perundingan penetapan batas landas kontinen antara RI-Vietnam telah dilakukan sejak Juni 1978 dan merupakan salah satu perundingan
yang cukup alot dalam pengalaman perundingan perbatasan. Upaya yang ditempuh lewat 11 kali putaran perundingan formal serta 20 kali konsultasi dan perundingan informal diantara pejabat tingkat teknis kedua negara. Perundingan terakhir tim
teknis batas landas kontinen
dilaksanakan pada tanggal 10-13 Maret 2003 di Ho Chi Minh Vietnam. Setelah melalui perundingan yang sangat intensif, dengan berdasarkan kepada hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya, Indonesia dan Vietnam sepakat menandatangani Garis Batas Landas Kontinen di Hanoi, Vietnam tanggal 26 Juni 2003.
Batas Maritim Indonesia-Philipina
Perundingan RI-Philipina telah berkali-kali dilaksanakan khususnya balas maritim di laut Sulawesi dan
Selatan Mindanao sejak 1973,
perundingan RI-Philipina sudah
mencapai kemajuan yang cukup baik setelah kedua Negara secara periodik
bertemu dalam Joint Permanent
Working Group Meeting on Maritime and Oceans Concerns dan perundingan
terakhir dilaksanakan di Jakarta tanggal 2-6 September 2004.
Dalam perundingan perma-alahan keberadaan pulau Miangas sudah tidak dipermasalahkan lagi. Philipina berdasarkan Treaty of Paris tahun 1898, menggambarkan wilayah maritim Philipina dalam bentuk kotak dengan memasukkan Pulau Miangas ke dalam wilayah Philipina, metode ini tidak sesuai dengan prinsip UNCLOS 1982.
Batas Maritim Indonesia-Palau
Palau adalah negara
kepulauan dan terletak di timur laut Indonesia. Penarikan zona perikanan yang diperluas 200 mil laut sesuai rezim ZEE oleh Palau akan tumpang tindih dengan ZEE Indonesia, sehingga perlu adanya perundingan garis batas ZEE kedua negara.
Batas Maritim Indonesia-Papua New Guinea (PNG)
Perjanjian Garis-garis Batas Tertentu RI - PNG ditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1973 dan diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 1973 tanggal 8 Desember 1973, antara lain:
a. Mengatur penetapan batas Dam Cise sebelah Utara dan Selatan Sungai Fly berdasarkan prinsip Thalweg (alur pelayaran) sebagai
batas alamiah berdasarkan
perjanjian yang dibuat pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris di kawasan tersebut.
b. Menetapkan Garis Batas Laut Wilayah di Selatan Irian Jaya c. Menetapkan Garis Batas Dasar
Laut (Landas Kontinen) di Selatan Irian Jaya.
Persetujuan Batas Maritim dan
Kerjasama dengan PNG
ditandatangani di Jakarta dan telah diratifikasi dengan Keppres No. 21 Tahun 1982.
Batas Maritim Indonesia-Timor Leste
Sejak Timor-Timur (sekarang Timor Leste) merdeka dari wilayah NKRI 1997 terus berbenah diri dari aspek hukum lautnya. Indonesia
mempunyai batas darat dan batas maritim dengan Timor Leste yang sampai sekarang perundingannya belum selesai. Perundingan yang telah dilaksanakan yaitu first meeting joint
border committee antara pemerintah RI
dengan Timor Leste pada tanggal 18 dan 19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap awal akan dilaksanakan penentuan batas darat berupa delintasi dan demarkasi, selanjutnya akan dilanjutkan dengan perundingan
penentuan batas maritim.
Perundingan Joint Border Committee
kedua telah disepakati
diselenggarakan pada bulan Juli 2003 di Dilli.
Dengan lepasnya Timor Leste dari Indonesia, maka perlu dilakukan beberapa kajian tentang batas maritime, antara lain.
a. Perubahan Titik Dasar (TD) baru di pulau-pulau sebelah Utara Timor Leste, karena 5 TD yang berada di Selatan Pantai Timor Leste sudah tidak berlaku lagi. b. Batas Oikussi sebagai wilayah
Timor Leste yang terpisah
geografis perlu ditentukan batas wilayah lautnya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian berkenaan
dengan penentuan batas maritim, bahwa pada dasarnya Indonesia telah
cukup mengadopsi
ketentuan-ketentuan konvensi hukum laut
internasional dalam peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur perairannya, akan tetapi
perlu adanya pengkajian lebih mendalam berkaitan dengan isu perbatasan yang saat ini terjadi. Perhatian lain yang perlu mendapat prioritas dimasa yang akan datang adalah pembuatan peta batas maritim yang merupakan bagian dari peta batas yuridiksi nasional Indonesia, agar seluruh lapisan masyarakat dapat mengetahui dengan pasti batas
wilayah kedaulatan Republik
Indonesia.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat lebih dipertajam lagi
sehingga tidak menimbulkan
permasalahan di masa datang yaitu ;
1. Batas-batas maritim harus
kongkrit dan mengacu pada United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982.
2. Kasus Ambalat sebagai salah satu
contoh perebutan perbatasan Republik Indonesia dan Malaysia dapat diselesaikan dengan “Good
Neighbur Policy” atau berdasarkan
kebijaksanaan bertetangga yang baik, artinya sengketa perbatasan dapat diselesaikan sesuai dengan semangat Dasasila Bandung dan Piagam PBB.
Saran
Sesuai dengan misi “Good
Neighbur Policy” bahwa hidup
bernegara dan bertetangga
hendaknya:
1. Segala perselisihan (batas-batas
maritim) dapat diselesaikan
dengan jalan perundingan,
musyawarah yang diilhami jiwa / semangat Dasasila Bandung.
2. Batas antara kedua negara
khususnya (RI dan Malaysia) maupuan dengan negara tetangga
pada umumnya dapat
diselesaikan dengan rujukan
UNCLOS 1982.
DAFTAR PUSTAKA
Dishidros TNI AL. 2000. Batas-Batas
Maritim RI dengan Negara Tetangga,
Jakarta.
Djaja, R. 1987. Pengamatan Pasang Surut Laut Untuk Penentuan dalam Ketinggian. Makalah
Seminar Sehari Asean-Australia Cooperative Programs on Marine Science. LIPI, Jakarta.
Djoko Nugroho, Haris. 2003. Kajian Kedudukan Garis Pantai untuk Penentuan Batas Wilayah Laut Provinsi, Kabupaten dan Kota Menurut UU. No. 22 Tahun 1999 (Studi Kasus: Provinsi DKI Jakarta). IPB, Bogor. Ello, P. 1998. Kemampuan Survei dan
Pemetaan Hidro-Oseanografi
Dalam Mendukung
Pembangunan Kelautan Nasional.
Jakarta: Dishidros.
Hamzah, A. 1984. Laul Teritorial dan
Perairan Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo.
International Hydrographic Organiza-tion Special PublicaOrganiza-tions No. 51, 1993. A Manual On
Technical Aspects of the United
Nations Convention On the Law of the Sea-1982. International
Hydrographic Bureau,
Monaco.
International Hydrographic Organiza-tion Special PublicaOrganiza-tions No. 44, 1987. Standards For
Hydro-graphic Surveys. International
Hydrographic, Monaco.
Joko P. Subagyo, 2002, Hukum Laut
Indonesia, Jakarta. Rineka Cipta
Mihardja, D.K., M. Ali, dan S. Hadi. 1994. Pasang Surut. Bandung; Institut Teknologi Bandung. Mihardja, D.K. dan R. Setiadi. 1987.
Analisis Pasang Surut di daerah Cilacap dan Surabaya.
Makalah Seminar Sehari. LIPI.
Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja, 1999,
Pengantar Hukum Internasional,
Jakarta, Putra A. Bardin
…………, Ettyr Agoes, 2003, Pengantar
Hukum Internasional, Bandung,
PT. Alumni
Mochtar Kusumaatmadja, 1978,
Hukum Laut Internasional,
Bandung, Binacipta
_______, 1995, Masalah Lebar Laut
Territorial Pada Konferensi-Konferensi Hukum Laut Djenewa, Bandung, Pusat Studi
Wawasan Nusantara, Hukum, dan Pembangunan.
Wayan, I Parthiana, 2005, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut
Internasional, Bandung,
Mandar Maju.
Department of Commerce U.S.A.,
1986. Geodetic Glossary.
National Geodetic Survey, Rockville, MD.
RI (Republik Indonesia). 1996.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan.
Lembaran Negara Tahun 1996 No. 3647. Sekretariat Negara. Jakarta.
RI (Republik Indonesia). 1985.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Sekretariat Negara.