• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia

2.1.1.

Sejarah dan Perkembangan Badan POM RI

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat pada industri obat, kosmetik, alat kesehatan, dan makanan. Banyak industri telah memiliki teknologi canggih sehingga produk-produk tersebut dapat dihasilkan dalam skala yang besar dengan waktu yang singkat. Selain itu, dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi, banyak produk-produk serupa dari luar negeri ikut meramaikan pasar di Indonesia. Peredaran produk obat, kosmetik, alat kesehatan dan makanan tersebut perlu mendapatkan pengawasan dari pemerintah. Jika tidak, akan banyak beredar produk-produk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kelayakan dan keamanannya. Produk yang tidak layak dan aman tersebut berupa produk rusak atau terkontaminasi bahan berbahaya yang terjadi pada proses produksi, distribusi, maupun konsumsinya.

Untuk itu, telah dibentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh departemen kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Departemen Kesehatan Kesejahteraan Sosial. Untuk melaksanakan tugasnya, Badan POM diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat serta mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat. Visi Badan POM :

Visi dari Badan POM RI adalah Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.

Misi Badan POM :

a. Melakukan Pengawasan Pre-Market Berstandar Internasional. b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.

c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini.

d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.

e. Membangun Organisasi Pembelajaran (Learning Organization).

2.1.2.

Struktur Organisasi Badan POM RI

Badan POM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan Badan POM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan

(2)

4

Makanan Nomor 02001/SK/KBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah struktur organisasi Badan POM (Lampiran 1):

1. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan 2. Sekretariat Utama

3. Inspektorat

4. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA)

5. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 6. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional 8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan 9. Pusat Riset Obat dan Makanan 10. Pusat Informasi Obat dan Makanan 11. Unit Pelaksana Teknis Badan POM

2.1.3.

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas untuk merumuskan kebijakan di bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya secara menyeluruh (Total Food Safety and Hazardous Control). Pengawasan pangan atau bahan berbahaya yang dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi (from farm to table).

Tugas Deputi ini cukup berat, karena pengawasan secara menyeluruh tersebut melibatkan faktor-faktor yang cukup kompleks. Dari mulai diproduksi hingga mencapai konsumsi, bahan tersebut akan melewati mata rantai yang sulit untuk dilacak. Beberapa mata rantai tersebut adalah budidaya, pengolahan, distribusi, pemasaran, dan konsumsi yang melibatkan pelaku-pelaku seperti produsen, distributor, pengecer, jasaboga, eksportir, importir, dan instansi-instansi terkait di luar Badan POM yang bertugas untuk mengawasi mata rantai produksi pangan, maka pengawasan pangan dan bahan berbahaya secara menyeluruh dilakukan dengan pendekatan terhadap pelaku-pelaku tersebut.

Dalam undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :

1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab

3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Keamanan pangan dipengaruhi oleh setiap tahapan proses yang dilaluinya, sejak dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan maka perlu dilakukan cara-cara pengendalian pada setiap mata rantai proses penanganan dan pengolahan pangan, mulai dari lapangan (sawah, kebun, kolam, serta praktek-praktek pertanian yang baik), proses pengolahan, penggudangan dan penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen.

Untuk itu, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki Kebijakan Peningkatan Keamanan Pangan, yaitu :

(3)

5

1. Meningkatkan kemampuan Badan POM dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait

dengan risk assessment, risk management, dan risk communication.

2. Meningkatkan networking antar lembaga secara terpadu dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Meningkatkan kesadaran produsen, khususnya industri rumah tangga akan pentingnya keamanan pangan bagi perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing industri pangan secara lokal, regional, maupun global.

4. Meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dan ikut mengawasi keamanan pangan yang dikonsumsinya.

5. Meningkatkan tindakan secara hukum (enforcement) bagi mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan pangan (Fardiaz 2001).

Dalam melaksanakan strategi ini Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dibantu oleh lima direktorat yaitu, Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, dan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.1.4.

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

Tugas

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

Fungsi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan menyelenggarakan fungsi :

1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan.

2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang promosi keamanan pangan.

3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga.

4. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

6. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Susunan Organisasi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan terdiri dari : 1. Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan. 2. Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan.

(4)

6

2.1.5.

Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan

Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan menyelenggarakan fungsi :

1. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penanggulangan keamanan pangan

2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan surveilan keamanan pangan

3. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penanggulangan keamanan pangan

4. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan

5. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan direktorat surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan terdiri dari : 1. Seksi Surveilan Keamanan Pangan

Seksi Surveilan Keamanan Pangan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan surveilan keamanan pangan.

2. Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan

Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penanggulangan keamanan pangan.

3. Seksi Tata Operasional

Seksi Tata Operasional mempunyai tugas melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

2.2.

Surveilan Keamanan Pangan

2.2.1.

Fungsi dan Definisi Surveilan Keamanan Pangan

Program Surveilan WHO untuk pengendalian penyakit akibat pangan di Eropa diluncurkan pada tahun 1980 yang muncul dari kesadaran internasional tentang dampak peningkatan penyakit akibat pangan. Salah satu aplikasi surveilan sebagai salah satu metode jaminan keamanan pangan adalah penemuan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Pada November 2001, World Health Organization (WHO) mengembangkan strategi untuk Global Surveillance of Foodborne Diseases dan interaksinya dengan analisis risiko serta penerapannya pada standar makanan internasional (WHO 2001).

Fungsi dari surveilan keamanan pangan adalah untuk (WHO 2002a):

1. Mengidentifikasi wabah penyakit akibat pangan pada tahap awal sehingga tindakan pengobatan dapat diberikan tepat pada waktunya.

2. Menentukan besaran masalah kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh penyakit akibat pangan, dan memonitor trennya.

(5)

7

3. Menentukan besarnya peranan makanan yang bertindak sebagai jalur transmisi mikroba patogen yang spesifik, dan mengidentifikasi makanan berisiko tinggi, pengolahan makanan yang berisiko tinggi serta populasi rawan risiko.

4. Mengukur efektifitas program untuk meningkatkan keamanan pangan.

5. Menyediakan informasi untuk perancangan kebijakan kesehatan tentang penyakit akibat pangan (termasuk di dalamnya adalah perancangan dan penentuan prioritas strategi pencegahan).

Menurut WHO (2012), surveilan keamanan pangan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada pihak pengguna yang membutuhkan untuk ditindaklanjuti. Sedangkan menurut Rahayu et al. (2003), kegiatan surveilan keamanan pangan didefinisikan sebagai monitoring yang dilaksanakan secara kontinyu terhadap indikator ancaman yang berupa kontaminasi bahaya-bahaya keamanan pangan (cemaran biologi, kimia dan fisik) terhadap pangan untuk mencegah kejadian penyakit akibat pangan. Tahapan pelaksanaan surveilan keamanan pangan (Gambar 1) yang efektif adalah sebagai berikut (WHO 2001):

- deteksi dan notifikasi terhadap permasalahan berkaitan dengan keamanan pangan, - pengumpulan dan pengujian data yang bersangkutan,

- investigasi dan konfirmasi terhadap kasus atau wabah yang terkait masalah keamanan pangan,

- analisis dan pembuatan laporan rutin,

- umpan-balik (feedback) informasi kepada masyarakat,

- umpan-maju (feed-forward) informasi misalnya penyampaian data kepada instansi pusat (yang lebih tinggi),

- pelaporan data ke tingkat administrasi selanjutnya.

Gambar 1. Tahapan pelaksanaan surveilan pengumpulan dan pengujian

data

investigasi dan konfirmasi

analisis dan laporan rutin

feedback

feed-forward

pelaporan deteksi dan notifikasi

tindaklanjut / pembentukan kebijakan

(6)

8

Pendekatan yang dilakukan meliputi monitoring sepanjang rantai pangan, mulai dari pangan diproduksi sampai dikonsumsi masyarakat. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan surveilan keamanan pangan adalah :

- kontaminasi bahan kimia pada pangan

- penggunaan bahan tambahan pangan pada pengolahan pangan - kontaminasi biologi pada pangan

- penyalahgunaan bahan kimia berbahaya pada pangan

Dengan dilakukannya kegiatan surveilan keamanan pangan pada rantai pangan, yang meliputi kajian risiko mikrobiologi maupun kimia, dapat mengidentifikasi cemaran-cemaran pada pangan yang potensial membahayakan masyarakat, sehingga bahaya tersebut dapat dihindari sebelum sampai ke konsumen. Diharapkan di masa depan, kegiatan surveilan keamanan pangan sepanjang rantai pangan dapat semakin bertambah teliti, dengan hasil dapat dipertanggungjawabkan, cepat, mudah dalam pengukuran atau dalam bentuk rapid testing methods terutama untuk patogen.

2.2.2.

Surveilan Keamanan Pangan di Beberapa Negara

Mengacu kepada modul BPOM (2011), berikut adalah sistem surveilan keamanan pangan di beberapa negara :

USA

Dalam penjaminan keamanan pangan, kegiatan US-FDA terfokus pada kesehatan masyarakat, nilai gizi dan pelabelan. Risiko yang dikaji adalah risiko kimia, mikrobiologi, toksikologi dan nilai gizi dari pangan farm to table termasuk pangan siap saji. US-FDA memiliki pendekatan acceptable atau yang dapat diterima daripada pendekatan limit yang dapat sangat bervariasi antar negara, antar kondisi dan antar industri. Keputusan terhadap suatu permasalahan di US-FDA selama ini selalu didasarkan pada risiko sebenarnya dan bukan pada risiko yang diperkirakan. Dengan demikian maka kajian risiko merupakan kegiatan yang mutlak dilakukan dan menjadi inti dari pengambilan keputusan. Hal ini dimungkinkan karena kebijakan tingkat tinggi memberikan dukungan bagi pelaksanaan semua kegiatan tersebut.

Canada

Di Canada, institusi yang bertanggung jawab dibidang keamanan pangan adalah Canadian Food Inspection Agency (CFIA) yang tugasnya adalah melakukan sampling produk untuk dianalisis kandungan residu kimia dan mikrobiologisnya. Selain itu institusi ini juga memberikan respon pada kondisi food safety emergencies. Di Canada, penentuan standar pangan sudah didasarkan pada kajian risiko kesehatan terkini. Kegiatan surveilan dilakukan untuk mengidentifikasi dan menginvestigasi emerging issue sedangkan untuk mendapatkan data paparan dilakukan dengan metode TDS. Aktivitas monitoring dan surveilan merupakan dasar utama untuk menjamin dan memelihara keamanan pangan di Canada. Salah satu contoh kegiatan surveilan keamanan pangan yang baru-baru ini dilakukan adalah Microbiological Risk Assessment (MRA) pada Listeria monocytogenes.

Australia dan New Zealand

Di Australia dan New Zealand, institusi yang bertugas memonitor keamanan pangan adalah Food Standards Australia New Zealand (FSANZ). Instansi tersebut memonitor pangan untuk menjamin agar pangan aman dan sesuai dengan standar untuk kontaminan mikrobiologi, residu pestisida dan kontaminan kimia. FSANZ berfungsi sebagai pusat pengumpulan data dari unit-unit kesehatan di Australia dan New Zealand termasuk di dalamnya hasil dari uji kesesuaian survei dengan target tertentu yang dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan.

(7)

9

European Union (EU)

Dalam melakukan kajian risiko dibentuk European Food Safety Authority (EFSA) yang bersifat independen yang bertugas memasok informasi ke Europian Commision (EC). EFSA bertugas melakukan pengumpulan data terkait pangan dan pakan dari negara anggota untuk menyusun laporan surveilan tahunan. Kajian risiko EFSA dilakukan oleh komite saintifik yang meliputi bahan tambahan pangan, penggunaan material yang kontak dengan pangan, bahan tambahan untuk pakan, residu proteksi tanaman, kesehatan tanaman, GMO, alergen, gizi dan produk dietetik, bahaya biologi, kontaminan pada rantai pangan, dan kesehatan hewan. Selain itu juga risiko spesifik seperti BSE. Hasilnya antara lain diinformasikan di dalam sistem RASFF. Contoh kegiatan surveilan keamanan pangan dari negara anggota EC antara lain yang sudah dilakukan di Belanda dan Inggris berupa kajian terhadap bahaya mikrobiologis. Bahaya mikrobiologis yang dikaji meliputi Salmonella, Campylobacter, E. coli O157:H7, dan L. monocytogenes.

Hongkong

Instansi yang menyelenggarakan kegiatan surveilan keamanan pangan di Hongkong adalah The Center for Food Safety (TCFS). Kegiatan surveilan keamanan pangan yang dilakukan meliputi 3 skema, yaitu surveilan keamanan pangan rutin, surveilan keamanan pangan dengan target pangan tertentu, dan surveilan keamanan pangan musiman untuk tujuan impor baik di tingkat pedagang atau pengecer untuk diuji kandungan kimia dan mikrobiologinya. Hasilnya diumumkan setiap bulan sehingga masyarakat dapat mengikuti kondisi keamanan pangan setiap waktu. Sebagai contoh pangan yang dianalisis tahun 2010 adalah sekitar 8800 setiap tahunnya dengan proporsi pengujian mikrobiologis 29%, kimia 65% dan radioaktif 6%.

2.2.3.

Surveilan Keamanan Pangan di Badan POM

Badan POM RI merupakan salah satu lembaga pemerintah non-departemen yang memiliki peran penting dalam menjalin keamanan pangan di Indonesia. Badan POM sendiri bertindak sebagai leading sector dalam penyusunan kebijakan tentang mutu dan keamanan pangan dengan dibantu oleh instansi terkait lainnya. Untuk mendeteksi masalah keamanan pangan tersebut dan risikonya terhadap kesehatan masyarakat, diperlukan kegiatan surveilan keamanan pangan guna memantau kecenderungan (trend) keamanan pangan (Mardiono 2007). Pada prinsipnya, surveilan bertujuan memperoleh informasi untuk dijadikan dasar dalam melakukan suatu tindakan. Tindakan tersebut ditujukan untuk perencanaan, pengkajian, dan pelaksanaan pengawasan penyakit-penyakit akibat pangan (Sparringa et al. 2002).

Surveilan keamanan pangan di Indonesia masih mempunyai konotasi surveilan pada penyakit-penyakit akibat pangan (foodborne diseases) yang umumnya diketahui dari kasus keracunan pangan atau KLB keracunan pangan. Masalah keamanan pangan tidak terbatas pada kasus/KLB keracunan pangan saja, namun identifikasi faktor-faktor risiko (risk factors) penyakit akibat pangan yang ada di lapangan perlu mendapat perhatian (Sparringa 2002). Sebenarnya Badan POM RI sejak lama telah melaksanakan monitoring dan survei keamanan pangan yang ditujukan pada pengawasan untuk penegakan hukum. Prioritas pengawasan pangan lebih dititikberatkan pada pengawasan yang bersifat preventif (Fardiaz 2001), sehingga survei keamanan pangan di sepanjang rantai pangan perlu dilaksanakan diluar kegiatan inspeksi dalam rangka pengawasan pangan dan survei yang berhubungan dengan kasus atau KLB Keracunan Pangan.

Pelaksanaan survei harus dilaksanakan menurut mekanisme baku yang mengikuti proses analisis risiko yaitu kajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Setiap survei harus dikumpulkan datanya, diolah, dianalisis, dilakukan interpretasi serta ditindaklanjuti dalam suatu

(8)

10

sistem yang terintegrasi (Sparringa et al. 2002). Untuk itu diperlukan Mekanisme Surveilan Keamanan Pangan dan Tindak Lanjut.

2.2.4.

Mekanisme Surveilan Keamanan Pangan di Badan POM

Studi yang banyak diteliti terkait masalah kandungan bahan-bahan berbahaya yang tidak diijinkan, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi standar, serta beberapa kasus keracunan pangan baik yang disebabkan oleh senyawa kimia maupun mikroorganisme patogen. Pada umumnya, hasil surveilan belum dapat digunakan untuk kajian risiko. Saat ini, surveilan keamanan pangan lebih terfokus kepada tindakan penegakan hukum (law enforcement). Di sisi lain, kajian risiko untuk program preventif masih terbatas (Sintawatie 2006). Surveilan perlu dilakukan di sepanjang rantai pangan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit akibat pangan berdasarkan skala prioritas.

Hasil survei yang dilakukan oleh Badan POM merupakan data epidemiologis, yaitu data yang menggambarkan pola kesehatan antara faktor penyebab penyakit dan pola hidup masyarakatnya. Data epidemiologis hasil survei diperlukan untuk berbagai macam tujuan, yaitu (1) untuk memberi informasi pejabat kesehatan masyarakat tentang sifat dan besaran penyakit akibat pangan dan epidemiologisnya, (2) untuk deteksi dini wabah / kejadian luar biasa penyakit akibat pangan, dan (3) untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program keamanan pangan. Oleh karena itu, surveilan adalah dasar bagi setiap jenis program keamanan pangan (Borgdorff et al. 2005).

Mekanisme surveilan akan mengintegrasikan seluruh kegiatan survei dan tindak lanjutnya yang berhubungan dengan keamanan pangan termasuk kegiatan pengawasan pangan. Hal ini berarti program surveilan keamanan pangan bisa ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan inspeksi, public warning atau kegiatan penegakan hukum. Kegiatan surveilan keamananan pangan bisa didasarkan hasil monitoring, inspeksi, serta tindak lanjut berupa pengawasan dan promosi keamanan pangan. Mekanisme survei mulai dari suatu proposal disusun, hingga ditindaklanjuti dapat dilihat pada Lampiran 2 (BPOM 2005).

2.3.

Kontaminan Pangan

Kontaminan pangan adalah bahan atau senyawa yang secara tidak sengaja ditambahkan, tetapi terdapat pada produk pangan. Kontaminan pangan ini bisa masuk dan terdapat dalam produk pangan sebagai akibat dari (i) penanganan dan/atau proses mulai dari tahap produksi (di tingkat kultivasi maupun di pabrik), pengemasan, transportasi, penyimpanan atau pun penyiapannya; dan (ii) pencemaran dari lingkungan (environmental contamination) (Hariyadi 2010).

Pada umumnya kontaminan pangan ini mempunyai konsekuensi pada mutu dan keamanan pangan karena bisa mempunyai implikasi risiko kesehatan publik. Terdapat tiga jenis kontaminan pangan, yaitu kontaminan mikrobial, kontaminan fisik, dan kontaminan kimia. Selain itu, akhir-akhir

ini ditengarai pula munculnya berbagai kontaminan “baru” (emerging contaminants) yang juga perlu diperhatikan. Emerging contaminants dapat diartikan luas sebagai kontaminan baru yang berasal dari hasil reaksi kimia ataupun alami yang terjadi secara kimia atau biologi oleh mikroorganisme. Emerging contaminants biasanya tidak umum terdapat di alam tetapi berpotensi merugikan ekologi dan kesehatan manusia. Pada beberapa kasus, kemunculan emerging contaminants baik yang terbentuk secara kimia maupun mikrobiologi biasanya terjadi dalam jangka waktu yang lama, dan tidak dapat terdeteksi hingga munculnya metode deteksi baru yang telah dikembangkan. Dalam kasus lain, pembentukan senyawa kimia baru, perubahan fungsi pemakaian, dan adanya limbah dapat membentuk munculnya emerging contaminants (USGS 2011). Jika terdapat dalam jumlah yang

(9)

11

melebihi tingkat ambangnya, keberadaan kontaminan ini bisa memberikan ancaman terhadap kesehatan manusia.

Tabel 1. Jenis-jenis kontaminan penyebab permasalahan keamanan pangan

Kontaminan mikrobial Kontaminan Kimia Kontaminan Fisik

- Virus - Bakteri - Protozoa - Parasit - Prion - Mikotoksin - Toksin Jamur - Toksin Kerang - Pestisida, Herbisida, Insektisida

- Residu Antibiotik & hormon Pertumbuhan

- Logam Berat

- Gelas - Kayu - Batu

- Logam (potongan paku, biji stapler)

- Serangga - Tulang - Plastik

- Barang personal

Disamping tiga jenis kontaminan yang disebutkan dalam Tabel 1, dalam prakteknya terdapat jenis-jenis kontaminan khusus yang tidak secara langsung memberikan ancaman keamanan pangan karena alasan kesehatan; tetapi lebih karena alasan kepercayaan, budaya, ataupun gaya hidup. Untuk kontaminan jenis ini keberadaannya pada produk pangan (tanpa mengenal tingkat ambang tertentu)

akan menyebabkan produk pangan tersebut ditolak oleh konsumen karena alasan “keamanan

psikologis”. Bagi yang beragama Islam keberadaan komponen “haram” seberapa pun jumlahnya akan menyebabkan produk tersebut menjadi “haram”. Demikian pula bagi vegetarian, keberadaan komponen hewani pada produk pangan nabati akan menyebabkan produk tersebut tidak sesuai lagi baginya (Hariyadi 2010).

Masing-masing kontaminan mempunyai karakteristik yang unik. Beberapa kontaminan bahkan memang terbentuk secara alami. Ada juga kontaminan yang terbawa oleh air (air adalah media yang paling banyak digunakan dalam proses produksi pangan bahkan sering menjadi bagian komposisi dari bahan pangan), udara ataupun tanah. Ada juga kontaminan yang terbentuk selama proses pengolahan pangan. Sebagai contoh, akrilamida adalah jenis kontaminan yang sering ditemukan pada keripik kentang yang terbentuk selama proses penggorengan.

Permasalahan kontaminan pangan merupakan permasalahan kompleks yang bisa terjadi di sepanjang rantai pangan from farm to table bahkan from farm to mouth. Karena itu, penanganan kontaminan pangan harus dikembangkan dan dilaksanakan oleh semua pemangku kepentingan keamanan pangan.

2.4.

Analisis Risiko

Analisis risiko merupakan ‘generasi ketiga’ dari sistem keamanan pangan. Ketiga generasi

tersebut adalah (Rahayu et al. 2004):

1. Good Hygienic Practice dan pendekatan serupa dalam produksi dan penyiapan pangan untuk menurunkan prevalensi dan konsentrasi bahaya.

2. HACCP dan pendekatan serupa yang secara pro-aktif mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya pada tahap-tahap proses dan menitikberatkan pada tindakan pencegahan.

3. Analisis risiko yang secara sistematis memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan jika mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya dan terdapatnya bahaya pada seluruh rantai pangan.

(10)

12

Analisis risiko adalah perangkat manajemen untuk lembaga pemerintah untuk menetapkan perlindungan yang tepat (appropriate level of public health protection) dan menetapkan kebijakan untuk menjamin keamanan pangan. Konsep analisis risiko merupakan interaksi dari tiga hal, yaitu: kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (Gambar 2).

2.4.1.

Kajian risiko

Menurut Parker dan Tompkin (2000), kajian risiko keamanan adalah mengorganisasi informasi yang berhubungan dengan risiko-risiko keamanan pangan secara sistematis dan ilmiah sehingga pengambilan keputusan dapat mengerti faktor-faktor yang mendorong risiko. Kajian risiko dilakukan oleh tim pengkaji risiko (Risk Assessor) dengan landasan ilmiah. Kajian risiko secara kuantitatif merupakan analisis matematis terhadap data-data numerik. Keluaran yang dihasilkan merupakan perkiraan risiko yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung bahaya. Keluaran ini biasanya dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah, ataupun risiko yang dapat diabaikan.

Penilaian berdasarkan kajian risiko berhubungan langsung dengan penyebab bahaya yang meliputi konsekuensi, paparan, dan peluang (Sparringa 2004)

a. Konsekuensi

Konsekuensi yaitu menunjukkan tingkat keparahan bahaya yang didefinisikan sebagai hasil yang paling mungkin dari suatu insiden yang disebabkan oleh bahaya yang ada, antara lain sakit, kecacatan, serta gangguan utama dalam aktivitas yang dapat bersifat permanen maupun sementara, yang dihitung berdasarkan biaya yang ditimbulkannya.

Komunikasi risiko Pertukaran informasi dan pendapat secara interaktif Kajian risiko • Identifikasi bahaya • Karakterisasi bahaya • Kajian paparan • Karakterisasi risiko Manajemen risiko • Evaluasi risiko • Kajian pilihan • Pelaksanaan keputusan • Monitoring dan Evaluasi

(11)

13

b. Paparan

Paparan didefinisikan sebagai frekuensi terjadinya bahaya. Penilaian dilakukan berdasarkan tingkat frekuensi paparan pangan yang diduga menyebabkan masalah keamanan pangan. c. Peluang

Peluang terjadinya bahaya didefinisikan sebagai kemungkinan suatu kejadian bahaya terjadi setelah terpapar bahaya.

2.4.2.

Manajemen risiko

Manajemen risiko adalah proses menimbang berbagai alternatif/opsi kebijakan keamanan pangan berdasarkan hasil kajian risiko; pemilihan opsi, implementasi, dan pemantaunya. Kegiatan ini dilakukan oleh tim manajemen risiko dan dipimpin oleh manajer risiko dengan landasan kebijakan. Pengendalian risiko tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengurangi bahkan mencegah terjadinya risiko tersebut. Untuk risiko tinggi, pengendalian risiko mutlak diperlukan. Untuk risiko sedang, pengendalian risiko tidak perlu dilakukan apabila tenaga dan biaya yang diperlukan sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Sedangkan untuk risiko kecil, pengendalian risiko tidak perlu dilakukan (Rahayu et al. 2004)

Penilaian berdasarkan manajemen risiko berkaitan dengan aspek ekonomi, politik, teknis, serta dampaknya apabila kajian/survei ini dilakukan. Aspek yang dikaji meliputi persepsi masyarakat terhadap bahaya yang ada, tindakan/intervensi, kontribusi data yang ada terhadap tujuan survei yang ada, dan besarnya biaya yang diperlukan (Mardiono 2007).

Keputusan manajemen risiko perlu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi yang terdapat dalam konsep komunikasi risiko.

2.4.3.

Komunikasi risiko

Komunikasi risiko didefinisikan sebagai proses pertukaran informasi dan pendapat secara interaktif tentang risiko diantara pengkaji risiko (pakar, peneliti), manajer risiko (pemerintah), dan pihak-pihak terkait lainnya seperti konsumen, industri, kalangan akademik, serta pihak yang tertarik (Parker et al. 2000, WHO 2000). Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko. Manfaat komunikasi risiko adalah meningkatkan kewaspadaan dan pengertian terhadap isu-isu spesifik yang dihasilkan oleh kajian risiko, meningkatkan konsistensi dan transparansi pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan oleh manajer risiko, dan memperkuat kerja sama diantara instansi-instansi terkait, sekaligus meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari keseluruhan proses analisis risiko (WHO 2000).

Pelaksanaan analisis risiko perlu diterapkan dalam rangka pengawasan keamanan pangan secara total (Total Food Safety Control). Badan POM RI bekerja sama dengan pihak-pihak terkait baik lembaga pemerintah ataupun swasta dan konsumen untuk meningkatkan keamanan pangan sebagai tugas bersama.

2.5.

Protokol

2.5.1.

Protokol dengan Parameter Pengujian Mikrobiologi

Setiap produk pangan dapat dipastikan mengandung bakteri jika penanganannya tidak baik. Secara umum, bakteri yang terkait dengan keracunan makanan diantaranya adalah Salmonella,

(12)

14

Shigella, Campylobacter, Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolityca, Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Bacillus cereus, Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus, E.coli enteropatogenik dan Enterobacter sakazakii (BPOM 2008).

Saat monitoring terdapat lima jenis pemantauan yaitu observasi, evaluasi sensorik, pengukuran sifat fisik, pengujian kimia dan pemeriksaan mikrobiologi. Pemantauan makanan melibatkan pengamatan yang sistematis, pengukuran dan merekam faktor yang signifikan untuk kontrol bahaya. Prosedur pemantauan atau protokol yang dibuat harus mampu bertindak sebagai corrective action baik sebelum atau selama operasi. Selain itu, protokol yang dibuat juga berfungsi untuk mengontrol dan menjamin suatu kontaminan dalam pangan tidak menimbulkan penyakit.

Pada tugas akhir ini protokol yang akan dibuat dan diuji adalah protokol keamanan pangan dengan parameter adalah aspek mikrobiologis. Secara harfiah protokol berarti surat-surat resmi yang memuat hasil perundingan (persetujuan dsb) (Setiawan 2012). Pengertian protokol survei pada bahasan ini adalah suatu dokumen penting yang digunakan sebagai pedoman bagi pelaksana survei yang berisi tentang latar belakang survei, penetapan tujuan, keluaran dan manfaat, penetapan populasi survei, identifikasi kerangka sampel, metode pengambilan sampel dan penentuan besarnya sampel, penanganan sampel, preparasi sampel, analisis sampel dan manajemen survei (Mardiono 2007).

Beberapa tujuan lain dari pembuatan protokol ini adalah (KZN 2000):

1. sebagai alat yang efektif untuk memprediksi dan memantau potensi kontaminan dapat menyebabkan penyakit dalam makanan,

2. Untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi kontaminan dalam makanan sehingga dapat dilakukan studi yang tepat, dan

3. Dapat digunakan sebagai metode prediksi jika jumlah data yang diperoleh minim.

Dalam suatu protokol tidak mungkin hanya menggunakan satu metode untuk menganalisis suatu data karena suatu metode memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Dengan adanya kombinasi dari beberapa metode, hasil yang didapat akan lebih rinci dan akurat. Hasil analisis ini merupakan hasil estimasi pengukuran paparan organisme atau metabolitnya terhadap suatu populasi dibandingkan dengan jumlah asupan pangan.

2.5.2.

Protokol dengan Parameter Pengujian Kimia

Perencanaan yang cermat dan penyesuaian aturan dengan peraturan pemerintah terutama dalam sektor pangan sangat diperlukan untuk mengembangkan sistem pemantauan makanan. Protokol pengujian kimia ini mengacu pada WHO (1985). Langkah-langkah yang akan dilakukan sebelum menentukan protokol antara lain:

a. Data Konsumsi Pangan

Pengumpulan data yang valid untuk konsumsi pangan dari suatu populasi adalah masalah yang paling sulit dipecahkan sehingga pada akhirnya yang paling sering digunakan adalah asumsi. Dengan adanya data pola konsumsi ini jumlah cemaran kontaminan dapat dianalisis. b. Menggunakan Data Konsumsi Pangan untuk Memperoleh Jumlah Kontaminan

Ada tiga pendekatan yang dapat diadopsi untuk mengestimasi asupan harian dari suatu kontaminan. Berdasarkan data konsumsi pangan ditemukan tiga metode untuk menghitung jumlah kontaminan:

- Total diet studies:

Sampel untuk jenis penelitian ini terdiri dari penanda makanan yang mencerminkan total diet konsumen untuk jangka waktu tertentu. Pola konsumsi tersebut dianalisis baik secara individual atau gabungan beberapa komposisi makanan.

(13)

15

- Selective studies of individual foodstuffs:

Pendekatan ini melibatkan pengukuran residu dalam sampel yang representatif dari bahan makanan, baik mentah atau di masak, bersama dengan data konsumsi makanan dan kemungkinan asupan harian rata-rata harus dihitung.

- Duplicate portion studies:

Perwakilan pola individu dapat dikumpulkan selama beberapa periode (hari) dengan meminta kepada lembaga terkait untuk menyediakan, menganalisis residu, dan membuat duplikat sampel dari konsumsi makanan.

c. Analisis Sampel Pangan

- Persiapan sampel untuk analisis

- Penentuan ambang batas deteksi dan kuantifikasi

- Peninjauan teknik dan metode analisis terhadap kontaminan - Kecukupan metode analisis

- Penentuan jenis kontaminan - Laporan hasil analisis

d. Perhitungan dan Pelaporan Kandungan Kontaminan

Gambar

Gambar 1. Tahapan pelaksanaan surveilan pengumpulan dan pengujian
Tabel 1. Jenis-jenis kontaminan penyebab permasalahan keamanan pangan
Gambar 2. Kerangka analisis risiko (FAO 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Kelurahan Cimahpar pada tahun 2014 masih merupakan wilayah penelitian paling luas yang memiliki lahan pertanian dan satu-satunya wilayah yang lahan pertaniannya di

Sedangkan menurut Berkowitz (2005), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja.

Batas penggunaan maksimum adalah jumlah milligram per kilogram (mg/kg) pemanis buatan yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan atau jumlah pemanis buatan yang

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.. BPOM

Terdapat unsur subjektivitas dalam menentukan indeks pengungkapan CSR, penelitian ini hanya mengidentifikasi 4 faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan NPK majemuk susulan saat awal berbunga (R 1 ) pada tanaman kedelai berpengaruh terhadap hasil kedelai (t/ha) dan efisiensi

Pada umumnya spesifikasi pengukuran GPS untuk mendukung perekaman data LiDAR ini hampir sama dengan spesifikasi pengukuran GPS secara statik, yang membedakannya

Hasil studi pendahuluan di UPTD Puskesmas Maja Kabupaten Majalengka upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan pada kelompok lansia sudah dibentuk Posbindu di beberapa desa di