• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan pengertian bank diatas yang terdapat pada Pasal 1 ayat 2 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia dan merupakan salah satu unsur penting sebagai penunjang pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonomi (memperbaiki dan memperkokoh perekonomian nasional) sehingga diharapkan pula dapat mewujudkan stabilitas nasional.

Dalam menjalankan usaha baik itu menghimpun dana dari masyarakat maupun menyalurkannya kembali ke masyarakat menjadikan bank memiliki posisi strategis bagi pertumbuhan ekanomi sektor perbankan.

(2)

2 Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.1

Penghimpunan dana oleh bank dalam lalu lintas perbankan dapat dilakukan antara lain dengan penerimaan simpanan dan dalam hal penyaluran dana kembali ke masyarakat dilakukan antara lain dengan cara pemberian pinjaman dalam bentuk kredit.

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang dijanjikan dapat berupa barang, uang, jasa.2 Bank memberikan kredit menggunakan uang dalam transaksi kreditnya karena lebih mudah/lancar. Bank harus melakukan perikatan dengan calon nasabah debitur untuk melaksanakan pemberian kredit karena perjanjian kredit merupakan hal yang pokok.

Sejalan dengan pengertian juga sebagai dasar hukum kredit yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan :

1 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992

tentang Perbankan

2 Drs. Thomas Suyatno, et al., Dasar-dasar Perkreditan, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, edisi

(3)

3 Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak ditekankan adanya perjanjian kredit namun dalam bisnis diperlukan untuk keperluan administrasi dan kepentingan pembuktian karena merupakan suatu perbuatan hukum yang membutuhkan suatu pembuktian tertulis.

Kepercayaan pada transaksi kredit menjadi dasar dalam pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur melalui perjanjian kredit. Tanpa kepercayaan tersebut bank tidak akan menyalurkan kembali dana yang telah dihimpunnya kepada masyarakat. Oleh karena itu, bank haruslah sangat selektif dalam pencapaian keamanan penyaluran dan pengembalian kredit pada masa yang akan datang untuk memperoleh keuntungan (safety dan profitability). Prinsip kehati-hatian oleh bank merupakan salah satu prinsip dalam pencapaian tersebut. Berdasarkan prinsip kehati-hatian ini pula bank harus melakukan pertimbangan mendalam terhadap calon nasabah debitur sebelum pemberian kredit yaitu pada itikad baik dan kemampuan dari calon nasabah debitur. Hal ini sejalan dengan Pasal 8 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992, yaitu :

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(4)

4 Pinjaman kredit dari bank haruslah disertai agunan. Agunan atau jaminan akan dapat nantinya digunakan oleh bank apabila ternyata nasabah debitur tidak mampu memenuhi perjanjian kredit atau nasabah tidak mampu memenuhi kontraprestasi atas prestasi yang telah diterimanya. Jika nasabah debitur tidak mampu melunasi utang sesuai perjanjian kredit dengan pihak bank maka telah terjadi kredit bermasalah.

Terjadinya kredit bermasalah akan sangat mempengaruhi kinerja bank untuk waktu yang akan datang. Bank harus menyediakan sejumlah uang tertentu karena telah terjadi penyisihan penghapusan aktiva guna menutupi resiko kerugian sebagai akibat dari terhambatnya pengembalian kredit oleh nasabah debitur. Dengan penyediaan tersebut maka akan dapat berdampak pada kebutuhan modal minimum bank yang berkurang sejumlah tertentu yaitu sebesar penyisihan penghapusan aktiva. Pengurangan/penurunan modal minimum pada bank merupakan suatu prestasi buruk bagi bank tersebut dan dapat diambil tindakan dalam rangka dilakukannya pengawasan terhadap bank bahkan dapat dikenai sanksi administrasi. Nasabah debitur yang sudah dikategorikan bermasalah perlu perhatian khusus dari pihak bank. Oleh sebab itu penyelesaian kredit bermasalah oleh bank harus dilakukan penyelesaian secepatnya. Penyelesaian kredit bermasalah ini salah satunya dapat dilakukan dengan cara tindakan penyelamatan.

Jika bank telah memutuskan untuk melakukan tindakan penyelamatan (rescue operation), tentu saja tergantung dari kesulitan yang dihadapi oleh nasabah debitur yaitu bank akan menganalisa kembali sektor usaha tersebut. Setelah melakukan penganalisaan

(5)

5 kembali maka bank akan segera mengambil langkah tertentu berdasarkan pengkategorian kredit yang bermasalah tersebut. Beberapa pilihan tindakan yang dapat diambil diantaranya rescheduling, reconditioning, restructuring, kombinasi.

Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru yang menjadi lokasi penelitian hukum ini, merupakan bank umum berupa perusahaan daerah milik pemerintah daerah sesuai dengan bentuk hukum suatu bank umum pada Pasal 21 ayat 1c Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang menjalankan kegiatan usahanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat Riau. Dalam menjalankan kegiatan usaha perbankan seperti halnya perjanjian kredit sangat dimungkinkan pula terjadinya kredit bermasalah pada Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru.

Langkah melakukan penyelamatan juga dapat disebut sebagai upaya penyelesaian terhadap kredit bermasalah. Bank umum perusahaan daerah milik pemerintah daerah seperti PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru melakukan kegiatan perbankan dalam hal penyaluran dana ke masyarakat melalui pemberian kredit khususnya dalam jangkuan pemberian kredit kepada masyarakat Riau. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau PT. Bank Riau dapat juga dikatakan sebagai salah satu urat nadi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai salah satu motor penggerak perekonomian masyarakat Riau maka penulis tertarik

(6)

6 untuk mengadakan penelitian dengan melakukan “analisa terhadap penyelesaian terhadap kredit bermasalah pada PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat mengenai latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna menjawab permasalahan sebagai berikut :

1) Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah pada PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru ?

2) Bagaimana cara penyelesaian kredit bermasalah tersebut oleh PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Subyektif

Dilakukan penelitian ini guna mendapatkan data untuk penulisan hukum sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan juga untuk menambah pengetahuan penulis dengan mendalami bidang hukum yang berkaitan dengan perbankan.

2. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui melalui perolehan data di lapangan, yaitu faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah

(7)

7 b. Menelaah dasar hukum yang digunakan oleh PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru dalam hal penyelesaian kredit bermasalah dikaitkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan penulis, sudah cukup banyak penelitian mengenai perbankan spesifiknya mengenai penyelesaian kredit bermasalah pada bank umum. Seperti beberapa dari hasil studi kepustakaan penulis diantaranya penulisan hukum yang berjudul “Permasalahan dan Pola Penyelesaian Kredit Kepemilikan Rumah yang Macet di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Katamso, Yogyakarta” oleh Indra Wahyu Setiadi; “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Hapus Tagih Kredit Bermasalah (Studi Kasus PT. Bank Bukopin Tbk Cabang Tasikmalaya)”, oleh Hary Mezack P; “Analisis Terhadap Metode PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kantor Cabang Sleman Dalam Melakukan Penyelamatan Kredit Bermasalah Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pasca Bencana Erupsi Merapi Tahun 2010”, oleh Septano Guna Aji; “Pelaksanaan Restrukturisasi Kredit KUPEDES Terhadap Debitur Pasca Erupsi Gunung Merapi Pada 26 Oktober 2010 (Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia Cabang Klaten Unit Karangnongko), oleh Farizka Ainasukma Rahardjo.

Berdasarkan pengamatan peneliti di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut, belum ada penulisan yang mengkaji atau menganalisa tentang penyelesaian kredit bermasalah pada PT. Bank Riau Cabang Utama Pekanbaru.

(8)

8

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian yang diperoleh dari proses terhadap identifikasi permasalahan dan analisis terhadap data yang didapatkan langsung di lapangan diharapkan mempunyai kegunaan dikalangan praktisi maupun akademisi. Hasil penelitian diharapkan berguna pada perkembangan ilmu pengetahuan yaitu dapat digunakan sebagai bahan dan dasar penelitian hukum lebih lanjut di kepustakaan khususnya bidang perbankan.

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan pandangan sehingga dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi masyarakat yang menggunakan jasa perbankan. Diharapkan berguna pula bagi praktisi perbankan dalam penyempurnaan kebijakan-kebijakan baik itu dalam hal penyaluran kredit maupun cara penyelesaian terhadap kredit macet itu sendiri agar dimasa mendatang dapat meminimalisir terjadinya kredit macet sebagai langkah untuk menempuh stabilitas ekonomi yang mensejahterakan.

Hasil penelitian ini diharapkan pula memberikan manfaat dalam melakukan pemahaman hukum lebih dalam berdasarkan penerapan-penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam prakteknya sehingga dapat bermanfaat untuk pengembangan teori hukum.

(9)

9

F. Tinjauan Pustaka

Dalam perkembangannya bank yang bentuk hukumnya Bank Pembangunan Daerah mengalami perubahan ke bentuk hukum perusahaaan daerah. Perubahan bentuk hukum tersebut untuk menyesuaikan seperti bentuk hukum yang diamanatkan oleh Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan.

Lapangan usaha perusahaan daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yaitu suatu kesatuan produksi yang bersifat memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memupuk pendapatan. Sesuai dengan lapangan usaha yang dilakukannya, termasuk dan meliputi jasa, maka tidak berlebihan apabila perusahaan daerah bergerak dibidang jasa perbankan. Namun, wilayah kerjanya dari bank berbentuk hukum perusahaan daerah terbatas sesuai dengan wilayah pemerintah daerah tersebut. Dengan demikian, kegiatan usahanya terpusat. Kondisi tersebut memang guna melaksanakan maksud dari tujuan yang diembannya, yaitu turut serta melaksanakan pembangunan daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.3

3 Drs. Muhamad Djumhana, S.H., Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006,

(10)

10 Bank sebagai perusahaan daerah demi mencapai kesejahteraan masyarakatnya melakukan kegiatan usahanya dibidang perbankan salah satunya dengan cara pemberian kredit melalui perjanjian kredit.

Pengertian perjanjian kredit belum dirumuskan, baik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang perbankan maupun Rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan.4

Pada hakikatnya perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk dari perjanjian pinjam-meminjam yang terdapat pada Pasal 1754-1769 buku III KUH Perdata. Perjanjian tersebut tidak identik hanya dengan pasal tercantum tersebut, dengan kata lain untuk mengikatnya suatu perjanjian kredit memang harus mendasarkan pada asas-asas umum hukum perjanjian sesuai KUH Perdata agar mendapat perlindungan hukum sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku (bersifat memaksa). Namun juga berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara bank selaku kreditur dengan calon nasabah debitur (kesepakatan bersama) sesuai dengan sifat konsensual suatu perjanjian yang juga merupakan pembeda perjanjian kredit dengan perjanjian pinjam-meminjam.

Selaku perusahaan daerah milik pemerintahan daerah PT. Bank Riau berperan dalam pembangunan ekonomi masyarakat wilayah Riau itu sendiri demi pencapaian kesejahteraan masyarakatnya. PT. Bank Riau juga dapat dikatakan sebagai bank plat merah

4 Dr. Johannes Ibrahim, S.H., MH., Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung : PT. Refika Aditama, 2004, hlm.24.

(11)

11 karena sebagian modalnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Tak dapat dipungkiri dalam melakukan kegiatan usaha perbankan melalui pemberian kredit atas dasar kepercayaan, bank akan berhadapan dengan resiko-resiko atau permasalahan yang begitu pelik khususnya dalam pengembalian kredit oleh nasabah debitur. Akan ditemuinya resiko oleh bank dalam pengembalian kredit ini dikarenakan kredit merupakan perjanjian yang akan terpenuhi untuk masa yang akan datang, dalam arti lain perjanjian akan berakhir apabila kontraprestasi atas prestasi yang telah diterima sebelumnya dipenuhi oleh nasabah debitur dimasa yang akan datang. Jadi, jelas resiko dalam hal waktu dan kemampuan debitur harus diperhitungkan oleh bank tersebut demi kelancaran kinerja bank dimasa yang akan datang pula.

Demi mengetahui permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi dalam pengembalian kredit perlu diketahui unsur-unsur kredit terlebih dahulu. Unsur yang terdapat dalam kredit adalah :5

a. Kepercayaan , yaitu keyakinan dari sipemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.

b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan dietrima pada masa yang akan datang.

5

(12)

12 c. Degree of risk, suatu tingkat resiko yang akan dihadapai sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos kehari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.

d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat diberikan dalam bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan.

Setiap bank akan mengalami masalah kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebagai efek dari pemberian kredit. Maka dari itu bank selalu mengupayakan usaha pencegahan terhadap hal tersebut. Usaha preventif dilakukan dengan penilaian dan penyeleksian secara mendalam terhadap kredit yang akan diberikan kepada nasabah debitur. Akan tetapi upaya yang dilakukan tidak serta merta membuat bank terhindar dari permasalahan kredit bermasalah. Kredit bermasalah salah satunya dapat terjadi apabila nasabah debitur tidak mampu (kesediaan ataupun kesanggupannya) melunasi utangnya sesuai jatuh tempo pembayarannya. Banyak hal yang menyebabkan pelunasan utang tersebut, seperti kesalahan penggunaan kredit, manajemen yang buruk, dan kondisi

(13)

13 perekonomian. Masalah dalam hal pengembalian kredit ini tentu saja akan berdampak buruk pada nasabah debitur dan bank.

Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas dari kredit itu sendiri.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peratuan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum maka kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha; kinerja (performance) debitur; dan kemampuan membayar. Dengan memperhatikan ketiga faktor penilaian tersebut, maka kualitas kredit ditetapkan menjadi:7

a. lancar;

b. dalam perhatian khusus; c. kurang lancar;

d. diragukan; atau e. macet.

6 Drs. Muhamad Djumhana, S.H., Op. Cit., hlm. 552

7 Pasal 12 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank

(14)

14 Penggolongan tersebut tidak diikuti dengan rincian penjelasan dan kriterianya, tidak seperti pada ketentuan sebelumnya yang memperinci dan menjelaskan kriteria dalam penggolongan kualitas kredit tersebut.8

Untuk menentukan suatu kualitas kredit masuk lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet, dapat dinilai dari tiga aspek yaitu:9

a. Prospek usaha

b. Kondisi keuangan dengan penekanan arus c. Kemampuan membayar

Tiga aspek penilaian tersebut merupakan satu kesatuan untuk menilai kualitas kredit, tidak secara parsial misalnya hanya dari kemampuan membayar saja. Meskipun kemampuan membayar lancar tetapi kalau prospek usaha tidak ada maka kredit tersebut dapat dinilai non performing loan. Namun untuk menilai kualitas kredit dari prospek usaha dan kondisi keuangan agak sulit dibanding menilai kemampuan membayar. Menilai kemampuan membayar lebih mudah karena ukurannya jelas yaitu:10

a. Kredit digolongkan Lancar jika pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai perjanjian.

b. Kredit digolongkan Dalam Perhatian Khusus, jika terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 90 hari (3 bulan)

8 Drs. Muhamad Djumhana, S.H., Op. Cit., hlm. 553

9 Sutarno, S.H., MM., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung : CV. Alfabeta, 2005, Cetakan

ketiga, hlm. 264

10

(15)

15 c. Kredit digolongkan Kurang Lancar jika terdapat tunggakan pembayaran pokok dan

atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari (6 bulan)

d. Kredit digolongkan Diragukan jika terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari (9 bulan)

e. Kredit digolongkan Macet jika terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan).

Terhadap kredit bermasalah apalagi sudah dalam golongan kredit macet maka bank dapat melakukan tindakan segera karena kredit bermasalah senantiasa akan menjadi beban bank dan mempengaruhi kinerja bank untuk masa kedepannya. Pada dasarnya penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dalam dua tahapan, yaitu:

1. Tahap penyelamatan (alternatif penyelesaian ), fokus penyelesaian dengan melakukan tindakan secara administratif diantaranya dengan cara rescheduling, reconditioning, dan restucturing

2. Tahap penyelesaian, berfokus pada penyelesaian melalui pemakaian kelembagaan hukum.

Tahap penyelamatan khususnya dalam hal restructuring, dapat dilihat pengertiannya pada Pasal 1 angka 25 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum:

(16)

16 Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang dilakukan, antara lain, melalui:

penurunan suku bunga kredit;

a. perpanjangan jangka waktu kredit; b. pengurangan tunggakan bunga kredit; c. pengurangan tunggakan pokok kredit; d. penambahan fasilitas kredit;

e. konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Dari ketentuan peraturan tersebut dapat dilihat bahwa bank tidak langsung melakukan “pelahapan” terhadap debiturnya, justru malah sebaliknya bank bertindak memberikan penyelamatan demi kepentingan bersama melalui pemberian keringanan-keringanan kepada nasabah debitur yang bermasalah.

Selama ini, bankir-bankir BUMN mengeluhkan sulitnya merestrukturisasi kredit bermasalah karena terganjal PP No 14/2005 yang menganggap piutang BUMN sebagai piutang negara. Restrukturisasi kredit BUMN, selain harus mengacu pada UU PT, UU BUMN, juga harus mengacu pada UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Konsekuensinya, jika terjadi kasus dalam restrukturisasi kredit, bankir BUMN bisa dituduh merugikan negara dan berhadapan dengan polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi dengan ancamannya sanksi pidana berupa penjara. Bankir BUMN juga tidak dapat menjual aset debitor di bawah 50% dari nilai kredit karena terancam tuduhan merugikan negara11

Berdasarkan kutipan diatas dapat dilihat bahwa dalam melakukan restrukturisasi kredit masih terhalang kendala. Kemudian pemerintah mengeluarkan PP No.33/2006

11http://www.indonesia.go.id/id/produk_uu/index.php?option=com_content&task=view&id=2449&Ite

(17)

17 sebagai patokan melakukan restrukturisasi kredit.yang disambut hangat oleh Bankir BUMN disertai dibentuknya oversight committee (OC) dalam memonitoring perestrukturisasian kredit tersebut.

Akan tetapi pada akhirnya PP No.33/2006 itu tidak efektif bahkan dianggap tidak berdaya guna dalam merestukturisasi kredit, seperti yang dapat dipahami melalui kutipan berikut ini:

PP No 33/2006 terdiri atas dua pasal. Pasal 1 menyebutkan, ketentuan pasal 19 dan pasal 20 dalam PP No 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus. Inti dari pasal 19 dan pasal 20 PP No 14/2005 adalah penghapusan piutang BUMN harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 19/2003 tentang BUMN, dan UU No 1/1995 tentang PT, red). Sebagai gantinya, dalam pasal 2 ayat 1a PP No 33/2006 disebutkan, pengurusan piutang negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di bidang PT dan BUMN beserta pelaksanaannya. Sementara itu, pasal 2 ayat 1b pada intinya menegaskan, piutang negara/daerah yang telah diserahkan ke Ditjen Piutang dan Lelang Negara sebelumnya tetap mengacu PP 14/2005. Sedangkan pasal 2 ayat 2 berbunyi, PP No 33/2006 berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 6 Oktober 2006.

Selain itu, Kejaksaan dan BPK masih berpatokan pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 49 Prp/1960. Alasannya, kedudukan kedua UU ini lebih tinggi dari PP. Dalam UU No. 17/2003 disebutkan kekayaan

(18)

18 negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Kalau memang permasalahannya terletak di situ, maka Tony mengusulkan agar kedua UU tersebut segera diamandemen12

Dapat dipahami bahwa upaya merestrukturisasi kredit dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 tersebut menjadi dilema bagi Bankir BUMN karena disatu sisi bank diberikan keleluasaan dalam upaya restrukturisasi dilain sisi Bankir BUMN harus berhadapan dengan pengadilan karena Kejaksaan dan BPK masih berpatokan pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 49 Prp/1960 dengan asas hukum bahwa Undang-Undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah.

Dengan belajar pada sejarah gelap perbankan akibat krisis yang dialami pada tahun 1998 yang lalu harus dijadikan pengalaman yang berharga dengan menghadirkan sebuah bank yang sehat dan kokoh agar perjalanan bank untuk masa yang akan datang betul-betul mampu memberikan kemajuan pada sektor pembangunan ekonomi baik itu pembangunan ekonomi nasional maupun daerah. Dalam perannya sebagai bank penunjang pembangunan ekonomi daerah, Bank Riau harus mampu menjadi pendukung perekonomian Provinsi Riau dalam konteks pembangunan daerah yang berkelanjutan atau sustainable.

Sepanjang 2007 silam Bank Riau berhasil meningkatkan rasio penyaluran kredit kepada pihak ketiga atau loan to deposit ratio LDR menjadi 13 persen, atau meningkat 3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Total kredit yang dikucurkan bank plat merah tersebut mencapai Rp 3,167 triliun. Keberhasilan

12

(19)

19

tersebut sayangnya berdampak pada lonjakan angka kredit mecet di Bank Riau sampai tutup buku di tahun 2007. Jika pada 2006 total kredit macet hanya Rp 20 miliar, pada 2007 lalu meningkat menjadi 47 miliar atau meningkat lebih dari 100 persen. Tingginya kredit macet yang dialami Bank Riau akan merimbas pada keuntungan. Karena Bank Riau harus menyediakan dana pengganti dari dana yang macet tersebut. "Kredit macet berimplikasi pada keuntungan bank, namun itu masih bisa direstrukturisasi, karena setiap kredit pasti ada anggunan yang bisa dilelang dan hasil lelang bisa menjadi bagian dari keuntungan bank," papar pengawas perbankan di Kantor Bank Indonesia Pekanbaru M Fredly Nasution kepada wartawan di Pekabaru kemarin. Ditambahkan Fredly, angka Rp 47 miliar belum termasuk kredit bermasalah yang masuk dalam pengawasan. Jika ditambahkan dengan kredit bermasalah dalam pengawasan totalnya mencapai Rp 99 miliar. Sementara itu Direktur Utama Bank Riau Erizon menilai jumlah Rp 49 miliar kredit macet di bank yang dipimpinnya masih wajar, hal itu merujuk pada total kredit yang dikucurkan Bank Riau sebesar Rp 3,146 triliun. "Kredit bermasalah di setiap perbankan pasti ada. Angka kami masih relatif wajar, mengingat jumlah kredit yang kami salurkan tahun 2007 mencapai Rp 3,146 triliun," ujar Erizon.***(mad)13

Berdasarkan kutipan diatas dapat dilihat Bank Riau dalam kegiatan usahanya menjalankan perkreditan juga mengalami kredit bermasalah. Akan tetapi kredit bermasalah tersebut dapat dikatakan wajar dengan perhitungan persentase berdasarkan jumlah kredit yang dikucurkan.

13

Referensi

Dokumen terkait

Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan juga pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Analisa

Dalam penulisan skipsi ini penulis akan menganalisis mengenai perilaku menyimpang yang dialami tokoh utama Yoshihide dalam cerpen Jigokuhen yang merupakan salah satu karya

Dalam kasus ini kota Maumere merupakan obyek penelitian sebagai bahan penelitian agar kota Maumere mampu menjadi sebuah kota yang mempunyai citra atau image yang lebih baik lagi

tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir

Menurut Wahyudi (2014:59-60), dalam menentukan tokoh pada sebuah lakon wayang tidak dilakukan dengan semena-mena. Persoalan ini disebabkan karena wayang harus

(1) Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan

Modal merupakan bagian yang sangat penting dalam bank dan merupakan sumber dana utama dalam pembiayaan seluruh kegiatan operasional bank, modal tersebut harus