MAJLIS LIMA PILAR DAN EKSISTENSI
PONDOK PESANTREN
( STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL
FITHRAH )
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister Dalam Program Studi
Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Kunawi
NIM. F13214134
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Nama : Kunawi
Judul tesis : Majlis lima pilar dan eksistensipondok pesantren (studi kasus di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah)
Tahun : 2017
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dalam pesantren harus terpenuhi 5 unsur yang menjadikan lembaga tersebut dikatakan pondok pesantren, yaitu kyai, santri, asrama, masjid dan kitab. Kyai sebagai pendiri dan pimpinan tunggal dalam pesantren memiliki peran utama terhadap perkembangan pesantren. ketika Kyai tersebut meninggal dunia dan putra-putrinya belum ada yang menggantikan karena masih remaja atau karena tidak punya keturunan, maka hal ini menjadi problem tersendiri, tidak jarang pesantren tersebut akan mengalami penurunan jumlah santri, sarana prasarana terbengkalai dan lain sebagainya. Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah pasca wafatnya KH. Achmad Asrori al Ishaqy selaku pendiri dan pengasuh, tidak mengalami penurunan jumlah santri maupun kekurangan sarana prasaran, bahkan santri semakin banyak, srana prasarana semakin, mutu santripun meningkat. Hal ini karena sebelum meninggal KH. Achmad Asrori al Ishaqy telah mewarisi lima pilar sebagai wadah untuk meneruskan perjuangannya.
Berdasarkan uraian tersebut, dipandang urgen untuk meneliti tentang apa majlis lima pilar, hubungan majlis lima pilar dalam kaitan manajemen pondok pesantren Assalafi Al fithrah, serta bagaimana majlis lima pilar dalam mepertahankan eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
“Pendekatan Kualitatif“ yaitu penelitian yang berlandaskan objek alamiah atau
“Metode Naturalistik”. Dikatakan Naturalistik karena obyek alamiah berkembang
apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan data lain yang mendukung terutama yang terkait dengan lima pilar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majlis Lima Pilar adalah lembaga atau elemen warisan KH. Achmad Asrori al Ishaqy yang dalam sisi manajemen lebih sebagai kontrol dan masing-masing pilar memiliki peran yang sangat penting terhadap eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al fithrah. pasca wafatnya KH. Achmad Asrori al Ishaqy sebagai pendiri sekaligus pengasuh.
DAFTAR ISI
SAMPUL
PERNYATAAN KEASLIAN…...……… i
PERSETUJUAN PEMBIMBING……...………. ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI…..……… Iii PEDOMAN TRANSLITERASI………...……… Iv MOTTO ……….. Vi ABSTRAK……...………...…… Vii UCAPAN TERIMA KASIH…...……….. Ix DAFTAR ISI…...……….……. X BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………...………... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah …...……… 3
C. Rumusan Masalah …....……… 4
D. Tujuan Penelitian …...………...……… 4
E. Kegunaan Penelitian ……...……… 4
F. Kerangka Teoritik ……… 5
G. Penelitian Terdahulu...……… 11
H. Metode Penelitian ………...……….. 13
1. Jenis Penelitian …...………. 13
2. Jenis Data …...………... 14
3. Sumber Data …...……….... 15
5. Metode Analisis Data ... 17
6. Penarikan Kesimpulan ... 18
I. Sistematika Pembahasan ………... 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20 A. Tinjauan tentang Pondok Pesantren …...……… 20
1. Pengertian Pondok Pesantren…………...………… 20
2. Sejarah Lahirnya Pondok Pesantren …...……… 21
3. Elemen-Elemen Pondok Pesantren …...………... 23
4. Tipologi atau Kategorisasi Pondok Pesantren …...…… 28
5. Tujuan, Fungsi dan Peran Pesantren …...……… 32
B. Pondok Pesantren dan Manajemen …...……… 35
C. Pondok Pesantren dan Organisasi ……… 37
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL FITHRAN 40 A. Latar Belakang Berdiri dan Perkembangan …...……… 40
B. Letak Geografis …...……… 41
C. Visi dan Misi …...……… 41
D. Lambang, Arti dan Makna Simbol Al Fithrah ... 43
E. Keadaan Pengajar dan Santri ... 44
F. Keadaan Sarana dan Prasarana ... 45
G. Profil Kurikulum ... 46
1. Majlis Lima Pilar di PondokPesantrenAssalafi Al Fithrah 48
a. Pilar Tarekat ... 48
b. Pilar Perkumpulan Jamaah Al Khidmah ... 55
c. Pilar Pondok PesantrenPesantren Assalafi A Fithrah.... 60
d. Pilar Yayasan Al Khidmah Indonesia ... 63
e. Pilar Keluarga ... 66
2. Hubungan Majlis Lima Pilar dalam kaitan dengan
manajemen Pondok Pesantren………... 68
3. Majlis Lima Pilar dalam mempertahankan eksistensi Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah ... 76
B. Analisa Penelitian…...… 89
1. AnalisaMajlis Lima Pilar di Pondok Pesantren Assalafi Al
Fithrah………... 89
2. AnalisaMajlis Lima Pilar dalam kaitan dengan manajemen
PondokPesantren Assalafi Al Fithrah ... 94
3. AnalisaMajlis Lima Pilar terhadap eksistensi Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah ... 101
BAB V PENUTUP 107
A. Kesimpulan 107
1. Majlis Lima Pilar dalam kaitan dengan manajemen
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ... 107
2. Hubungan Majlis Lima Pilar dalam kaitan dengan
3. Majlis Lima Pilar terhadap eksistensi Pondok Pesantren
Assalafi Al Fithrah ... 108
B. Saran-saran …... 108
DAFTAR PUSTAKA …... 109
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok pesantren merupakan lembaga tempat penyebaran agama sekaligus sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang relatif tua yang mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini. Sebagai lembaga Islam, pondok pesantren telah berusaha meningkatkan kecerdasan rakyat dan moral bangsa. Sebagai lembaga berbasis agama, pesantren pada awalnya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama, pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak mampu manjadi figur agamawan yang tangguh dan mampu berperan
di masyarakat secara umum.1 Tercatat di Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama bahwa pondok pesantren ada 27.230. pondok pesantren (Kemenag data 2012). Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahun. Jumlah santri ini merupakan potensi luar biasa dan dapat menghasilkan dampak besar bagi pembangunan bangsa jika program dan kegiatan para santri dikelola dengan sistem yang baik.
Dalam sebuah pondok pesantren, kyai merupakan elemen yang sangat
penting dan paling esensial.2 Kyai laksana jantung bagi kehidupan manusia
menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren.3 Tanpa
jantung maka berhentilah kehidupan itu. Pengurus pondok, ustadz dan santri hanya dapat melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kyai. Seorang kyai berhak menjatuhkan hukuman bagi santri-santrinya yang
melanggar ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya. Intensitas kyai
memperlihatkan peran yang sentralistik dan otoriter disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan bahkan pemilik tunggal
1
Amin Haedar, dkk., Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Moderanitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), 127.
2
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren:Studi Tentang Pandanagan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994 ), 55.
3
2
sebuah pesantren. Secara kultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau jawa. Kyai merupakan salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan pesantren dengan
keahlian, kedalaman ilmu, karismatik dan keterampilannya.4 Kebijakan
penyelenggaraan pendidikan, yang menyangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum, metode pengajaran dan pendidikan yang diterapkannya, keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas di luar maupun sistem pendidikan yang diikuti adalah mutlak wewenang kyai.
Paparan di atas merupakan gambaran realitas bahwa seorang kyai merupakan figur sentral dan sebagai pusat kebijakan dan perubahan. Kebanyakan pesantren menganut manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada satu figur seorang kiai sebagai pemegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga yang bisa menjadi penerus kepemimpinan adalan anaknya yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes.
Begitu besarnya peran kyai sehingga tak jarang pasca wafatnya kyai dan penerusnya belum ada yang menggantikan maka pondok tersebut akan mengalami penurunan bahkan tidak jarang yang akhirnya hanya tinggal nama dan bekas bangunannya saja.
Namun berbeda dengan yang terjadi di Pondok Pesantren Assalafi Al fithrah Surabaya, pasca wafatnya KH. Achmad Asrori al-Ishaqy sebagai pendiri pondok pesantren, pesantren ini tidak mengalami penurunan jumlah santri justru meningkat tajam. Pada tahun wafatnya beliau, santri sekitar 1700, saat tesis ini disusun santri pondok pesantren Assalafi Al Fithrah tercatat 2.514 menetap dan 2.292 tidak menetap.
Perkembangan Pondok pesantren Assalafi Al fithrah ini juga terlihat dari gedung bangunan yang terus bertambah, beralih statusnya Sekolah tinggi agama Islam Al Fithrah dari yang sebelumya sekolah tinggi ilmu ushuluddin, adannya
4
3
ASTRACIL (asrama putra santri kecil) dan ASTRICIL (asrama putri santri kecil)
bahkan sekarang berdiri pondok pesantren Al fithrah di gresik, dan Indramayu.5
Eksisnya pondok pesantren ini karena adanya sistem yang telah dibentuk KH. Achmad Asrori al-Ishaqy, Sebelum beliau wafat telah mewariskan lima lembaga atau komponen sebagai wadah atau alat perjuangannya, yang disebut dengan Majlis Lima Pilar, yaitu Pilar Tarekat, Pilar Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Pilar Perkumpulan Jamaah Al khidmah, Pilar Yayasan Al Khidmah Indonesia dan Pilar keluarga pendiri/ pengasuh. Dengan adanya majlis lima pilar ini Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah terus eksis sampai sekarang, bahkan di berbagai daerah muncul Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, sebagai cabang Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di Surabaya.
Penemuan inilah yang mendorong penulis untuk meneliti tentang keberadaan majlis lima pilar dan eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah pasca meninggalnya pendiri dan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, yaitu KH. Achmad Asrori al-Ishaqy .
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang diatas timbul beberapa masalah yang menarik untuk dibahas terkait dengan Majlis lima pilar terhadap eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Setelah diidentifikasi permasalahan tersebut meliputi:
1. Keberadaan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah setelah wafatnya KH.
Achmad Asrori al-Ishaqy sebagai pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren.
2. Keberadaan Majlis lima pilar di Pondok Pesantren assalafi Al Fithrah.
3. Lima pilar dan eksistensi terhadap Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
wafatnya KH. Achmad Asrori al-Ishaqy.
Banyak cakupan yang muncul terkait pembahasan kiprah majlis lima pilar ini, namun penulis akan membatasi pembahasan agar lebih memudahkan penelitian dan dapat menghasilkan pembahasan yang mendalam. Penulis akan fokus untuk meneliti keberadaan majlis lima pilar dan eksistensi Pondok
5
4
Pesantren Assalafi Al Fithrah, tidak melebar pada pembahasan pilar-pilar yang lain.
C.Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Apa majlis lima pilar dipondok pesantren Asssalafi Al fithrah ?
2. Bagaimana hubungan Majlis lima pilar dalam kaitan dengan manajemen
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ?
3. Bagaimana Majlis Lima pilar dalam mempertahankan eksistensi Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah ?
D.Tujuan Penelitian
Berdasar dari rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui keberadaan Majlis lima pilar di Pondok Pesantren Assalafi
Al Fithrah.
2. Ingin mengetahui hubungan Majlis lima pilar dalam kaitan dengan manajemen
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
3. Ingin mengetahui peran Majlis Lima pilar dalam mempertahankan eksistensi
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
E. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka manfaat dan kegunaan dari hasil penelitian ini, yaitu:
1) Secara teoritis:
a. Dihasilkan kesimpulan-kesimpulan substantif yang berkaitan dengan
pondok pesantren.
b. Menjadikan sumbangan pemikiran baru tentang pengelolaan pondok
5
c. Menambah wacana pengetahuan baru, sebuah teori bagaimana pengelolaan
sebuah pesantren yang tidak bertumpu pada Kyai.
2) Secara praktis:
a. Bagi Pesantren
Memberikan konstribusi pemikiran tentang pengelolaan Pondok Pesantrean.
b. Bagi Lembaga Pendidikan Islam
Setelah mendapatkan penjelasan tentang Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah diharapkan Pondok pesantren lain dapat mencontoh atau meniru model pengelolaan pesantren.
c. Bagi Pendidikan Agama Islam
Menambah khazanah keilmuan tentang pengelolaan pendidikan Islam
d. Bagi Penulis
Untuk mengetahui lebih dalam tentang kiprah majlis lima pilar di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
F. Kerangka Teoritik
1) Majlis lima pilar sebagai sistem organisasi
Organisasi adalah sekumpulan orang atau kelompok yang memiliki tujuan
tertentu dan berupaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut melalui kerjasama.6
Melihat definisi diatas Majlis lima pilar juga dikategorikan sebagai organisasi, karena di situ berkumpul beberapa orang yang mewakili pilar-pilar yang ada, yaitu pilar Tarekat, pilar Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, pilar Perkumpulan Jamaah Al khidmah, pilar Yayasan Al Khidmah dan pilar keluarga Pendiri/ pengasuh, yang dipimpin oleh seorang koordinator lima pilar dan dibantu oleh 2 orang sekretaris, yang bertujuan untuk menampung dan memecahkan masalah yang timbul dari masing-masing pilar sepeninggal KH. Achmad Asrori al-Ishaqy. Pada masing-masing pilar ada kepengurusan yang bertugas mengurus dan
6
Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, 2006, Pengantar Manajemen, Kencana,
6
menjalankan tugas dan wewenang masing-masing dan melaporkan kepada
koordinator dalam rapat majlis lima pilar.7
2) Majlis lima pilar dan manajemen organisasi
Manajemen pada Majlis lima pilar hampir sama dengan manajemen yang
ada pada pondok pesantren.8 Manajemen pondok pesantren adalah tata kerja yang
didasarkan atas keyakinan bahwa apa yang dikerjakan merupakan manifestasi ibadah kepada Allah swt., sedang manajemen pada umumnya tidak berdasarkan
atas ibadah9. Fungsi manajemen yang ada pada Majlis lima pilar sama dengan
manajemen pada umumnya. fungsi manajemen dapat berjalan dengan normal
adanya perencanaan (planning) terhadap semua aspek baik pengembangan
kelembagaan, kurikulum dan sebagainya, pengorganisasian (organizing),
penggerakkan (actuating), dan pengawasan (cotrolling).10
3.Eksistensi Pondok Pesantren
a. Eksistensi.
Eksistensi menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Sedangkan Abidin Zaenal menjelaskan : Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.11 Menurut Nadia Juli Indrani,
eksistensi bisa kita kenal juga dengan satu kata yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas ada atau tidak adanya kita.
7
Pratama surya bagus kusuma, sekretaris lima pilar, wawancara, Surabaya 28 mei 2016
8
ibid
9
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 112.
10
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi,
(Jakarta: Erlangga, 2008), 50-51.
11
7
Eksistensi dalam tulisan ini adalah mengenai keberadaan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah pasca wafatnya pendiri dan pengasuh, KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy .
Keberadaan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah merupakan fenomena tersendiri dalam dunia pesantren, pasca wafatnya sang kyai, pesantren ini semakin berkembang bahkan berdiri cabang-cabang di daerah, sehingga menimbulkan hipotesis bahwa cara yang ditempuh pondok pesantren dalam mempertahankan eksistensi layak untuk diteliti.
b. Pondok Pesantren
1) Pengertian
Kata pondok berasal dari berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya
ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para santri yang jauh dari tempat asalnya. Asrama para santri tersebut berada dilingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal kiai, masjid, ruang untuk belajar,
mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya.12
Istilah pesantren dalam kehidupan sehari-hari memang sudah tidak asing, selain kata pesantren kata pondok juga memberi pemahaman terhadap pesantren atau bahkan penggabungan antara dua kata yakni pondok dan pesantren. Semua kata tersebut mempunya makna yang sama akan tetapi dalam perkembangannya kata pondok juga dipakai dalam memaknai asrama yang sesungguhnya mempunyai perbedaan walaupun sedikit.
Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata santri, yaitu istilah yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut
ilmu agama di lembaga pendidikan Islam tradisional Jawa. Kata “santri”
mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat para santri
menuntut ilmu. Kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit adalah santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itulah perkataan pesantren diambil dari
12
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
8
kata santri yang berarti tempat tinggal untuk para santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, sembahyang, pergi ke masjid dan melakukan aktifitas
lainnya.13
Dalam tesis ini, pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang besifat permanen. Maka, pesantren kilat atau pesantren Ramadhan yang diadakan di sekolah- sekolah umum misalnya, tidak termasuk dalam pengertian ini.
2) Unsur-Unsur Sebuah Pesantren
Para pakar dan pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu; kiai,
santri, pondok (asrama), masjid dan pengajian (kitab kuning).14 Kelima
unsur tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan yang membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan
dalam bentuk yang lain.15
barang-barang yang dianggap keramat; contohnya “kyai garuda
kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton
Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada
umumnya; Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada
orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
13
Abdul Munir.Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalamIslam
(Yogyakarta:Sipress, 1994), 1.
14
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 1996 ), 19-20.
15
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 63.
16
lazim di masyarakat yang orang yang mendapatkan gelar kiai secara de
facto tentunya mempunyai kharismatik yang luar biasa dan pendapatnya untuk diikuti, yang kemudian dalam perkembangan berikutnya dinisbatkan sebagai ahli agama. Lain halnya dengan istila ulama, yang cenderung bersifat lebih tekstual, ruang lingkup pengertiannya bersumber dari rujukan firman Allah swt.
علا بع م ََا ىش ي َ إ كل ك اولأ ٌف ت م ع أاو اوَ لاو َ لا مو
Dan diantara manusia, binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. Al-Fathir : 28).
b). Masjid
Masjid merupakan aspek yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam pesantren, masjid digunakan untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan Sholat
Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.17Masjid memiliki
fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan bandongan.
c). Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang
17
10
untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri adalah sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan „ulama’. Santri adalah siswa atau mahasiswa yang dididik
dan menjadi pengikut dan pelanjut perjuangan„ulama’ yang setia.
Penggunaan istilah santri ditujukan kepada orang yang sedang menuntut pengetahuan agama di pondok pesantren. Sebutan santri
senantiasa berkonotasi mempunyai kyai.18Para santri menuntut
pengetahuan ilmu agama kepada kiai dan mereka bertempat tinggal di pondok pesantren. Dengan posisi santri yang seperti itu maka kedudukan santri dalam komunitas pesantren menempati posisi subordinat, sedangkan kiai menempati posisi superordinat.
d). Pondok
Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang
tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya. Asrama para santri tersebut berada dilingkungan komplek pesantren yang tediri dari rumah tinggal kiai, masjid, ruang
untuk belajar, mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya.19
e). Kitab kuning
Ciri khas pesantren adalah pengajaran kitab kuning, disebut kitab kuning karena warna kertas kebanyakan berwarna kuning. Kitab kuning selalu menggunakan tulisan arab, biasanya kitab ini tidak
dilengkapi dengan harokat (gundul). Secara umum, spesifikasi kitab
kuning mempunyai lay out yang unik. didalamnya terkandung (matn) /
teks asal, yang kemudian dilengkapi dengan komentar (syarah) atau
juga catatan pinggir (hasyiyah). Penjilidannya pun biasanya tidak
maksimal, bahkan sengaja diformat secara lembaran-lembaran
18
Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: Pustaka LP3ES,1999), 97.
19
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
11
(kurasan) sehingga mempernudah dan memungkinkan pembaca untuk
membaca dan membawanya sesuai bagian yang dibutuhkan.20
G. Penelitian Terdahulu
Sebagai penelitian awal, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan atau membaca berbagai jenis literatur penelitian untuk membantu pelaksanaan penelitian lapangan nanti, antara lain:
1. Mastuhu, dalam bukunya “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren “ meneliti
tentang nilai-nilai luhur yang ada dalam pesantren yang patut dikembangkan dan gaya kepemimpinan. Penelitiannya dilakukan pada 6 Pondok Pesantren, Yaitu PP. Guluk-guluk Sumenep , PP. Sukorejo Situ bondo , PP Blok Agung Banyu Wangi, PP Tebuireng Jombang, PP Paciran Lamongan dan PP. Gontor Ponorogo. Metode yang dipakai yaitu pendekatan grounded research. Hasil penelitian ini mengambarkan adanya perubahan signifikan yang positif dalam penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren tersebut. Diantara perubahannya adalah ditemukan perubahan kepemimpinan kyai yang
kharismatik dan penuh wibawa menuju kepemimpinan yang rasional.21
2. Beti Indah Sari dan M.Turhan Yani, dalam jurnalnya yang berjudul “Gaya dan tipologi kepemimpianan kyai di Pondok Pesantren Babussalam Kalibening, Mojoagung, Jombang Membahas tentang konsep terkait kepemimpinan, terutama konsep dan topologi kepemimpinan kyai. Metode yang digunakan adalah observasi, dan wawancara. Penelitian ini menunjukkan kepemimpinan kyai yang bersifat gaya religio-paternalistik yaitu gaya interaksi kyai dan santri atau bawahan didasari nilai keagamaan dan selalu merujuk pada Nabi
Muhammad SAW..22
3. Imron Arifin, dalam bukunya “kepemimpinan Kyai”telah melakukan
penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Imron menfokuskan penelitian pada dua hal yaitu; kyai dan kitab kuning. Metode yang digunakan
20
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 1996 ), 76.
21
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1989).
22
12
adalah observasi, dan wawancara. Hasil penelitianya di ungkapkan peran penting kyai sebagai figur pemimpin sentral yang unik.
4. Edi Safitri, dalam tesisnya “Kepemimpinan Pesantren: Studi Kepemimpinan di
Pondok Pesantren UII” ia memaparkan bahwa Kepemimpinan seorang kyai
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: kompetensi, kesholehan dan kharisma, termasuk juga kyai di pimpinan Pondok Pesantren UII. Sedangkan pola kepemimpinannya adalah pola kepemimpinan campuran (rasional-tradisional) dengan argumentasi bahwa meskipun kepemimpinan di Pondok Pesantren UII menggunakan pola rasionalitas akan tetapi jika didekati dengan konsep Weber tradisional, kharismatik dan legal-rasiona), pada prakteknya masih
banyak dijumpai inkonsisten terhadap prinsip-prinsip kepemimpinan rasional23
4. Basri, dalam tesisnya yang berjudul “Peran Kepemimpinan Kyai dalam Proses
Pembelajaran dan Pembekalan kecakapan Hidup Santri di Pondok Pesantren
Salafi Al fadlu wal Fadhilah”, di kabupaten Kendal jawa tengah, memaparkan peran kyai dalam proses pembelajaran dan pembekalan kecakapan hidup santri-santrinya. Hasil temuanya adalah kyai merupakan top figure berperan sebagai perancang dan pengatur kurikulum serta memberikan pembekalan kecakapan hidup bagi santri-santrinya dengan membimbing dan mengarahkan
mereka dalam bidang pertambakan dan pertanian.24
5. Muhammad Ikhsan, dalam tesisnya“Gaya k epemimpinan Kyai dalam
Perannya Mengembangkan Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo “
menjelaskan beberapa temuannya antara lain bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh para kyai di Pondok Pesantren Wali Songo merupakan kolaborasi dari figur kepemimpinan rasionalistik dengan gaya demokratik. Hasil penelitiannya adalah adanya pola-pola hubungan kyai dengan komunitas pesantren dibangun atas dasar tata aturan formal yang mengikat bukan bersifat
pribadi.25
23
Edi Safitri, “Kepemimpinan Pesantren: Studi Kepemimpinan di Pondok Pesantren UII”, Tesis
(Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2005).
24
Basri, “Peran Kepemimpinan Kyai dalam Proses Pembelajaran dan Pembekalan kecakapan Hidup Santri di Pondok Pesantren Salafi Al fadlu wal Fadhilah”,Tesis (Yogyakarta: PPs UIN Sunan kalijaga, 2006).
25
13
6. Mardiyah dalam bukunya yang berjudul ” Kiai dalam Memelihara Budaya
Organisasi“ Menjelaskan latar belakang dan pengalaman pekerjaan yang
dimiliki kyai akan berpengaruh pada produk atau tamatannya. Dengan metode kualitatifnya beliau menyimpulkan bahwa para pimpinan pondok pesantren hendaknya mempertahankan filosofi dan nilai-nilai pesantren yang telah dibangun oleh para pendiri pesantren, Mardiyah juga menyarankan agar
pesantren tetap menjaga sistem yang telah teruji di pesantren tersebut26.
Berbeda dengan beberapa hasil penelitian di atas, penulis dalam tesis ini mencoba memfokuskan pembahasannya pada proses pengambilan kebijakan di pesantren pasca wafatnya pendiri sekaligus pengasuh pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, KH Achmad Asrosi al-Ishaqy. Pembahasan semacam ini tidak didapatkan dalam penelitian-penelitian yang ada sehingga penelitian ini tentunya sangat menarik untuk dikaji agar mendapatkan suatu gambaran bagaimana proses pengambilan kebijakan pada lembaga pesantren setelah sang kyai wafat.
H.Metode Penelitian
Metode merupakan cara pokok yang dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan dengan teknik serta alat-alat tertentu. Cara ini dipergunakan setelah
dilakukan proses pewajaran dan tujuan-tujuan dalam penyelidikan.27 Jadi dalam
setiap penelitian, tidak semua metode dapat diterapkan. Penelitian ini sendiri menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan. Peneliti menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti berusaha menguraikan tentang eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah pasca wafatnya KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy. Dan penelitian ini bersifat mengamati makna dibalik suatu fenomena atau tindakan yang ada
Jawa Timur”, Tesis(Jogjakarta: PPs. UIN Sunan Kalijaga, 2007).
26
Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihar Budaya Organisasi (Malang : Aditya Media Publshing 2012)
27
14
pada lingkungan penelitian.28 Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai
metode yang memfokuska pada pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap masalah yang akan dikaji. Penelitian ini juga dapat dilakukan secara intens dan berkepanjangan guna untuk mengamati suatu kehidupan atau obyek
setting alamiah.29
2. Jenis Data
`Dalam penyusunan Tesis ini, penulis menggunakan dua sumber data yakni sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yaitu, data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak
resmi yang kemudian diolah oleh calon peneliti.30 Sumber data diperoleh
langsung dari pihak pondok Pesanteran Assalafi Al Fithrah.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu, data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan
perundang-undangan.31
Jenis data yang dimaksud adalah jenis/ bentuk data yang diperlukan dan ingin dicari dalam penelitian untuk kemudian dianalisis. Adapaun jenis data yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Keadaan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ;
2) Kegiatan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah ;
3) Majlis lima pilar itu ;
4) Eksitensi Pondok pesantren Al Fithrah;
Dari macam-macam jenis data yang akan dicari dalam penelitian semuanya digunakan untuk mendukung fokus penelitian yakni Majlis Lima Pilar majlis dan eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
28
Zainuddin Maliki, Narasi Agung (Surabaya: Lembaga Agama dan Masyarakat, 2003), 235.
29
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 34.
30
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta :Sinar Grafika, 2009 ), 106.
31
15
3. Sumber Data
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data.32 Sumber data primer adalah Koordinator lima
pilar dan sekertaris, kepala Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, ketua yayasan Al Khidmah Indonesia dan ketua Tarekat Al Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah, perkumpulan Jamaah Al khidmah, dukungan kelima subyek primer ini berkait langsung dengan dengan permasalahan yang menjadi faktor dalam penelitian ini.
Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain
atau dokumen.33 Data dari sumber sekunder atau informan pelengkap ini
berupa cerita dari lingkungan pesantren maupun luar pesantren.
4. Metode Pengumpulan Data
Ada banyak metode dengan beberapa instrumen yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data dari lapangan, sejumlah instrumen pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian deskriptif antara lain: tes,
wawancara, observasi, kuesionair dan sosiometri.34
Adapun metode yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini meliputi :
a. Wawancara
Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara bertanya langsung dengan para reponden atau sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari orang yang diwawancara.35
Dengan wawancara penulis berharap dapat mengetahui gambaran pola pikir atau ide-ide dari para pengurus majlis lima pilar serta pimpinan Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Dari hasil wawancara tersebut peneliti berharap mendapatkan data tentang lima pilar, eksistensi Pondok
32
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif: dilengkapi dengan contoh proposal dan laporanpenelitian (Bandung: Alfabeta, 2005), 62.
33
Ibid., 62.
34
Nana Sujana, Ibrahim, Penelitian dan Penelitian Pendidikan (Bandung: Sinar Baru, 1989), 67.
35
16
Pesantren Assalafi Al Fithrah pasca wafatnya KH. Achmad Asrori al-Ishaqy dan bagaimana kiprah majlis lima pilar terhadap Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
b. Observasi
Observasi yaitu cara mengumpulkan data dengan cara melaksanakan pengamatan secara cermat dan sistematis. Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan sistemik dengan fenomena-fenomena
yang diselidiki.36 Observasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
observasi langsung, observasi ini mengamati secara langsung obyek
penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.37 Peneliti
memilih metode pengumpulan data dengan cara observasi bertujuan untuk mengamati secara terperinci. Penelitian ini difokuskan kegiatan-kegiatan yang ada di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
c. Dokumentasi.
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data berdasarkan catatan atau metode pengumpulan data tentang hal-hal atau variable berupa tulisan atau
catatan.38 Dokumentasi yang dimaksudkan adalah berupa arsip-arsip,
majalah, jurnal, buku dan benda-benda tertulis lainnya yang relevan. Dalam penelitian ini dokumentasi berguna karena dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian. Menurut Kartodirejo, agar terjamin akurasi data yang diperoleh dari dokumentasi ini, dilakukan
tiga telaah, yaitu : pertama, keaslian dokumen, kedua, kebenaran isi
dokumen, ketiga relevansi isi dokumen dengan permasalahan yang dikaji
dalam penelitian.39Dengan tersedianya dokumentasi ini Peneliti berharap
36
Suharsimi Arikuntono, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 82.
37
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: UGM Press, 2000), 136.
38
Robert K. Yin, Case Study Design and Methods, terj. M. Djauzi Mudzakir (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 201.
39
17
dapat memperoleh data tentang tugas dan peran Lima pilar terhadap eksistensi Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah.
5. Metode Analisis Data
Pada dasarnya analisis data adalah sebuah proses mengatur urutan dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan rumusan kerja seperti yang disarankan
oleh data.40 Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan
Bungin yaitu sebagai berikut:41
a. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi.
b. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan- catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.
c. Display Data
Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, table dan bagan.
d. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and
Verification) Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna
40
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2012), 130.
41
18
data yang telah disajikan. Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait.
Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja.
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi.
6. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan adalah upaya untuk mengartikan data yang ditampilkan dengan melibatkan pemahaman peneliti. Kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan merupakan kesimpulan yang kredibel.42
I. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih jelas dalam mempelajari dan memahami isi dari penelitian secara keseluruhan dan berkesinambungan, maka penulis merasa perlu untuk menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan. Pada bagian ini mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan persoalan strategis penelitian, yaitu latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
42
19
penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitan, metode analisi data, sistematika pembahasan.
Bab kedua, kajian teoritik. Bab ini membahas kajian teori-teori yang berkaitan dengan manajemen pendidikan agama islam dalam hal ini pondok pesantren.
Bab ketiga, bab ini membahas setting penelitian yaitu Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah surabaya.
Bab keempat, bab ini membahas dekskrpsi dan analisa peneitian dengan sub-sub sebagai berikut :
a. Dekskrpsi data penelitian
1. Majlis lima pilar di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
2. Hubungan Majlis lima pilar dalam kaitan dengan manajemen
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
3. Majlis Lima pilar dalam mempertahankan eksistensi Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah
b. Analisa data
1. Analisa majlis lima pilar di Pondok Pesantren Assalafi Al
Fithrah
2. Analisa hubungan Majlis lima pilar dalam kaitan dengan
manajemen Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
3. Analisa majlis Lima pilar dalam mempertahankan eksistensi
Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan gabungan dari kata pondok dan pesantren,
pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya ruang tidur, asrama atau
wisma sederhana, Pondok memang digunakan sebagai tempat penampungan sederhana dari para santri yang jauh dari tempat asalnya. Asrama para santri tersebut berada di lingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal
kyai, masjid, ruang untuk belajar, mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya.1
Sedangkan kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang berawalan “pe” dan berakhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri.2
Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata santri, yaitu istilah yang digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan Islam tradisional di Jawa. Kata santri sendiri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit, santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itulah kata pesantren diambil dari kata santri yang berarti tempat tinggal untuk para santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara
benar, melakukan sholat, pergi ke masjid dan melakukan aktifitas ibadah lainnya.3
Mujamil Qomar menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah dan yang paling populer sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami proses romantika kehidupan dalam
menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.4 Sedang Arifin
menjelaskan bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan
1
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas. 2010), 223.
2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Kyai (Cet. VII; Jakarta: LP3ES, 1997), 18.
3
Abdul Munir.Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam Islam
(Yogyakarta: Sipress, 1994), 1.
4
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisas Institusi
21
agama Islam yang tumbuh dan diakui masyarakat sekitar dengan sistem asrama. Para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan kepemimipinan seorang kyai.5
Zarkasih memaparkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di
bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.6Sedang
Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya akhlak/moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-sehari.7
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren merupakan satu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan terutama ilmu agama dan mementingkan akhlakul karimah serta didukung asrama sebagai tempat tinggal santri di bawah asuhan atau bimbingan kyai.
2. Sejarah Lahirnya Pondok Pesantren
Dalam Penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa cikal bakal berdirinya pesantren terdapat di daerah pantai utara pulau Jawa (pantura) seperti Ampel Denta (Surabaya), Giri (Gresik), Bonang (Tuban), Lasem, Kudus, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Kota-kota tersebut kala itu merupakan pusat perdagangan yang menjadi jalur penghubung perdanagan dunia melalui jalur laut, sekaligus menjadi tempat bersinggah para sudagar dari Jazirah Arab,
Hadromaut, Irak dan Persia.8
Alwi shihab mengemukakan bahwa Sunan Gresik atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah orang pertama yang
5
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan( Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 240.
6
Amir Hamzah Wiryosukarto, Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), 51.
7
Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 55.
8
22
membangun lembaga pengajian yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren, Sunan Gresik berusaha agar para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas. Usaha Sunan Gresik ini
menemukan momuntem seiring dengan melemahnya kekuasaan Majapahit (1293–
1478 M). Islam pun berkembang demikian pesat, khususnya di daerah pesisir pantai utara pulau Jawa (pantura) yang kebetulan menjadi pusat perdagangan
antar daerah bahkan antar negara.9 Pada abad ke-14 M Maulana Malik Ibrahim
dan beberapa kawannya dari tanah Arab mendarat di pantai Jawa Timur dan menetap di kota Gresik. Maulana Malik Ibrohim menyiarkan agama Islam sampai akhir hayatnya tahun 1419 M. Sebelum meninggal dunia, Maulana Malik Ibrohim (1406-1419) berhasil mengkader para muballig dan di antara mereka kemudian dikenal juga dengan wali. Para wali inilah yang meneruskan penyiaran dan pendidikan Islam melalui pesantren. Maulana Malik Ibrohim dianggap sebagai perintis lahirnya pesantren di tanah air yang kemudian dilanjutkan oleh Sunan
Ampel di daerah Ampel denta Surabaya.10
Marwan Saridjo menguatkan pendapat alwi shihab, bahwa pada abad ke-7 M atau abad pertama hijriyah diketahui sudah ada komunitas muslim di Indonesia tepatnya di (Peureulak) Aceh, namun pada saat itu belum mengenal lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan yang ada pada masa-masa awal itu adalah masjid atau yang lebih dikenal dengan nama meunasah di Aceh, tempat
masyarakat muslim belajar agama.11
Martin Van Bruinessen sebagaimana dikutip oleh Abdullah Aly mengemukakan pendapatnya bahwa pondok pesantren tertua di Indonesia adalah
Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1742 M.12 Pendapat
Martin ini berbeda dengan hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-9185 M. Dalam pendataan tersebut ada informasi bahwa pesantren tertua adalah pesantren Jan Tanpes II di daerah Pamekasan pulau
9 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, Cet. I, 2002), 23. 10 Ibid., 24.
11Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan terhadap Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, Cet. I ; 2010), 17-30.
12
23
Madura yang berdiri tahun 1762 M.13 Sedang Mastuhu tidak sependapat dengan
Departemen Agama, karena menurutnya, kalau ada Jan Tanpes II harusnya ada Jan Tanpes I yang lebih dulu berdiri. Ia berpendapat bahwa Pondok pesantren
lahir setelah Islam masuk di Indonseia.14
3. Elemen-Elemen Pondok Pesantren
Para pakar dan pengamat kepesantrenan mengemukakan ada lima elemen yang harus ada pada sebuah pondok pesantren, yaitu; kyai, santri, pondok
(asrama), masjid dan pengajian (kitab kuning).15 Kelima elemen tersebut
merupakan ciri khusus yang dimiliki pondok pesantren dan yang membedakan
pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan yang lain.16 Kelima
elemen tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Lima elemen tersebut adalah:17
a. Kyai
Kyai merupakan unsur yang terpenting bagi pondok pesantren. Sebagai pendiri, pemilik dan pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak dipengaruhi oleh keahlian dan kedalaman ilmu, kharisma dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab
kyai merupakan tokoh kunci dan sentral dalam pesantren18
Kyai juga merupakan pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual, dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kyai memiliki jamaah komunitas dan
massa yang diikat oleh hubungan paguyuban yang erat serta budaya paternalistic
Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), 19.
15
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 1996 ), 19-20.
16
Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurchalish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 63.
17
Masjkur, Anhari, Integrasi Sekolah ke Dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Surabaya: Diantama, 2007), 19-20.
18
24
yang kuat. Petuah-petuahnya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh
jamaah, komunitas, dan massa yang dipimpinnya.19
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada
di Kraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada
umumnya seperti panggilan pada orang yang dianggap pintar. Ketiga, gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan Pondok pesantren dan mengajar kita-kitab Islam klasik kepada para santrinya20
b. Masjid
Sejak zaman Rasululloh SAW. masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam, di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini telah berlangsung selama 13 abad. Bahkan, zaman sekarang pun banyak ulama yang mengajar siswa-siswa di masjid, serta memberi wejangan dan anjuran kepada siswa-siswa tersebut untuk meneruskan tradisi yang terbentuk sejak
zaman permulaan Islam itu.21 Sama halnya seperti di Indonesia, seorang kyai yang
ingin mendirikan sebuah pondok pesantren akan memulai langkahnya dengan mendirikan sebuah masjid. Dalam pondok pesantren masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan, karena masjid adalah bangunan sentral sebuah pesantren, dibanding bangunan lain, masjidlah tempat serbaguna yang selalu ramai atau paling banyak menjadi pusat kegiatan warga pesantren. Masjid mempunyai fungsi utama untuk tempat melaksanakan sholat berjamaah,
melakukan wirid dan doa-doa, i’tikaf dan tadarus al-Qur'an atau yang sejenisnya.
masjid juga sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
19
Faisal Ismail, NU Gusdurisme dan Politik Kiai (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), 39-40.
20
Zamakhsyari, Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985.), 55.
21
25
praktek sholat fardhu lima waktu, latihan khutbah dan pengajaran kitab-kitab
kuning. 22
c. Santri
Unsur terpenting yang lain dalam perjalanan sebuah Pondok pesantren adalah para santri karena proses belajar mengajar di pondok pesantren akan terwujud jika pondok pesantren tersebut memiliki santri. Santri biasanya terdiri
dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. 23
1) Santri mukim
Santri mukim adalah para santri yang berasal dari daerah yang jauh lalu menetap di asrama pesantren. Santri mukim yang tinggal sudah lama di sebuah pondok pesantren biasanya menjadi suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pondok pesantren sehari-hari, mereka juga bertanggung jawab mengajarkan kepada para santri baru tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pondok pesantren yang besar biasanya terdapat putra-putra kyai dari sejumlah pondok pesantren lain yang belajar di sejumlah pondok pesantren besar tersebut.
2) Santri kalong.
Santri Kalong adalah para santri yang berasal dari desa-desa di sekeliling pondok pesantren atau santri yang rumahnya tidak jauh dari pesantren. yang biasanya tidak menetap dalam pondok pesantren. Untuk mengikuti pelajaran pondok pesantren, mereka bolak-balik dari rumah mereka sendiri. Biasanya perbedaan antara pondok pesantren besar dan pondok pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Dengan kata lain, pondok pesantren kecil akan lebih banyak memiliki santri kalong daripada santri mukim. Namun saat ini hampir seluruh santri adalah santri mukim. Mereka tinggal di asrama yang sudah disediakan pihak pondok pesantren. Sekalipun beberapa dari mereka sebenarnya tinggal di daerah sekitar pondok pesantren namun mereka tetap bermukim di pondok, hal ini tentunya untuk memudahkan para guru mengawasi kegiatan santri dengan lebih intensif.
22
Imam Bawani,Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya : Al-.Ikhlas, 1993), 91-92.
23
26
d. Pondok/Asrama
Dalam sebuah pesantren, asrama atau pemondokan santri merupakan suatu keharusan, karena santri-santri yang jauh dari tempat asalnya akan menetap di
pesantren tersebut. Asrama atau pondok berasal dari funduq yang artinya ruang
tidur, asrama atau wisma sederhana. Asrama para santri umumnya berada dilingkungan komplek pesantren yang terdiri dari rumah tinggal kyai, masjid,
ruang untuk belajar atau mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya.24 ciri
khas pesantren adalah adanya asrama santri, yang membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain. Pondok di Minangkabau dikenal dengan surau,
sedang di Aceh disebut dengan Dayah.25 antara asrama santri putra dan putri
umumnya terpisah, biasanya asrama santri putri di area kediaman kyai pemilik pesantren.
Pesantren yang sudah maju, selain memiliki asrama/pondok biasanya juga memiliki gedung-gedung lain selain asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan para pengajar (asatidz), gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan peternakan. Terdapat juga tempat-tempat untuk latihan bagi santri dalam mengembangkan ketrampilan dalam rangka berlatih mandiri sebagai wahana latihan hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Latihan hidup mandiri tersebut, dalam ujudnya santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama yang lekat dengan pola hidup mandiri ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain.26
e. Kitab Klasik (Kitab Kuning)
Ciri khas pondok pesantren adalah pengajaran kitab kuning, Disebut kitab kuning karena warna kertas kitab-kitab yang diajarkan kebanyakan berwarna kuning. Kitab kuning selalu menggunakan tulisan Arab, biasanya kitab ini tidak
24
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas. 2010), 223.
25
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, 81.
26
27
dilengkapi dengan harokat (gundul). Secara umum, spesifikasi kitab kuning
mempunyai lay out yang unik. Di dalamnya terkandung (matn) teks asal, yang
kemudian dilengkapi dengan komentar (syarah) atau juga catatan pinggir
(hasyiyah). Penjilidannya pun biasanya tidak maksimal, bahkan sengaja diformat secara kurasan sehingga mempernudah dan memungkinkan pembaca untuk membaca dan membawanya sesuai bagian yang dibutuhkan.27Kitab-kitab klasik atau kitab kuning dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas umumnya berwarna kuning. Menurut Zamakhsyari
Dhofier, “Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan
satu-satunya pengajaran “formal” yang diberikan dalam lingkungan Pondok
Pesantren.28
Kebanyakan Pondok pesantren Saat ini telah melengkapi sistem pendidikannya dengan pengajaran pengetahuan umum, selain penggunaan kitab-kitab Islam klasik. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab-kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pondok pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang
diajarkan.29Bahkan dengan kemajuan zaman kitab-kitab yang diajarkan sekarang
berbentuk file yang dimasukkan laptop atau komputer, yang sering disebut maktabah syamilah.
4. Tipologi atau Kategorisasi Pondok Pesantren
Secara garis besar pondok pesantren yang ada di Indonesia dapat
dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu:30
27
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 1996 ), 49.
28
Ibid., 50.
29
Hasbullah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 144.
30
28
a. Pondok Pesantren Salafiyah
Salaf artinya lama, dahulu, atau tradisional. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajarannya dengan cara tradisional, seperti yang sudah berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu agama Islam dilakukan secara individual ataupun kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik yang berwarna kuning dan berbahasa Arab. Penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Demikian seterusnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas. Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajarai satu cabang ilmu.
Pondok model salaf dalam pembelajaran menggunakan metode sorogan,
bandongan atau wetonan.
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan,
sebab setiap setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai. Biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu, ada tempat duduk kyai/ustadz dan di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengkaji kitab yang sama maupun yang berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiyai, sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.
Wetonan berasal dari kata weton (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab
pengajian tersebut diberikan pada waktu tertentu. Metode wetonan ini merupakan metode kuliah, di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak
kitab masing-masing dan membuat catatan padanya.31 Contohnya pesantren
salaf adalah Pondok Pesantren Langitan yang terletak di Widang Tuban, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pondok pesantren Al Falah Ploso, Mojo Kediri dan Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan.
31
29
b. Pondok Pesantren Khalafiyah („Ashriyah)
Khalaf artinya kemudian atau belakang, sedangkan Ashri artinya sekarang atau modern. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal, baik madrasah (MI, MTs, MA), maupun sekolah (SD, SMP, SMU dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal. Pembelajaran pada pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti catur wulan, semester, tahun/kelas, dan seterusnya. Pada pondok pesantren
khalafiyah, “pondok” lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan
lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.
c. Pondok Pesantren Kombinasi antara Salaf dan Khalaf.
Pondok pesantren salafiyah dan khalafiyah dengan penjelasan di atas adalah salafiyah dan khalafiyah dalam bentuknya yang ekstrim. Barangkali kenyataannya dilapangan tidak ada atau sedikit sekali pondok pesantren salafiyah atau khalafiyah dengan pengertian tersebut. Sebagian besar yang ada sekarang adalah pondok pesantren yang berada di antara rentangan dua pengertian di atas. Sebagian besar pondok pesantren yang mengaku atau menamakan diri pesantren salafiyah pada umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun tidak dengan nama madrasah atau sekolah. Demikian juga pesantren khalafiyah, pada umunya juga menyelanggarakan
pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab klasik, Karena sistem “ngaji
kitab” itulah yang selama ini diakui sebagai satu identitas pondok pesantren.
30
pesantren dengan label Modern misalnya Pondok Pesantren Modern Gontor. Sebagai Pondok Pesantren Modern, Gontor tidak menitikberatkan pada mata pelajaran ilmu-ilmu klasik.
Dhofier membagi pondok pesantren berdasarkan jumlah santri dan pengaruhnya. Ada pondok pesantren kecil, menengah, dan besar. Pondok pesantren kecil biasanya memiliki santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten. Pondok pesantren menengah biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri yang memiliki pengaruh serta menarik santri dari berbagai kabupaten. Pondok pesantren besar adalah pondok pesantren yang memiliki jumlah santri lebih dari dua ribu santri yang memiliki pengaruh
serta menarik santri dari berbagai kabupaten dan propinsi.32Pondok pesantren
juga bisa dikategorisasikan dari sistem pendidikan yang dikembangkan. Pondok
pesantren dengan kategorisasi seperti ini dibagi menjadi tiga jenis: Pertama,
memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung
kyai, dan pengajaran secara individual. Kedua, memiliki madrasah, kurikulum
tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mempelajari pengetahuan
agama dan umum. Ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah,
madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai sebagai
pengawas dan pembina mental.33
Ada tipologi pesantren berdasarkan konsentrasi ilmu-ilmu agama yang
diajarkan. Ada pesantren Al-Qur’an, yang lebih berkonsentrasi pada pendidikan
al-Qur’an, mulai Qira’ah sampai Tahfidz. Pesantren Hadist, yang lebih
berkonstrasi pada pembelajaran Hadist. Pesantren Fiqih, pesantren Ushul Fiqh pesantren Tasawwuf, Tarekat dan seterusnya.
Azizy membagi pondok pesantren atas dasar kelembagaannya yang
dikaitkan dengan sistem pengajarannya menjadi lima kategori.34
32
Ibid., 24.
33
Suparlan Suryopratondo, Kapita Selekta Pondok pesantren (Jakarta: PT.Paryu Barkah 2009), 84.
34
Ahmad Qadri Abdillah Azizy Pengantar:Memberdayakan Pondok Pesantren dan Madrasah
31
1) Pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum,
2) pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional;
3) Pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah;
4) Pondok pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian atau yang
biasa disebut dengan majelis ta’lim;
5) Pondok pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa.
Selain itu pengklasifikasian pondok pesantren yang didasarkan pada jenis santrinya dibagi menjadi tiga yaitu pondok pesantren khusus untuk anak-anak
balita, pondok pesantren khusus orang tua, dan pondok pesantren mahasiswa.35
Akan tetapi yang dibahas lebih lanjut adalah jenis pondok pesantren menurut Qomar yang memaparkan perkembangan pondok pesantren dari masa ke masa sehingga terdapat dua kategori pondok pesantren yaitu pondok pesantren tradisional dan pondok pesantren modern dilihat dari beberapa aspek yaitu kepemimpinan pondok pesantren, institusi di pondok pesantren, kurikulum pondok pesantren, metode pendidikan suatu pondok pesantren, dan fasilitas yang disediakan pondok pesantren.
5. Tujuan, Fungsi Dan Peran Pesantren
Pesantren lahir sebagai tuntutan peran, untuk mentrasfer ilmu ke masyarakat, tapi juga membangun pranata kebudayaan yang lahir dari masyarakat,
bahkan menurut Husni Rahim, pesantren berdiri didorong permintaan (demand)
35