• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa Awal Pernikahan. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa Awal Pernikahan. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

11 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Menurut UU Pernikahan No 1 tahun 1974 pasal 1 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui pernikahan kedua individu membentuk sebuah institusi sosial yang disebut dengan keluarga, juga mendatangkan peran dan status baru sebagai suami dan istri. Sebagai pasangan suami istri harus mengerti dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing, selain itu sebagai sebuah instituai sosial, pasangan harus mengerti mengenai perannya terhadap keluarga yang akan berhubungan dengan keluarga pasangannya maupun masyarakat sekitar.

Setiap individu yang menikah memiliki harapan untuk memperoleh kepuasan pernikahan. Fower & Olson (1993) menyebutkan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan yang mencakup komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kesetaraan peran serta pengasuhan anak. Clayton (dalam Lailatulsifah, 2003) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Kepuasan pernikahan

(2)

merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang didapatkan dalam kurun waktu tertentu.

Menurut Brockwood (2007) kepuasan pernikahan adalah penilaian umum terhadap kondisi pernikahan yang tengah dialami oleh seseorang. Penilaian umum tersebut dapat berupa cerminan dari seberapa bahagia individu dalam pernikahannya atau berupa penggabungan dari kepuasan dalam beberapa aspek spesifik dari hubungan pernikahan. Pinsof dan Lebow (dalam Aswati, 2017) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu di dasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam pernikahan.

Menurut Roach dkk (dalam Hidayah dan Hadjam, 2006) kepuasan pernikahan adalah persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu . Sedangkan Hawkins (dalam Bradford & Hawkins, 2006) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman subjektif yang dirasakan pasangan suami istri yang berkaitan dengan aspek-aspek yang ada di dalam suatu pernikahan seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat individual.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah penilaian subjektif suami atau istri terhadap pernikahannya yaitu seberapa banyak kebahagiaan, kesenangan dan pengalaman menyenangkan yang didapatkan dari pernikahannya.

(3)

2. Tahapan dalam Pernikahan

Tingkat kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu. Duvall & Miller (1985) menyebutkan bahwa tingkat kepuasan pernikahan tertinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kelahiran anak pertama hingga anak mencapai usia remaja. Hal ini terjadi karena anak memerlukan perhatian yang besar dan biasanya pengasuhan anak lebih banyak dilakukan oleh wanita. Pada usia prasekolah, orangtua biasanya sulit untuk meninggalkan anak di rumah.

Henslin (dalam Daeng, NRm 2010) menyatakan bahwa kebanyakan pria dan wanita merasa bahwa seorang ibu harus berada di rumah selama anak dalam tahap prasekolah. Ketika anak memasuki usia sekolah, pasangan harus mempersiapkan kebutuhan finansial untuk sekolah anak dan memberi dukungan pada anak dalam memasuki lingkungan yang baru dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, guru, dan teman-teman. Saat anak memasuki masa remaja merupakan tahap dimana anak mulai mencari jati diri dan keadaan seperti ini memerlukan pengawasan dan bimbingan dari orangtua (Hurlock, 1999). Namun, tingkat kepuasan pernikahan tersebut meningkat kembali saat anak mulai hidup mandiri dan meninggalkan rumah (menikah atau bekerja).

Tahap-tahap dalam pernikahan perlu diketahui agar mengerti tentang konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya. Walgito (2002) membagi periode pernikahan menjadi tiga yaitu :

a. Masa awal (early years)

Masa ini mencakup kurang lebih 10 tahun pertama pernikahan. Masa ini merupakan masa perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua

(4)

belah pihak, pasangan suami istri berusaha untuk saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier, merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran masing-masing dalam menjalani hubungan suami istri.

b. Masa pertengahan (midlle years)

Periode ini berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa pernikahan. Masa yang terjadi pada tahap ini adalah “child full phase” yang kemudian diikuti oleh “us aging phase”. Pada “child full phase” orangtua mengkonsentrasikan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu suami istri harus mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam pernikahan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas baru dan menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak dalam rumah. Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif lainnya.

c. Masa matang (mature years)

Masa ini dimulai pada tahun ketiga puluh dalam pernikahan. Pasangan suami istri berada dalam peran yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua bersama-sama atau hidup sendiri

(5)

lagi karena salah satu pasangan telah meninggal lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.

Hurlock (2004) membagi periode pernikahan menjadi tiga, yaitu : a. Tahun-tahun awal sebagai periode dewasa dini

Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian pernikahan yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan. Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak suami maupun istri. Tahun awal pernikahan adalah periode penyesuaian yang banyak memerlukan adanya sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya pasangan mempunyai sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan keinginannya, merasa lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya.

b. Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya

Periode pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua harus menghadapi masalah penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang kosong atau empty nest. Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut harus melakukan perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di luar rumah.

(6)

c. Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut

Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik pada pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah daripada yang dilakukan sebelum pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan akan mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin maka percekcokan akan meningkat.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode pernikahan ada tiga bagian yaitu : a.Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal pernikahan. b.Usia pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode menengah dalam suatu pernikahan. c.Usia pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan pada fase ini suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek nenek, pensiun dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan menggunakan aspek-aspek dalam pernikahan seperti yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (dalam Marini dan Julinda, 2010) sebagai berikut :

a. Communication (Komunikasi)

Komunikasi merupakan aspek yang penting dalam kepuasan pernikahan. Komunikasi berfokus kepada tingkat kenyaman yang dirasakan oleh masing-masing pasangan dalam berbagi emosi dan keyakinan, persepsi

(7)

masing- masing pasangan terhadap kemampuan mendengarkan dan keterampilan berbicara, dan persepsi megenai kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan pasangan. Komunikasi pernikahan dibagi menjadi lima dasar menurut Laswell (dalam Marini dan Julinda, 2010), yaitu: keterbukaan di antara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). Aspek ini berfokus pada bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi mereka dalam pernikahan yang dijalani.

b. Leisure Activity (Aktivitas Waktu Luang)

Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Knowles (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu senggang bersama pasangan dengan kepuasan pernikahan. Semakin banyak waktu senggang yang dimiliki oleh pasangan semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh pasangan suami istri.

c. Religious Orientasi (Orientasi Agama)

Keyakinan spiritual dapat memberikan landasan bagi nilai dan perilaku individu dan pasangan. Keyakinan spiritual yang kuat dapat memperdalam

(8)

rasa cinta dan membantu pasangan untuk mencapai impian mereka. Hal ini karena agama akan memberi pengaruh dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang memberi pengaruh besar dalam pernikahan, dan mengurangi perilaku berbahaya dalam pernikahan (Christioano dalam Marini dan Julinda, 2010).

d. Conflict Resolution (Penyelesaian Konflik)

Konflik merupakan bagian alami dan tidak terelakkan dari hubungan manusia. Hubungan pernikahan tidak selalu harmonis karena adanya perbedaan yang dimiliki. Resolusi konflik berfokus pada perilaku, perasaan, keyakinan, keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi.

e. Financial Management (Manajemen Keuangan)

Sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Adanya perbedaan cara pasangan untuk mengeluarkan dan menyimpan uang dalam pernikahan. Harapan dan kebutuhan pasangan dalam pernikahan seringkali melebihi kemampuan keuangan pasangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1980) yang menyebutkan bahwa sebagian besar wanita berharap dengan menikah membuat status ekonominya menjadi terangkat, namun dapat terjadi ketidakpuasan pernikahan apabila harapan tidak sesuai dengan realita.

(9)

f. Sexual Orientation (Intimasi Seksual)

Olson & Defrain (dalam Habibi, U.R, 2015) menyebutkan bahwa hubungan seksual yang memuaskan pada pasangan akan menghasilkan kebahagiaan pada pasangan, namun ketika tidak adanya ketertarikan hubungan seksual akan menurunkan kebahagiaan pada pasangan. Relasi seksual bertindak sebagai alat ukur emosional dalam hubungan. Hubungan seksual yang baik, datang dari hubungan emosional yang baik dengan pasangan. Pasangan dengan hubungan emosional yang baik memiliki hubungan fisik yang baik.

g. Family and Friends (Keluarga dan Teman-teman)

Keluarga dan teman merupakan konteks yang paling penting bagi pasangan dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan. Hubungan dengan teman dan keluarga besar yang tetap terjalin dengan baik akan membantu meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat memberikan dukungan dan membantu pasangan dalam menjalani kesulitan sehingga pasangan merasa tidak sendirian.

h. Children and Parenting (Anak-anak dan Pengasuhan)

Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

(10)

i. Personality Issues (Masalah yang berkaitan dengan kepribadian)

Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. j. Equalitarian Role (Kesetaraan Peran)

Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan. Menurut Saxton (dalam Afni dan Indrijati, 2011), aspek-aspek kepuasan pernikahan yang harus terpenuhi dalam kehidupan pernikahan yaitu :

a. Kebutuhan materil

Pemenuhan kebutuhan materil ditandai dengan adanya kepuasan fisik atau biologis atas pemenuhan kebutuhan berupa makanan, tempat tinggal, keadaan rumah tangga yang teratur dan uang/ekonomi.

(11)

b. Kebutuhan Seksual

Pemenuhan kebutuhan seksual ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan seksual dengan adanya respon seksual yang baik dan frekuensi hubungan seksual yang tidak rendah.

c. Kebutuhan Psikologis

Pemenuhan kebutuhan psikologis ditandai dengan adanya kenyamanan, persahabatan, keamanan emosional, saling memahami, menerima, menghormati, dan sependapat.

Berdasarkan uraian di atas mengenai aspek-aspek kepuasan pernikahan dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan pernikahan adalah komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi agama, penyelesaian konflik, manajemen keuangan, intimasi seksual, keluarga dan teman-teman, anak dan pengasuhan, masalah yang berkaitan dengan kepribadian dan kesetaraan peran. Peneliti menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Olson & Fower yang mengacu pada ENRICH Marital Satisfaction Scale dikarenakan aspek-aspek yang dikemukakannya lebih spesifik yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan dan beberapa penelitian lainnya juga mengacu dengan aspek-aspek yang dikembangkan Olson & Fower.

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan

Spainer & Lewis (Spainer, 2016) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yaitu :

(12)

a. Faktor internal

1) Pemahaman terhadap pola asuh orang tua yang positif. Situasi keluarga, terutama pola asuh orang tua yang positf akan mempermudah terwujudnya kepuasan dalam pernikahannya pada saat anak tersebut menikah.

2) Penerimaan dari orang lain, artinya ada dukungan orang tua dan masyarakat. Sebuah keluarga yang dibangun atas dasar restu orang tua serta memperoleh dukungan positif dari masyarakat akan cenderung lebih mudah memperoleh kepuasan dalam pernikahannya. 3) Kualitas kepribadian, apabila masing-masing mendapatkan pasangan

dengan kriteria kepribadian yang diharapkannya maka akan mengarahkan pasangan pada kesamaan pandangan dalam menentukan arah tujuan dari pernikahan.

4) Interaksi yang positif. Bentuk dari adanya interaksi yang positif yaitu dengan adanya penerimaan, kasih sayang serta dukungan antara suami dan istri.

5) Komunikasi yang efektif, artinya dalam hubungan suami istri dibangun komunikasi dua arah, jadi suami maupun istri bisa menjadi pemberi dan penerima informasi. Adanya komunikasi antara suami dan istri juga akan menciptakan suasana saling pengertian, rasa aman dan nyaman pada masing – masing pasangan.

(13)

6) Kesesuaian peran, artinya suami maupun istri mengerti tentang peran yang diembannya masing – masing dalam hubungannya sebagai pasangan suami istri.

7) Adanya kebijaksanaan, yakni kepandaian dalam menggunakan akal budinya dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul dengan selalu memakai pengalaman, pengetahuan serta selalu bersikap hati – hati dan teliti.

8) Kerjasama yang baik, kerjasama yang baik umumnya dapat dilakukan dengan saling tolong menolong antara suami dan istri. Jika kerjasama antara suami dan istri berjalan dengan baik maka segala permasalahan dalam kehidupan dapat di atasi dengan mudah

9) Kemampuan penyesuaian suami istri, antara lain dengan menumbuhkan sikap saling terbuka dan bisa menerima setiap kelebihan dan kekurangan dari pasangan.

10)Tekad yang sama dalam pernikahan, tekad yang sama akan memfasilitasi kesepemahaman langkah, kekompakan, kerjasama yang pada akhirnya melandasi kepuasan pernikahan.

b. Faktor eksternal

1) Homogami, yaitu adanya kesamaan dalam pendidikan, agama, ras , usia maupun kelas sosial. Semakin banyak kesamaan yang dimiliki oleh pasangan suami istri maka akan meminimalisr terjadinya konflik yang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang.

(14)

2) Bekal – bekal sebelum menikah, seperti pendidikan yang cukup, ataupun keahlian dalam berhubungan sosial menunjang kedewasaan sikap, pasangan suami istri tersebut dalam menghadapi persoalan yang terjadi.

3) Kemampuan sosial ekonomi yang memadai, situasi ekonomi yang baik akan meningkatkan taraf pemenuhan kebutuhan , sekaligus mengurangi resiko permasalahan akibat ketidakmampuan mengakomodasi kebutuhan dasar.

Menurut Hendrick & Hendrick (dalam Merzavani, 2016), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu :

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan.

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian.

b. Postmarital Factors

1) Kehadiran anak, anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984).

(15)

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaanan anak tersebut.

2) Usia perkawinan, seperti yang dikemukakakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan perkawinan tinggi diawal perkawinan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan akan meningkat kembali setelah anak dewasa dan meninggalkan rumah orangtua.

Dari uraian tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Peneliti selanjutnya memfokuskan penelitian pada salah satu faktor internal yaitu kepribadian, karena kepribadian berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi pasangan yang akan menentukan arah dan tujuan pernikahan.

B. Big five Personality 1. Pengertian Dimensi Kepribadian Big five

Kepribadian merupakan bagian yang khas dari setiap individu yang membedakannya dengan ndividu yang lain. Definisi kepribadian menurut Allport (dalam Suryabrata, 2008) adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai system psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Kepribadian terletak dibelakang perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu.

(16)

Feist & Feist (2009) mengatakan bahwa kepribadian adalah suatu pola yang relatif menetap didalam diri individu yang menghasilkan beberapa ukuran konsisten tentang perilaku. Serupa dengan pernyataan tersebut Larsen & Buss (dalam Mastuti, E, 2005) juga menambahkan bahwa kepribadian merupakan sekumpulan trait psikologis dan mekanisme didalam diri individu yang diorganisasikan dan relatif bertahan, sehingga mempengaruhi interaksi dan adaptasi individu pada lingkungan. Sedangkan menurut Pervin dkk (2005) kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.

Ada berbagai cara dan tes psikologi yang digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai kepribadian salah satunya adalah dengan menggunakan big five factor. Kepribadian big five merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor yang digambarkan dalam lima bentuk dimensi dasar (McCrae & Costa, dalam Pervin & Cervone, 2005).

Caprara & Cervone (2000) mengatakan bahwa kepribadian big five adalah teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi, affect, dan tindakan yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi teori kepribadian. Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa lima besar dimensi kepribadian adalah dimensi dasar kepribadian manusia, dimensi-dimensi dimana individu berada (seperti; oppenes, ekstravertion, agreeableness, dan neurotisme) yang sering kali tampak dalam perilaku sehari-hari.

(17)

Feist & Feist (2009) menyatakan bahwa big five adalah salah satu bentuk kepribadian yang dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku individu. Gufron (2010) berpendapat bahwa kepribadian big five adalah kepribadian yang dikembangkan oleh McCrae & Costa yang memiliki lima bentuk dimensi kepribadian yang mendasari perilaku individu.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian big five merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness.

2. Dimensi – dimensi dalam Kepribadian Big five

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi dari Big five Personality diantaranya Neuroticism, Extraversion, Openness to Experience, Agreeableness, Conscientiousness. Masing-masing dari lima dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;

a. Neuroticism (N)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup mereka dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Neuroticism dicirikan sebagai individu yang

(18)

memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan memiliki tingkat self esteem yang rendah. Individu yang memiliki skor yang tinggi di neuroticism adalah individu yang memiliki kepribadian mudah khawatir, rasa marah, dan depresi.Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), indikator-indikator yang terdapat dalam neuroticism adalah:

1) Anxiety yaitu individu yang gelisah, penuh rasa takut, gugup dan tegang.

2) Hostility yaitu individu yang memiliki rasa amarah dan frustasi. 3) Depression yaitu individu yang mengalami depresi.

4) Self-Consciousness yaitu individu yang menunjukkan rasa tidak nyaman ketika berada diantara orang lain, terlalu sensitif, dan merasa rendah diri.

5) Impulsiveness yaitu individu yang tidak mampu mengontrol keinginannya yang berlebihan untuk melakukan sesuatu.

6) Vulnerability yaitu ndividu yang tidak mampu menghadapi stress, bergantung pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila dihadapkan pada sesuatu yang datang secara mendadak.

b. Extravertion (E)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa extravertion dalam berinteraksi lebih banyak memegang kontrol. Extravertiondicirikan seperti memiliki emosi yang positif, enerjik, senang bergaul, tertarik dengan banyak hal, juga ramah terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki tingkat extravertion yang rendah cenderung

(19)

pendiam dan menarik diri dari lingkungannya. Individu yang extravertion termotivasi olehperubahan, tantangan, dan mudah bosan. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), indikator-indikator yang yang terdapat dalam extravertion adalah:

1) Warmth yaitu individu memiliki kecenderungan mudah bergaul dan membagi kasih sayang

2) Gregariousness yaitu individu yang memiliki kecenderungan untuk banyak berteman dan berinteraksi dengan orang banyak

3) Assertiveness yaitu individu yang cenderung tegas dalam mengambil keputusan.

4) Activity yaitu individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan yang memiliki semangat dan energy yang tinggi.

5) Excitement-seeking yaitu individu yang senang mencari sensasi dan berani mengambil risiko.

6) Positive Emotion yaitu individu yang memiliki emosi-emosi yang positif seperti senang, bahagia dan cinta.

c. Openness to experience (O)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa openness to experience mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru. Openness to experience memiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus pada berbagai pemikiran dan perasaan. Seseorang dengan tingkat openness to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki

(20)

nilai imajinasi dan pemikiran yang luas. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openess to experience yang rendah menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit dan tidak suka dengan perubahan. Pencapaian kreatifitas terdapat pada orang yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah. Hal ini dikarenakan, seseorang yang kreatif memiliki rasa ingin tahu yang tinggidan lebih mudah untuk mendapatkan solusi terhadap suatu masalah. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), indikator-indikator yang terdapat dalam openness to experience adalah :

1) Fantasy yaitu individu yang memiliki imajinasi yang tinggi.

2) Aesthetic yaitu individu yang memiliki apresiasi terhadap seni dan keindahan.

3) Feelings yaitu individu yang mampu menyelami emosi dan perasaannya.

4) Action yaitu individu yang memiliki keinginan untuk mencoba hal-hal baru.

5) Ideas yaitu individu yang berpikiran terbuka terhadap ide baru. 6) Values yaitu individu yang berkeinginan untuk menguji ulang

nilai-nilai sosial, politik dan agama d. Agreeableness (A)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa agreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk

(21)

mengikuti orang lain. Agreeableness memiliki motivasi untuk membantu orang lain dan terarah pada perilaku prososial. Namun, dalam hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka cenderung menurun.Sehingga,menghindari konflik merupakan usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain. Sedangkan, orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung lebih agresif dan kurang kooperatif. Menurut Costa &Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam agreeableness adalah:

1) Trust yaitu individu yang memiliki kepercayaan terhadap orang lain.

2) Straightforwardness yaitu individu yang berkata secara apa adanya.

3) Altruism yaitu individu yang memiliki keinginan untuk menolong orang lain.

4) Compliance yaitu karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal.

5) Modesty yaitu ndividu yang rendah hati.

6) Tender-mindedness yaitu individu yang memiliki kepedulian dan simpati terhadap orang lain.

e. Conscientiousness (C)

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa Conscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol

(22)

terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Individu yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap yang malas, tidak terarah dan mudah teralih perhatiannya. Menurut Costa & Widiger (dalam Moberg, 1999), skala-skala yang terdapat dalam conscientiousness adalah:

1) Competence yaitu individu yang memiliki kemampuan dalam mengerjakan sesuatu.

2) Order yaitu individu yang memiliki kemampuan dalam mengorganisasi.

3) Dutifulness yaitu individu yang berpegang teguh pada prinsip hidup.

4) Achievement-striving yaitu individu yang memiliki kesanggupan untuk mencapai prestasi.

5) Self-discipline yaitu individu yang dapat mengatur diri sendiri. 6) Deliberation yaitu individu yang berpikir dahulu sebelum

bertindak

C. Hubungan antara Dimensi Kepribadian Big five dengan Kepuasan Pernikahan Pasangan pada Masa Awal Pernikahan

Kepuasan pernikahan adalah penilaian subjektif suami atau istri terhadap pernikahannya yaitu seberapa banyak kebahagiaan, kesenangan dan pengalamanan menyenangkan yang didapatkan dari pernikahannya. Olson & Fower (2006) menjabarkan aspek - aspek yang menentukan kepuasan pernikahan

(23)

yaitu kepuasan seseorang dengan kepribadian pasangan, komunikasi, resolusi konflik, manajemen keuangan, aktivitas waktu luang, anak dan pengasuhan, keluarga dan teman, agama dan kesetaraan peran. Sedangkan Spainer dan Lewis (2006) mengemukakan faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah kualitas kepribadian.

Kualitas kepribadian mempengaruhi harapan, persepsi dan cara pandang pasangan yang akan menentukan arah dan tujuan pernikahan (Sapiner & Lewis dalam Spainer, 2006). Karakteristik keperibadian mempengaruhi cara pasangan dalam berinteraksi, menerima satu sama lain, menilai, serta memberi penjelasan tentang peristiwa-peritiwa yang terjadu dalam pernikahan ( Bradburry & Fincham, dalam Barelds, 2005). Trait kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungan mereka dengan pasangannya di sepanjang hidup mereka. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa kepribadian seseorang akan mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya dan bukan sebaliknya (Brehm, 2002).

Huston dan Houts (Donellan, dkk, 2014) menyatakan bahwa kepribadian berkontribusi terhadap “infrastruktur psikologis” dalam mempertahankan hubungan dan juga sebagai prediktor kunci keberhasilan maupun disfungsi suatu hubungan terutama dalam kaitannya dengan hubungan pernikahan. Kepribadian dapat mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya, karena setiap jenis kepribadian akan menunjukkan dan mempengaruhi mood serta emosi yang ditunjukkan pada pasangannya. Individu dengan mood yang baik tentu bisa

(24)

berinteraksi dengan baik dengan pasangannya dan akan berpengaruh pada kepuasan pernikahan mereka. Sebaliknya, individu dengan mood yang negatif akan menimbulkan interaksi yang negatif dengan pasangannya yang juga sangat berpengaruh pada kepuasan pernikahan (Brehm, 2002).

Trait kepribadian biasanya diukur dengan menggunakan lima dimensi atau yang sering disebut dengan Big five Personality (Baumeister, 2007). Trait kepribadian big five merupakan trait kepribadian, dimana setiap individu tidak dapat dikategorikan hanya memiliki satu jenis trait kepribadian saja, namun setiap individu memiliki kelima trait kepribadian tersebut, hanya saja ada satu trait kepribadian yang lebih dominan. Trait kepribadian menurut McCrae (2008) adalah neuriticism, extraversion, opennesss to experience, agreeableness dan conscientiousness.

Neuroticism adalah trait yang paling konsisten dalam memprediksi kepuasan pernikahan yang menggambarkan perasaan negatif atau kecemasan secara general (Karney & Bradburry, 1995). Neurocitism merupakan kecenderungan dari kumpulan pengalaman yang berisi emosi negatif seperti cemas, marah, sedih, kecil hati dan kondisi yang memalukan (Costa & McCrae dalam Maria, dkk 2014). Hal ini sejalan dengan pendapat Keltner (1996) bahwa neuroticism adalah trait kepribadian yang didefinisikan sebagai emosi negatif dalam kondisi yang positif. Seseorang yang memiliki karakteristik skor neuroticism yang tinggi cenderung selalu merasa cemas dan khawatir terhadap apapun termasuk terhadap hubungan pernikahan yang dijalani, perasaan-perasaan negative tersebutlah yang menghalangi terciptanya kepuasan. Pasangan yang

(25)

memiliki skor tinggi pada neurocitism memiliki kecenderungan mudah cemas, marah, depresi, dan emotionally reactive yang memungkinkan timbulnya konflik-konflik dengan pasangan.

Kepuasan pernikahan tentu saja tidak akan tercapai kalu di dalam rumah tangga tersebut selalu diwarnai dengan konflik. Menurut Smolak (Sudarto, 2011) ketika ketegangan dalam pernikahan terus memuncak dan tidak mereda dalam kurun waktu yang cukup lama, tidaklah mengherankan bila perceraian terkadang dilihat sebagai satu-satunya alternative penyelesaian masalah yang baik. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kelly dan Conley ( dalam Maria, dkk, 2014) dalam penelitian longitudinal pada pasangan yang menikah menunjukkan trait neuroticism dapat memprediksi perceraian sebelum maupun sesudah menikah dibandingkan dengan trait lainnya maupun vatiabel – variabel lainnya.

Trait extraversion menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, dkk, 2014) merupakan faktor yang mencakup kualitas suka bergaul, berhubungan dengan orang lain, mau berusaha dan banyak bicara. Pasangan yang memiliki skor tinggi pada extraversion akan mudah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, mudah berteman dengan keluarga pasangannya yang bisa meningkatkan kebahagiaan dalam pernikahannya. Bowen, dkk (dalam Minnote,dkk, 2008) menyatakan bahwa hubungan dengan masyarakat dan tetangga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat membantu pasangan dalam beradaptasi dengan tuntutan dan menghadapi tekanan hidup seperti membantu saat ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit atau meninggal. Akan tetapi pasangan yang memiliki skor tinggi pada ektraversion akan lebih cepat

(26)

bosan jika tidak ada variasi maupun tantangan dalam pernikahannya karena orang dengan skor extraversion tinggi mudah termotivasi oleh perubahan. Pasangan yang memiliki skor rendah pada extraversion akan cenderung tenang dalam kehidupan pernikahannya, karena pasangan dengan skor extraversion rendah lebih memilih untuk menghindari konflik baik dengan pasangannya maupun lingkungan sekitar.

Penelitian yang dilakukan oleh Bareld (2005) mengenai hubungan kepribadian dengan kepuasan pernikahan mendapati bahwa ekstraversi memiliki hubungan positif dengan terciptanya kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan tampak jelas pada pasangan yang hanya salah satu dari pasangan tersebut yang memiliki ekstraversi tinggi sedangkan pasangannya memiliki ekstraversi rendah. Senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaufman & Larson ( 2011) yang meneliti mengenai hubungan kepribadian lima faktor dengan ketertarikan diantara individu dan kepuasan pernikahannya mendapatkan hasil bahwa jika hanya salah satu individu yang memiliki kepribadian ekstraversi yang tinggi maka kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh individu tersebut lebih tinggi dari pasangannya.

Menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, 2014) bahwa trait oppennes meliputi daya imajinasi, mau menerima ide-ide baru, dan terbuka terhadap berbagai hal hal baru. Seseorang dengan skor Openness to experience yang tinggi, akan lebih terbuka terhadap nilai-nilai pasangannya, dapat mengerti dan menerima perbedaan, dengan demikian kepuasan pernikahannya akan cenderung baik. Selain itu pasangan dengan skor tinggi pada oppeness akan mudah berkomunikasi

(27)

dengan pasangannya maupun keluarga pasangannya. Komunikasi interaktif yang positif pada pasangan akan meningkatkan kepuasan pada pernikahannya sesuai dengan pernyataan Donan dan Jhonson (dalam Stanley, dkk, 2002) yang menjelaskan bahwa pasangan yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan komunikasi yang baik akan menciptakan suatu keadaan yang lebih terbuka dan dapat menerima kekurangan dari pasangannya yang akan meningkatkan kepuasan dalam pernikahan.

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa agreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Seseorang dengan skor agreeableness yang tinggi, merupakan kebalikan dari karakter antagonis, dan tidak selalu adaptif, namun agreeablenness yang tinggi cenderung menjadikan seseorang bergantung kepada orang lain, dan melupakan diri sendiri. Sedangkan menurut Donnellan, Conger, Bryant (2004), seseorang yang aggreable akan lebih mudah untuk meregulasi emosinya selama melakukan interaksi interpersonal. Dengan demikian seseorang dengan skor Agreeablenness yang tinggi merupakan orang yang penuh penerimaan dan disukai orang lain, sehingga kepuasan pernikahan akan menjadi baik karena pasangan dengan skor tinggi pada agreeableness memiliki kemampuan yang baik dalam menghadapi konflik dalam pernikahan sehingga frekuensi atau intensitas interaksi negatif pun rendah (Donnellan, dkk, 2004).

McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa Conscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol terhadap

(28)

lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Seseorang yang tinggi pada skor conscientiousness akan jarang membuat perselisihan dengan orang lain terutama pasangan karena mereka umumnya bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan pekerja keras (Donnellan, Conger, & Bryant, 2004). Dengan demikian seseorang dengan skor conscientiousness yang tinggi merupakan orang yang teratur, tekun, bertanggung jawab dan dapat diandalkan dalam hubungan pernikahannya, sehingga kepuasan pernikahannya akan cenderung baik.

Dari berbagai hasil penelitian sebelumnya mengenai trait kepribadian yang berkaitan dengan kepuasan dalam pernikahan menunjukkan bahwa trait neuroticism dan extraversion memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan pernikahan. Sedangkan trait oppeness, agreablenes, dan conscientiousnes memiliki kecenderungan yang positif dengan kepuasan pernikahan. Walaupun demikian, tidak semua penelitian memiliki hasil yang konsisten (Kosek, dalam Robin, dkk, 2000).

Berdasarkan uraian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa ada kontribusi kepribadian terhadap pencapaian kepuasan pernikahan. Trait kepribadian biasanya diukur dengan lima dimensi atau biasa disebut dengan the Big five Personality.

D. Hipotesis

Dari uraian di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi neuroticism dengan kepuasan pernikahan.

(29)

2. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi extraversion dengan kepuasan pernikahan.

3. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi openness dengan kepuasan pernikahan.

4. Ada hubungan yang signifikan dimensi agreeablenness dengan kepuasan pernikahan.

5. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi conscientiousnes dengan kepuasan pernikahan.

6. Dimensi kepribadian big five yang terdiri atas neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pernikahan.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu penelitian yang dilakukan dengan menerapkan Metode penelitian kuantitatif, maka akan menghasilkan data dalam bentuk kuantitas. Bentuk kuantitas itu berupa

Hubungan Dukungan pimpinan Dengan Kinerja bidan pembina wilayah, dalam penelitian ini diperoleh hasil uji statistik menunjukan hubungan tersebut secara statistik tidak bermakna nilai

Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus dalam De Medicina (10 Masehi), tindakan ini juga merupakan tindakan pembedahan yang pertama

Salah satu cara untuk mengatasi tidak adanya estimator "terbaik" adalah melalui pembatasan kelas estimator, salah satu pembatasan yang akan kita bahas adalah melalui

 Bukti ini masih perlu ditambah dgn alat bukti lain  Haki bebas dan tidak terikat dgn alat bukti ini  Bukti ini dapat dilumpuhkan dgn alat bukti lawan.

Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk memberikan kemudahan dan bukan untuk membuat kesulitan. Adalah suatu kemustahilan jika Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana,

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Duvall dan Miller (2002), yaitu adanya kebijaksanaan,

Dengan mengacu pada riset sebelumnya, penelitian ini mencoba untuk menemukan bukti adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi daerah dengan cakupan wilayah yang lebih sempit: