TELA’AH PENAFSIRAN
NAFS
WA@#HIDAH
DALAM
AL-QURAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program
Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Quran dan Tafsir
Oleh:
M. BADRUT TAMAM E03211067
JURUSAN ILMU QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Abstrak Judul : Penafsiran Nafs Wa@hidahdalam Al-Quran
Dikalangan mufasir, penciptaan Hawa dari Nafs Wa@hidah masih menyimpan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang mucul adalah problem penciptaan Hawa apakah diciptakan dari struktur Adam (Nafs Wa@hidah) atau bahkan bagian lain dari jenis Adam, lalu kapan Hawa diciptakan apakah setelah Adam diciptakan atau justru memang diciptakan lebih dahulu dari pada Adam dengan tujuan untuk mendekati Adam ?
Problem tersebut, seakan tidak menemukan titik terang, baik dari kalangan mufasir ataupun pemikir Islam. Berangkat dari permasalahan tersebut, skripsi ini mengupas mengenai persoalan proses diciptakannnya Hawa dari Nafs Wa@hidah. Sejalan dengan permasalahan tersebut, Al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani menjelaskan bahwa Hawa tercipta dari struktur yang berbeda dengan Adam, bukan bagian dari Adam alias bukan tercipta dari tulang rusuk Adam, seperti pemahaman yang selama ini dianut oleh kaum Nasrani dan Yahudi.
Dalam Al-Quran kata Nafs Wa@hidah setidaknya terdapat dalam lima surat, diantaranya Qs An-Nisa 1, Qs Al-An’am: 98, Qs Al-A’raf 189, Qs Al-Luqman 28, Qs Az-Zumar 6, dan yang terahir. Dalam penafiranya, baik dari Hamka, Quraish, Sayyid Quthb, dan mufasir lainnya semuanya sepakat bahwa Hawa diciptakan dari tulang runsuk (Nafs Wa@hidah), kecuali penafsiran Al-Luqman yang menafsirkan tentang satu jiwa.
Dalam hal ini muafasir klasik dan modern sangat berbeda. Pendapat klasik seperti As-Suyuti, Ibnu Katsir dan mufasir klasik lainnya menyebutkan bahwa bahwa Hawa merupakan bagian Adam. Sedangkan mufasir modern seperi Muhammad Abduh mengatakan bahwa Hawa bukan merupakan bagian dari Adam dengan alasan-alasan tertentu. Maka dari itu, penulis akan memaparkan secara umum mengenai perbedaan penafsiran tersebut, baik dari segi tekstual dan kontekstualnya. Sebab, produk tafsir tergantung zaman. Setiap kapanpun bisa berubah, sesuai kebutuhan zaman.
Untuk menyelesaikan problem penafsiran tersebut, disini penulis menggunakan kaidah Ulumul–Quran sebagai poros analisis agar tidak melenceng dari ril-ril agama Islam.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... iv
MOTTO ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
TRANSLITERASI ... xi
ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Batasan Masalah ... 7
C.Rumusan Masalah ... 7
D.Tujuan Penelitian ... 7
E. Telaah pustaka ... 8
F. Sumber Data ... 9
G.Metode Penelitian ... 9
H.Sistematika Pembahasan ... 11
B.Ikhtilaf Tafsir ... 13
C.Sebab-Sebab Perbedaan Penafsiran ... 16
D.Perbedaan Penafsiran Sebagai Problem ... 21
E. Nafs Wâhidah ... 25
BAB III AYAT-AYAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NAFS WA@HIDAH DAN PENAFSIRANNYA A.Surat An-Nisa’ ayat 1 ... 26
B.Surat Al-An’aam ayat 98 ... 32
C.Surat Al-A’raf ayat 189 ... 36
D.Surat Luqman ayat 28 ... 40
E. Surat Az-Zumar ayat 6 ... 43
BAB IV TELA’AH PENAFSIRAN DAN ANALISIS TENTANG NAFS WA@HIDAH ...50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 63
B. Saran-saran ... 64
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Qur‗an merupakan kitab suci yang sempurna. Satu-satunya bacaan
yang tidak ada bandingannya. Sepanjang sejarah tidak ada satu karya pun yang
bisa menandingi Mahakarya Tuhan yang sempurna dan mulia ini. Al-Qur‗an juga
merupakan bacaan yang paling banyak dibaca oleh ratusan juta orang di dunia
baik yang mengerti artinya maupun yang tidak mengerti artinya bahkan yang
hanya bisa membacanya tanpa bisa menulisnya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.1
Tujuan al-Qur‘an diturunkan salah satunya adalah membebaskan diri
manusia dari berbagai bentuk penindasan dan deskriminasi, termasuk
deskriminasi seks, warna kulit, suku, gender, dan agama. Oleh karenanya, apabila
masih ada penafsiran yang menghasilkan bentuk deskriminasi dan ketidakadilan,
maka penafsiran tersebut perlu diteliti kembali.
Meskipun al-Qur‘an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak
bisa terhindar dari sesuatu yang relatif. Perkembangan historis berbagai madzhab
kalam, fikih dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan
keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi menonjol,
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat
2
sementara pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol sehingga
persepsi tentang perempuan dikalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah.2
Perhatian Umat manusia terhadap al-Qur‗an tidak ada bandingannya.
Perhatian tersebut tidak terbatas dari umat Islam saja tetapi juga dari umat
manusia pemeluk agama lain selain Islam. Semua aspek dari al-Qur‗an tidak ada
habisnya untuk diteliti mulai huruf demi huruf, kata demi kata, pemilihan kosa
kata, ayat demi ayat, surat demi surat, susunan redaksi, sebab-sebab turun, waktu
turun, proses penyampaian, tata cara membaca serta etika membacanya,
kandungan yang tersurat maupun tersirat, dari Al-Qur‗an yang bersifat
supranatural yang anhistoris hingga al-Qur‗an yang bersinggungan dengan ruang
dan waktu yang bersifat historis. Semua aspek tersebut terus diteliti dari berbagai
bidang keilmuan dan pendekatan yang berbeda. Bahkan hasil karya yang
membahas aspek-aspek tersebut tidak henti-hentinya menjadi suatu penelitian.
Al-Qur‗an adalah kitab yang sebagian ayat-ayatnya bersifat yaḥtamil wujūh
al-ma’nā, memungkinkan banyak makna atau penafsiran, atau –dalam ungkapan
Martin Whittingham—one book many meanings (satu kitab banyak makna).
Muhammad Arkoun pernah mengutip riwayat Abu Darda‗ bahwa: Lā yafqah
al-rajūl kull al-fiqh ḥattā yarā fil Qur’ān wujūhan kaṡīrah. Artinya seseorang
dikatakan benar-benar paham terhadap al-Qur‗an, sehingga ia dapat melihat
berbagai wajah penafsiran yang banyak di dalamnya. Imam Sahl Ibn Abdullah
al-Tusturi (w. 283 H), seorang tokoh tafsir Sufi Pernah mengatakan bahwa:
3
”Seandainya seorang hamba diberikan pemahaman al-Qur‘an dalam setiap satu hurufnya seribu pemahaman, niscaya hal itu belum sampai menghabiskan seluruh makna yang dikandung oleh firman Tuhan tersebut. Sebab sebagaimana kalam Allah adalah sifat-Nya, dan Allah adalah tak terbatas (unlimited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas”.
Itulah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanan sejarah
peradaban umat Islam, tafsir mulai menggunakan berbagai perangkat dan
pendekatan penafsiran. Perbedaan latar belakang keilmuan, maupun konteks
sosio-historis penafsirannya juga ikut mewarnai corak penafsiran dan meramaikan
bursa ‗terjadinya warna-warni penafsiran al-Qur‗an.3 Penafsiran terhadap
al-Qur‗an terus dilakukan oleh ulama-ulama ahli tafsir tak terkecuali penafsiran
tentang Nafs Wahidah yang terdapat dalam beberapa ayat sebagai berikut:
Surat An-Nisa‘ ayat 1 yaitu:
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari NafsW@ahidah, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara pula) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu.4
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari
Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm. 10-11
4
Dalam surat Al-An‘aam ayat 98:
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.5
Dalam surat al-A‘raf ayat 189 yaitu:
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.6
Dalam surat Luqman ayat 28:
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.7
5
Dalam surat az-Zumar ayat 6
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?8
Ungkapan ―min Nafs Wa@hidah” dan ―wa khalaqa minha zawjaha@” Ayat
diatas menimbulkan banyak penafsiran dengan beraneka ragam penafsiran ada
dua kubu besar para mufasir berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kata
Nafs Wa@hidah dalam ayat ini. Pertama, mayoritas mufassir memahaminya dalam
arti ―Adam as.”. Pendapat ini dalam Wawasan al-Qur’an dijelaskannya mewakili
antara lain pendapat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Ibn Katsîr, al-Qurthubî, al-Biqâ‘î, dan
Abû al- Su‘ûd.9 Pendapat yang memahami kata Nafs Wa@hidah dengan Âdam as.
kemudian berpengaruh dengan pemahaman kata selanjutnya, zaujahâ, yang secara
harfiah bermakna ―pasangan”, yaitu istri Âdam yang bernama Hawa. Kedua,
pandangan Syekh Muhammad ‗Abduh, Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, dan beberapa
ulama kontemporer lainnya yang memahami kejadian perempuan berasal dari
8
Ibid. Hal. 746. 9
6
sperma laki-laki dan perempuan. Argumen-argumen yang dikemukakan adalah
sebagai berikut.10 Tafsir ayat dengan ayat lain, yaitu Al-An‘am: 98
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.11
Jika kita merujuk ke penjelasan ‗Abduh yang disebut Quraish Shihab
mewakili kecenderungan ulama kontemporer argumen yang dikemukakannya
adalah munâsabah antarbagian dalam ayat (munâsbah fî alâyah), yaitu ungkapan
―wa batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ’” yang menjelaskan penyebaran
manusia dari hasil keturunan memiliki korelasi dengan kelogisan jika kata Nafs
Wa@hidah bukan Âdam, karena penyebaran yang luas tentu berasal dari keturunan
manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.12 yang mengangap NafsWa@hidah adalah Adam as maka akan berpengaruh dengan pemahaman
selanjutnya zaujaha yang sejarah harfiah barmakna ―pasangan” yaitu istri Adam
pemahaman seperti ini melahirkan pemikiran bahwa hawa yang menotabenenya
adalah perempuan, dijadikan dari unsur yang bengkok. Implikasi ini semua
menimbulkan ketidakadilan pada perempuan dalam semua kehidupan. Menurut
nasaruddin umar, maksud ayatini masih terbuka peluang untuk didiskusikan,
karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap dan dalam kata-kata
10
Kontroversi penafsiran tentang penciptaan perempuan dalam Al-quran: analisis terhadap penafsiran M.quraish shihab, hal 63.
11
Al-Quran dan Terjemah. Kementerian Agama RI Hal. 203
7
Nasaruddin Umar masih menjadi misteri (misteri Nafs Wa@hidah). hal itu karena
mufassir memang masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud
dengan ―diri yang satu” (Nafs Wa@hidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti
(dhamir) ―dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud ―pasangan” (zauj) pada
ayat tersebut.13 dari penjelasan tersebut maka perlunya untuk mecari solusi
penyelesaian agar sesuai dengan tujuan al-Quran.
B.Batasan masalah
Untuk membatasi permasalahan agar lebih mengarah pada topik yang
dituju maka pembahasan dalam skripsi ini penulis memfokuskan tentang
bagaimana penafsiran para mufassir dan metode penafsiran tentang Nafs Wa@hidah
dalam Al-Quran.
C.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang perlu
diajukan adalah:
1. Bagaimana penafsiran ―Nafs Wa@hidah” menurut para mufassir?
2. Bagaimana metode dan argument penafsiran ―Nafs Wa@hidah” sehingga
ada perbedaan penafsiran?
D.Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penafsiran para mufassir tentang “Nafs Wa>hidah”.
2. Untuk mengetahui metode dan argumen mufassir dalam menafsirkan
―Nafs Wa>hidah” yang membuat perbedaan dalam penafsiran.
8
E.Telaah Pustaka
Ada beberapa karya yang telah membahas tentang Nafs Wa>hidah semisal
tentang penciptaan perempuan dalam tafsir al-Manar pernah ditulis oleh siti
munasaroh dalam skripsinya yang berjudul “penciptaan perempuan dalam
al-manar” penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh siti
munasaroh dia hanya meneliti pemikiran Muhammad abduh dan rosyid ridho
yang hanya focus pada surat an-nisa‘ ayat 1. Dalam penelitian ini penulis meneliti
teori yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan Nafs Wa>hidah
skripsi lain yang membahas tentang Nafs Wa@hidah adalah skripsi ipan
mutaqin yang berjudul “tafsir alquran tentang perempuan menurut analisis
gender (studi atas pemikiran sayyid quthb dan taba’tabai)”. Mar‘atun solikah
dalam skripsinya yang berjudul ―konsep penciptaan perempuan dalam alquran
(studi perbandingan antara penafsiran Imam Nawawi dan Amina Wadud)”. skripsi
saudara Heri Susanto yang berjudul Tindakan Suami terhadap Istri yang Nusyuz
dalam Surat Al-Nisā‘‘ ayat 34 (Studi atas Penafsiran HAMKA dan M. Quraish
Shihab).
Dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan penulis masih belum ada
yang membahas tentang Nafs Wa>hidah dengan menggunakan metode penafsiran.
Yang ada hanya meneliti penafsiran perorangan dan hanya fokus pada satu ayat
yaitu Surat An-Nisa‘ ayat 1 dan selalu terfokus pada masalah penciptaan
9
F. Sumber Data
Untuk menulis skripsi ini penyusun menggunakan sumber data yang
terbagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Adapun data
tersebut adalah:
1. Sumber data primer
a. Al-Quran al-Karim
b. Hadis Nabi Muhammad SAW
2. Sumber data skunder
a. Tafsir al-Qur‘an al-Adhim, karya Ibnu katsir
b. Al-qur‘an dan Tafsir, kemenag
c. Tafsir al-Quran al-Hakim (Al-Manar) karya Muhammad Abduh
d. Kedudukan dan Peran Perempuan, Kementerian Agama RI dan
lain-lain.
G.Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian library
research (Penelitian kepustakaan), mengumpulkan data sekaligus menganalisis
referensi- referensi yang ada yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.
2. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dikelompokan
dalam dua kategori, yaitu kategori bahan primer adalah Tafsir al- Manar dan
10
buku- buku yang berkaitan dengan penciptaan perempuan sebagai bahan
perbandingan.
3. Pengolahan Data
Mengingat skripsi ini adalah library research maka teknik pengolahan
data yang digunakan adalah dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan
catatan-catatan, buku- buku, surat kabar dan bahan- bahan tertulis lainnya yang
berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Dengan mengunakan metode
maudlu‟i, yakni metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara
menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‘an yang berbicara tentang satu
masalah/tema serta mengarah pada satu pengertiaan/tujuan.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, penulisn dilanjutkan dengan mengolah
data-data yang telah didapatkan, agar dapat dipahami dengan jelas. Adapun
metode yang digunakan dalam pengolahan data yaitu:
a. Deskriptif, yaitu memaparkan data yang ada kaitannya dengan
permasalahan sesuai dengan keterangan yang didapat.
b. Analistis, yaitu memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
penafsiran ayat- ayat tersebut dengan menerangkan makna-makna
11
H.Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis meringkas semua permasalahan yang
dibahas mulai dari bab satu sampai bab akhir, yaitu dengan menggunakan penyusunan
sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang berisikan gambaran umum yang
memuat pola dasar skripsi ini, terdiri dari: latar beakang,
Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kajian riset sebelumnya, kerangka pemikiran, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : merupakan landasan teori yang membahas tentang
pengertian Al-Quran, pengertian tafsir, pengertian tafsir
maudlu‘I, langkah-langjah tafsir madku‘I , dan pengertian
Nafs Wa>hidah.
BAB III : memaparkan penafsiran para mufassir tentang Nasf
Wa>hidahyang didalamnya terdapat perbedaan penafsiran.
BAB IV : Menjelasakan dan menganalisis bagaimana metode
dan Argument para mufassir dalam menafsirakan “Nasf
Wa>hidah”. dengan cara memaparkan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Pengertian Tafsir
Tafsir adalah suatu cara untuk mamahami isi kadungan Al-Qur‟an. Kata
tafsir diambil dari bahasa Arab ريسفتل yang berasal dari رسفا (menerangkan). Akan
tetapi untuk menghindari kesalahfahaman pengertian. tentang tafsir Para ulama
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tafsir.1 secara bahasa diantaranya
adalah:
1. Dalam Kamus Al-Munjid Disebutkan.Tafsir adalah isim masdar yang
berarti ta‟wil, pengungkapan, penjelasan, keterangan, dan penyerahan.2
2. Menurut Imam As-Suyuti.Tafsir mengikuti wazan taf’il berasal dari
Al-Fasru artinya menerangkan dan menyingkap.3
3. Menurut Al-Zarkasyi.Tafsir dari kata tafsirah yang berarti alat yang
dipakai oleh para dokter untuk memeriksa orang sakit, yang berfungsi
membuka dan menjelaskan, sehingga tafsir berarti penjelasan.4
Dari pengertian tafsir menurut bahasa di atas pada dasarnya
sama, meskipun disampaikan dengan bahasa yang berbeda. Tafsir
memiliki arti penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar
difahami dari ayat-ayat Qur‟an. Dengan demikian, menafsirkan
1
Muhammad Husain Adz-dzahabi, Tafsir wa Mufassiriun, juz I (Kairo: Kuliyatul Syari‟ah Al-Azhar, 1976), 13.
2
Louis Ma‟luf Al-Yasu‟iy, Al-Munjid fi Al-Lughoh, cet, 10(Bairut:DarAl-Masyiq, 1996), 583.
3
JalaluddinAl-Suyuti, AL-Itqan fi Ulumil Al-Qur‟an, Juz II (Bairut: Dar Al-Fikr,1979), 173.
4
13
Qur‟an ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit
difahami dari ayat-ayat Al-Qur‟an.5
B.Ikhtilaf Tafsir
Dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur‟an, kata „ikhtilaf’
adalah yang mewakili kata perbedaan, dalam arti perbedaan pendapat, berselisih
atau tidak sepaham6. Sementara itu DR. Wasim Fathullah sebagaimana dikutip
Abdul Karim mendefinisikan ikhtilaf (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur‟ān
sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami penunjukan
suatu ayat atau lafazh al-Qur‟an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak
Allah Ta’ālā dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah
makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.7
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman
dalam menafsirkan al-Qur‟an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai
sebuah ikhtilaf.
Akan tetapi, Musa‟id ibn Sulaiman al-Ṭayyār dalam Fuṣūl fī Uṣul
al-Tafsīr sebagaimana juga dikutip Abdul Karim membagi ikhtilaf menjadi dua jenis
yaitu Ikhtilāf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan Ikhtilāf taḍaḍḍ
(perbedaan yang bersifat kontradiktif). Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf
tanawwu’ adalah:
5
NasrudinBaidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 67.
6
14
1. Sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna
yang berbeda itu ke dalam ayat yang dimaksud, dan ini hanya
memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih.
2. Makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain,
namun diungkapkan dengan cara yang berbeda.
3. Terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan,
keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilāf tanawwu’ seperti beberapa penafsiran Mufassir
mengenai tafsir ash shirotol mustaqim dalam Q.S. al-Fatihah. Ketika kita
mencoba menengok Tafsir al-Khozin kita akan temui bahwa beliau Syaikh
„Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik),
kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan
shirotol mustaqim dengan agama islam.8 Berbeda dengan penafsiran
Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab Allah sebagai makna penafsiran dari
Shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas‟ud
bahwa yang dimaksud Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga.9
Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya
tidak saling menafikan satu sama lain karena Al-Qur‟an merupakan
sumber petunjuk bagi orang Islam dimana setiap pribadi muslim
senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan masuk syurga di
hari kemudian.
8Syaikh „Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil, Juz 1, hlm.
3 dalam Maktabah Syamilah
9Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas‟ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam
15
Sedangkan ikhtilāf taḍaḍḍ adalah makna-makna yang saling menafikan
satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu di
antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.10 Sebagai contoh adalah
ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi‟i dengan Imam Ahmad pada ayat :
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.11
Lafadz (... ءاسنلا متسما وأ), menurut Imam Asy-Syafi‟i, menyentuh di situ makna hakiki karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang
mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi,12 karenanya
menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut
Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat :
10Abdul Karim, Op.Cit.
11Al-Qur‟an al-Karim Surah an-Nisa‟ ayat 43.
12Majaz adalah "Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya." Seperti : singa untuk
16
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.13
Karenanya menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu
walaupun berdosa jika bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang
berbeda.14
C.Sebab-sebab Perbedaan Penafsiran
Hal-hal yang menyebabkan berbagai perbedaan dalam penafsiran yang
muncul dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal dan
eksternal.15
1. Faktor internal
Faktor internal adalah hal-hal yang ada didalam teks Al-Qur‟a
itu sendiri yang dianggap sebagai penyebab perbedaan penafsiran,
antara lain:
a.Kondisi obyektif teks Al-qur‟an itu sendiri yang
memungkinkan dibaca secara beragam.
13Al-Qur‟an al-Karim Surah an-Baqarah ayat 237.
14Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf „Ulama dalam http://musliminews.blogspot.com (Kamis, 05
Maret 2015: 12.45 WIB)
17
Dalam kajian ilmu tafsir perbedaan ragam dalam
membaca al-Qur‟an disebut dengan qiraat. Qiraat
berkonotasi sebagai suatu aliran yang melafalkan Al Qur‟an
yang dipelopori oleh salah seorang Imam qiraat yang
berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi
pengucapan huruf-huruf atau hay’ahnya, tapi
periwayatannya qiraat tersebut darinya serta jalur yang
dilaluinya disepakati. Meskipun qiraat bukan satu-satunya
yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum),
namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qiraat ada
yang berpengaruh besar terhadap produk hukum. Sebagai
contoh penafsiran kata dalam ayat:
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu16
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at
tujuh, sebagaimana Rosihan Anwar yang dikutip Ahmad
Mukhlish_, yaitu Abu Bakar Syu‟bah (qira‟at „Ashim
18
riwayat Syau‟bah), Hamzah, dan al-Kisa‟i membaca kata
“yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan
ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan
perbedaan qira‟at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat
sesuai dengan banyaknya perbedaan qira‟at. Ulama yang
membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami
tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang
sedang haid, kecuali telah suci atau telah berhenti dari
keluarnya darah haid.17 Sedangkan berdasarkan qira‟at َنرَهَطَي
maka penafsiran akan bergeser menjadi “Janganlah kamu
bersenggama dengan mereka sampai mereka bersuciرهطملا)).
Kemudian ditambahkan Hassanuddin AF
sebagaimana Izza Rohman_ bahwa, ulama masih berbeda
pendapat dalam menafsirkan رهطتلا di sini. Ada yang
menafsirkannya sebagai al-istighsal bi al-ma’i (mandi
dengan air), ada yang menafsirkannya menjadi al-wudhu‟
(berwudhu), ghasl farj (mencuci farj), dan ghasl
al-mauhi`wa al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan
berwudhu).18
b. Kondisi obyektif dari kata-kata dalam Al-qur‟an yang
memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
17Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira‟at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur‟an
dalam (15 Maret 2015 14.20)
19
Di dalam al-Qur‟an sering kali satu kata
mempunyai banyak arti, sebagaimana bahasa Arab yang
kaya akan makna. Kadang suatu kata dapat berarti hakiki
atau majazi. Seperti kata dharaba tidak selamanya berati
„memukul tapi juga bisa berarti „membuat‟ atau
„memberikan contoh‟.
c. Adanya ambiguitas atau makna ganda yang terdapat dalam
Al-qur‟an.
Dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna
ganda) sperti kata al-Quru’ yang dapat berarti suci dapat
pula haid. Demikian pula kata-kata yang dapat diartikan
hakiki atau majas, seperti kata lamasa yang dalam kata
aulamastum al-nisa’ dapat berarti menyentuh atau jimak.19
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar
teks Al-Qur‟an yaitu meliputi:
Kondisi subyektif si mufassir sendiri seperti kondisi sosio
kultural, politik, dan bahkan keahlian atau ilmu yang ditekuninya.
Termasuk pula riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan
dalam menafsirkan suatu ayat. Seperti halnya al-Farra‟ dengan
Ma’anil Qur’annya yang cenderung mengupas persoalan-persoalan
20
gramatik dalam al-Qur‟an20, tentu akan berbeda dengan
al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyafnya yang lebih terkenal dengan
pengungkapan kemu‟jizatan al-Qur‟an dalam balaghonya disamping
bagaimana beliau membela mu‟tazilah yang diikutinya dengan ra’yu
yang digunakannya21.
Persinggungan dunia Islam dengan peradaban di luar Islam
seperti yunani, persia, dan dunia barat. Ini dapat kita lihat dengan jelas
bagaimana tokoh-tokoh mufassir kontemporer dengan berbagai
metode dan pemikirannya yang diambil dari Barat. Seperti Mahmoud
Muhammad Thaha dengan teori evolusi syari‟ahnya, Shahrur dengan
teori limitnya, Muhammad Arkoun dengan tiga pendekatan semiotik,
antropologis dan historisnya, dan lain-lainya yang tentunya berbeda
dengan penafsiran para mufassir di era klasik.22
Kondisi politik dan teologis yang ada melingkupi tempat
mufassir23. Contoh pengaruh mencolok ini dapat kita lihat dalam
Tafsir fi Dzhilalil Qur’an karya Sayyid kutub yang ditulis dipenjara
lantaran pembelaannya terhadap ikhwanul muslimin, tentu akan
berbeda nuansanya dengan Tafsir al-Misbah misalnya, dimana
Quraisy Shihab yang hidup di Indonesia dengan kondisi politik dan
teologis seperti ini. Pada isi penafsiran Sayyid Qutub mengarah pada
pergerakan. Beliau mulai menyerukan kebangkitan Islam dan
20Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir,
edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.12
21Ibid. Hlm.59
21
menyerukan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sayyid Quthb
menyerukan kepada umat agar kembali aqidah salafush shalih.
Pemikiran beliau sendiri adalah pemikiran salafi jihadi, yang bersih
dari noda. Pemikirannya terfokus pada tema tauhid yang murni,
penjelasan makna hakiki La Ilaaha illallah, penjelasan sifat hakiki
iman seperti disebutkan al-Qur‟an dan as-Sunnah,dan kewajiban
jihad.24
D.Perbedaan Penafsiran sebagai Problem
Penafsiran yang beranekaragam bentuk, corak, metodenya, orientasi
ataupun motivasi penafsir satu sisi merupakan kekayaan khazanah Islam dalam
tafsir. Akan tetapi di sisi lain keberadaannya merupakan sebuah masalah besar
yang perlu mendapatkan perhatian karena al-Qur‟an yang dalam penururunannya
merupakan petunjuk bagi segenap manusia namun pada keberadaannya
penyikapan kepada Kitab Suci ini seringkali beruwujud pembelaan suatu
kelompok untuk menyerang kelompok lain yang sama-sama beragama Islam.
Dalam hal ini ketika para mufassir melahirkan penafsiran yang
berbeda-beda dan beraneka ragam, pemakalah melihat bahwa masalah yang ada dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam penafsiran (dan
sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi kita sebagai orang yang hidup di saat
sudah lahir berbagai macam penafsiran atau pemakalah sebut sebagai pembaca
produk tafsir.
24Muh Natsir, Studi Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam
22
Yang pertama, dalam penafsiran tersendiri, problem tersebut dapat kita
lihat ketika penyebab perbedaan penafsiran yang beraneka ragam sebagaimana
disebutkan di atas, diantaranya muncul penafsiran yang tidak murni lagi sebagai
upaya untuk menggali makna yang ada di dalam al-Qur‟an untuk nantinya dapat
dipahami dan diamalkan kandungannya. Namun ada kalanya penafsiran sebagai
akibat keasyikan mufassir yang membidangi ilmu tertentu sehingga pembahasan
yang dilakukan jauh melebihi dari membuka tabir makna al-Qur‟an, akan tetapi
sibuk berdiskusi tentang suatu tema yang ada dalam suatu ayat. Mereka
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu
kontemporer, seperti astronomi, geologi, kimia, biologi dan yang lainnya untuk
menjelaskan sasaran dan makna-maknanya.
Pro kontra pun tak dapat dihindari di kalangan ulama. Sebagian yang tidak
setuju berpendapat bahwa al-Qur‟an bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan
kitab petunjuk untuk ummat manusia. Masalahnya adalah, jika seseorang
berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat al-Qur‟an,
maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan
menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran
ayat al-Qur‟an dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan.25 Al-Qur‟an
bukanlah buku ilmu pengetahuan, tapi di dalamnya mengandung banyak ayat
yang mengandung pesan-pesan moral akan pentingnya mengembangkan ilmu
pengetahuan.
23
Ada juga diantara penafsiran yang dihasilkan oleh orang dari kalangan
madzhab tertentu baik fikih ataupun kalam, mereka dengan teguh membela
madzhabnya dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan tidak segan
menggunakan penakwilan makna suatu kata dalam ayat yang dhohir untuk
disesuaikan dengan prinsip madzhabnya, dan bahkan demi menyerang madzhab
lain. Sebagaimana para mufassir Mu‟tazilah dalam menyikapi ayat:
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhnnya mereka melihat.26
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida,
“Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang
diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah)
dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen.
Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar di sini tidak berarti melihat, dan melihat
tidak merupakan salah satu makna dari nazhar. Nazhar itu bermacam-macam,
antara lain:
1. menggerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihatnya
2. menunggu
3. simpati dan berbaik hati
4. berfikir dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah)
bukan salah satu bagian dari nazhar, berarti pendapat yang
mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak relevan dengan arti
26
24
lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta‟wil ayat dengan arti
lain selain ru‟yah itu. Sebagian dari tokoh mu‟tazilah memberikan
pena‟wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya
pahala yang ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.27
Adapun yang ke dua, problem yang ada ketika banyak sekali perbedaan
dalam penafsiran, terkadang menjadikan pembaca bingung dalam memahami
al-Qur‟an. Maka, pembaca harus cermat dan cerdas memilih dan memilah pendapat
mufassir dalam menyingkap makna al-Qur‟an untuk dijadikan petunjuk. Karena
Ummat Islam dapat menjadi lebih baik apabila mereka senantiasa berpedoman
kepada Kitabullah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para salafus sholih,
membacanya dengan benar dari segi bacaan, menghayati dan memahaminya, baik
di masjid, musholla atau rumah-rumah, di dalam sholat atau di luarnya, sehingga
nampaklah bekasan-bekasan bacaan al-Qur‟an pada diri mereka.28
Perbedaan/ikhtilaf penafsiran dapat diartikan sebagai ketidaksepakatan
para pengkaji Qur‟an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh
al-Qur‟an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā dari ayat itu,
dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak
disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Adapun penyebab terjadinya perbedaan penafsiran banyak sekali yang
dapat digolongkan ke dalam faktor internal yang ada dalaal-Qur‟an itu sendiri,
dan di luar al-Qur‟an sebagai faktor eksternal. Kemudian masalah yang muncul
27Ibid., hlm. 85
28Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, cet. 5,
25
dari perbedaan penafsiran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni
problem dalam penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi pembaca
produk tafsir.
E.Pengertian Nafs Wa@hidah
Nafs Wa@hidah secara bahasa berarti “jiwa yang satu”, mayoritas ulama
tafsir memahami istilah ini dalam arti “Adam”. Pemahaman tersebut menjadikan
kata Zauja “pasangan” adalah istri Adam as. Yang biasa di sebut hawa. Karena
ayat ini menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari Nafs Wa@hidah, yaitu
Adam, maka sebagian mufassir memahami bahwa istri Adam diciptakan dari
Adam sendiri. Pemahaman ini melahirkan pandangan negative terhadap
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki.
Ada pula sebagian ulama mengartikan atau memahami Nafs Wa@hidah
dalam arti jenis manusia laki dan perempuan. Pemahaman demikian melahirkan
pendapat bahwa pasangan adam diciptakan dari jenis manusia juga, kemudian dari
BAB III
AYAT-AYAT YANG BERHUNGAN DENGAN
NAFS
WA@HIDAH
DAN PENAFSIRANNYA
A.Surat An-Nisa’ Ayat 1
Hai sekalian manusia, Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara pula)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Me ngawasi kamu.1
Munasabah
Pada surat Ali imron, Allah memerintahkan Umat islam untuk bertakwa,
pada ayat ini yang merupakan awal surat, perintah takwa itu dipertegas.2
Tafsir ayat
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia agar bertaqwa
kepada Allah, yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunianya.
Dialah yang menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan
demikian, menurut jumhur mufassir, Adam adalah manusia pertama yang
diciptakan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu Allah menciptakan pula
27
pasangan yang biasa disebut dengan hawa. Dari Adam dan Hawa berkembang
biaklah manusia.3
Menurut Ibnu Katsir Allah memerintahkan ciptaan-Nya agar bertakwa
kepada-Nya, yaitu dengan beribadah hanya kepada-Nya yang tidak memiliki
sekutu, sambil mengingatkan mereka atas kekuasan-Nya yang mampu
menciptakan mereka dari diri yang satu, yaitu Âdam as (dan menciptakan darinya
pasangannya), yaitu Hawâ. yang diciptakan dari tulang rusuk kiri Âdam tanpa
sepengetahuannya, ketika ia tidur. Kemudian ia terbangun dan melihat Hawâ„,
Âdam terkagum, keduanya pun saling mencintai4
Pendapatnya itu didasarkan pada sebuah riwayat yang berasal dari
Qatadah, al-Sadi dan Ibn Ishaq yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan Allah
dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika dia sedang tidur
ْىاف ه
ا
ْعأ عل
ضلا يف ءْييش ج ْعأ ْىإ علض ْيه ْتقلخ ةأْرولْا
ِ
ىإ
َ
تْسا ايب تْعتْوتْسا ْىإ وتْرسك ووْيقت تْبىر
ج ع ايْيف ايب تْعتْو
Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas. Jika engkau memaksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkan-nya, tetapi jika engkau bersenang senang dengannya, maka bersenang-senanglah dengannya, sedangkan
engkau padanya terdapat kebengkokan5
Seruan Tuhan pada ayat ini tertuju kepada sekalian manusia, tidak
mengenal Negeri atau pun Benua, Bangsa atau kulit. Diperingatkan disini dua hal,
pertama supaya bertakwa kepada Allah kedua supaya mengeti, bahwa sekalian
3 Al-Quran dan Tafsirnya Kementerian Agama jilid 2 hal 110. 4 Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Hal 1.
28
manusia ini dibagian bumi yang manapun mereka berdiam, namun mereka adalah
satu belaka. Tegasnya Allah adalah satu dan kemanusiaan pun satu.6
“Dan dari padanya dijadikannya isterinya.” yaitu dari diri satu itu juga
ditimbulkan pasangannya. Baik juga kita ketahui, bahwasannya tafsir yang umum
sejak dahulu, ialah bahwa yang dimaksud diri yang satu itu ialah Adam, yang dari
padanya dijadikan jodohnya
“Dia telah menjadikan kamu dari diri yang satu”
Ialah bahwa seluruh manusia itu, laki-laki dan perempuan, dibenua
manapun mereka diam. Dan betapa pun warna kulitnya, namun mereka adalah diri
yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dan tidak
menyukai yang buruk, sama-sama suka yang elok dan tidak suka yang jelek. Oleh
sebab itu hendaklah dipandang orang lain itu sebagai diri kita sendiri juga7
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu”, yakni Adam atau jenis yang sama, tidak ada perbedaan
dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dan yang lain, “dan” Allah
”menciptakan darinya”, yakni dari diri yang satu itu “pasangannya”, dari
keduanya, yakni Adam dan isterinya atau lelaki dan perempuan yang berpasangan
itu Allah “memperkembang biakkan laki-laki yang banyak dan perempuan” pun
demikian. “Dan berakwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling
meminta dan” pelihara pula “hubungan silaturrahmi”. Jangan putuskan hubungan
29
tersebut karena apa pun yang terjadi “sesungguhnya Allah” terus-menerus maha
mengawasimu8.
Dalam menafsirkan penggalan ayat, alladzî khalaqa lakum min nafsin
wâhidah (Dia yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu), Rasyid Ridha
mengemukakan bahwa ayat itu sebenarnya merupakan ungkapan tentang qudrah
(kekuasaan Allah Swt). Akan tetapi, menurut Muhammad Abduh, penggalan ayat
itu merupakan tamhîd (pembuka/pengantar) untuk kalimat berikutnya yang
menerangkan tentang tanggung jawab terhadap anak yatim. Abduh mengatakan,
awal ayat ini bisa dipahami sebagai berikut:
“Wahai sekalian manusia, takut dan bertakwa-lah kepada Allah yang telah
menetapkan apa yang kamu lakukan, dan ketahuilah bahwasanya kamu sekalian
bersaudara, kamu berasal dari satu nasab dan akan kembali pada asal yang satu.
Maka selalu berbuat baik-lah kepada yang lemah, seperti anak yatim yang tidak
mempunyai orang tua, dan peliharalah hak-hak mereka.”
Sedangkan menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar,
mengatakan bahwa Menurut Abduh, kata nafs wâhidah baik secara tekstual
maupun kontekstual, adalah bukan Adam. Menurutnya apabila telah disepakati
oleh para ahli tafsir bahwa setiap panggilan yang menggunakan yâ ayyuha an-nâs
sebagai panggilan khusus bagi penduduk kota Mekah atau suku Quraisy, boleh
jadi yang dimaksud nafs wâhidah adalah penduduk Quraisy atau suku „Adnan.
Apabila yang dikehendaki dengan ayat tersebut adalah masyarakat Arab pada
30
umumnya, maka yang dimaksud dengan kata tersebut adalah semua bangsa Arab
atau Qahthan. Akan tetapi, apabila kita sepakat bahwa khithab tersebut ditujukan
khusus untuk orang Islam atau untuk seluruh umat Islam, tidak diragukan lagi
bahwa setiap umat akan memahami apa yang mereka yakini. Orang meyakini
bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam, mereka mungkin akan
memahami "diri yang satu" tersebut adalah Adam.
Akan tetapi, berdasarkan indikasi-indikasi (qorînah) ayat, Muhammad
Abduh tetap meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidah pada ayat
tersebut bukan Adam. Alasan Abduh adalah kata wa bassa minhumâ rijâlan
katsâra wa nisâan adalah dalam bentuk nakirah (kata benda yang masih umum).
Bagaimana bisa ditentukan bahwa khithab ayat itu adalah untuk seluruh umat9
Memang telah terjadi banyak perbedaan ulama dalam menanggapi ayat
nafs wâhidah, namun, menurut Abduh setidaknya ada dua hal yang harus
diperhatikan, antara lain:
1. zhohir ayat tersebut sendiri menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah bukan Adam karena akan bertentangan dengan temuan-temuan
ilmiah pengetahuan dan sejarah.
2. dalam al-Qur'an tidak ditemukan teks yang pasti (qoth'i) bahwa
seluruh manusia berasal dari keturunan Adam.
penafsiran nafs wahidah kepada Adam bukan inti dari kandungan ayat
tersebut. Apabila konteks tersebut dipahami Adam, maka konsekuensinya, kata
9
31
yang datang sesudahnya harus ma‟rifat, akan tetapi kenyataannya makna yang
sesudahnya adalah nakirah.10
Muhammad „Abduh mengatakan: konteks ayat tersebut menunjukkan
bahwa yang dimaksud di sini dengan diri yang satu bukanlah Âdam. Firman Allah
“Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan
perempuan” diungkapkan dengan infinitive (nakirah). Dengan bentuk ungkapan
seperti ini, akan sesuai jika difirmankan-Nya: “Allah memperkembangbiakkan
dari keduanya semua laki-laki dan perempuan”. Karena bagaimana mungkin
al-Qur‟an menyebut diri (nafs) yang tertentu, padahal konteks pembicaran tersebut
bersifat umum ditujukan kepada semua bangsa. Penentuan ini tidak dikenal oleh
mereka semua, karena di antara manusia ada yang tidak mengenal nama Âdam
maupun Hawa`, bahkan mereka tidak pernah mendengar nama keduanya sama
sekali.
Garis keturunan yang dikenal di kalangan anak-cucu Nûh ini, misalnya,
terambil dari kalangan orang-orang Ibrani karena merekalah yang menjadikan
manusia keterkaitan sejarah dengan Âdam dan mereka batasan waktu singkat
dalam sejarah manusia. Penduduk China malah mengaku memiliki hubungan
keturunan dengan nenek moyang yang lain dan dengan sejarahnya mereka bahkan
melampaui batas waktu yang seperti yang diyakini oleh kalangan orang-orang
Ibrani. Ilmu dan penelitian tentang sejarah peninggalan-peninggalan manusia bisa
menjelaskan sisi kekeliruan dalam sejarah kalangan orang-orang Ibrani. Kita
sebagai orang Islam tidak perlu memaksakan diri untuk membenarkan sejarah
10
32
Yahudi, meskipun mereka mengklaim sejarah mereka memiliki keterkaitan
dengan Musa a.s., karena kita tidak bisa mempercayai bahwa sejarah mereka
berasal dari Taurat dan tetap utuh sebagaimana yang dibawa oleh Musa11
B.Surat Al-An-aam ayat 98
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.12
Munasabah
Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan mengenai hal-hal yang
bersangkutan dengan kebenaran agama tauhid, yang diperjuangkan oleh para nabi.
Untuk perjuangan itu mereka diberi kenabian agar mereka mempunyai kekuatan
hati dalam membimbing umat. Disamping itu mereka telah diberi kitab sebagai
pedoman dalam membimbing umat. Pada ayat ini dijelaskan kepada umat manusia
tentang keunikan kejadian jagat raya dan segenap isinya sebagai bukti keesaan
Allah, kekuasaan, pengetahuan serta kebijakan dan kearifan.13
11 Wardani. penciptaan perempuan dalam al-Aquran. Analisis terhadap Penafsiran M. Quraish
Shihab. Hal, 66
33
Tafsir ayat
Allah mengajak manusia untuk memikirkan kejadian diri mereka sendiri
yaitu mereka diciptakan oleh Allah dari diri yang satu. Penjelasan ini
memberikan pengertian bahwa semua manusia yang terdiri dari berbagai Bangsa
dan Suku dengan beraneka ragam bentuk dan warna kulitnya, berpangkal dari satu
asal yaitu Adam dan Hawa. Mereka ini diciptakan oleh Allah dari satu jenis (dari
tanah)14 seperti juga dijelaskan dalam firmannya:
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan15
Kemudian Allah menjelaskan proses pengembang biakan manusia, bahwa
proses pengembangbiakan itu terjadi atas kuasa Allah pula. Manusia diciptakan
dari sperma dan ovum. Sperma berasal dari laki-laki dan ovum berasal dari
wanita. Sperma yang terpancar dari laki-laki membuahi ovum, yang dalam
beberapa waktu lamaya berada dalam rahim wanita; sesudah melalaui proses
tertentu lahirlah seorang banyi. Sejak saat itu hidup di alam dunia sampai ajal tiba,
lalu kembali ke alam baka.16
14Ibid. hal. 186
34
Penjelasan ini merupakan perluasan dari ayat-ayat yang lalu agar manusia
mendapat penjelasan secara terperinci, bahwa kekuasaan Allah tidak hanya
berlaku pada benda-benda mati akan tetapi juga berlaju bagi makhluk-mahkluk
yang hidup. Hal ini pun dapat dipahami oleh orang-orang yang suka memahami
Menurut Ibnu Katsir
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri,
Maksudnya nabi Adam as.17
عدْ تْسه
رقتْسوف
ٌ
maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan
tempat tetap maksudnya tulang sulbi. Tempat simpanan adalah rahim wanita
ى يقْفي مْ قل تايْ
ْ
ا انْل
صف ْذق
َ
Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada
orang-orang yang mengetahui.
Artinya, orang-orang yang mengerti dan memahami kalamullah serta makna
yang terkandung di dalamnya
Menurut prof. Hamka kita orang Islam, dan sejarah Ahlul kitab, Yahudi
dan Nasrani, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri, yaitu
Nabi Adam maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi dan
meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan b