• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK (Kasus di Kota Yogyakarta) YUNI RETNOWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TUNGGAL DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK (Kasus di Kota Yogyakarta) YUNI RETNOWATI"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus di Kota Yogyakarta)

YUNI RETNOWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbit kan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Yuni Retnowati NRP. P054040051

(3)

Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta). Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan HADIYANTO

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengkaji pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak; (2) Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi; (3) Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan kemandirian anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pengumpulan data menggunakan metode survey dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 25 orang tua tunggal yang ditentukan berdasarkan dokumen Pengadilan Agama Yogyakarta, dan wawancara mendalam dengan 10 orang tua tunggal. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pola komunikasi interaksi dan transaksi berperan dominan dalam membentuk kemandirian anak melalui penanaman kesadaran untuk mandiri kepada anak dan melatih anak mandiri; (2) Faktor lingkungan tidak ada hubungannya dengan pola komunikasi tetapi karakteristik orang tua tunggal ada hubungannya dengan pola komunikasi; (3) Faktor lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal ada hubungannya dengan kemandirian anak.

(4)

Transforming Children’s Independency (Case in Yogyakarta City). Advised by AIDA VITAYALA S. HUBEIS and HADIYANTO

The aims of this research are: (1) examining communication pattern of single parents in transforming children’s independency; (2) analyzing the correlation between surroundings and the characteristic of single parents to communication pattern; (3) analyzing the correlation between surroundings and the characteristic of single parents to children’s independency. This research employed qualitative approach and survey method by collecting data through questionnaire with 25 single parents who are determined by having legal documents issuing by Yogyakarta Religious Court, in-depth interviewed with 10 single parents. Then, data is analyzed descriptively. The results of this research showed that: (1) the interaction and transaction communication pattern played a dominant role in transforming children’s independency by internalizing consciousness to be independent and giving children some training; (2) there is no correlation between surroundings factor and communication pattern but there is correlation between the characteristic of single parents and communication pattern; (3) there is correlation between surroundings factor and the characteristic of single parents to children’s independency.

(5)

(Kasus di Kota Yogyakarta)

YUNI RETNOWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

(6)

Nama Mahasiswa : Yuni Retnowati

NRP : P054040051

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hj. Aida Vitayala S. Hubeis Ir. Hadiyanto, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(7)

Penulis dilahirkan di Pati Jawa Tengah pada tanggal 18 Juni 1967 dari pasangan H. Sutijono dan Hj. Siti Tjahjani. Penulis yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, pernah menikah dan dikaruniai satu orang anak bernama Dara Giswa Adinipuspa yang lahir pada tanggal 6 Juli 1994, namun sejak Juli 2002 berstatus sebagai orang tua tunggal.

Pendidikan dasar hingga SMP ditempuh di Kabupaten Jepara, SMA ditempuh di Kota Yogyakarta, lulus tahun 1986. Ta hun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Penelusuran Minat dan Ketrampilan (PMDK) tetapi setelah setahun menempuh TPB (Tingkat Persiapan Bersama) ditinggalkan, kemudian mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima pada Program Studi Ilmu Komunikasi (S-1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1993. Tahun 2004, penulis diterima pada Program Studi Komunikasi Pembanguna n Pertanian dan Pedesaan untuk Strata-2 (S-2) sekolah Pasca Sarjana IPB dengan biaya kuliah dari Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS Dikti) Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Advertising (Periklanan) Akademi Komunikasi Indonesia Yogyakarta sejak tahun 1994 sebagai dosen tidak tetap, kemudian menjadi dosen tetap sejak tahun 1997. Dari tahun 1994 – 2000 menjadi dosen luar biasa pada Jurusan Advertising Program D-3 Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Dari tahun 2000 – 2002 menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Penulisan Naskah Iklan pada Jurusan Advertising, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dari tahun 1999 – 2004 dipercaya menjadi Ketua Program Studi Advertising Akademi Komunikasi Indonesia. Sejak tahun 2005 berstatus sebagai Dosen Negeri Kopertis Wilayah V Yogyakarta yang Dipekerjakan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS ). Penulis juga pernah bekerja sebagai Copy Writer (penulis naskah iklan) di Artek Advertising Jakarta pada tahun 1992, dan menjadi pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing di Yogyakarta Indonesian Language Center - Wisma Bahasa Yogyakarta dari tahun 1993-2004.

(8)

karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) dari Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berjudul “Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta).” Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi keluarga orang tua tunggal agar bisa mengembangkan pola komunikasi yang tepat untuk membentuk kemandirian anak sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Aida Vitayala S. Hubeis (Ketua Komisi Pembimbing) dan Bapak Ir. Hadiyanto, MS (Anggota Komisi Pembimbing) yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis.

Penghargaan tulus dan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tuaku, Bapak H. Sutijono dan Ibu Hj. Siti Tjahjani, Keluarga Pak Lik Abi Kusno, serta anakku tercinta Dara Giswa Adinipuspa atas doa, dukungan dan pengorbanannya selama ini. Tak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua responden penelitian ini, yaitu ibu tunggal yang telah bersedia memberikan banyak informasi untuk kelengkapan data penelitian. Mbak Lia sekretaris KMP atas semua bantuannya selama ini. Teman-teman KMP 2004, terutama Mince, Tata, Ica, Dini, Pak Narso, Pak Bagyo, Mama Farah, dan Milki atas canda tawa, bantuan, diskusi dan kebersamaan selama perkuliahan. Teman-teman TPB IPB Angkatan 23, Iga, Ester, Dwi-Komti, Zainal, Kade, Nining dan Ufi, terima kasih atas persahabatan, dukungan dan perhatian kalian. Rosa dan keluarga atas bantuan, dan perhatian yang begitu besar terhadap kondisi kesehatan penulis. Teman-teman di Pondok Alyesha, Eva, Susan, Dian, Pipit, Nita, dan Lily, atas persaudaraan selama ini. Teman-teman di kampus AKINDO terutama Alm. Vivi dan keluarga, Rofiq, Rama, Pipit dan Pak Muntaha atas motivasi, bantuan dan dukungan moril hingga akhir masa studi di IPB. Ian, Agam, Andi, Ichan, Pak Akrab, Heni, Pak Ponti dan Abi Jufri, atas kebaikan kalian di saat-saat sulit, hanya Allah SWT yang bisa membalasnya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dari tesis ini yang memerlukan banyak perbaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya komunikasi keluarga.

Bogor, April 2007

(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

(10)

DAFTAR TABEL………... xii

DAFTAR GAMBAR……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang………... 1 Rumusan Masalah……… 5 Tujuan Penelitian………... 5 Kegunaan Penelitian………. 6 TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi dan Perubahan Perilaku………... 7

Keluarga………... 8

Keluarga Orang Tua Tunggal………... 13

Komunikasi dalam Keluarga Orang Tua Tunggal………... 19

Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal... 22

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Komunikasi... 32

Kemandirian Anak... 36

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak... 39

Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak... 41

KERANGKA PEMIKIRAN... 43

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 45

Desain Penelitian... 45

Unit Penelitian... 45

Pengumpulan Data... 46

Instrumentasi... 47

Analisis Data... 47

Validitas dan Reliabilitas... 48

Definisi Operasio nal... 50

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis... 53

Penduduk... 53

Tingkat Pendidikan... 54

Mata Pencaharia n... 55

Perceraian di Kota Yogyakarta... 55

Alasan Perceraian... 56

Karakteristik Laki- laki dan Perempuan yang Bercerai... 57

Jumlah Anak dari Keluarga Bercerai... 58

(11)

xi

Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal... 60

Karakteristik Responden Anak………. 61

Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal………... 62

Hubungan Lingkungan dan Pola Komunikasi... 65

Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi…... 68

Kemandirian Anak……… 74

Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak……….... 75

Hubungan Lingkungan dan Kemandirian Anak………... 77

Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak…... SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... Saran... 82 88 89 DAFTAR PUSTAKA... 90 LAMPIRAN... 95

(12)

xii

1. Penduduk Berdasarkan Status Perkawinan dan Jenis Kelamin di Kota

Yogyakarta, Tahun 2004... 54

2. Angka Perceraian di Kota Yogyakarta Tahun 2001 – 2005 ... 56

3. Jumlah Anak dari Keluarga Bercerai di Pengadilan Agama Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005... 58

4. Karakteristik Anak dari Keluarga Bercerai di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2001 – 2005... 59

5. Pola Komunikasi pada Berbagai Situasi Komunikasi, Yogyakarta, 2006... 62

6. Kecenderungan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal... 63

7. Faktor Lingkungan dan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006... 65

8. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Pola Komunikasi... 68

9. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi, Yogyakarta, 2006... 69

10. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Pola Komunikasi... 73

11. Distribusi Aspek Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006... 74

12. Pola Komunikasi dan Kemandirian Anak... 75

13. Pola Komunikasi dan Kecenderungan Kemandirian Anak... 76

14. Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006... 77

15. Faktor Lingkungan dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006... 78

16. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Kemandirian Anak... 81

17. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006... 82

18. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Kemandirian Anak... 86

(13)

xiii

Halaman

1. Komunikasi Sebagai Aksi, Reaksi dan Transaksi... 23

2. Model Komunikasi Shannon dan Weaver... 26

3. Model Kedua Schramm... 27

4. Model Ketiga Schramm... 28

5. Model Komunikasi Konvergen... 31

(14)

xiv

1. Alasan Cerai di Pengadilan Agama Kota Yogyakarta,

Tahun 2001 – 2005... 95 2. Responden Orang Tua Tunggal yang Diwawancarai... 96 3. Karakteristik Laki- laki yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota

Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005... 97 4. Karakteristik Perempuan yang Bercerai di Pengadilan Agama Kota

Yogyakarta, Tahun 2001 – 2005... 98 5. Karakteristik Anak dan Hak Asuh Anak... 99 6. Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006... 100 7. Karakteristik Responden Anak dari Orang Tua Tunggal,

(15)

Latar Belakang

Modernisasi membawa perubahan yang luas di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang ekonomi terlihat peran perempuan menjadi penting dalam menjalankan fungsi sentral keluarga, sekaligus merupakan sumber daya ekonomi. Peran mereka tidak terbatas hanya dalam pekerjaan domestik di rumah tangga namun juga dalam sektor usaha ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2001) memperlihatkan bahwa 44,20 persen kepemilikan usaha mikro berada di tangan perempuan sedangkan di sektor usaha skala besar mencapai 10,28 persen.

Meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah menyebabkan kualitas dan kuantitas waktu bersama dengan anggota keluarga menurun sehingga mempengaruhi fungsi keluarga dalam menyiapkan generasi mendatang. Lembaga- lembaga di luar keluarga pelan-pelan mulai mengambil alih fungsi keluarga. Fungsi perlindungan, religi, pendidikan dan rekreasi ya ng semula dipenuhi oleh keluarga sekarang digantikan oleh polisi, tempat ibadah, sekolah dan fasilitas hiburan komersial. Fungsi utama keluarga yang tetap bertahan adalah fungsi pemenuhan kebutuhan emosional. Keluarga adalah satu-satunya lembaga yang bisa memberikan kasih sayang.

Modernisasi juga berdampak pada terjadinya perubahan nilai sosial budaya. Suami bukan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Istri yang bekerja tidak tergantung pada suami secara ekonomi sehingga tidak lagi terjebak dalam perkawinan yang tidak berbahagia karena alasan ekonomi. Perubahan sistem nilai dalam masyarakat mengurangi tekanan pada perlunya mempertahankan kelangsungan sebuah perkawinan. Dulu perceraian dianggap tabu sehingga tidak sedikit perkawinan tetap dipertahankan meskipun sudah tidak harmonis lagi. Saat ini masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai sesuatu yang memalukan dan harus dihindari. Masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri.

Sejalan dengan berubahnya gaya hidup dan datangnya modernisasi angka perceraian di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat angka

(16)

perceraian meningkat dengan tajam sejak tahun 1960-an. Pada awal tahun 1970-an satu dari setiap tiga perkawin1970-an di Amerika berakhir deng1970-an percerai1970-an, di Jerman Barat perbandingannya satu dari tujuh perkawinan, di Jepang satu dari sepuluh. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan yaitu satu dari lima perkawinan. (Gunadi, 2006)

Perceraian menyebabkan struktur keluarga berubah menjadi tidak lengkap dengan hilangnya salah satu figur orang tua. Bersamaan dengan fenomena ini istilah single parent atau orang tua tunggal menjadi populer di kalangan masyarakat. Istilah single parent lebih sering digunakan untuk menyebut ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal karena kebanyakan anak yang orang tuanya bercerai berada dalam pengasuhan ibu.

Ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa di dalam suatu perceraian hak asuh anak yang belum akil bhaliq berada di tangan ibu. Dari segi budaya, masyarakat menganggap mengasuh anak adalah tugas dan kewajiban ibu sedangkan mencari nafkah adalah tugas dan kewajiban ayah. Pertimbangan lain yang mendasarinya adalah karena secara emosional anak-anak lebih dekat dengan ibu. Kecuali bila ibu secara moral dianggap tidak layak mengasuh anak maka hak asuh anak bisa dipindahkan ke pihak lain demi perkembangan jiwa anak.

Keluarga tidak utuh memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak. Dalam masa perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini tidak didapatkan secara memuaskan. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal kehilangan figur ayah dalam keluarga. Hilangnya figur ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan tokoh identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang.

Figur ayah memberikan perlindungan, rasa aman dan kebanggaan pada diri anak. Ketegasan seorang ayah memberikan pengaruh kuat dalam menanamkan disiplin dan kepercayaan diri anak. Menurut Gottman dan DeClaire (1998) keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak penting karena mempengaruhi perkembanga n sosial anak. Anak-anak yang mendapatkan kehangatan dari ayah sewaktu kanak-kanak cenderung mempunyai hubungan sosial yang lebih baik.

(17)

Konsep perkembangan sosial mengacu pada perilaku anak dalam hubungannya dengan lingkungan sosial untuk mandiri dan dapat berinteraksi atau menjadi manusia sosial. Kemandirian adalah salah satu komponen dari kecerdasan emosional. Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa kemandirian menentukan keberhasilan dalam kehidupan seseorang. Sikap mandiri yang berakar kuat dalam diri seorang anak akan membuat anak tangguh, tidak mudah diombang-ambingkan keadaan dan mampu memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Hal ini akan memberikan pengaruh yang berarti dalam kehidupan seorang anak di masa mendatang. Anak yang memiliki sikap mandiri kelak akan mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh persaingan.

Pembentukan kemandirian dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan, namun faktor yang paling berpengaruh adalah keluarga khususnya peranan orang tua. Orang tua dapat mendorong anak untuk mandiri dengan mengajar dan membimbing mereka melakukan rutinitas kecil sehari- hari. Dengan demikian mereka merasa diberi kepercayaan sehingga menumbuhkan rasa percaya diri dan mengurangi ketergantungannya.

Ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal dianggap memiliki keterbatasan dalam proses pembentukan kemandirian anak. Tidak adanya figur ayah dalam keluarga membuat anak kurang disiplin dan kurang memiliki kepercayaan diri. Ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan disiplinnya (Frankl, 1972). Di satu sisi diyakini bahwa kedisiplinan dan kepercayaan diri merupakan dasar terbentuknya sikap mandiri anak.

Tidak semua anak dari ibu tunggal tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri. Ada juga kelompok anak yang mandiri. Kita bisa melihat beberapa contoh dari kalangan selebriti Indonesia. Tiga diva Indonesia, Titi DJ, Krisdayanti dan Ruth Sahanaya pada masa kecilnya adalah anak-anak yang dibesarkan oleh ibu tunggal. Mereka tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan meraih keberhasilan dalam kehidupannya. Regy Lawalata adalah contoh ibu tunggal yang berhasil. Kedua anaknya, Oscar dan Mario dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh setelah kedua orang tuanya bercerai namun mereka tumbuh menjadi anak yang mandiri.

(18)

Perlakuan ibu terhadap anak dan faktor lingkungan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kemandirian anak. Mianda (2002) berpendapat bahwa ibu tunggal cenderung memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak sehingga anak menjadi kurang percaya diri dan akhirnya menjadi kurang mandiri.

Perlakuan ibu terhadap anak bisa dilihat dari interaksi dan komunikasi yang terjalin antara ibu dan anak yang berupa komunikasi antar pribadi. Bentuk komunikasi ini dinilai paling ampuh untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Umumnya komunikasi antar pribadi berlangsung secara tatap-muka sehingga memungkinkan terjadinya personal contact. Kasih sayang dan kehangatan ibu menjadi dasar terbentuknya hubungan yang menyenangkan dalam komunikasi. Suasana menyenangkan dan hangat menjadi dasar perkembangan emosi yang stabil dan membentuk kepribadian yang percaya diri.

Komunikasi adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan orang tua yang menginginkan anaknya mandiri. Melalui komunikasi, orang tua dapat membentuk kemandirian anak. Bagaimana cara ibu tunggal berkomunikasi dengan anak menentukan apakah anak tumbuh mandiri atau sebaliknya. Sikap dan perilaku mandiri dapat berkembang baik melalui latihan dan dorongan orang tua yang disampaikan melalui komunikasi.

Penelitian tentang kemandirian dilakukan oleh Djunanah (1999), Lukman (2000) dan Dhamayanti (2006). Djunanah meneliti tentang pengaruh sikap penerimaan orang tua dan kemandirian siswa SMU UII Yogyakarta. Hasil penelitian Djunanah menemukan adanya hubunga n antara sikap penerimaan orang tua dengan kemandirian siswa SMU. Lukman meneliti tentang kemandirian anak asuh di Panti Asuhan Yatim Islam ditinjau dari konsep diri dan kompetensi interpersonal. Penelitian Lukman menyimpulkan adanya hubungan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal dengan kemandirian anak asuh panti asuhan yatim. Dhamayanti meneliti kemandirian anak usia 2,5 – 4 tahun ditinjau dari tipe keluarga dan tipe prasekolah. Hasil penelitian menemukan bahwa prasekolah full day lebih baik untuk merangsang anak dalam meningkatkan kemandirian, sedangkan tipe keluarga tidak banyak berperan dalam perkembangan kemandirian anak.

(19)

Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai

kemampuannya. Berdasarkan pertimbangan bahwa jumlah orang tua tunggal di

Indonesia makin meningkat dan mengingat komunikasi bisa diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang seperti halnya dalam membentuk kemandirian anak maka penelitian ini perlu dilakukan.

Rumusan Masalah

Beberapa praduga menyatakan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu tunggal dalam keluarga yang bercerai dianggap tidak mandiri. Kenyataan yang ditemukan dalam kehidupan sehari- hari, tidak semua anak dari ibu tunggal menunjukkan sikap dan perilaku tidak mandiri. Interaksi dan komunikasi antara ibu tunggal dan anak menentukan seorang anak akan tumbuh menjadi anak mandiri atau tidak. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak?

2. Bagaimana hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi antara orang tua tunggal dan anak? 3. Bagaimana hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua

tunggal dengan kemandirian anak?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendeskripsikan pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak. Dengan mengacu pada permasalahan yang ada, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengkaji pola komunikasi orang tua tunggal dalam membentuk kemandirian anak.

2. Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan pola komunikasi antara orang tua tunggal dan anak.

(20)

3. Menganalisis hubungan antara lingkungan dan karakteristik orang tua tunggal dengan kemandirian anak.

Kegunaan Penelitian

Komunikasi antar-pribadi yang terjadi antara ibu dan anak bisa diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Kemandirian anak adalah tujuan pendidikan anak dalam keluarga. Kemandirian bisa dibentuk melalui komunikasi antara ibu dan anak. Orang tua bisa memilih pola komunikasi yang sesuai sebagai pedoman dalam berkomunikasi dengan anak dan membentuk kemandirian anak. Sejalan dengan hal tersebut maka hasil penelitian ini diharapkan :

1. Memberi masukan kepada masyarakat luas khususnya orang tua tunggal dalam mengembangkan pola komunikasi yang sesuai untuk membentuk kemandirian anak.

(21)

Komunikasi dan Perubahan Perilaku Komunikasi

Kita mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi (Mulyana, 2002). Hal ini sejalan dengan definisi komunikasi yang dinyatakan oleh Hovland, Janis dan Kelly (1953) dalam Rakhmat (2001) yaitu proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimuli (biasanya verbal) untuk mengubah perilaku individu lain (audience).

Tujuan komunikasi menurut Effendy (2001) adalah mengubah sikap, opini, perilaku dan masyarakat. Sedangkan cara kerja untuk menimbulkan perubahan dalam diri seseorang bisa dilakukan: (1) menyampaikan informasi, (2) mengajar atau memberikan instruksi, (3) membujuk/mendesak, dan (4) dialog (Kincaid dan Schramm, 1987).

Perubahan Perilaku

Perubahan sikap dan perilaku memang tidak mudah dan perlu waktu lama karena prosesnya kompleks dan menyangkut komponen kognitif, komponen afektif dan komponen kecenderungan perilaku (Tarmud ji, 2002). Komunikasi antar pribadi dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang karena bersifat dialogis. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu dialog antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lainnya (Effendy, 1996).

Behaviorisme melihat bahwa perilaku manusia dipelajari dengan membentuk asosiasi, artinya perilaku manusia terjadi melalui kebiasaan, refleksi, atau hubungan antara respon dan peneguhan yang memungkinkan dalam lingkungan. Dengan demikian, pada dasarnya perilaku manusia lebih ditentukan oleh lingkungan (Rakhmat, 2001).

Dukungan terhadap behaviorisme ditunjukkan dengan lahirnya Teori Brofenbrenner (1979) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri

(22)

sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya yang dibagi ke dalam beberapa lingkaran, yaitu : 1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu

lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitip an anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari- hari ditemui oleh anak.

2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor- faktor di dalam sistem mikro (hubungan orang tua- guru, orang tua-teman, antar teman, guru-teman) ya ng dinamakannya sistem meso.

3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, dokter, koran, televisi, dan sebagainya.

4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dan sebagainya..

Salah satu Teori Belajar yang dapat menjelaskan proses belajar seorang individu melalui lingkungannya adalah Teori Belajar Sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1995). Senada dengan pandangan behaviorisme, Bandura menyatakan bahwa manusia menciptakan atau membentuk suatu perilaku melalui interaksi dengan lingkungan.

Menurut Bandura dan teori Brofenbrenner, salah satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap proses belajar sosial seseorang adalah keluarga melalui komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi seorang anak, akan memegang peranan penting dalam proses belajar sosial serta membentuk perilaku dan kepribadiannya.

Keluarga Hakikat Keluarga

Secara tradisional keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Galvin dan Brommel (1991) dalam Tubbs dan

(23)

Moss (2001) menyatakan bahwa keluarga adalah jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri mereka sebagai keluarga dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan.

Orang tua dan anak adalah jaringan yang terikat oleh hubungan darah. Orang tua mempunyai harapan- harapan tertentu pada anak-anaknya. Mussen et al. (1989) mengemukakan bahwa orang tua mempunyai tujuan khusus dan umum untuk anak-anak mereka yang meliputi nilai moral, pengetahuan dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila sudah dewasa. Orang tua mencoba berbagai cara untuk mendorong anak mencapai tujuan tersebut. Orang tua menggunakan diri sebagai panutan, memberi hukuman, menjelaskan harapan dan kepercayaan kepada anak-anak untuk dapat memiliki lingkungan yang baik, mencarikan teman sebaya dan sekolah untuk mencapai tujuan mereka.

Sebagai sebuah lembaga, keluarga mempunyai karakteristik dan fungsi tertentu. Di antara fungsi keluarga adalah: (1) merawat anak-anak, (2) menghasilkan pertumbuhan kepribadian agar anak berhasil dalam lingkungan sosial, dan (3) memenuhi kebutuhan emosional setiap anggota keluarga (Day et al., 1995) .

Vembrianto (1993) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah

memelihara, merawat dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan multi fungsi. Fungsi sosialisasi, pendidikan keagamaan, perlindungan, rekreasi dan kontrol sosial dilakukan oleh keluarga namun karena proses industrialisasi, urbanisasi dan sekularisasi maka keluarga dalam masyarakat modern kehilangan sebagian dari fungsi- fungsi tersebut. Fungsi utama keluarga yang tetap melekat yaitu melindungi, memelihara, sosialisasi dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya.

Para ahli memandang keluarga sebagai suatu sistem yang menekankan hubungan antar anggotanya. Virginia Satir dalam Tubbs dan Moss (2001) membedakan sistem keluarga tertutup dengan sistem keluarga terbuka. Dalam

(24)

suatu sistem tertutup, komunikasi tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak sebangun, mengganggu pertumbuhan, aturan-aturan tertutup dan usang, orang-orang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan-aturan. Dalam sistem yang terbuka, komunikasi langsung, spesifik, sebangun dan mendorong pertumbuhan, aturan-aturan terbuka dan baru, berubah bila kebutuhan muncul.

Para peneliti telah mengembangkan model interaksi dalam keluarga yang disebut circumplex model of family interaction untuk menjelaskan fungsi efektif dan disfungsi dalam sistem keluarga. Model tersebut memiliki tiga elemen dasar, yaitu kemampuan beradaptasi, kohesi dan komunikasi. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan yang dimiliki sebuah keluarga untuk mengubah dan merespon perubahan struktur tugas atau peran. Kohesi berkaitan dengan ikatan emosional dan perasaan akan kebersamaan. Komunikasi merupakan penentu apakah suatu keluarga termasuk kohesif atau adaptable, dan komunikasi menjaga keberlangsunga n keluarga sebagai suatu sistem (Beebe, 1999).

Berbagai perubahan dan tekanan yang terjadi dalam keluarga seperti perkembangan yang terjadi pada anak-anak, kemunduran ekonomi dan perceraian menuntut kemampuan keluarga untuk menyesuaikan diri. Keluarga yang sulit menyesuaik an diri mereka dengan setiap perubahan yang terjadi dianggap kaku. Bochner dan Eisenberg (1987) dalam Moss dan Tubbs (2001) memandang kemampuan beradaptasi lebih penting daripada kohesi bagi berjalannya sebuah keluarga.

Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak

Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang ada di dalam diri anak sendiri dan faktor lingkungan (Welis, 1994 dalam Kandoli, 2000). Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fis ik yaitu lingkungan yang berupa alam dan benda ciptaan manusia. Lingkungan sosial adalah lingkungan yang berwujud manusia yang merupakan masyarakat di mana mereka berinteraksi (Purnomo, 1990 dalam Kandoli, 2000).

Lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan

(25)

yang pertama karena di dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan dan juga karena sebagian besar kehidupan anak adalah di dalam keluarga sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga (Hasbullah, 1999). Sedangkan menurut Amal (1990) dalam masyarakat modern dan industrial sumber pengetahuan yang utama bagi anak tidak lagi hanya keluarga tetapi juga sekolah (pendidikan formal), teman sebaya (peer group), guru, buku dan media massa.

Keluarga merupakan wadah bagi seorang anak untuk mengenal segala macam norma kehidupan. Peran keluarga adalah sebagai peletak dasar bagi pola pengembangan kepribadia n yang dimiliki seseorang. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya di kemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spiritual. Elkin dalam Dimmick (1987) berpendapat bahwa keluarga mempunyai peran dominan dalam perkembangan ciri kepribadian dasar dan sikap-sikap serta nilai- nilai sosial lainnya. Dengan demikian, keluarga mempunyai pengaruh yang paling banyak terhadap perkembangan dan kehidupan sosial anak.

Sebagai lingkungan pertama tempat anak belajar bersosialisasi, keluarga memiliki peran besar dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Hurlock (1991) keluarga memberi sumbangan besar dalam perkembangan anak, yaitu dalam hal: (1) memberi rasa aman karena menjadi anggota yang stabil, (2) memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) memberi contoh dan pengembangan pola perilaku yang disetujui, (5) memberi bantuan pemecahan masalah, (6) memberi bimbingan dan bantuan dalam mempelajari berbagai ketrampilan, (7) memberi stimulus untuk memperoleh keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial, (8) memberi bantuan dalam menetapkan aspirasi yang sesuai dengan minat dan kemampuan, dan (9) sebagai sumber persahabatan hingga mereka mendapat teman di luar rumah atau ketika tidak ada teman.

Menurut Ahmadi (1999) faktor-faktor keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak adalah: (1) keutuhan keluarga, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri sejak tahun 1938 ditemukan ada hubungan antara keluarga tidak utuh dengan gejala kenakalan pada

(26)

anak, (2) kondisi sosial ekonomi keluarga, berdasarkan penelitian eksperimental yang dilakukan Prestel dan Hetzer di Jerman (Ahmadi, 1999) disimpulkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang sangat tinggi dan sangat rendah mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga kaya mampu menyediakan kebutuhan materiil bagi anak-anaknya tetapi tidak berarti anak-anak berkembang dengan wajar. Keluarga miskin juga terlalu sibuk mencari nafkah sehingga perhatian terhadap anak berkurang, (3) besar kecilnya keluarga, anak dari keluarga besar lebih toleran karena sudah biasa bergaul dengan orang lain, (4) status anak, berdasarkan penelitian tentang perkembangan sosial anak tunggal dan anak yang bersaudara didapatkan hasil bahwa anak tunggal mengalami hambatan dalam perkembangan sosial karena tidak biasa bergaul dengan anak-anak sebaya, dan (5) pola asuh orang tua, makin otoriter orang tua makin berkurang ketidaktaatan tetapi makin banyak timbul ciri pasif, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan penakut, sedangkan anak dari orang tua demokratis menunjukkan ciri berinisiatif, tidak takut, lebih giat, lebih bertujuan tetapi memberi kemungkinan berkembang sifat-sifat tidak taat dan tidak mau menyesuaikan diri.

Zelditch dalam Gordon (1978) menyebutkan dua peran orang tua yaitu: (1) instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dalam kepemimpinan di bidang ekonomi dan pembuatan keputusan sekaligus figur otoritas, dan (2) ekspresif/emosional yang biasanya dijalankan ibu/istri dalam pengungkapan kasih sayang, dukungan dan kedamaian. Kedua peran tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga merupakan institusi dasar dalam rangka membentuk individu bertanggung jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya.

Orang tua bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan emosi anak. Agar seorang anak dapat berkembang wajar secara psikososial, anak perlu mendapat perhatian, pengertian, rasa aman, penghargaan dan penerimaan dari kedua orang tuanya. Menurut Suwondo (1981) dalam Kandoli (2000) yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara rohani, jasmani maupun sosial adalah orang tuanya. Sedangkan Gunarsa (1990) menyatakan bahwa secara khusus ibu berperan penting dalam upaya

(27)

pemenuhan kebutuhan emosi anak melalui perhatian dan sikap dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan anak karena ibu merupakan sosok yang dekat dengan anak dan berperan sebagai pelindung dan pengasuh utama.

Keluarga Orang Tua Tunggal

Galvin dan Brommel dalam Arliss (1999) menunjukkan bahwa bentuk keluarga telah berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya jumlah single parent family. Balson (1999) mengungkapkan bahwa peristiwa khas yang menimpa keluarga ini berkaitan dengan emosi dan penyesuaian diri. Ditambahkan oleh Ahmadi (1999), tidak hadirnya salah satu orang tua, karena kematian atau perceraian, berpengaruh terhadap perkembangan anak. Berdasarkan penelitian para psikolog, anak-anak dari keluarga yang tidak utuh memperoleh nilai

psikologis yang rendah terutama dalam hal fleksibilitas, penyesuaian diri,

pengertian akan orang dan situasi di luarnya, dan pengendalian diri.

Kebanyakan orang tua tunggal adalah perempuan sehingga riset difokuskan pada tidak adanya ayah dalam keluarga. Meskipun orang tua tunggal cenderung mempunyai banyak masalah seperti konflik antara tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus membuat keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan kehidupan pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial, kita tidak bisa menganggap bahwa keluarga orang tua tunggal adalah unit yang disfungsional. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua tunggal berfungsi secara efektif ( Nock, 1987).

Hubungan Orang Tua Tunggal dan Anak

Perceraian menghilangkan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dari dua orang tua. Hak asuh yang diberikan kepada ibu berarti kurangnya interaksi anak dengan ayahnya. Menurut Landis dalam Ihromi (1999) dampak lain dari perceraian bila anak berada dalam pengasuhan dan perawatan ibu adalah meningkatnya perasaan dekat anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah.

(28)

Untuk mengisi kekosongan model peran karena anak hanya tinggal dengan satu orang tua, orang tua tunggal mencarikan tokoh pengganti yang bisa diambil dari dalam atau luar keluarga. Lewat interaksi dengan tokoh pengganti itu, anak bisa mempelajari hal-hal yang tidak didapatkan dari orang tuanya (Chairani dan Nurachmi, 2002).

Para peneliti menemukan kecenderungan bahwa orang tua tunggal lebih terbuka pada anak, dengan keseimbangan yang lebih besar, lebih sering berinteraksi dan kohesi meningkat (Weiss dalam Nock, 1987).

DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) menyatakan bahwa dalam keadaan sulit sekalipun, orang tua tunggal tetap berusaha membantu anak-anaknya menghadapi emosinya dengan menyediakan waktu bagi anak untuk mengungkapkan perasaannya. Orang tua tunggal mengakui perasaan terluka anaknya dan membiarkan anak menumpahkan amarahnya karena anak sedang memerlukan dukungan lebih banyak dari sebelumnya. Jika anak masih terlalu kecil, ibu akan memeluk untuk memberikan perasaan aman. Jika anak cukup besar, orang tua bisa mengajak bicara sesuai daya tangkapnya tentang kondisi keluarga. Orang tua bisa mengemukakan apa yang dirasakan dan apa saja harapannya dan bagaimana anak bisa membantunya. Jika cara itu dilakukan bisa menumbuhkan harga diri anak. Selain itu, anak bisa diajak bersama-sama menunjukkan kepada masyarakat bahwa sekalipun keluarga tidak lengkap tetapi bisa lebih baik dari keluarga yang utuh sehingga anak bisa belajar mensyukuri apa yang diperoleh. Pada saat keadaan emosi anak masih labil orang tua berusaha sedapat mungkin menciptakan suasana rumah yang stabil.

Berbeda dengan hal tersebut, beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang tua tunggal tidak mengawasi anak-anaknya seperti yang terjadi pada keluarga utuh. Surva i yang dilakukan terhadap para murid SMU yang berasal dari keluarga orang tua tunggal melaporkan bahwa sedikit orang tua tunggal yang mengetahui di mana anak berada sepulang sekolah dan bagaimana anak bersekolah dibanding keluarga dengan dua orang tua. Perbedaan ini tampak pada beberapa tingkat status sosial ekonomi ( Astone dan Mc. Lanahan dalam Cherlin, 2002).

(29)

Menurut sejumlah psikolog, orang tua tunggal sering kali terjebak dengan menjadikan anak sebagai mitra yang sama kedudukannya. Akhirnya, anak laki-laki terjebak menjadi lelaki-lakinya keluarga, anak perempuan menjadi ibu bagi adik-adiknya. Fenomena ini biasanya terjadi secara alami, bukan karena pilihan sadar dari orang tua. DeWitt dalam Chairani dan Nurachmi (2002) berpendapat bahwa anak harus menyadari tanggung jawabnya pada keluarga adalah sebagai seorang anak atau kakak. Anak membantu orang tua dalam kehidupan sehari- hari tetapi mereka tidak menggantikan peran ayah atau ibu mereka yang hilang.

Orang tua tunggal memperluas jaringan pergaulan pertemanan yang bisa memberikan dukungan tambahan untuk bantu membantu. Orang tua tunggal yang didukung lingkungan seperti itu biasanya secara mental dan fisik merasa lebih baik. Orang tua tunggal tidak perlu berambisi menjadi orang tua sempurna. Orang tua bisa menunjukkan kepada anak bahwa pada saat-saat tertentu boleh saja kita minta pertolongan seseorang (Chairani, 2002).

Rasa bersala h ibu atas perceraian mengakibatkan ibu berbuat banyak hal untuk anak bahkan membiarkan kehidupannya dikontrol oleh anak-anaknya. Penyesuaian yang dilakukan ibu sebagai orang tua tunggal akan menimbulkan masalah jika ia merasa bertanggung jawab secara berlebihan terhadap anak-anaknya. Para ibu sering berupaya untuk berperan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah dengan mengambil banyak tanggung jawab sehingga anak memikul sedikit tanggung jawab (Balson, 1999). Menurut Clemes dan Bean (2001) seorang anak yang bertindak tanpa tanggung jawab akan lebih banyak mengalami hukuman dan kritik sehingga rasa harga dirinya merosot dan ia juga akan mengembangkan sikap negatif terhadap kehidupan.

Permasalahan yang dihadapi Orang Tua Tunggal

Banyak masalah yang dihadapi ole h ibu sebagai orang tua tunggal. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, masalah yang paling menonjol adalah pendapatan rendah dan konflik yang berlanjut dengan mantan pasangan. Rendahnya atau menurunnya pendapatan karena tidak ada bantuan dari ayah atau dukungan keuangan lain membuat anak dari orang tua tunggal menghadapi resiko putus sekolah Bahkan jika pendapatan orang tua turun hingga di bawah garis

(30)

kemiskinan maka anak lak- laki menunjukkan masalah penyimpangan perilaku (Mc. Lanahan dan Sandetur dalam Cherlin, 2002).

Masalah lain yang muncul adalah menurunnya kemampuan sebagai orang tua yang ditunjukkan dengan menurunnya emosi secara tajam, berkurangnya hubungan yang menyenangkan antara anak dan orang tua, menurunnya perhatian pada kebutuhan dan keinginan anak serta kurangnya komunikasi dan interaksi dengan anak. Ibu sebagai pemegang hak asuh anak mengalami stress sehingga menjadi sering marah, jengkel dan depresi. Kondisi ini menimbulkan beberapa kesulitan terutama dalam memberikan dukungan emosional kepada anak yang juga mengalami kesedihan akibat perceraian orang tua. Selain itu, orang tua tunggal menjalankan pola pengasuhan yang kurang konsisten terutama dalam penerapan disiplin kepada anak. Tahap ini oleh para psikolog disebut authoritative parenting (Wallerstein dan Kelly dalam Cherlin, 2002).

Pengaruh Keluarga Orang Tua Tunggal terhadap Perkembangan Anak Seorang ibu yang mempunyai posisi sebagai single parent harus memegang dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak juga menggantikan figur bapak yang harus mencari nafkah. Teori pengasuhan ibu tunggal pada keluarga bercerai dan teori kesehatan mental dari Frankl (1972) mengemukakan bahwa seorang ibu tunggal sering mengalami ketimpangan dan kemiskinan dalam otoritas pengasuhan. Tidak adanya sosok seorang ayah menyebabkan ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan disiplinnya. Hilangnya ayah sebagai sumber penghasilan keluarga menyebabkan ibu tunggal harus bekerja di luar rumah. Peran ganda yang dimainkan itu pada akhirnya tidak sesuai dengan waktu mengasuh anak, kondisi serta kemampuan yang dimilikinya. Tanpa disadari semua faktor tersebut menyebabkan ketimpangan dalam pola pengasuhan sehingga berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang anak.

Kurangnya kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh seorang ibu tunggal kepada anak menyebabkan anak tidak memiliki rasa aman di dalam dirinya. Kesibukan ibu bekerja membuat anak tidak mempunyai seorang ibu yang bisa diajak bercakap-cakap ataupun bertukar pendapat. Anak seringkali merasa

(31)

takut menghadapi masa depan dan mudah putus asa. Anak juga merasa tidak memiliki kebebasan dalam membuat pilihan penting serta mengalami kesulitan-kesulitan lain seperti pandangan negatif dari masyarakat sehubungan dengan perceraian kedua orang tua mereka (Mianda, 2002).

Sering terjadi perbedaan pendapat mengenai dampak ibu bekerja terhadap pengasuhan anak. Sebagian besar masyarakat sering beranggapan bahwa status ibu bekerja selalu negatif akibatnya terhadap pengasuhan anak. Sedangkan yang lain mengemukakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru menjadi sangat mandiri. Maccoby menyimpulkan dari beberapa penelitian bahwa bekerjanya ibu bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya perkembangan negatif pada anak (Amal, 1990).

Mianda (2002) mengemukakan bahwa keadaan yang timbul dari fenomena single parent tersebut dapat berpengaruh secara timbal balik terhadap hubungan ibu dengan anaknya maupun hubungan anak dengan ibu. Ibu yang memikul dua peran mempunyai kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya yang disertai kekhawatiran yang juga berlebihan sehingga mendorongnya memberikan perlindungan yang berlebihan (over protection). Ibu selalu ingin berbuat lebih banyak untuk anaknya. Apalagi kondisi yang menimpa anak itu akhirnya menimbulkan rasa kasihan ibu. Muncul ketakutan-ketakutan lainnya, seperti takut kalau anaknya menjadi minder terhadap teman-teman sebayanya dan yang lebih ekstrim adalah takut kalau anaknya dikucilkan oleh masyarakat atau lingkungan di mana mereka tinggal. Dengan adanya perlindungan yang berlebihan dari ibu mengakibatkan anak memiliki ketergantungan yang tinggi. Orang tua yang over-protective dan terlalu dominan menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kurang mandiri pada anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stendler dalam Ahmadi (1999) tentang sikap over protection dari orang tua yang menyebabkan anak sangat tergantung pada orang tua. Berkaitan dengan fenomena orang tua tunggal, Mianda (2002) menemukan kelompok anak dari orang tua tunggal yang berhasil menjadi anak percaya diri, tahan banting, tidak cengeng dan mandiri adalah yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak over protection.

Satoto (1990) melihat interaksi ibu dan anak sebagai pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik dan stimuli keluarga mencakup

(32)

berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Karyadi (1988) mengungkapkan bahwa peran ibu selaku pengasuh dan pendidik anak di dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif karena dalam berinteraksi dengan anak sehari- hari ibu dapat memainkan berbagai peran yang secara langsung akan berpengaruh pada anak.

Menurut Wahab (1980) seorang ibu merupakan pemeran utama dalam proses pembentukan pribadi dan proses sosialisasi anak. Sedangkan Scanzoni dan Scanzoni dalam Suleeman (1990) menganggap komunikasi ibu dan anak sebagai indikator untuk mengukur komunikasi orang tua dan anak karena ibu diasumsikan lebih banyak berada di rumah bersama anak-anak dari pada ayah. Ditambahkan oleh Rutter (1984) bahwa untuk perkembangan anak yang normal dibutuhkan pengasuhan ibu yang berkualitas. Satoto (1990) menegaskan bahwa faktor eksternal yang paling kuat pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak adalah interaksi ibu dan anak.

Sebagian besar sosiolog dan psikolog percaya bahwa dua orang tua penting dalam keluarga dan berperan dalam perkembangan anak tetapi penelitian menunjukkan bahwa satu orang tua cukup untuk mengasuh anak. Keluarga dengan dua orang tua tidak menjamin anak-anak dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada lingkungannya, cukup bergaul, kreatif dan produktif seperti halnya keluarga dengan satu orang tua tidak secara otomatis berarti sebaliknya. Beberapa anak dari orang tua tunggal menerima perhatian yang lebih baik dari pada anak-anak lain dari keluarga utuh (Saxton, 1987).

Masyarakat menggambarkan keluarga ideal adalah keluarga yang lengkap. Anak-anak yang diasuh orang tua tunggal kehilangan pengalaman hidup dalam suatu keluarga yang utuh. Anak dari keluarga tidak lengkap ini tidak selalu bermasalah ataupun merasa bermasalah. Hanya saja mereka merasa dirinya kurang dibandingkan teman-temannya dari keluarga lengkap (Chairani dan Nurachmi, 2002).

Anak dari orang tua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang menerima tetapi semua memerlukan proses. Menurut Duncan, keluarga dengan

(33)

orang tua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Menurutnya, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal sebenarnya bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif seperti keluarga dengan orang tua utuh asalkan mereka tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya (Kompas, 2005).

Komunikasi dalam Keluarga Orang Tua Tunggal

Komunikasi memainkan peran utama dalam penentuan kualitas kehidupan

keluarga. Komunikasi dalam keluarga merupakan aspek penting karena setiap anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses komunikasi. Keluarga mengembangkan serangkaian pesan, perilaku dan harapan tertentu melalui proses komunikasi (Suleeman, 1990).

Keluarga sebagai kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat

mempunyai ciri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Komunikasi dalam keluarga biasanya berbentuk komunikasi antar persona (face to face communication) intinya merupakan komunikasi langsung di mana masing- masing peserta komunikasi dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun komunikan (Effendi,1993). Dalam komunikasi interpersonal setiap anggota keluarga dapat dengan bebas mengungkapkan perasaan-perasaan yang ada dalam diri mereka masing- masing (Suleeman, 1990).

Pace dalam Cangara (2004) membedakan komunikasi antar-pribadi

menjadi dua macam yaitu komunikasi diadik dan komunikasi kelompok kecil. Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap- muka yang dibedakan menjadi tiga bentuk , yaitu percakapan, dialog dan wawancara. Percakapan berlangsung dalam situasi yang bersahabat dan informal. Dialog berlangsung dalam situasi yang lebih intim, lebih dalam dan lebih personal. Sedangkan Croskey memasukkan peralatan komunikasi seperti telpon dan teleks sebagai saluran komunikasi antar pribadi sehingga timbul istilah komunikasi antar-pribadi yang bermedia dan yang berlangsung tatap-muka.

Menurut DeVito (1997) keluarga dikategorikan dalam pola kesamaan di

(34)

masing-masing pihak terbuka terhadap ide- ide, pendapat serta kepercayaan pada yang lain. Kondisi semacam ini dapat menciptakan komunikasi dalam keluarga seimbang dalam arti masing- masing pihak saling menempatkan diri sesuai dengan peranannya.

Lawton (1982) dalam Kandoli (2000) mengemukakan bahwa hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak bukan merupakan proses yang searah melainkan timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orang tua.

Fisher (1986) berpendapat bahwa proses komunikasi, termasuk juga yang terjadi di dalam keluarga, dapat dipandang melalui empat perspektif dasar yaitu mekanistis, psikologis, interaksional dan pragmatis. Perspektif pragmatis adalah pendekatan yang paling sering diadopsi oleh para ahli yang mempelajari proses komunikasi keluarga. Perspektif ini mempunyai pandangan holistik tentang kegiatan komunikasi keluarga. Komponen individu dari suatu sistem saling berhub ungan dan mempengaruhi keseluruhan. Untuk mengetahui masalah dalam sistem komunikasi keluarga maka tidak hanya memfokuskan pada satu atau dua unsur melainkan pada seluruh bagian sistem yang menyebabkan disfungsi pola komunikasi.

Menurut Jenkins (1995) sejumlah unsur dasar untuk menjelaskan berfungsinya komunikasi dalam kehidupan keluarga meliputi: (1) pengertian bersama, (2) pesan-pesan komunikasi, (3) pola komunikasi dan (4) proses komunikasi.

Kebanyakan ahli di bidang keluarga melihat komunikasi sebaga i proses membentuk dan menyusun keluarga dan hubungan interpersonal di antara orang tua, anak, saudara dan anggota keluarga luas dibentuk dan dipertahankan (Jenkins, 1995). Pendapat Bateson et al. (1956) dalam Morton et al. (1976) juga telah menegaskan bahwa komunikasi adalah usaha untuk menetapkan sebuah hubungan. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam keluarga dimaksudkan untuk berhubungan atau berinteraksi di antara anggota keluarga.

Selain untuk berhubungan, komunikasi dalam keluarga juga berperan dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Menurut Joewono (2002) faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku anak dalam keluarga salah

(35)

satunya adalah pengasuhan yang dilakukan orang tua. Abhari (1998) menyatakan bahwa pengasuhan pada hakekatnya adalah upaya memelihara dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak sehingga tumbuh dan berkembang secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan ini meliputi fisik, mental dan emosional.

Kegiatan pengasuhan meliputi cara mendidik, membimbing, mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Menurut Etty (2003) mendidik anak sesungguhnya mengantarkan mereka menjadi pribadi yang mandiri.

Praktek pengasuhan merupakan masa penting dalam membentuk individu matang dan dewasa yang di dalamnya mencakup proses sosialisasi. Keluarga amat berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka. Melalui sosialisasi seorang anak memperoleh nilai- nilai dan pengetahuan mengenai peran serta tingkah laku sosial sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun masyarakat. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang mempengaruhi orang lain karena adanya interaksi (Mc.Cleland, 1984). Salah satu cara untuk melakukan sosialisasi terhadap anak di dalam keluarga adalah dengan berkomunikasi. Melalui komunikasi antara orang tua dan anak, anak akan mengetahui nilai-nilai mana yang dianggap baik dan nilai-nilai mana yang dianggap tidak baik serta hal-hal mana yang harus dihindari (Suleeman, 1990).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maksud dan tujuan komunikasi dalam keluarga denga n anak-anak yang belum dewasa adalah untuk berinteraksi atau berhubungan dalam kegiatan pengasuhan dan proses sosialisasi. Hasbullah (1999) menyatakan bahwa orang tua perlu memiliki kemampuan komunikasi yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya agar tercipta pola asuh dan pola didik yang dapat menjadikan anak sebagai SDM yang potensial secara maksimal termasuk di dalamnya membentuk kemandirian anak.

Komunikasi orang tua dengan anak merupakan upaya mengantarkan anak

(36)

pembentukan perilaku anak sejak dini, termasuk membentuk kemandirian anak. Dalam meraih tujuan ini maka iklim komunikasi dalam keluarga merupakan kondisi prasyarat yang harus terpenuhi. Suasana di dalam keluarga yang menyenangkan, hangat dengan suasana mendukung, terbuka, berpikir positif, empati dan terjalinnya kerjasama akan membuat komunikasi dalam keluarga berlangsung secara terbuka, rileks dan santun (Hasbullah, 1999).

Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal

DeVito (1997) mengartikan pola komunikasi orang tua dan anak sebagai komunikasi antar pribadi antara orang tua dan anaknya, di mana masing- masing dapat memilih fungsi baik sebagai komunikator maupun komunikan yang mempunyai hubungan mantap dan jelas, artinya hampir tidak terhindarkan selalu ada hubungan tertentu antara kedua orang tersebut.

Hubungan interpersonal terjadi melalui kejadian yang tidak disengaja maupun pilihan hubungan yang disengaja. Hubungan antara orang tua dan anak adalah suatu hubungan yang terjalin karena adanya hubungan darah sehingga bisa dikategorikan sebagai hubungan yang disengaja.

Beebe (1999) mengungkapkan bahwa kepercayaan, keakraban dan kekuasaan (power) merupakan unsur penting dalam hubungan interpersonal. Kepercayaan adalah tingkat di mana kita merasa aman berbagi informasi dengan orang lain. Keakraban adalah tingkat di mana kita bisa menjadi diri sendiri di depan orang lain dan masih bisa diterima oleh mereka. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sesuai arahan kita, yaitu mengarahkan orang lain untuk melakukan apa yang kita inginkan.

Millar (1973) dalam Millar dan Rogers (1976) menyebut kekuasaan sebagai kontrol dan sedikitnya dibedakan menjadi dua kontinum yaitu: rigid-fleksible dan stable – unstable. Rigidity (kekakuan) merujuk pada kurangnya pergantian pola transaksi sedangkan stability merujuk pada kemampuan untuk meramalkan suatu pola. Makin sering seseorang menetapkan tindakan dalam suatu sistem, pola kontrol makin kaku. Makin konsisten dalam waktu dan arah, pola kontrol makin stabil. Sedangkan Ericson (1972) dalam Millar (1976)

(37)

menggunakan istilah dominance-submission (kekuasaan–kepatuhan) dalam membedakan tipe transaksi. Sementara Wood (2004) berdasarkan teori interaksi menyatakan bahwa komunikasi menentukan dan mencerminkan kekuatan hubungan yang dibedakan menjadi symmetrical (mencerminkan kekuatan yang sama) dan complementary (menunjukkan perbedaan tingkat kekuatan).

Berdasarkan struktur kekuasaan yang dinyatakan beberapa ahli di atas maka kita bisa melihat arah komunikasi, apakah searah atau timbal balik. Di samping itu juga bisa melihat adanya kesamaan atau perbedaan dalam kerangka referensi dan bidang pengalaman yang menyebabkan perbedaan kekuatan hubungan.

Menurut Sudjana (2000) ada tiga pola komunikasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam upaya memunculkan penyadaran, yaitu :

1. Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah

Komunikator berperan aktif sebagai pemberi aksi dan komunikan sebagai penerima aksi. Bentuk ini adalah ceramah yang pada dasarnya adalah komunikasi satu arah, atau komunikasi sebagai aksi.

2. Komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah

Komunikator dan komunikan dapat berperan sama yakni pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling memberi dan saling menerima. 3. Komunikasi banyak arah atau komunikasi sebagai transaksi

Komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara komunikator dan komunikan tetapi juga dapat melibatkan interaksi dinamis antara unsur-unsur komunikan la innya.

1 2 3

Komunikator Komunikator Komunikator

Komunikan Komunikan Komunikan Komunikan Komunikan Komunikan

Gambar 1 Komunikasi sebagai aksi, interaksi dan transaksi Sumber :(Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sudjana, 2000)

(38)

Komunikasi antar-pribadi mirip dengan komunikasi dua arah atau ke semua arah. Jika dalam pengertian komunikasi dua arah atau komunikasi ke semua arah perhatian lebih ditekankan pada arah komunikasi maka dalam komunikasi antar-pribadi lebih memperhatikan pribadi-pribadi yang berkomunikasi. Masing- masing pihak menyadari dirinya sebagai pribadi yang dapat menerima dan juga dapat menyampaikan pesan sehingga terjadi suatu dialog antar pribadi.

DeVito (1997) menjabarkan empat pola komunikasi umum untuk menggambarkan hubungan interpersonal dalam keluarga, yaitu :

1. The equality pattern

Setiap orang berbagi secara sama dalam komunikasi transaksional sehingga peran yang dimainkan oleh setiap orang adalah sama. Masing-masing pihak terbuka pada ide, opini dan kepercayaan dari pihak lain berdasarkan pada self disclosure (penyingkapan diri ) yang seimbang. Pola ini lebih banyak terdapat dalam teori dari pada prakteknya tetapi sangat bagus untuk menguji komunikasi dalam hubungan primer.

2. The balanced split pattern

Kesetaraan hubungan dipertahankan tetapi setiap orang mempunyai otoritas melebihi wilayah yang berbeda. Setiap orang dilihat sebagai ahli dalam bidang-bidang yang berbeda. Dalam keluarga tradisional, seorang ayah dianggap mempunyai keahlian di bidang bisnis dan politik sedangkan ibu mempunyai keahlian dalam perawatan anak dan memasak. 3. The unbalanced split pattern

Salah satu pihak mempunyai keahlian lebih banyak sehingga mendominasi pihak yang lain. Kadang-kadang pihak dominan ini lebih pintar atau lebih berpengetahuan tetapi dalam beberapa kasus pihak ini mungkin secara fisik lebih menarik atau berpenghasilan lebih tinggi. Pihak yang dominan ini mengontrol pihak lain, menuntut orang lain melakukan apa yang diinginkannya dan jarang menanyakan pendapat pihak lain. Sebaliknya pihak yang dikontrol akan bertanya dan mencari pendapat dari orang lain yang dianggap mempunyai leadership dalam pembuatan keputusan.

(39)

4. The monopoly pattern

Seseorang dilihat sebagai pihak yang otoriter. Orang ini memberikan banyak ceramah dari pada berkomunikasi. Jarang sekali orang ini meminta pertimbangan dari pihak lain karena dia akan menetapkan keputusan akhir. Dia akan mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Pihak yang dikontrol akan meminta ijin dari pihak lain untuk memberikan pendapat dan membuat keputusan. Pola komunikasi ini terjadi dalam hubungan anak dengan orangtua yang sangat berkuasa atau otoriter.

Keempat pola komunikasi yang ditawarkan DeVito tersebut tak jauh beda dengan yang dinyatakan Sudjana. The equality pattern identik dengan komunikasi transaksi. The balanced split pattern dan the unbalanced split pattern bisa disejajarkan dengan komunikasi interaksi dengan pola kontrol yang berbeda yaitu complementary. The monopoly pattern menunjukkan komunikasi searah atau linier.

Komunikasi Linier

Model komunikasi linier dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver. Berdasarkan paradigma lama, komunikasi bersifat satu arah atau linier dengan tekanan pada sumber sebagai pelaku dominan yang mempengaruhi khalayak dengan persuasi (Mulyana, 2001).

Salah satu ciri komunikasi linier adalah adanya penyandian yang dilakukan pengirim pesan dan interpretasi oleh penerima serta antisipasi kemungkinan adanya gangguan dalam proses komunikasi yang berlangsung. Konsep ini memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Terjadi transfer informasi yaitu pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Model komunikasi Shannon dan Weaver ditunjukkan pada Gambar 2.

(40)

Information

Source Transmiter Message Destination

Signal Received

Message Sign Signal Message

Noise

Source

Gambar 2 Model Komunikasi Shannon dan Weaver

Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan saluran yang digunakan. Saluran (channel) adalah medium yang mengirimkan sinyal (tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam percakapan, sumber informasi ini adalah otak, transmitter – nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan sinyal (kata-kata terucapkan), yang ditransmisikan lewat udara (sebagai saluran). Penerima (receiver), yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang sebaliknya yang dilakukan transmitter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal. Sasaran (destination) adalah otak orang yang menjadi tujuan pesan itu (Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002)

Barlund dalam Fisher (1986) melukiskan bentuk komunikasi satu arah sebagai situasi di mana para penerima diharapkan me ndengarkan dan tak menyahut. Komunikasi merupakan transfer informasi yang berarti pemahaman sempurna tentang apa yang dikatakan oleh partisipan lain. Kebersamaan adalah usaha untuk meminimalkan distorsi dan kehilangan informasi.

Kritik terhadap model komunikasi linier ini dikemukakan oleh Kincaid (1979) dalam Andulhak dan Anwas (2004) yang menyebut ada tujuh bias yang mungkin terjadi, yaitu: (1) komunikasi linier cenderung bercirikan satu arah secara vertikal, (2) cenderung sangat tergantung pada sumber pesan, (3) fokus obyek komunikasi cenderung sederhana, (4) fokus hanya pada kemasan pesan dan

(41)

kurang mempedulikan waktu yang tepat, (5) terbatas pada fungsi persuasi, belum menyentuh pada terjalinnya saling pengertian dan konsensus, (6) cenderung terkonsentrasi pada efek psikologis individu, dan (7) cenderung mekanistis.

Komunikasi linier sering digunakan oleh orang tua, guru dan pemimpin yang otoriter. Menurut Lewin, Muller dan Baldwin dalam Ahmadi (1999) anak dari orang tua otoriter menunjukkan ciri-ciri pasif (sikap menunggu), takut, cemas, mudah putus asa, kurang inisiatif, tidak dapat merencanakan sesuatu dan daya tahan berkurang. Dengan kata lain anak yang tidak mandiri adalah produk dari orang tua otoriter.

Komunikasi Interaksi

Komunikasi yang bercirikan hubungan relasional dan interaktif berasal dari model cybernetics oleh Norbert Wiener yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Wilbur Schramm. Salah satu ciri komunikasi relasional adalah pentingnya peranan pengalaman (experience) dan faktor hubungan (relationship ) antara pengirim dan penerima dalam proses komunikasi. Bidang pengalaman akan menentukan apakah pesan yang dikirim akan diterima oleh si penerima sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Schramm meyakini bila ada perbedaan yang jauh dalam bidang pengalaman, akan mempengaruhi derajat penerimaan pesan yang dikirimkan. Hal lain yang dikemukakan Schramm adalah pentingnya umpan balik sehingga derajat relationship sebagai ciri komunikasi ini akan tampak (Andulhak dan Anwas, 2004).

Field of experience Field of experience

Source Encoder Decoder Destination

Gambar 3 Model Kedua Schramm

Model kedua Schramm memperkenalkan gagasan bahwa kesamaan dalam bidang pengalaman sumber dan sasaranlah yang sebenarnya dikomunikasikan,

(42)

karena bagian sinyal itulah yang dianut sama oleh sumber dan sasaran (Mulyana, 2002).

Sumber dapat menyandi dan sasaran dapat menyandi balik pesan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya masing- masing. Bila kedua lingkaran memiliki wilayah bersama yang besar, maka komunikasi mudah dilakukan. Semakin besar wilayah tersebut, semakin miriplah bidang pengalaman (field of experience) yang dimiliki kedua pihak yang berkomunikoderasi. Bila kedua lingkaran itu tidak bertemu – artinya bila tidak ada pengalaman bersama – maka komunikasi tidak berlangsung. Bila wilayah yang berimpit itu kecil – artinya bila pengalaman sumber dan pengalaman sasaran sangat jauh berbeda – maka sangat sulit untuk menyampaikan makna dari seseorang kepada orang lainnya (Mulyana, 2002). Message Encoder Decoder interpreter interpreter Decoder Encoder Message

Gambar 4 Model Ketiga Schramm

Model ketiga Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan menerima sinyal. Kita melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan untuk berbagi informasi (Severin dan Tankard dalam Mulyana, 2002). Menurut Schramm dalam Mulyana (2002) komunikasi senantiasa membutuhkan setidaknya tiga unsur utama : sumber (source), pesan (message) dan sasaran (destination).

Cangara (2004) menyatakan bahwa dalam model komunikasi interaksi, komunikator memberi respon timbal balik kepada komunikator lainnya. Proses komunikasi melingkar dengan adanya mekanisme umpan balik yang saling

(43)

mempengaruhi antara sumber dan penerima. Dalam interaksi, individu selalu melihat dirinya melalui persepsi orang lain. Pengertian bersama dicapai melalui toleransi. Konsep diri tumbuh berdasarkan pandangan orang lain.

Model komunikasi interaksi Schramm dalam Mulyana (2002) menyatakan bahwa terjadi interaksi sosial guna mengembangkan potensi diri dan kesamaan makna dicapai melalui pengambilan peran (role taking). Diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain dimulai dengan lingkungan terdekat seperti keluarga dan terus berlanjut ke lingkungan luas. Interaksi adalah variabel penting yang menentukan perilaku manusia.

Stewart dalam Fisher (1986) memakai istilah interaksi untuk menyatakan komunikasi dua arah. Interaksi menonjolkan keagungan dan nilai individu. Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis. Proses fundamental dalam dialog adalah konsep role taking yang dalam istilah lain diartikan juga sebagai empati.

Pengertian bersama diperoleh dengan proses empati melalui pengambilan peran yang aktif, mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi makna dengan orang lain. Sumber makna kebersamaan adalah saling pengertian dan empati timbal balik. Kebersamaan tidak harus diartikan bahwa peran atau status para komunikator itu setara. Kedua komunikator dapat secara bersama memiliki definisi yang sama tentang situasi mereka sebagai suatu hubungan peranan yang sangat komplementer di mana orang yang berada dalam peranan yang lebih rendah menerima definisi itu dan berbagi dengan orang lain yang lebih dominan (Fisher, 1986).

Bila komunikasi mempunyai pengaruh timbal balik maka akan menghasilkan suatu interaksi. Hubungan orang tua dan anak saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak lepas dari adanya interaksi. Hubungan kedua belah pihak dilandasi oleh nilai- nilai yang dimiliki oleh masing- masing individu.

Komunikasi Transaksi

Model komunikasi transaksi memberi tekanan pada proses dan fungsi untuk berbagi dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Komunikasi sebagai proses di mana semua peserta ikut aktif secara dinamis dalam memenuhi fungsi

Gambar

Gambar 3  Model Kedua Schramm
Gambar  4  Model Ketiga Schramm
Gambar 5  Model Komunikasi Konvergen
Gambar 6.  Bagan Alur Kerangka Pemikiran KARAKTERISTIK

Referensi

Dokumen terkait

Pada Gambar 4.2 didapatkakan bahwa jarak yang optimum terhadap efisiensi daya adalah 2 Km karena pada jarak tersebut end-devce dapat melakukan pentransmisian dengan

Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplorasi studi literatur untuk memahami topik permasalahan, menganalisis permasalahan pada kolaborasi antar agen dalam

dikeluarkan oleh mufti yang layak, maka mustafti hendaklah beramal dengan fatwa berkenaan. Namun jika mufti berkenaan menarik kembali fatwanya dan mustafti pula

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1 ada perbedaan persepsi siswa terhadap keefektifan Gerakan Literasi Sekolah ditinjau dari minat baca sig.2tailed = 0,000; 2 tidak ada

dapat mengestimasi fungsi tahan hidup virus DBD menggunakan metode Kaplan-Meier, baik untuk keseluruhan data maupun berdasarkan wilayah pengambilan data,. dapat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 14 sampai dengan 23 Mei 2013 bertempat di rumah pasien yang pernah berobat atau memeriksakan di Poliklinik penyakit

Analisis Rasio Laporan Keuangan Pada PT Gudang

Kemampuan tersebut merupakan tingkah laku yang dapat diamati, meskipun seringkali terlibat prosesnya yang tidak tampak, misalnya klasifikasi dan penilaian informasi,